Monday, April 22, 2013

CATATAN HATI DOSEN JUNIOR (2)

Ketika beberapa sahabat mengetahui profesi saya, salah satu dari mereka mulai bertanya. Salah seorang sahabat bernama Mia (biasa saya panggil Miaw, dia juga panggil saya Emmaw, panggilan akrab di antara kami berdua) bertanya tentang bagaimana kesan saya saat pertama kali mendapat tawaran sebagai dosen. Rupanya Miaw tidak sekadar bertanya, melainkan dia pun memperoleh tawaran profesi serupa ketika pulang ke kampungnya, Mataram.

Hanya ada satu perbedaan antara kami. Kalau saya memang ditugaskan di prodi BK, masih ada sangkut pautnya dengan psikologi. Tapi, kalau Miaw justru ditempatkan di akademi kebidanan meski memang masih ada beberapa mata kuliah yang mengacu pada psikologi juga.

Dari situlah kami bertukar pendapat, saling memberi masukan. Miaw sebenarnya baru berjalan sekitar dua bulan ini sedang saya sudah dari tahun lalu. Ketika saya bertanya tentang keadaan Miaw selama ngajar di akbid. Miaw bilang kalau dia belum bisa nyaman menikmati profesinya mengajar mahasiswa. Sebab, sebelumnya, saat masih menanti ijazah di Malang, dia sempat bekerja sebentar di sekolahan. Miaw masih belum rileks menghadapi mahasiswa yang usianya tidak jauh beda dengan Miaw. Saya sempat berkata ke Miaw, karena mereka tidak jauh berbeda usianya dengan kita, kalau bisa, posisikanlah diri kita seolah teman mereka, bukan sebagai dosen.

Memang, kita tidak bisa memungkiri kalau kita adalah dosen sedang mereka adalah mahasiswa kita. Namun, selama ini, kita cenderung ter-mainstream dengan situasi bahwa dosen itu selalu benar, dosen itu adalah raja, dosen itu paling berkuasa, dosen itu adalah bos sedangkan mahasiswa adalah anak buahnya, mahasiswa harus patuh, nurut bla bla bla. Akan tetapi, semenjak terjun mengajar mahasiswa, saya tidak menganut paham mainstream tersebut.

Awal mengajar di Guidance Club, sebagian mahasiswa selalu memanggil saya dengan sebutan "Ibu" padahal usia kami hanya beda dua tiga tahun saja. Selain itu, mereka juga selalu mengelu-elukan saya, selalu menyandingkan saya dengan gelar terbaik yang saya peroleh semasa kuliah dan hal-hal sejenisnya. Bagaimana rasanya? Kalau saja saya ini adalah orang dengan gangguan narsistik, maka seluruh pujian itu akan selalu saya singgung agar saya bisa lebih pede. Tapi, saya justru tidak begitu suka bila dipuji apalagi bertubi-tubi dan diungkit berulang kali. Toh, gelar terbaik itu hanya akan menjadi kenangan, kan?

Lama-kelamaan, karena kerisihan tersebut, saya sering membuka sesi sharing, bahkan sampai saat ini ketika saya mengajar di kelas. Dalam sesi tersebut, saya selalu menyerukan pada mahasiswa untuk tidak memanggil saya dengan sebutan "Ibu". Dan, salah satu yang saya lakukan adalah berusaha memberikan simpatik kepada mereka bahwa saya adalah "kawan" mereka, saya bukanlah dosen yang bertabiat seperti raja, harus selalu dituruti, dipatuhi, harus selalu didengarkan dan sebagainya. Kalau saya salah, tentu mereka akan kena imbasnya, kan? Jadi, saya selalu mengatakan, meskipun saya bertindak sebagai dosen, tapi saya juga teman mereka. Jadi, apabila terdapat kekeliruan dalam proses belajar-mengajar, sudah pasti sebagai teman akan saling memberikan masukan, saling meluruskan dan bersama-sama mencari jalan keluar. Jadi, ketika selama mengajar terjadi ketidakpahaman antara kami dengan apa yang saya ajarkan (meski kami semua sudah sama-sama mempelajari dan mencoba memahami), maka saya dan mahasiswa pun harus bersama-sama memecahkan persoalan ketidakpahaman tersebut.

Pada intinya, kenyamanan itu memang tergantung dari masing-masing metode yang kita gunakan. Bukan berarti dalam hal ini saya benar. Tapi, itu semua tidak serta-merta saya terapkan begitu saja, melainkan telah menempuh proses observasi sebelumnya. 

Agar dosen junior bisa nyaman mengajar mahasiswa yang seumuran dengannya, maka diperlukan teknik dengan cara menggali dan mengeksplor apa sih keinginan dari mahasiswa itu sendiri? Dari situlah, kita bisa memperolah petunjuk untuk menerapkan metode yang sesuai. 

Dari cerita di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa metode paling pertama yang saya terapkan antara lain berusaha menjadi kawan untuk mahasiswa, lebih fleksibel dalam mengajar dalam artian tidak selamanya dosen yang selalu aktif melainkan mahasiswa juga diajak untuk aktif, dan yang paling penting adalah biasakan untuk membuka sesi sharing atau evaluasi di akhir atau di awal perkuliahan (dengarkan dan pahami keluhan mahasiswa). Jangan segan untuk menjadi "tempat sampah" atau tempat curhat bagi para mahasiswa. Dosen yang baik, tentu tidak hanya ingin agar dirinya selalu diperhatikan, selalu dipahami dan selalu ingin didengarkan. Dosen junior yang baik adalah mereka yang bisa menyeimbangkan antara kebutuhan dirinya dengan kebutuhan mahasiswanya. Dengan menjadi pendengar yang baik, maka kita akan lebih mudah memahami apa kebutuhan mahasiswa, metode apa yang baik untuk mereka. Ini juga akan berimbas pada masa depan mahasiswa loh.

Jadi, beruntung dan bersyukurlah yang diberi kesempatan menjadi dosen junior. Di balik itu semua, profesionalisme juga tetap harus berjalan. Sebab, itu salah satu responsibility kita sebagaimana dosen pada umumnya. Tidak perlu pakem, mengikuti aliran dosen-dosen senior. Ciptakanlah kenyamanan itu mulai dari diri kita, pembawaan kita, secara otomatis, itu akan menular pada mahasiswa kita. Dan, seperti yang saya bilang tadi, jadilah pendengar yang baik, pahamilah kebutuhan diri sendiri juga mahasiswa secara seimbang.

No comments:

Post a Comment

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.