tag:blogger.com,1999:blog-63842345034209144402024-02-19T12:19:26.974+07:00Paresma-Psychology Blogger CATATAN KRIUK PSIKOLOGparesma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.comBlogger608125tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-78933716705957936342021-10-16T08:15:00.001+07:002021-10-16T08:15:28.882+07:00PULIH DARI TRAUMA, SULITKAH?<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu0jLziykX_t4vVAbqRRpDjs1NZJ6XfX72Cn8F58qO-5NIstYdXTkMPFyDgDiIoWhJRFICD8_8XRSBDQ1SVwvLhngb6BKGGmJecOcqStYYbBYM7ngeZy9mNc_enE-3SyEOsbDFkV6iwXY/s398/50.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu0jLziykX_t4vVAbqRRpDjs1NZJ6XfX72Cn8F58qO-5NIstYdXTkMPFyDgDiIoWhJRFICD8_8XRSBDQ1SVwvLhngb6BKGGmJecOcqStYYbBYM7ngeZy9mNc_enE-3SyEOsbDFkV6iwXY/s320/50.png" width="320" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">pic by bitmoji</div><p align="center" class="MsoNormal" style="font-family: Arial, sans-serif; line-height: 150%; text-align: center;"><br /></p><p></p><p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Oleh</span></p><p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Yanuarty Paresma Wahyuningsih, S.Psi.,
M.Psi., Psikolog<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Malang, 16 Oktober 2021</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Kalau kita pernah
mengalami peristiwa yang tidak hanya mengganggu dan menegangkan tapi juga
menyebabkan kita merasa tidak berdaya, sulit meregulasi emosi, merasa tidak aman
terus-menerus dan menghambat berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari, bisa
jadi kita sedang mengalami trauma. Trauma psikologis bisa membuat kita <i>struggling </i>dengan kondisi emosi, ingatan
terhadap peristiwa traumatis tersebut dan rasa cemas yang tidak tahu kapan akan
mereda. Kondisi trauma juga bisa membuat seseorang merasa putus asa, sulit
mempercayai orang lain dan tidak berdaya menjalani kehidupannya. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Trauma merupakan respons
emosional terhadap peristiwa mengerikan dan terdapat <i>after effect</i> baik berupa keterkejutan maupun penolakan serta
melibatkan reaksi jangka panjang antara lain munculnya pengalaman perasaan yang
tidak terduga, kilas balik, gejala fisik dan hambatan dalam menjalin hubungan
sosial (APA, 2013). Peristiwa yang
seperti apa sih yang bisa membuat kita trauma? Pengalaman atau peristiwa
traumatis tidak selalu melibatkan cedera fisik atau melibatkan luka fisik tapi
juga luka emosional. Peristiwa traumatis juga tidak ditentukan oleh fakta
objektif melainkan peristiwa tersebut dikatakan traumatis berdasarkan bagaimana
pengalaman emosional subjektif kita memaknai peristiwa tersebut. Secara umum,
peristiwa traumatis bisa berupa kecelakaan, luka atau cedera, bencana alam, dan
kekerasan. Selain itu, kondisi stres yang berlangsung terus-menerus tiada henti
seperti berjuang melawan penyakit yang mengancam keselamatan jiwa dan bertempat
tinggal di lingkungan yang erat dengan tindakan kejahatan yang tinggi juga bisa
menyebabkan trauma pada seseorang (Ronad, Patali, & Patali, 2018).<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ketika kita mengalami
peristiwa buruk pun, kita tentu butuh beberapa waktu untuk mengatasi rasa sakit
atau luka agar bisa merasa aman kembali. Lalu, apa saja langkah yang bisa
dilakukan agar mampu <i>recovery </i>dari
trauma? <i>Disclaimer</i> sebelumnya, bahwa
kemampuan masing-masing individu dalam proses pemulihan tentu berbeda. Oleh
karena itu, setiap orang bisa mencoba mencari cara yang membuat mereka aman dan
nyaman selama proses pemulihan. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ronad, Patali, &
Patali (2018) merangkum beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk beradaptasi
dengan <i>after-effect </i>dari trauma agar
di kemudian hari kita memiliki bekal ketika menghadapi peristiwa atau
pengalaman serupa.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 35.45pt; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Arial;">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Bergerak/Lakukan
Aktivitas Fisik<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Cedera psikologis pasca
trauma pun juga bisa mengganggu kesehatan tubuh. Pikiran dan perasaan yang
mengganggu bisa semakin memperkuat ketakutan seseorang. Oleh karena itu, salah
satu langkah pemulihan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan aktivitas
fisik. Aktivitas fisik seperti olahraga ternyata berperan dalam membantu
memperbaiki sistem sensorik. Para ahli menyarankan bahwa latihan fisik selama kurang
lebih 10-30 menit setiap hari baik untuk kesehatan fisik maupun mental. Latihan
fisik tidak hanya berupa latihan angkat beban tapi juga berjalan, berlari,
bermain bola, menari, berenang atau lainnya. Kenapa perlu olah fisik? Melakukan
latihan fisik ini bukan semata-mata untuk mengalihkan perhatian kita terhadap
pikiran dan perasaan mengganggu ya. Melakukan latihan fisik maksudnya adalah
memberikan waktu bagi diri sendiri untuk benar-benar <i>being mindful</i>, memusatkan perhatian pada tubuh dan memperhatikan
sensasi yang muncul saat bergerak. Latihan fisik ini berguna untuk menghindari
kerusakan atau gangguan berlebih pada tubuh pasca trauma. Namun, jika mengalami
cedera fisik yang parah, maka latihan fisik berat tidak dianjurkan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 35.45pt; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Arial;">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Terhubung
dengan Lingkungan Sekitar<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Seseorang cenderung merasa
perlu menarik diri dari orang lain. Sayangnya, mengasingkan diri justru bisa
memperburuk kondisi diri. Bergaul dan <i>reconnect</i>
dengan orang sekitar bisa membantu individu selama proses pemulihan. Kita tidak
perlu terlalu banyak menginvestasikan energi untuk menyendiri. Namun, seseorang
yang pernah mengalami trauma cenderung merasa takut atau belum siap untuk
