Wednesday, July 24, 2013

POTRET ORANG PINGGIRAN DI TRANS 7

Tadi, saya sempat menyimak tayangan Orang Pinggiran di Trans 7. Dari sekian episode yang sering saya lihat, baru hari ini saya betul-betul memerhatikan tayangannya. Hal itu dikarenakan potret orang pinggiran yang diangkat tadi mempunyai seorang anak yang mengalami gangguan mental.

Nenek Entas, panggilannya, adalah seorang penjual daun pisang dan pemulung sayuran di kebun orang. Usianya sudah sangat renta namun masih rajin bekerja. Suaminya telah meninggal dan dia memiliki dua orang anak yang juga bernasib serupa dengannya. Salah satu anaknya, Parman, berusia 60 tahun. Kata Nek Entas, sejak kecil Parman mengalami gangguan mental namun dia sendiri tidak tahu apa jenis gangguan tersebut. Meski begitu, Parman telah menikah dan mempunyai anak. Parahnya, Parman kurang mampu untuk bekerja secara mandiri dan tidak pernah mau bicara sehingga hingga saat ini beliau masih tinggal dan merepotkan Nek Entas, sementara isterinya justru tinggal di kampung sebelah dan tidak bekerja. Biasanya, dia hanya membantu Nek Entas untuk memulung (memanen) sayuran milik warga yang meminta tolong pada Nek Entas.

Melihat kehidupan sehari-hari Nek Entas, siapapun pasti akan terenyuh hatinya dan mungkin saja tersirat keinginan untuk membantunya. Lebih pilu lagi, ketika Nek Entas tidak mengetahui gangguan mental apa yang tengah dialami oleh Parman. Miris! Seperti yang sudah-sudah saya tulis sebelumnya. Di Indonesia, kepedulian dan sosialisasi mengenai kesehatan atau gangguan mental belumlah berjalan secara efektif dan merata. Di pelosok-pelosok seperti tempat tinggal Nek Entas bahkan jauh dari jangkauan ilmu psikologi.

Saya tadi sempat membatin, jika saja sejak kecil Parman ditangani oleh ahli yang tepat dan ada pihak yang senang hati membantunya untuk berobat ke kota, pasti kondisinya tidak akan sampai "termakan usia" seperti itu. Kalau saya mau menyalahkan pemerintah, mungkin sudah saya lakukan sejak dulu bahkan saat  saya belum mengambil mata kuliah psikologi. Lalu, siapakah yang patut disalahkan? Saya juga tidak bisa menjudge. Yang pasti, semua sudah terjadi. 

Meski saya tidak bisa menganalisa sekilas gangguan mental jenis apakah yang dialami Parman, namun saya turut menyesal, mengapa dibiarkan begitu saja tanpa ada tindakan apapun hingga usianya sudah mencapai 60 tahun. Bertahun-tahun, Parman membawa "gangguan mental" tersebut. Walau tak bisa membaca bagaimana isi hatinya (apakah dia merasa "sakit" atau seperti apa), tapi dari raut yang terkesan flat affect tersebut, saya bisa merasakan betapa menderitanya seorang Parman. Saya juga sempat bertanya-tanya dalam hati, bagaimana cara dia menjalin komunikasi dengan isteri dan anaknya sedang kata Nek Entas, dia tidak pernah berbicara sepatah kata pun. Bagaimana cara dia menyampaikan ekspresi kesedihan dan kebahagiaannya sedang wajahnya saja datar tanpa gula tanpa garam begitu.

