Saturday, October 19, 2013

KEBIASAAN MEMINJAM UANG

Meminjam uang? Rasa-rasanya hampir tidak pernah saya melakukannya. Dipinjami uang? Pernah, malah sampai ditipu dan nggak balik uangnya.

Dulu, saat naik angkot, ada seorang ibu-ibu dengan dandanan menornya (yang tadinya saya kira dia itu Schizophrenia) berceloteh kiri-kanan, ngomong sendiri di angkot, ngeluh-ngeluh sendiri. Melihat tingkahnya, saya terus mengernyit sambil mengobservasinya secara gak langsung (hehe… ini spontan sering terjadi kalau ketemu orang yang cenderung ‘aneh’). Saat tiba di tikungan depan Jalan Ciliwung, dari gelagatnya, sepertinya sebentar lagi akan turun. Nah, tak dinyana, sebelum meminta supir untuk berhenti, si ibu malah meminjam uang pada saya. Katanya tak punya uang untuk membayar angkot. Tadinya, penumpang yang lain berbisik, mendesak saya agar tidak memberikan uang padanya karena sepertinya orang itu cuma ‘modus’. Tapi, entah mengapa, si ibu mengasihani dirinya. Karena tidak betah melihatnya merutuki diri sendiri, akhirnya uang yang tadinya saya siapkan untuk membayar angkot itu saya berikan pada si ibu dan dia turun. Eh, pas turun, ternyata dia punya uang sendiri. Ya ampuuuun! Ini ceritanya, saya ditipu atau gimana? Ya sudah, saya coba ikhlas.

Next, pengalaman selanjutnya, justru teman saya. Kami berkenalan saat diklat LISFA (rohis fakultas). Dari cerita yang selalu digaungkannya di depan kami, hidupnya begitu ‘ruwet’. Awal kenal, dia berjilbab dan bilang bahwa dia ingin istiqomah untuk berjilbab meskipun orangtuanya sempat melarang. Saya salut padanya. Lama tak bertemu, dia ternyata banyak berubah. Tadinya, dia tumben mengirimi saya SMS, menanyakan kabar dengan bahasa yang sangat santun. Saya juga tidak berprasangka apapun. Tapi, ujung-ujungnya, dia cerita, sedang bertengkar dengan orangtua dan berniat meminjam uang pada saya untuk makan sehari. Karena saya kasihan, jadi sebelum UAS, kami bertemu di depan ruang kelas saya, saya memberikan uang itu padanya dan dia berjanji akan segera mengembalikannya. Bagi saya, jumlahnya memang tidak begitu besar, tapi lumayan menguras tabungan jatah makan saya saat itu. Lama kemudian, tersiar kabar, dia juga meminjam uang kepada teman-teman rohis lain, bahkan pada sahabat saya dengan jumlah dua kali lipat dari yang saya beri waktu itu. Tentu, saya lebih percaya dengan sahabat saya. Mereka tak akan mungkin berbohong. Ternyata, dia sudah lama meminjam uang kepada sahabat saya dan lama pula tidak mengembalikannya. Saya ciut lagi, sepertinya saya… tertipu dengan wajah innocent dan ibanya. Sampai suatu ketika, saya sedang naik angkot, hendak pulang ke Sawojajar (rumah paman saya), kami bertemu di angkot yang sama. Saya shock melihatnya. Dia tak lagi memakai jilbabnya dan dandanannya rada rock and roll. Karena tidak enak membahas tentang hutangnya yang juga sangat ingin saya tagih, tahu-tahu, dia mengingatnya sendiri. Saya pikir, dia akan membayarnya, tapi ketika dia turun duluan, dia hanya membayarkan ongkos angkot saya. Gubraaak!!! Terakhir kali dia SMS, saat itu saya kebetulan baru saja mengalami kecelakaan dengan banyak lecet yang cukup serius di tangan dan kaki. Tiba-tiba, dia SMS, mau pinjam uang lagi, tapi dengan tegas saya menolak, karena saya sangat butuh biaya untuk pengobatan. Lagipula, saya juga tidak bisa berjalan keluar karena luka di kaki masih bernanah. Bukannya meminta maaf atau turut prihatin atau mengucapkan ‘get well soon, friend’, dia hanya diam dan tak membalas SMS itu.

Ketiga, ini masih berlangsung hingga sekarang. Sebenarnya, kami juga teman sefakultas dan pernah satu kelompok KKN. Dulu, dia nggak pernah seperti ini. Pasca lulus, dia mendadak sering SMS saya (juga pada teman-teman KKN lain) untuk meminjam uang. Gilanya, nominal uang yang ingin dipinjam selalu dalam jumlah yang cukup besar, bahkan uang gaji saya bisa habis seketika andai saya meminjamkan padanya. Aneh dan lucu. Kenapa dia meminjam uang terlalu jauh? Saya juga sudah pulang ke Parepare sementara dia di Malang. Tapi, saya juga tidak pernah meladeninya jika SMS-nya berbuntut meminjam uang (lagi). Baru-baru ini, dia SMS menanyakan kabar, saya kerja di mana, lagi ngapain dan hal basa-basi lainnya. Saya membalasnya.Bahkan, dia juga sering memuji saya “orang kaya”, “hidupnya enak”. punya kerjaan bagus dan sebagainya.  Tapi, saya tak menggubris pujiannya yang terkesan ‘dadakan’ itu. Alhamdulillah, dia sudah dapat kerja. Tapi, dia malah kumat lagi. Saya pikir, dia punya pekerjaan dan punya gaji sendiri yang sekiranya sangat cukup. Anehnya, dia mau pinjam uang lagi untuk suatu urusan yang besar (ya… selalu seperti itu). Tentu, saya mengabaikannya.