membuka dan menceritakan permasalahannya. Saat menjalin kembali hubungan dengan
lingkungan sekitar, bukan berarti wajib membahas permasalahan atau luka-luka
emosional tersebut. Kondisi setiap orang tentu berbeda dan ada beberapa orang
yang tidak siap bercerita atau jika bercerita justru memperburuk kondisinya. Kalaupun
ingin bercerita, ceritalah dengan orang yang dapat dipercaya yang bisa
mendengarkan kita tanpa menghakimi. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Inti dari menjalin kembali
relasi sosial selama proses pemulihan adalah melakukan aktivitas yang tidak ada
hubungannya dengan pengalaman menyakitkan yang kita alami. Jika kita menghindar
dari keterhubungan dengan teman-teman lama, tidak ada salahnya untuk menyambung
kembali silaturahmi terebut. Selain itu, ikut terlibat dalam kegiatan sosial
seperti menjadi seorang volunteer juga bisa menjadi sebuah metode yang berguna
untuk menantang rasa ketidakberdayaan kita. Dengan membantu orang lain atau
berada dalam suatu <i>support group </i>dengan
orang-orang yang mengalami masalah serupa atau masalah lain bisa membantu mengurangi
rasa kesepian dan isolasi. Menjalin pertemanan dengan orang baru, bergabung
dalam komunitas dan mengembangkan kompetensi atau <i>skill </i>baru melalui <i>workshop </i>juga
langkah yang baik.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 35.45pt; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Arial;">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Lakukan
Relaksasi dan Mindfulness Exercise dan Jagalah Kesejahteraan Diri<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Salah satu <i>fast method</i> yang bisa dilakukan ketika
perasaan mengganggu muncul adalah dengan melakukan relaksasi dan <i>grounding</i>. Relaksasi yang bisa dilakukan
seperti relaksasi pernapasan dan relaksasi otot. Rasakan sensasi pernapasan dan
<i>staying grounded</i> dengan hal-hal yang
ada di sekitar. Contohnya seperti duduk di sebuah kursi kemudian rasakan
sensasi kaki menapak pada lantai, rasakan sensasi punggung ketika bersandari
pada badan kursi, rasakan pula sensasi bau atau aroma yang menguar di sekitar
kita, sensasi penglihatan dengan memandang beragam hal, benda atau situasi yang
tertangkap oleh mata dan rasakan sensasi saat mendengar beragam suara di
sekitar.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Selain itu, melindungi
kesejahteraan diri juga langkah yang penting. Salah satu langkahnya adalah
dengan mengkonsumsi makanan yang sehat, tidur yang cukup. Bila memerlukan
perawatan pendukung lainnya maka tidak ada salahnya mengupayakan diri
mendatangi ahli profesional sesuai dengan keluhan lanjutan yang dialami.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Sekali lagi, proses
pemulihan setiap orang pasca mengalami peristiwa traumatis tentu berbeda ya.
Mudah atau sulitnya proses pemulihan pasca trauma bergantung dari perspektif
atau cara pandang dan penilaian subjektif kita terhadap kondisi diri sendiri.
Jika kondisi kita tidak kunjung membaik, maka segera mencari bantuan
profesional adalah langkah yang tepat. Proses pemulihan tidak hanya dilakukan
sendiri, kadang kita juga butuh saran dan arahan dari orang lain. Namun, perlu
diingat bahwa penanganan apapun yang kita jalani bertujuan untuk mengembalikan
keberdayaan dan keberfungsian diri dalam aspek-aspek hidup kita. Oleh sebab
itu, setelah mendapatkan penanganan yang tepat, sudah menjadi tugas kita untuk
membiasakan diri melanjutkan langkah-langkah tersebut secara proaktif dan
mandiri.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Referensi:<o:p></o:p></span></b></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;"><span style="background: white; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.5pt; line-height: 150%;">American Psychiatric
Association. 2013. <i>Diagnostic and
Statistical of Mental Disorder. DSM V. Fifth Edition</i>. Washington DC:
American Psychiatric Association.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;"><span style="background: white; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.5pt; line-height: 150%;">Ronad, A. V., Patali, C. S.,
& Patali, S. C. (2018). Ways to overcome emotional and psychological trauma
in a day today life. <i>Current Trends in
Biomedical Engineering & Biosciences, 17 </i>(1), 001-005. DOI:10.19080/CTBEB.2018.17.555955.</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></p>paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-87699956944900708362021-09-05T13:34:00.000+07:002021-09-05T13:34:48.128+07:00Tipe Inner Critic Manakah Kita?<p style="text-align: center;">Oleh: </p><p style="text-align: center;"><span style="font-family: Arial, sans-serif; text-align: center;">Yanuarty Paresma Wahyuningsih, S.Psi.,
M.Psi., Psikolog</span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> </span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYhjOOf13MiebB9N5oimFHdS1l0WiKWO51a4pkkj0qSdnAazi_B0x_vIF57rNgNfT_7tSGOfQkxyXeIojgF-Lb5ZU96JHr525DAX23YQuvsRzm8nXOn7An8hrQVqLoWxudlPSg-P4XMKQ/s398/53.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYhjOOf13MiebB9N5oimFHdS1l0WiKWO51a4pkkj0qSdnAazi_B0x_vIF57rNgNfT_7tSGOfQkxyXeIojgF-Lb5ZU96JHr525DAX23YQuvsRzm8nXOn7An8hrQVqLoWxudlPSg-P4XMKQ/w200-h200/53.png" width="200" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">credit: image by bitmoji</div><br /><p></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Malang, <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Minggu, 5
September 2021<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Apakah kita sering mengkritik diri
habis-habisan seolah telah melakukan suatu kesalahan yang fatal? Tampaknya itu
adalah segelintir tanda bahwa <i>inner
critic</i> atau kritik batin sedang menyerang diri kita. <i>Inner critic</i> muncul dalam wujud yang variatif namun tanda yang
paling umum kita alami adalah kita kerap menghujani diri sendiri dengan pesan
atau kalimat negatif yang bisa menyebabkan kepercayaan diri maupun harga diri
kita jatuh. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Betapa kejam ketika kita mampu
