Tuesday, June 13, 2017

KEEP YOUR REAL INNER CIRCLE SMALL

Saya terinsipirasi menulis tentang tema ini karena pernah mengalami hal-hal kurang menyenangkan dalam hubungan pertemanan. I don't mean to hurt people's heart dengan saya menuliskan ini, tapi saya belajar untuk jujur pada diri sendiri. So, now, it is time to change my circle. Perubahan yang saya maksud bukan dalam artian saya membenci sebagian lalu menyukai sebagian lainnya. Perubahan tersebut terjadi sebagaimana adanya, berjalan secara alamiah seiring telah semakin banyaknya pengalaman yang saya lalui.

----------------------------


From aminoapps.com

Jika kalian pernah membaca Secangkir Kopi Bully, kalian sudah pasti tahu bahwa saya pernah menjadi korban bullying sejak TK hingga SMA. Belum lagi saat kuliah pun, saya pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan mengenai pertemanan. Meskipun semua sudah diakhiri secara baik-baik, tapi bukan berarti luka "sobek" yang sempat tergores lantas sembuh dengan sendirinya. Saya memaafkan tapi saya tetap ingat dan I'm very sorry if I have to say goodbye to some people who ever attack behind my back. Goodbye yang saya maksud bukan berarti saya benar-benar tidak mau menegur, hanya saja orang-orang yang saya beri goodbye adalah mereka yang sudah tidak lagi saya jadikan tempat curhat. Hemat saya, untuk apa membuang waktu dengan orang-orang yang hanya mendambakan kelebihan serta kesempurnaan dari orang lain sementara mereka tidak bisa menerima kekurangan pun ketika terjadi sebuah masalah, hanya bisa menyalahkan orang lain, tidak bisa berkaca pada diri sendiri juga dan tak punya inisiatif untuk menyelesaikan dengan baik malah mendendam atau hanya diam membisu. Jadi, beruntunglah orang-orang yang masih saya percayai sebagai partner curhat dan berbagi, sekalipun mungkin ada di antara teman-teman saya yang "nakal" namun karena saya percaya mereka tidak akan menusuk saya dari belakang, mereka tetap aman berada di dalam lingkaran saya.

Siapa sih yang tidak "terluka" ketika dibully di "belakang" apalagi itu disebarkan di media sosial. Orang-orang yang tadinya tidak tahu sama sekali dan tidak kenal sama sekali, namun dengan adanya omongan menyakitkan itu akhirnya orang-orang asing pun jadi semakin mengkompori hal yang seharusnya tidak penting untuk dibahas. Dengan begitu, otomatis, tingkat toleransi saya terhadap mereka yang hanya berani dari belakang semakin dan semakin rendah.

Belum lama ini saya juga mulai mengurangi akun sosmed saya, pelan tapi pasti. Ya, hal ini sempat mengundang tanda tanya besar dan kesalahpahaman di antara orang-orang kesayangan saya. Pernah saya memutuskan untuk pelan-pelan menghilang dari akun Path. Saat itu, Path saya memang benar-benar sedang trouble, kemudian beberapa waktu berikutnya, saya log out dan lupa password. Si abang (saya sebut si abang aja ya biar lebih greget penasarannya hehe, dan saya yakin, pasti dia pernah stalk blog ini) kemudian saya minta untuk mem-follow akun baru saya tapi agaknya enggan. Ya, saya yakin kalau si abang pun jadi salah paham dan dipikirnya saya meng-unfollow dia saja, padahal Path saya memang trouble tapi si abang tidak suka jika saya menjelaskan. Well, saya pun putuskan untuk meng-uninstall Path dari android. Bukan karena si abang, tapi karena di Path itu juga pernah saya mendapati status dari seseorang yang amat sangat menyakiti, menyakiti saya dan menyakiti si abang. Saya yakin si abang masih punya akun Path sampai sekarang, ya mungkin saja, tapi tak masalah. Saya hanya menjauh dari teman-teman yang sudah menularkan hawa negatif untuk saya dan karena saya bukanlah orang yang "betah" berlama-lama membaca postingan buruk dari mereka.

Baru-baru inipun saya akhirnya menghapus akun Facebook saya secara permanen. Why? Si abang sempat bertanya, apakah ada hal-hal aneh lagi? Jujur, sudah tidak ada lagi sih. Hanya saja saya gerah. Sangat gerah dengan Facebook yang isinya sudah semakin sumpek, crowded dan yeah, terlalu banyak orang yang meng-add saya, bukannya saya malah senang, saya malah bisa frustrasi. Kenapa begitu? Kalau orang yang tahu pribadi saya seperti apa, mereka sudah pasti understood. Saya sejak dulu adalah orang yang kurang suka dengan situasi crowded. Kalau disuruh milih, mending saya pergi ke suatu tempat yang tenang dimana tidak banyak orang di tempat itu dan tidak membuat sesak dengan banyaknya mulut yang cas cis cus sana-sini. Eman banget karena di Facebook, saya juga punya akun Fanbase pembaca buku. Hampir semua pembaca saya mengontak melalui Facebook. Bahkan saya juga sempat mendapati ada puluhan, entah berapa puluh message di Facebook dari pembaca yang tidak pernah saya read dan baru saya baca menjelang penghapusan Facebook tersebut. Ya, tidak masalah, toh mereka juga sudah tahu email saya dan mereka masih bisa menghubungi saya via email atau Hangout Google+ jadi bisa chit chat di situ.

