Thursday, May 7, 2015

GADGET: MENDEKATKAN YANG JAUH, MEMBODOHI YANG DEKAT

Judul aslinya, mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Tapi, biar lebih ekstrim jadi saya ganti menjadi membodohi yang dekat.

Coba deh nonton video ini....

Gimana perasaan kalian? Apa yang kalian pikir?

Yap, zaman semakin bergerak maju, semakin canggih alat-alat komunikasi dan teknologi. Tapi, justru manusia semakin terbelakang karena dikuasai oleh gadget. 


Pertama kali punya handphone dulu pas SMP. Itu juga beli dengan uang sendiri, sisa dari beasiswa. Tapi, nggak tiap menit pegangnya karena namanya juga hape jadul, masih monokrom, cuman bisa buat SMS, telepon pun nyaris nggak pernah kalau bukan sama keluarga. Main games ular-ularan sih iya, itu juga jarang banget. Bergeser pas kuliah S1, saya mulai mengenal Friendster. Kenalnya karena dikasih tau teman, akhirnya ikut-ikutan sign up. Merembet hingga masa-masa selanjutnya, punya hape yang makin canggih. Pernah dulu saya kecanduan chatting. Bisa dibilang parah banget. Bukan hampir lagi, tapi tiap hari pasti beli pulsa, minimal 10.000. Jadi, hitung aja tuh sebulan habis berapa pulsa? Pulsa itu cuman habis dipakai buat chatting, mulai dari pagi sampai pagi lagi, ON, meskipun dalam keadaan tidur. Melek-melek ngechat lagi. Pernah juga saking candunya, sampai-sampai saya membawa hape ke kamar mandi, cuman biar nggak telat balas chat dari teman.

Saat itu, menjelang 2010, saya terkena cacar air. Nggak kuliah selama beberapa pekan. Istirahat total. Itu juga karena ketularan adek sepupu yang kena cacar air duluan. Sejak itulah, saya akhirnya lepas dari candu chatting. Entah bagaimana caranya, tapi bersyukur karena berkat sakit itulah saya semacam reinkarnasi menjadi normal lagi, nggak kecanduan lagi.

Sedih memang ketika melihat video itu. Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, saya akui pernah menjadi orang ter-idiot yang pernah dibodohi oleh gadget. Demi apa coba? 

Saya memang punya banyak akun. Hampir semua beragam akun sosmed saya punya. Tapi, alhamdulillah tidak kecanduan seperti dulu. Beruntung kuliah S2 ini, saking padatnya, saya sampai sering diomeli, dikirimin PING! sama teman-teman cuman gegara saya nggak buka handphone kalau pas lagi ada di kampus mulai pagi sampai sore.

Punya banyak teman di dunia maya? Apakah itu patut dibanggakan? Menurut saya tidak. Justru saya berani menjudge bahwa orang yang paling banyak teman sosmednya ditambah penggila gadget adalah orang yang teramat kesepian dalam hidupnya. Mengenai ini, saya beberapa kali mendapat email atau komentar di blog tentang tulisan saya yang berjudul anti sosial atau apalah itu saya lupa. Semua yang curhat adalah penggila gadget. Parahnya, mereka sangat susah beranjak dari monitor cuman demi akrab-akraban dengan teman/kenalan mereka. Padahal di dunia nyata, mereka nggak pernah keluar rumah. Bahkan ada yang sampai takut keluar rumah dan bertemu orang banyak tapi punya banyak sekali teman sosmed. Mereka mengaku... kesepian. Sakit rasanya, ungkap mereka. Ada juga loh yang sampai depresi dan nyaris bunuh diri karena udah fobia sosial.

Okelah, kita punya banyak teman sosmed tapi masih mending kalau mereka memang orang-orang yang bisa kita jumpai setiap hari atau minimal sekali setahun lah. Tapi, bukankah miris jika berteman di sosmed tapi pada akhirnya misalnya nggak sengaja ketemu di dunia nyata, tahu-tahunya merasa nggak kenal karena mereka nggak pernah pasang foto asli atau lebih parahnya mereka hanyalah akun palsu.

Saya sendiri, memang anak rumahan. Saya memang jarang keluar rumah kalau nggak ada keperluan mendesak. Saya hanya keluar saat kuliah, diajak kumpul atau reuni dengan teman atau kerja kelompok dan diajak keluarga bepergian. Selebihnya, kalau keluar nongkrong duduk diem di pelataran, ngapain? Nggak penting. Meskipun demikian, saya pun akhirnya menyadari. Meskipun anak rumahan dan sudah difasilitasi oleh berbagai gadget canggih, saya tetap berusaha menyisihkan waktu untuk keluar dengan teman, sahabat dan keluarga. Memang, saya ini nggak betah berlama-lama di tempat yang sangat ramai dan sesak akan lalu-lalang orang. Tapi, kalau di tempat itu, saya sedang berjalan bersama teman-teman atau keluarga, setidaknya hati saya lebih tenteram daripada sendirian.

Tahu nggak sih? Jauh lebih indah jika kita mau menyempatkan diri mematikan seluruh gadget ketika orang-orang terdekat membutuhkan kita. Saya sendiri kalau pas lagi pergi liburan ke Madiun (kampung Mama) atau ke tempat mana gitu, dua hape memang saya bawa, kadang juga bawa laptop kalau pas mau sekalian ngerjain laporan. Tapi sesampai di sana, karena sinyalnya rada susah... alhasil saya memang sengaja menggeletakkan hape di rak atau di tas. Pagi hari bangun tidur, langsung cuap-cuap sama keluarga atau sepupu. Rasanya tenteram banget kalau pas lupa sama gadget gitu. Jadi, kalau liburan, saya memang akan sangat susah dihubungi. 