Dari ketiga pengalaman di atas, saya merasa orang dalam cerita ketiga di atas yang lebih aneh. Kebiasaannya meminjam uang pada orang lain sangat unik. Sebelum berani melontarkan kalimat pinjaman, dia akan berusaha menyelidik ‘hidup’ orang yang menjadi targetnya. Dia juga sering meminjam duit untuk hal-hal besar, seperti untuk melunasi kredit motor, biaya rumah sakit dan sejenisnya, tentu nominalnya bukan ribuan atau ratusan ribu tapi jutaan. Dan lebih anehnya lagi, dia meminjam pada orang yang tidak satu tempat tinggal dengannya. Pernah juga, saya menolak dengan alasan belum dapat pekerjaan dan gaji memadai (waktu itu masih jadi motivator di Guidance Club), tapi bukannya dia tidak enak atau minta maaf, dia malah memaksa agar saya meminta pinjaman pada orangtua saya. Sebelumnya, dia juga pernah bertanya, orangtua saya kerja apa dan di mana. Mungkin, karena itu, dia tahu kalau saya bisa meminjamkannya uang dalam jumlah segitu besarnya.

Hufft! Bukannya saya pelit. Tidak! Tidak sama sekali. Saya malah senang berbagi. Tapi, kalau untuk soal meminjam uang, apalagi bukan saudara/kerabat dekat, saya tentu akan berpikir milyaran kali sebelum bertindak. Ditambah lagi, menghadapi orang-orang seperti mereka yang punya kebiasaan buruk, meminjam uang berkali-kali pada orang/target yang sama. Batin saya, ‘Memangnya saya ini Bank pencetak uang apa, bisa diminta sesuka hati?’ Ckcckck… ada-ada saja mereka.

Masih untung kalau orang tersebut mau mengembalikan uangnya sesuai janji. Kalau tidak, bagaimana urusannya tuh? Biasanya sih…. banyak orang yang cenderung suka marah kalau ditagih soal hutang. Ya, hutang itu adalah persoalan sensitif. Makanya, sebelum berhutang pada orang (apalagi yang tak dikenal), kudu dipikir-pikir dulu, mampu gak pegang janjinya untuk membayar tepat waktu?

Hmmm… kalau saya pribadi (pribadi banget ya), walaupun kantong saya tidak tebal, tapi kalau terasa cukup, untuk apa meminjam pada orang lain, apalagi berkali-kali? Bukannya mendapat simpati, lama-lama orang yang kita pinjami akan ilfeel melihat kebiasaan buruk kita menumpuk hutang.

Kalau memang terpaksa harus meminjam uang pada orang lain, yaa… kira-kira juga dong siapa yang mau dipinjami. Paling tidak, pinjamlah pada orang yang paling dekat (keluarga/saudara) dulu. Tidak mungkin kan, ada keluarga yang pelit sama saudaranya sendiri (dengan catatan, pinjaman yang diajukan itu memang jujur dan untuk keperluan yang ‘benar’ serta tidak merugikan orang lain). Nah, nanti urusan melunasinya kan jadi lebih gampang karena sesama saudara, itu juga harus benar-benar komitmen kalau memang mau dan sanggup membayarnya, bukan mengumbar janji palsu.

Hmmm… punya kebiasaan meminjam uang pada orang lain dengan sikap yang buruk? Nggak menutup kemungkinan, kalau dipiara terus-menerus, nanti akan menjadi ‘gangguan’. Iya, gangguan psikis, bisa dimasukkan klasifikasi Obsessive Compulsive Disorder loh!

Nah, untuk menekan kebiasaan buruk itu, memupuk sifat qana’ah adalah salah satu jawabannya. Qana’ah berarti merasa cukup dengan apa yang kita miliki, terutama untuk urusan dunia. Mmm… ada hubungannya juga dengan sifat zuhud.

Saya tidak ingin banyak cas cis cus lagi. Semoga teman-teman saya yang dua di atas bisa segera ‘sembuh’ dari kebiasaan buruknya. Apapun masalahnya, belajarlah dulu untuk mengusahakannya sendiri, jangan sedikit-sedikit minta bantuan orang lain. Dan, sikap hemat juga penting itu, apalagi soal uang. Jadi, sewaktu-waktu dibutuhin kan enak, punya persediaan/simpanan yang cukup sehingga tidak merepotkan orang lain.

No comments:

Post a Comment

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.