menghalau bahkan mengabaikan kritikan tajam dari orang lain namun tidak bisa
mengendalikan kritikan yang bersumber dari dalam diri sendiri. Berkaitan dengan
ini, Hal Stone dan Sidra Stone (1994) mengemukakan bahwa <i>inner critic</i> atau kritik batin sebenarnya memiliki fungsi yaitu mencegah
diri dari rasa malu dan rasa sakit. Namun di dalam perkembangannya, rasa malu
dan sakit (<i>pain</i>) dipandang sebagai
sesuatu yang negatif dan tidak boleh terjadi padahal kenyataannya perasaan
tersebut adalah bagian dari suasana hati
atau akibat dari suatu peristiwa yang dialami oleh siapapun selama masih
dalam batas yang wajar (tidak berlebihan). <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Proses perkembangan dari kritik batin
ini dapat diamati sejak masa pertumbuhan di usia anak dan berkaitan dengan
pengasuhan orangtua. Dalam proses pertumbuhan anak, orangtua kerap menuntut dan
mengajar anak-anak mereka agar berperilaku dan berpenampilan baik menurut ekspektasi
orangtua ataupun standar sosial yang dianut oleh sebagian besar orang di
lingkungan mereka. Dengan demikian, para orangtua meyakini bahwa apabila
anak-anak selalu menunjukkan sikap dan penampilan yang baik dan sesuai
ekspektasi orangtua maka anak akan tumbuh menjadi seseorang yang berhasil di
dunia, di manapun itu baik di rumah, di tempat kerja maupun di lingkungan
sosialnya. Hal ini menyebabkan orangtua begitu gigih untuk mengawasi,
mencari-cari kesalahan dan memberi penilaian yang tidak tepat terhadap anak
kemudian bersikeras menuntut anak untuk memperbaiki kesalahannya (Stone &
Stone, 1994).<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Obsesi orangtua yang menginginkan
anaknya tumbuh menjadi orang hebat dan mampu memenuhi segala ekspektasi mereka,
hal ini justru dapat membuat anak menjadi tertekan. Orangtua merasa mendapatkan
kenyamanan apabila anak mereka tidak melakukan kesalahan namun hal ini tentu
saja melawan kecenderungan respon alami anak yang lama-kelamaan bisa terbawa
hingga di masa dewasa. Orangtua tidak senang saat anak mereka melakukan sesuatu
yang dianggap salah namun sikap orangtua yang demikian bisa membuat anak tumbuh
menjadi pribadi yang selalu merasa kurang. Kritik batin ini bisa tumbuh dengan
cara membuat sang anak mengembangkan perasaan ingin selalu merasa diterima dan
disukai orang lain. Ketika mereka berbuat salah atau tidak dapat memenuhi
ekspektasi diri sendiri maupun orang lain maka mereka dapat merasa bersalah,
gagal dan ditolak.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Earley dan Weiss (2013)
mengidentifikasi bahwa terdapat 7 (tujuh) jenis Kritik batin antara lain; [1] <i>The Perfectionist </i>; [2] <i>The Inner Controller </i>; [3] <i>The Taskmaster ; </i>[4] <i>The Underminer </i>; [5] <i>The Destroyer ; </i>[6] <i>The Guilt Tripper; </i>dan, [7] <i>The
Molder</i>. Mari kita bahas satu per satu ya.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">[1] <i>The Perfectionist. </i></span></b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Kritik
batin berbentuk <i>The Perfectionist</i> ini
mencoba membuat seseorang melakukan segala sesuatu dengan sempurna. Individu
dengan kritik batin jenis ini memiliki standar yang sangat tinggi baik dalam
hal performa, produktivitas maupun perilaku. Jika orang tersebut gagal memenuhi
standar yang telah ditetapkan, maka kritik diri si perfeksionis ini menyerang
dengan mengatakan bahwa perilaku atau apapun yang kita kerjakan tidak cukup
baik sehingga menyebabkan individu tersebut sulit untuk menyelesaikan tugas
atau pekerjaannya. Tidak jarang, tipe orang dengan kritik diri Perfeksionis
juga tampak merasa sulit memulai sesuatu, tidak tahu ingin memulai dari mana
dan takut jika hasilnya tidak sesuai ekspektasi yang bisa membuat mereka gagal.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">[2] <i>The Inner Controller. </i></span></b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Kritik
batin dengan jenis <i>The Inner Controller </i>atau
Pengendali Batin ini dicirikan pada individu yang kerap berusaha mengendalikan
perilakunya yang impulsif seperti mudah marah, makan secara berlebihan atau
lainnya. Kritik diri dalam bentuk pengendali batin ini muncul dengan cara
memperlakukan individu setelah melakukan sesuatu yang impulsive.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">[3] <i>The Taskmaster</i>. </span></b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Seseorang
dengan kritik batin jenis <i>Taskmaster </i>ini
tampak pada hasratnya untuk terus bekerja terlalu keras agar mencapai
keberhasilan. Alih-alih memberikan motivasi, kritik batin jenis ini justru
dapat menekan dan menghakimi bahwa individu tersebut adalah pribadi yang
pemalas, tidak kompeten dan bodoh. Akibatnya, orang dengan kritik batin jenis
ini juga kerap terlibat dalam pertengkaran dengan diri sendiri maupun orang
lain dan sering menunda-nunda sebagai cara untuk menghindari pekerjaan yang
membuatnya tidak nyaman.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">[4] <i>The Underminer. </i></span></b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Individu
yang memiliki kritik batin jenis <i>Underminer</i>
ini kerap merasa tidak percaya diri dan tidak berharga sehingga cenderung
enggan mengambil risiko atau melakukan suatu pekerjaan karena menganggap
pekerjaan tersebut hanya akan berakhir dengan kegagalan. Kritik batin seperti
ini menyerang dengan cara memberi tahu individu bahwa dia tidak berharga.
Akibatnya, orang tersebut cenderung sering takut mengambil keputusan termasuk
keputusan yang besar dan mencegah diri melakukan sesuatu agar terhindar dari
penolakan dan ancaman. Jika dibiarkan, hal ini bisa menyebabkan seseorang tidak
bisa mengembangkan diri dan potensinya secara maksimal.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">[5] <i>The Destroyer. </i></span></b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Kritik
batin jenis ini menyerang harga diri seseorang dari yang paling dasar.