Tapi, di balik potret Orang Pinggiran tersebut, saya yakin ada banyak hati yang terketuk untuk mengulurkan tangannya kepada mereka. Saya juga semapt membaca postingan dengan topik serupa yang ditulis oleh dr. Bram mengenai potret orang pinggiran, khususnya di tanah kelahirannya yaitu Blora. Saya memang belum pernah ke Jawa Tengah apalagi Blora. Namun ternyata, di sana pun masih banyak potret orang terpinggir. dr. Bram dan beberapa kawannya mulai mengusung sebuah komunitas untuk membantu adik-adik alumni Smansa Blora mereka yang cerdas-cerdas melalui program Alsa Peduli. Saya cukup senang melihat masih ada orang sedermawan dr.Bram dan kawan-kawannya yang mau membantu orang-orang tersebut, bahkan dengan senang hati menyekolahkan adik-adik alumni mereka yang cerdas itu hingga masuk ke perguruan tinggi. (Bisa dilihat di sini: http://irfanda.com/orang-pinggiran-trans-7). 

Saya pun senang mendengar impian dr.Bram yang ingin membangun 5000 panti asuhan. Subhanallah, semoga itu tercapai ya. Dari duluuu sekali, saya juga memiliki impian yang sama dengan beliau yaitu ingin membangun panti asuhan tapi tidak sedrastis angka 5000 itu, hehhe. Impian membangun satu panti asuhan saja sudah "menakutkan" saking besarnya bagi saya, tapi insyaallah, jika Allah meridai niat ini, suatu saat pasti akan terwujud. Dari dulu sudah mencoba dari yang kecil, semoga yang besar pun bisa dilakukan, hehe aamiin.

Memang benar, daripada menggelendot di "bahu" pemerintah terus, merengek-rengek untuk minta ini itu, kenapa tidak diawali dari diri kita masing-masing? Kenapa bukan kita yang tergerak lebih dulu?

Apakah satu hingga paling tidak lima tahun ke depan, potret orang pinggiran ini akan berakhir menjadi penduduk yang sama sejahteranya? Entahlah! Namun yang saya tahu, semua manusia wajib saling tolong-menolong. Yang kaya memang sudah diciptakan untuk membantu yang kurang mampu dan yang kurang mampu diciptakan untuk belajar seperti orang-orang berada. Wallahu'alam bish showab.

7 comments:

  1. miris ngeliat masih ada anak negeri seperti di tayangan2 potret orang pinggiran itu. sy jadi bertanya: kemana pemerintahnya, kok mereka seperti diabaikan.

    ReplyDelete
  2. bukan cuma pemerintah negara saja yg musti peduli tp juga pemerintah lokal daerah itu sendiri kyk bupati, walikota dan jajarannya. hmm miris memang

    ReplyDelete
  3. Rasanya jaman sekarang terlihat kecompangan ya mbaak, antara pejabat yang kaya serta rakyat yang kian terpuruk. Lihaat saja yang ada di tayangan kaum marjinal penderitaan tak ada habis2nya. Ehhh yang sukses koruptur n masuk bui kayaknya masih terlihat lenggang2 menikmati kemewahan.Smpee speechless deh,mba :( Salam kenal deh.. sudah follow blognya juga ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih Mbak chris sudah mau berknjung, saling sharing dan follow^^ salm kenal juga:)

      yap.. yg seharusnya kaum berada diciptakan utk menolong yg kesulitan, nyatanya mereka justru merampas hak-hak org yg terpinggirkan tsb agar para borjuis semakin kaya. hmm...mereka sudah termakan oleh harta, tooh pas mati juga ga dibawa, melainkan amalan dari harta itulah yg dipertanggungjawabkan nantinya.

      Delete
    2. eh ehhh maaf harusnya panggil Bunda nih krna udh merid hehe maaf ya Bund baru liat lamannya,

      Delete
  4. yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. kadang rasa tolong menolong terhalang oleh silaunya harta da kenyamanan. miris tp itulah yg terjadi. memulai kebaikan dari diri sendiri aja.

    salam kenal mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. salam kenal juga Mbak :)

      yap, roda hidup di dunia seperti udah karatan, yg di atas gk mau turun2 dan yg di bawah tetep aja di bawah hmm kyk mau kiamat aja

      Delete

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.