Dan, tahu nggak sih? Jauh lebih indah ketika kita berhasil ngobrol face to face, dapat kenalan baru di jalan/di mana saja daripada jatuh cinta pada seseorang di dunia maya, dipisahkan oleh ruang dan waktu. Itu lebih sakit dan rasanya flat... datar.... Iya, orang yang kita sukai/kagumi misalkan, cuman bisa dilihat lewat monitor meen... Belum tentu juga orang itu beneran asli ada. Kalau itu hanya akun ilusi, kita tertipu, benar-benar... jadi orang idiot dah. Coba aja kamu dilamar sama orang yang kamu sukai tapi lewat gadget, haduuuh... feel-nya mana? Nggak ada ekspresi nyata. Cuman emoticon, itupun kalau benar-benar tulus (nggak bohongan). 

Ah, coba deh sesekali, kita mematikan gadget. Kalaupun harus ON, semisal ngerjain tugas pakai laptop, baiknya jangan ngunci diri di kamar atau ruang tertutup. Kalau masih bisa konsentrasi, coba sesekali nyalakan laptop, ngerjain tugas di ruang keluarga/ruang makan. Jadi, kalau diajak ngobrol sama keluarga, bisa sesekali noleh, jawab pertanyaan mereka. Ya, kalau emang bisanya konsen di ruang tertutup dan damai tanpa bising, batasi aja jamnya. Jadi, jangan dari pagi sampai pagi lagi cuman natap monitor. Tiap beberapa jam gitu, keluar kamar dulu, nonton kek, ibadah kek atau makan di dining room sama keluarga.

Memang, gadget itu praktis, memudahkan kita, mendekatkan yang jauh. Tapi, kalau ada yang dekat, nggak usah ngobrol pake line, wa, path, IG, FB atau SMS segala kali padahal cuman dipisahin sekat ruang atau cuman dipisahin satu kursi kosong doang. Itu berlebihan banget namanya hahaha.

Heeumm, idealnya memang, kita yang harusnya pandai mengatur gadget, bukan sebaliknya kita yang diatur oleh gadget sendiri. Sebelum terlambat seperti kisah para pengirim email yang udah punya kecenderungan gangguan anti sosial, makanya coba deh dikurangi. Kalaupun memang karena tuntutan pekerjaan harus bawa gadget ke mana-mana, coba sesekali ketemu klien face to face.

Eh iya, ngomong soal klien yaa.... saya sering banget dapat klien via email. Rasanya itu.... hambar banget. Nggak banyak yang bisa saya amati dari klien. Mau berempati atau benar-benar memahami pribadi klien dan masalahnya juga harus kerja dua kali karena dibatasi jarak dan waktu. Jadi, kalau nanti saya udah resmi jadi psikolog dan berpraktek, saya maunya ketemu klien face to face. Kalau kliennya jauh, mungkin yaa gimana lagi cuman bisa via email. Tapi, kalau harus mengikuti terapi gitu yaa wajib ketemu langsung.

Coba kita flashback ke masa lalu
Saat masih kanak-kanak
Pada seneng-senengnya main petak umpet, lari-larian, manjat pohon, main ini itu sampai lutut lecet dan berdarah
Main perang-perangan pakai tembakan air, peluru plastik
Saat di belakang kita, ada teman yang bantu ngayunin ayunan yang kita naikin
Main jungkat-jungkit rame-rame sampai heboh terjadi perebutan daerah kekuasaan
Itu jauuuh lebih indah
Jauh lebih asyik
Daripada menjadi generasi milennium
yang jago maen DOTA
yang jago maen game Assasin
Cuman berhadapan sama user, sama komputer...

Semua tergantung kita
Mau pilih yang mana
Kalau saya pribadi sih, lebih happy ketika masa kanak-kanak dan sekolah
Belajar tetep jalan, tapi saat maen, ya maen sama anak-anak tetangga sampai lecet sampai diomelin sama ortu
Jadi cewek tomboy yang hobinya panjatin pohon, makan belimbing rame-rame sama temen-temen
Sekalipun akhirnya kena bully terus
Aaah, itu semua jadi terkesan manis dibanding pahitnya kalau ingat di masa kini
Lebih baik gitu
Daripada jadi generasi cyber, berteman banyak tapi sebenarnya temannya cuman satu
Kabel listrik
Pas kena cyber bully
Akhirannya milih mati bunuh diri
Karena nggak ada tempat berbagi
Sepi
Sendiri
Terisolasi oleh dunia fantasi
Asssh.... sungguh menyebalkan memang >,<

3 comments:

  1. Gadget itu kek pisau belati. Dampaknya tergantung siapa yang pegang, bisa plus bisa juga minus.

    Btw, aku mau ngasih tau juga kalo di blog aku lagi ada Giveaway :) http://gebrokenruit.blogspot.com/2015/05/giveaway-kedua-mfrosiy.html Ditunggu partisipasinya ya :) Tuliskan aspirasimu dan tebarkan inspirasi terhadap sesama. Selamat berkreasi.

    ReplyDelete
  2. haduh zaman sekarang manusia dikuasi oleh gadget *geleng-geleng kepala*
    dan teknologi semakin canggih saja

    ReplyDelete
  3. iyaa sekarang hangout sama temanteman biasanya sama gadget masing2 . entah ada yg chat ada yg fotofoto ada yg denger musik ada yang gatau ngotakngatik gadget karna yang lain ngotak ngatik :D

    ReplyDelete

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.