Seseorang dengan kritik batin ini cenderung kerap merasa malu dan enggan
melakukan apapun. Selain itu, kritik batin ini bisa menghancurkan vitalitas,
kreativitas dan membunuh keinginan atau motivasi seseorang.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">[6] <i>The Guilt Tripper. </i></span></b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Kritik
batin ini menyerang seseorang disebabkan oleh tindakan tertentu yang dilakukan
atau tidak dilakukan pada masa lalu yang diduga membahayakan orang lain
terutama orang yang dicintai. Kritik batin ini membuat seseorang merasa
bersalah, tidak bernilai dan sulit memaafkan diri sendiri akibat perilaku
tertentu yang dianggap tidak dapat diterima.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">[7] <i>The Molder.</i></span></b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">
Seseorang cenderung berusaha menyesuaikan dirinya terhadap standar masyarakat
atau bertindak dengan cara tertentu berdasarkan budaya atau adat-istiadat.
Kritik batin ini menyerang seseorang ketika bertindak tidak sesuai dengan
standar yang berlaku dan memuji ketika melakukannya. Kritik batin ini menekan
seseorang untuk terus melakukan standar-standar tersebut setiap saat karena
jika mereka tidak mematuhi atau mengikutinya maka mereka akan mengkritik diri
habis-habisan bahwa mereka tidak akan diterima oleh lingkungan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Setelah membaca ketujuh tipe <i>inner critic</i> di atas, manakah yang <i>relate</i> dengan diri kita saat ini? Apapun
itu, yuk belajar perlahan untuk memulihkannya. Bagaimana cara meredakan dan
berdamai dengan <i>inner critic</i>
tersebut? Kita akan bahas pada postingan artikel berikutnya di hari lain ya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><br /></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Referensi:<o:p></o:p></span></b></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0cm; text-align: justify; text-indent: -1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Stone, H., & Stone,
S. (1993). <i>Embracing Your Inner Critic: Turning
Self-Criticism into a Creative Asset.</i> New York: Delos, Inc.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0cm; text-align: justify; text-indent: -1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Earley, J., & Weiss,
B. (2013). <i>Freedom from Your Inner
Critic: A Self-Therapy Approach. </i>Louisville, Colorado: Sounds True.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0cm; text-indent: -1.0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">https://www.voicedialogueinternational.com/articles/The_Inner_Critic.pdf<o:p></o:p></span></p>paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-29535392027761281462021-04-18T15:54:00.001+07:002021-04-18T15:54:24.175+07:00KEKURANGAN VITAMIN D MEMICU DEPRESI, BENARKAH?<p><b style="text-align: center;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-style: italic;"><o:p> </o:p></span></b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Welcome back dear</span></i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">,</span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sudah lama ya tidak
posting hal tentang psikologi. Postingan ini sebenarnya sudah saya <i>draft</i> kemarin,
sisa di-<i>publish</i> saja. Beberapa waktu lalu saya <i>scroll</i> ke
akun Flipboard dan menemukan topik menarik seputar depresi dan kaitannya dengan
nutrisi.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kalau kekurangan
vitamin tertentu bikin kita jadi lemas, kurang darah, kurang tenaga, itu sih
sudah <i>mainstream</i> kita dengar. Tapi, pernah tidak sih
kalian kepikiran bahwa saat kekurangan konsumsi vitamin-vitamin ini, maka kita
cenderung rentan terhadap gangguan psikologis.<br />
<br />
Bagi yang pernah tahu, <i>congrate</i> deh, itu artinya kalian memang
suka baca dan melek terhadap pengetahuan baru. Bagi yang belum pernah tahu,
sini deh merapat, kita bincang bareng. Berhubung juga di blog ini lebih
banyak <i>silent reader</i>-nya daripada yang aktif komentar (entah
mungkin malu, takut, sungkan atau lainnya), tidak apa-apa. Tapi <i>next</i> biar
lebih asyik, tinggalin komennya juga yah, agar kita bisa bertukar pikiran/opini
juga.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><a href="https://www.blogger.com/blog/post/edit/6384234503420914440/8870000922946806046"><b>Baca:
Gangguan Mood: Depresi</b></a><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Depresi. Bagi yang
selalu ngikutin tulisan di blog ini pasti sudah pernah baca postingan saya
tentang gangguan depresi. Depresi itu merupakan salah satu gangguan <i>mood</i> yang
bisa dialami oleh siapapun. Bukan hanya pada orang dewasa, depresi juga bisa
dialami oleh remaja.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><a href="https://www.blogger.com/blog/post/edit/6384234503420914440/8870000922946806046"><b>Baca:
Depresi Pada Remaja</b></a><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kita sudah sering
mendengar dan membaca bahwa depresi itu cenderung lebih banyak disebabkan oleh
faktor biologis dan psikososial. Namun, belum banyak dari kita yang familiar
dengan faktor biologis sebagai salah satu faktor penyebab depresi.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Apa saja sih faktor
biologis yang dapat memicu depresi? Depresi bisa juga disebabkan karena adanya
gangguan sistem regulasi dan/atau perubahan keseimbangan hormon di dalam tubuh.
Gangguan atau ketidakstabilan hormon ini, jika kita tarik dalam lingkup bahasa
lebih luas, banyak lagi penyebabnya. Salah satunya adalah akibat kekurangan
vitamin. Yap, kurangnya konsumsi vitamin tertentu bisa menyebabkan
ketidakseimbangan produksi hormon bahkan defisit hormon di dalam tubuh. Bahaya
juga ya ternyata. Namun perlu digarisbawahi ya bahwa kekurangan vitamin
bukanlah faktor tunggal, melainkan kita juga perlu mengetahui bahwa gangguan
psikologis itu pun disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Vitamin apa sih yang saat kekurangan itu bisa <i>lead
us to depression</i>? Salah satunya yang akan kita bahas adalah Vitamin D.
Kurangnya asupan vitamin D (ketidakcukupan vitamin D sebesar 20-30
nanogram/mililiter) bisa memicu timbulnya gangguan psikologis dan penyakit
fisik seperti kanker, osteoporosis, penyakit kardiovaskuler, diabetes,
depresi dan gangguan mental lainnya (<a href="https://www.blogger.com/blog/post/edit/6384234503420914440/8870000922946806046">Penckofer,
Kouba, Byrn, Ferrans, 2010</a>). <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Vitamin D ini merupakan
vitamin yang paling banyak dibutuhkan oleh tubuh daripada vitamin lainnya.
Vitamin D juga sangat berperan penting dalam meregulasi hormon-hormon lain.