Kalau ditanya, sekarang saya punya berapa akun sosmed. Yang benar-benar up to date hanya 2 yaitu Instagram dan of course Whatsapp, sedangkan Line dan Twitter masih ada cuma amat jarang saya buka. Tadinya, jujur saja saya katakan ini, awalnya Instagram hanya saya peruntukkan bagi teman-teman lama, except teman-teman S2. Kenapa? Karena saya sudah menghapus Facebook dan saya mau Instagram isinya tidak beda jauh dengan FB yang mayoritas dipenuhi oleh teman-teman lama, tentu saja teman-teman semasa sekolah ketika masih di Parepare. Di antara mereka pun, ada dua sahabat "kental" saya. Namun, karena satu dan lain hal, saya kembali membuka Instagram saya untuk umum. Saya memutuskan untuk sesekali berbagi informasi seputar psikologi bukan hanya di blog ini tapi juga di sosmed, dan sosmed paling pas untuk tempat sharing ilmu adalah Instagram karena masih bisa menampung tulisan yang panjang, hehe. Jadi, saya buka kembali untuk umum. Namun, memang, dulu saya sempat menghapus semua teman-teman S2 saya dari Instagram dan beberapa teman lainnya.

Selain itu, ada lagi satu hal yang agak mengganggu saya. Saya tidak mungkin menyatakannya secara langsung kepada orang-orang yang saya maksud. Ya, maafkan saya kalau saya seperti ini. Tidak ada maksud, hanya saja saya merasa terganggu. Saya hanya akan memberikan kontak Whatsapp saya untuk orang-orang yang memang pernah masuk dalam lingkaran relationship saya antara lain keluarga tentu saja, kemudian beberapa teman sekolah, teman kuliah strata satu, dosen dan pihak-pihak yang kedudukannya penting, beberapa teman strata dua dan para klien (yang pernah/ingin konseling). Jadi, bila ada teman yang tidak terlalu dekat dengan saya meski pernah kenalan atau pernah berhubungan karena suatu keperluan atau bahkan orang asing yang sama sekali tidak pernah mengenal apalagi bertegur sapa dengan saya, saya kurang suka bila mereka tahu nomor hape saya kemudian sok kenal sok dekat mengontak saya. Lebih lebih lagi jika mereka terus mengirimkan chat. Biasanya, saya akan diam dan men-silent notifikasi yang masuk dari orang-orang yang tidak akrab dengan saya. Kalaupun akhirnya saya memberikan kontak kepada teman atau orang yang dulunya atau sekarang tidak begitu akrab dengan saya atau hanya sekadar teman biasa, saya mohon untuk tidak men-chat dengan aksen seolah ingin bersikap akrab pada saya. Saya mulai tidak bisa sesupel dulu dan mulai tidak lagi seterbiasa itu. Kalaupun saya ikut merespon dengan tawa, ya itu saya lakukan sebagai usaha untuk menghargai lawan bicara. Meski saya tak kenal dan meski saya tampak kurang nyaman tapi saya masih berusaha untuk santun. 

Dan, saya bukanlah orang yang 24 jam standby di sosmed, aktif online terus. Jadi, saya juga kurang nyaman jika ada teman yang tidak begitu akrab menelepon saya via akun sosmed ataupun menelepon via telepon seperti biasa. Saya biasanya akan menolak secara halus. Please, karena saya sudah merasa memahami keperluan mereka jadi setidaknya mereka juga harus mengerti dengan batasan privasi saya. Hahaha, si abang saja sejak sibuk bekerja sangat jarang menelepon, tidak masalah sih, saya paham karena pekerjaannya pun cukup berat. Mungkin juga saya jadi ketularan dia yang kadang malas ditelepon. Bukan malas saat dia yang menelepon loh ya, tapi malas menerima telepon dari orang yang tidak dekat dengan saya. Pernah suatu ketika saya menelepon si abang secara impulsfif karena terjadi kesalahpahaman antara kami. Dia bilang bahwa dia malas dan kalau tidak terjadi apa-apa atau jika memang tidak terjadi suatu masalah yang benar-benar membutuhkan concern untuk dibahas berdua, dia cenderung tidak menelepon. Saya jadi terbiasa dengan ritmenya dan menerapkannya pula untuk orang lain. 