Nah, kekurangan vitamin D ini nih bisa menyebabkan tubuh turut kekurangan
hormon-hormon penting seperti testosteron pada pria dan progesteron serta
estrogen pada wanita. Ketiga hormon ini merupakan bagian dari hormon yang
diperlukan untuk mengatur keseimbangan suasana hati. Jika kita kekurangan
progesteron, estrogen dan testosteron maka bisa memicu perubahan suasana hati
hingga ke arah gangguan mood. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Jadi nih, vitamin D itu
tidak hanya berfungsi untuk mengatur kalsium dan fosfor buat tulang supaya
tidak terjadi osteoporosis, melainkan juga punya fungsi sebagai pengikat
vitamin lain dan pengatur hormon supaya meminimalisir gangguan psikologis.
Menarik sih ya, ternyata fisik dan psikis itu saling berdampingan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Apa yang harus
dilakukan atau adakah makanan yang harus dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan
vitamin D? <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">☺ <b><i>Sun and
light exposure</i></b><i> </i>alias bertemulah dengan cahaya/matahari.
Paparan sinar matahari yang baik itu saat pagi hari sebelum jam 10. Saya jadi
teringat dengan ibu-ibu yang selalu bilang kenapa bayi itu harus dijemur, saya
pikir cuma ritual mitos saja, tapi ternyata ada manfaatnya juga. Bukan cuma
bayi atau baju jemuran yang butuh sinar matahari loh ya, remaja dan orang
dewasa pun memerlukan cahaya matahari. Keluar rumah dan berjemur sekitar 20-30
menit di bawah cahaya matahari pagi itu sangat baik supaya senyawa-senyawa
tertentu dalam tubuh bisa dikonversi menjadi vitamin D. Nah, beruntunglah ya
buat kalian yang tinggal di daerah tropis.<br />
<br />
Paparan sinar matahari ini ternyata membantu menstimulasi tubuh untuk
memproduksi vitamin D. Nah, daripada beli vitamin bentuk suplemen dengan harga
yang mahal, mending konsumsi yang gratis saja, hahaha... Kalau bisa sih, rumah
kita dicat dengan warna yang terang dan punya ventilasi yang memadai supaya
cahaya bisa tetep masuk ke dalam rumah ya.<br />
<br />
Buat kalian yang tinggal di area atau kawasan rumah yang gelap/minim cahaya
matahari seperti di daerah pegunungan dengan cuaca dingin atau ekstrim, kalau
mengacu pada penelitian psikologi sih, orang-orangnya cenderung lebih mudah
mengalami <i>Seasonal Affective Disorder.</i><br />
<br />
☺<b>Mengkonsumsi beberapa makanan sumber vitamin D</b>. Menurut <a href="https://www.blogger.com/blog/post/edit/6384234503420914440/8870000922946806046">Holick
(2007)</a>, sumber makanan yang baik untuk dikonsumsi guna mencukupi kebutuhan
vitamin D antara lain berasal dari sumber makanan alami yaitu ikan berlemak
seperti salmon, tuna, sarden, mackarel, minyak ikan kod, jamur shitake dan
jamur kancing, dan telur. Kemudian dari sumber makanan fortifikasi antara lain
jus jeruk, susu formula bayi, yoghurt, susu, mentega, margarin, keju dan
sereal.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Gimana <i>dear</i>,
mantap kan pengetahuan kali ini. Semoga bermanfaat yah.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Referensi</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">:<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Holick, M.F. (2007).
Vitamin D deficiency. <i>The New England Journal of Medicine, </i>357<i>,
266-281.</i><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penckofer, S., Kouba,
J., Byrn, M., & Ferrans, C.E. (2010). Vitamin D and depression: Where is
all the sunshine. <i>Issues Mental Health Nurs., 31 </i>(60, 385-393.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><o:p> </o:p></span></p>paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-17604139702294042892021-03-27T16:33:00.003+07:002021-03-27T16:39:19.508+07:00MAKAN PAKU DAN FENOMENA PICA<p style="text-align: left;"></p><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"></p><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br /></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Oleh
Yanuarty Paresma Wahyuningsih, S.Psi., M.Psi., Psikolog</span></b></p><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhghF33KYPC5KJ-K-rLIJG0cVde35ueDSMbx3_SY0WPer4SHOVv920kPvMG19U-CfmhhhuRawgFj4LEN12B-tdXely5Qs3kRZ6fxt2rrgSqFpAzkUh8nK3BZ89IAw-wLrfac5Mja4R3eoU/s398/bitmoji-20171026022335.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhghF33KYPC5KJ-K-rLIJG0cVde35ueDSMbx3_SY0WPer4SHOVv920kPvMG19U-CfmhhhuRawgFj4LEN12B-tdXely5Qs3kRZ6fxt2rrgSqFpAzkUh8nK3BZ89IAw-wLrfac5Mja4R3eoU/s320/bitmoji-20171026022335.png" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><p></p><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><b>Malang, 27 Maret 2021</b></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Beberapa tahun lalu
pernah tersiar kabar mengejutkan di beberapa platform media. Ada seorang Bapak
sebut saja namanya Anto (nama samaran), berprofesi sebagai kuli bangunan di
daerah Tasikmalaya yang disinyalir memakan benda tak lazim yakni paku sejak
lama. Parahnya, Pak Anto mengeluh perutnya sakit, membengkak, bernanah hingga
mengeluarkan paku.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Ngeri tidak tuh? Ngeri
kan? Kok bisa sih ya Pak Anto mau-maunya makan paku? Apa mentang-mentang jadi
kuli bangunan, mau nguji "kejantanan" dengan makan bahan bangunan? Tidak.
Ternyata bukan itu persoalannya. Kata istrinya, suaminya itu makan paku karena
diduga depresi karena sang suami kehilangan becaknya. Istrinya juga bilang kalau
setahun terakhir ini sang suami alias Pak Anto sering kelihatan murung karena
becaknya dicuri karena kendaraan itu jadi satu-satunya ladang buat dia mencari
nafkah sebelum bekerja sebagai kuli bangunan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Selain Pak Anto, kasus
serupa juga banyak terjadi di belahan bumi lainnya loh seperti ada gadis yang
makan rambutnya sendiri, ada anak kecil yang doyan makan bedak tabur, ada juga
Bapak yang makan rumput dan masih banyak lagi.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Aneh ya. Kok bisa sih
mereka punya nafsu memakan makanan yang sama sekali bukan untuk dimakan kayak begitu?
Apa itu salah satu tanda orang-orang emejing bin sajaib yang dikasih kekuatan
super? <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Orang awam mungkin saja
akan berpikir bahwa orang-orang seperti itu termasuk orang ajaib, sama seperti
si anak yang dulu konon katanya menemukan batu ajaib yang bisa menyembuhkan
penyakit kemudian mendadak dia menjadi dukun penyembuh dan berita tentang dia
sempat viral di mana-mana.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tapi, bagi orang-orang
berakal dan mengerti ilmu pengetahuan serta punya pemikiran logis, sudah pasti
bakal mengelak bahwa itu bukan mukjizat. Mana mungkin sih orang yang makan
benda aneh bisa dibilang mukjizat? Nah, kalau sudah kayak begitu pasti kita
akan berpikir, kepo dan ingin nyari tahu dong ya, penyebabnya apa, riwayat
asal-usul peristiwa itu tuh bagaimana, apakah ada kaitannya dengan sebab medis
atau psikologis dan sebagainya.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Saya juga bukan berarti
tidak percaya sama sesuatu yang benar-benar bisa dibilang "ajaib"
atau mukjizat. Kadang ada sesuatu yang tidak bisa kita jangkau dengan nalar,
tapi ada juga yang memang hal itu sebenarnya ada tapi tidak layak untuk ditiru.
<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Oke. Oleh karena blog
ini isinya adalah postingan bernalar, dan sebagai manusia berakal, berilmu dan
berbudi pekerti, mari kita bahas ya, kenapa sih fenomena unik kayak begitu bisa
ada?</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">.</p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Sejarah
Gangguan Pica<o:p></o:p></span></b></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Perilaku memakan
sesuatu atau benda tidak lazim kayak yang dilakukan si Pak Anto dan beberapa
orang lainnya yang serupa itu termasuk gangguan makan atau bahasa kerennya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">eating and feeding disorder</i>.
Spesifiknya, gangguan itu disebut <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pica
Disorder</i>. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pica? Kok lucu ya
namanya? Pica itu adalah salah satu gangguan yang digolongkan ke dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Eating And Feeding Disorder</i> di dalam
DSM-V. Dulu gangguan ini termasuk klasifikasi gangguan makan pada <i style="mso-bidi-font-style: normal;">infant</i>, anak dan remsaja. Nah, sejak
diperbaruinya DSM menjadi DSM-V maka gangguan tersebut sudah direlokasi ke
dalam sub gangguan makan. Kenapa bisa begitu? Soalnya seiring berkembangnya
zaman dan semakin luasnya penelitian, gangguan Pica ini tidak hanya dialami
oleh anak atau remaja namun juga dialami oleh orang dewasa dan/atau segala <i style="mso-bidi-font-style: normal;">range</i> usia.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Usut punya usut nih,
dari artikel penelitiannya Parry-Jones dan Parry-Jones (1992), Pica itu diambil
dari nama Latin seekor burung <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Magpie</i>
(burung zaman baheula). Nah, kenapa kok bisa diambil dari nama burung? Soalnya
habit makan si burung ini tuh di luar kebiasaan makan hewan-hewan sewajarnya. Begitu
sih cerita zaman dulunya ya. Jadi, orang yang punya kebiasaan makan aneh sama
kayak burung <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Magpie</i> dong?? Hahaha.. tidak
bisa disamakan begitu juga ya.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pada abad ke-16 itu
(masih nyambung dengan penelitian Parry di atas), ternyata perilaku makan tidak
biasa ini juga dialami oleh Simpanse. Nah, dari penelitian itu sudah cukup
jelas <i style="mso-bidi-font-style: normal;">yes</i> kalau gangguan ini tuh tidak
hanya dialami oleh manusia tetapi juga hewan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Belum lagi orang-orang
zaman primitif kan identik dengan berburu. Tidak jarang juga zaman dulu ada
orang dari etnis tertentu yang sudah terbiasa makan benda-benda aneh apalagi kalau
pas tidak ada hewan yang bisa jadi sasaran perburuan untuk dikonsumsi. Kasian tidak
sih? Nah, buat anak-anak zaman <i style="mso-bidi-font-style: normal;">now</i>,
jangan sok mau gaya-gayaan deh ya kalau makan, sok pilih-pilih makanan, lihat
tuh orang zaman dulu mau makan saja susah. Terbayang tidak sih andai kalian
jadi mereka, mau makan apa saja yang penting makan? Tidak kan?<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">.</p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Apa
saja sih benda yang biasanya dimakan oleh orang-orang dengan gangguan Pica ini?
<o:p></o:p></span></b></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Benda yang dikonsumsi
itu adalah benda-benda non pangan, tidak bisa dicerna oleh perut, tidak
bernutrisi sama sekali dan bentuknya bervariasi. Benda-benda yang seringnya
diidentifikasi seperti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">clay</i>, cat,
kain, tanah, batu, kerikil, serbuk gergaji, sabun, paku, dan lainnya. Es batu
juga digadang-gadang termasuk salah satu daftar benda yang dikonsumsi oleh
orang dengan gangguan Pica namun karena Es batu masih tergolong makanan, jadi
kurang bisa memenuhi kriteria Pica. Tapi beda lagi jika orang tersebut memakan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">freezer frost</i> atau cairan yang membeku
yang biasanya ada dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">freezer</i> kulkas
itu loh. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Freezer frost </i>ini
berpotensial masuk dalam kriteria daftar makanan non pangan yang apabila orang
mengkonsumsinya maka dapat digolongkan ke dalam gangguan Pica.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">.</p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pica
ini dialami oleh siapa saja dan apa penyebabnya?<o:p></o:p></span></b></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pica dapat terjadi di
segala rentang usia baik itu anak, remaja, maupun dewasa. Pica ini merupakan
gangguan yang tidak berdiri sendiri atau dengan kata lain memiliki komorbiditas
atau gangguan penyerta. Maksudnya, Pica dapat terjadi sebelum gangguan utama
muncul atau sebaliknya muncul setelah gangguan utama terjadi.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Gangguan penyerta yang
dialami oleh orang dengan gangguan Pica ini banyak, tetapi yang seringkali
teridentifikasi adalah gangguan perilaku. Pica berkaitan erat dengan gangguan
perilaku sih pada umumnya seperti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">obsessive
compulsive</i>, berhubungan juga sama <i style="mso-bidi-font-style: normal;">emotional
arousal</i> seseorang dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">need for oral
stimulation</i> tapi yang sudah tergolong <i style="mso-bidi-font-style: normal;">over
stimulation</i> (APA, 2013).<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Nah, menyoal stimulasi
nih, karena pada masa perkembangan motorik kasar dan halus, bayi itu kan
sukanya icip-icip begitu ya, mainannya atau benda-benda di sekitar kadang dimasukkan
ke mulut. Jadi, anak tetap perlu disupervisi oleh orangtua. Jangan biasakan
anak icip-icip atau ngunyah sesuatu yang tidak layak untuk dikonsumsi. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Saya jadi teringat, saat
acara silah keluarga tahun lalu ke Purwodadi, saya punya adik sepupu yang masih
bayi. Si bayi ini diem-diem ngunyah sesuatu ke mulutnya. Ketika saya lihat, eh
eh, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ladalaaah</i> yang dikunyah adalah
uang kertas pemirsaaaah. Konon, ternyata di rumah perilaku si bayi ini sudah
biasa terjadi. Si bulek saya membiarkan saja si anaknya ini mengunyah benda-benda
non pangan. Pada akhirnya bulek saya ini ditegur oleh anggota keluarga lain.