Ya, despite that, saya terus terang rindu dengan si abang. Semakin kecil lingkar relationship dengan orang-orang, saya pun jadi lebih intens menghubungi si abang. Dia menjadi satu-satunya inner circle yang lebih prefer saya hubungi duluan daripada lainnya. Kalau hilang tidak ada kabar, kadang jadi sebel sendiri, rindu-rindu sendiri, bingung sendiri. Rindu karena meskipun setiap hari komunikasi di Whatsapp, tapi kami pun jarang komunikasi via telepon. Akhirnya, saya manut saja. Ya, pikir saya, kalau dia memang mau telepon, saya pasti akan menyambut dengan senang hati, tapi kalau lagi malas telepon karena baginya tidak ada yang urgent banget ya tidak masalah bagi saya. Komunikasi via apapun itu, saya terima. Satu aja sih yang berusaha saya jaga, untuk commit memberi kabar. Kadang, kalau saya benar-benar sibuk, saya jadi amnesia sendiri. Saya masih seperti itu dan masih berusaha untuk beradaptasi. Kalau saya pribadi benar-benar sibuk harus wira-wiri ke mana-mana, mengurusi banyak hal, biasanya saya cenderung menelantarkan hape dalam waktu yang bisa sebentar, bisa juga lama. Seperti halnya dua hari sebelum wisuda, ada banyak kendala saat mengurus administrasi dan perlengkapan di kampus. Sampai akhirnya, saya lupa mengabarinya dan dia pun menghubungi saya sambil kesel gitu. Saya memang sibuk dan hape sempat saya non aktifkan lama. Malam ramah tamah baru saya aktifkan. Dia agak kesal dan terjadilah kesalahpahaman lagi. Sungguh tidak ada maksud untuk tidak mengabari. Hanya saja, saya sering autis sendiri. Maaf ya mijn, aku nggak maksud untuk menghilang kok, aku masih belajar untuk nggak tiba-tiba autis saat sibuk. Kami sebenarnya punya kemiripan sih saat sibuk. Dia, kalau sibuk biasanya akan lebih banyak diam dan ketika di-chat misalnya, hanya di-read dan baru akan dibalas beberapa waktu kemudian. Saya pun sering seperti itu, bahkan lebih parah lagi mungkin dengan menelantarkan hape. Lah kok jadi curcol... :D .... back to the topic...


Yap, meksipun lingkar pertemanan menjadi semakin kecil dan sempit seiring bertambahnya usia, namun saya yakin kualitas pertemanan akan lebih meningkat. Punya banyak link dan teman itu bagus sih, tapi bukan berarti tidak menjadi selektif. Kalau dibilang pemilih, akhirnya, saya berkata yes. Saya memilih hanya orang-orang yang satu frekuensi dengan saya dan bisa memahami satu sama lain. Bukan orang yang bagus dan nyata di depan namun fake di belakang. Yah, say goodbye deh buat orang-orang yang berteman karena punya maksud yang tidak baik atau yang hanya ingin memanfaatkanmu, persis seperti lagu di bawah ini...

Satu lirik lagu unik lagi yang berjudul Panjat Sosial, begini bunyinya...

Hati-hati jaman sekarang
Banyak orang berteman punya maksud tujuan
Mengumbar kedekatan dapetin keuntungan
Abis manis lo dibuang

-----------
Kalaupun ada teman yang awalnya akrab karena suatu keperluan/urusan dan pernah saya jadikan tempat curhat, namun jika mereka tidak open-minded dan tidak satu frekuensi dalam beberapa hal dengan saya, maka mereka tetap bukanlah termasuk dalam inner circle saya. Mereka teman tapi hanya sebatas itu. Teman cerita maybe, tapi tidak untuk menceritakan hal-hal yang sangat privasi.

Literally, saya pun come back ke teman-teman yang membuat saya benar-benar nyaman, yang mana dengan mereka saya tak perlu berubah menjadi orang lain, tetap jadi diri sendiri. Tidak perlu berpura-pura ketika bersama mereka. Mereka yang mau bareng dan tetap ingat kala susah maupun senang dan pastinya mereka tidak berganti rupa di belakang. Jadi, saat ada masalah, bisa terang-terangan, jujur-jujuran walau menyakitkan, habis itu balik lagi deh, tidak bisa pisah, marahnya hilang, keselnya hilang, itu karena mereka sudah melebur dengan saya, saya pun begitu sudah melebur dengan jiwa mereka, kami sudah satu frekuensi, satu radar.

Soal ini, saya jadi tersentuh mendengar sebuah lagu via Radio ketika menuliskan ini. Saya kurang tahu judulnya apa dan siapa penyanyinya. Liriknya begini...

Ku ini penyendiri
Yang tak butuh keramaian
Yang kubutuh satu teman
Tempat berbagi cerita
....

Cuman butuh the special one, tempat berbagi semuanya, termasuk berbagi kehidupan hehehe and this is you,  my superman.

No comments:

Post a Comment

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.