Uang kertas yang dikunyah si bayi ini sudah yang lecek hitam begitu loh. Bahaya
kan kalau sampe tertelan. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Selain itu, Pica ini
juga diidentifikasi pada anak dengan disabilitas intelektual, spektrum autis,
anorexia nervosa, skizofrenia gangguan neurologis dan disabilitas belajar. Anak/remaja/orang
dewasa dengan disabilitas intelektual atau yang terganggu fungsi kognitifnya, karena
mereka tidak seperti anak normal kebanyakan sehingga dalam mengolah informasi
atau mempelajari sesuatu pun cenderung lambat. Jadi, mereka sulit membedakan
mana perilaku yang baik dan mana yang berbahaya buat diri dan sekitarnya. Oleh karena
itu, Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan pengawasan khusus pula termasuk dalam
perilaku atau aktivitas makan.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">.</p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Bagaimana
melakukan asesmen untuk mengetahui gejala Pica?<o:p></o:p></span></b></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Para ahli biasanya
menggunakan instrumen <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Diagnostic
Interview Schedule for Children</i> untuk melakukan asesmen Pica pada anak.
Pada remsaja, bisa menggunakan parental report. Sedangkan untuk asesmen pada
orang dewasa, belum ditemukan instrumen asesmen yang valid. Selain menggunakan
wawancara klinis berdasarkan panduan yang ada di dalam DSM-5, perlu disertai
dengan ceklis observasi dan wawancara mendalam.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">.</p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Treatment
medis dan psikologis apa yang bisa dilakukan pada orang dengan gangguan Pica?<o:p></o:p></span></b></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Treatment apapun
bentuknya pastikan dilakukan oleh ahlinya ya yaitu psikiater maupun psikolog.
Jangan sok <i style="mso-bidi-font-style: normal;">keminter</i> bawa-bawa ke
dukun karena ini bukanlah gangguan yang sifatnya gaib. Jika masih ada yang
menganggap orang dengan gangguan Pica ini disebabkan oleh guna-guna/pelet, coba
ditelaah lagi ya riwayat orang tersebut. Setiap gangguan pasti ada penyebabnya.
Sebaiknya bawalah orang tersebut ke rumah sakit atau klinik terdekat dahulu
supaya mendapat pertolongan pertama.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Benda-benda yang dikonsumsi
dan sudah masuk ke dalam tubuh bisa sangat membahayakan bahkan berujung
kematian jika tidak segera dikeluarkan dari dalam tubuh. Tindakan operasi pun
dapat pula dilakukan jika memang dibutuhkan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Mengenai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">medical treatment</i> lain, penanganan
secara medis pernah dilakukan oleh Pace dan Troyer dengan memberikan vitamin
Polyvisol pada anak (Carter, Mayton dan Wheeler, 2004). Beecroft, Bach,
Tunstall dan Howard (1998) juga pernah mengujicobakan pemberian multivitamin C
pada lansia 75 tahun dengan gangguan Pica sekaligus teridentifikasi Skizofrenia
dan dibarengi dengan penanganan psikologis.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Treatment psikologis, ada
beberapa sub. Pertama, treatment kognitif bagi orang yang mengalami Pica karena
adanya distorsi pikiran (salah mendefinisikan apa itu makanan dan benda serta
bagaimana membedakan bentuk sesuatu yang dikonsumsi dengan yang bukan untuk
dikonsumsi). Terapi yang bisa diberikan itu adalah terapi kognitif dan perilaku
seperti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">self-monitoring</i> dan relaksasi
progresif.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pada <i style="mso-bidi-font-style: normal;">behavioral analysis</i>, terapi yang bisa
digunakan adalah terapi perilaku juga atau gabungan kognitif dan perilaku yakni
CBT (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Cognitive Behavior Therapy</i>) atau
bisa juga dengan konsep reinforcement and punishment jika akar problemnya
berasal dari stimulus respon.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tidak lupa juga
pemberian treatment psikososial yang tidak lain adalah psikoedukasi. Edukasikan
mengenai gangguan Pica, apa penyebabnya, bagaimana itu bisa terjadi dan
bagaimana cara memperlakukan orang dengan gangguan Pica pada orang-orang
terdekat/ <i style="mso-bidi-font-style: normal;">significant other</i> si klien
supaya ketika proses perawatan berlangsung, lingkungan sekitar bisa sekalian mengawasi
klien tersebut sehingga perilakunya dapat dikendalikan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Satu lagi, pastinya, saat
orang dengan gangguan Pica menjalani perawatan baik di rumah sakit atau sudah
dipulangkan ke rumah (rawat jalan), pastikan berikan makanan bernutrisi. Minta
keluarga untuk support makanan bergizi buat dikonsumsi oleh orang dengan
gangguan Pica ini ya. Kasian loh, mereka sudah banyak kekurangan zat-zat yang
dibutuhkan tubuh jadi nutrisinya harus dijaga kembali.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Referensi</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">:<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-left: 10mm; text-align: justify; text-indent: -10mm;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">American
Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder
Fifth Edition. Washinton DC: American Psychiatric Publishing.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-left: 10mm; text-align: justify; text-indent: -10mm;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Beecroft,
N., Bach, L., Tunstall, N., & Howard, R. (1998). An usual case of pica. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">International Journal Geriatry Psychiatry,
13</i>(9), 638-641.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-left: 10mm; text-align: justify; text-indent: -10mm;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Carter,
S. L., Wheeler, J. J., & Mayton, M. R. (2004). Pica: A Review of Recent
Assessment and Treatment Procedures. <i>Education and Training in
Developmental Disabilities, 39</i>(4), 346–358.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-left: 10mm; text-align: justify; text-indent: -10mm;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Parry-Jones,
B., & Parry, W.L. (1992). Pica: Symptom or eating disorder? A historical
assessment. British Journal Psychiatry, 160, 341-354. doi:
10.1192/bjp.160.3.341.<o:p></o:p></span></p><br /><p></p><p></p>paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-10787072452887083112021-03-11T12:35:00.005+07:002021-03-11T12:39:23.609+07:00PENGALAMAN TES CPNS KEMENKES 2019-FORMASI PSIKOLOG KLINIS <p> Malang, Kamis, 11 Maret 2021</p><blockquote style="text-align: center;">“You need to spend time crawling alone through shadows to truly appreciate what it is to stand in the sun.”
― Shaun Hick</blockquote><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiH_SeYJhjaiYGtBDtA7ToOnmPQwiJNgQWTeuRker3WWgr4KshK1BijoY43Xpg_QppXkDSBTVroJ1UnIKLwD_s_1nWAc6IuLQbyVGd1j7N12ulvU1xuT0urD6fwBbOzyFCmEzfGlTonAX0/s398/bitmoji-20171026021953.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="396" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiH_SeYJhjaiYGtBDtA7ToOnmPQwiJNgQWTeuRker3WWgr4KshK1BijoY43Xpg_QppXkDSBTVroJ1UnIKLwD_s_1nWAc6IuLQbyVGd1j7N12ulvU1xuT0urD6fwBbOzyFCmEzfGlTonAX0/s320/bitmoji-20171026021953.png" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><p>Assalamualaikum....Haloo.. Sudah lama banget nggak berbagi curhatan di blog ini. Ada kabar apa ya di tahun 2021 ini?</p><p><br /></p><p>Sudah setahun lebih nggak ngeblog, vocab saya jadi kurang kaya nih. Anw, Alhamdulillah per Desember 2020 lalu, saya lulus CPNS 2019 di Kementerian Kesehatan dan per Januari 2021 saya ditempatkan di Satker RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Saya juga nggak menyangka bisa lulus tes CPNS dan di usia saya di pengujung 30 tahun 2020 lalu (tahun ini mah udah 31 tahun per Januari lalu wkwk). Gimana siiih kok bisa lulus CPNS?</p><p><br /></p><p>Oke, jadi di postingan ini saya curhat tentang pengalaman aja ya. Saya beberapa waktu ini jarang banget baca-baca jurnal jadi nggak berbagi tulisan yang berbobot dulu yaa. Bukan malas sih cuma karena sekarang ini saya masih proses adaptasi dengan jam kerja dan jam pulang, jadi tiap pulang ke rumah tuh mata udah ngantuukkk maksimal. Actually sih memang karena perjalanan menuju ke tempat RSJ memang memakan waktu sekitar 35 menit setiap harinya jadi sudah cukup lelah di perjalanan.</p><p><br /></p><p>Ohya, saya berterima kasih banget bagi siapapun teman-teman yang sudah berkunjung dan membaca tulisan-tulisan ringan di blog saya ini. Beberapa hari lalu juga ada yang notice kok saya jarang bangeeet update di blog. Heheh..makasih ya atas atensinya. I appreciate it.<span></span></p><p><br /></p><a name='more'></a><p></p><p>Baiklah, sekarang saya mulai cerita aja ya. Jadi, sejak resign dari tempat kerja yang lama, saya memang gencar ikut tes CPNS lagi di tahun 2019 lalu. Sebelumnya, saya minta petunjuk sama Allah, apakah saya perlu lamar formasi dosen lagi ataukah ini saatnya saya mencoba jalur fokus pada formasi sebagai praktisi sesuai profesi saya yaitu Psikolog Klinis? Setelah melalui perenungan dan berbagai pertimbangan berdasarkan sejumlah pengalaman (baik maupun kurang baik) selama mendaftar sebagai dosen di berbagai Universitas, saya pun memutuskan untuk mencoba memasukkan lamaran pada formasi Psikolog Klinis. Alhamdulillah pun saya sudah memiliki STR-PK (Surat Tanda Registrasi-Psikolog Klinis) seperti yang dipersyaratkan jadi saya punya kesempatan besar untuk memasukkan berkas lamaran pada posisi tersebut.</p><p><br /></p><p>Saat itu saya mendapatkan notif dari salah seorang teman baik semasa kuliah S1 yang saat ini bekerja di RS Hermina di Malang. Dia, memberikan saya notif berupa link dan lampiran pengumuman pembukaan CPNS Kemenkes 2019. Saya lihat di situ ada dibutuhkan Psikolog Klinis untuk ditempatkan di tiap Rumah Sakit yang berada di bawah Kemenkes. Saya awalnya sempat berpikir, ini kok cuma 1 orang ya yang dibutuhkan? Cukup berat juga persaingannya jika demikian. Lalu saya telusuri lebih jauh informasi terkait RS mana saja penempatannya. Saya pun mulai menganalisa dan menimbang. Setelah berdebat dan kontemplasi panjang bersama pikiran saya sendiri, akhirnya saya putuskan untuk FIX OKE saya masukkan berkas lamaran untuk formasi PSIKOLOG KLINIS di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang. Pertimbangan saya adalah pertama: lagi-lagi soal biaya. Di tahun 2020 sejak covid menghadang, saya sudah tidak berpraktek secara mandiri, penghasilan saya hanya berasal dari nebeng rentalin motor saya kepada adek saya dan alhamdulillah cukup lah untuk sehari-hari dan untuk ditabung sebagai dana darurat aja ketika dibutuhkan sewaktu-waktu. Jadi, saya nggak mungkin memaksakan diri untuk memilih formasi di RS di luar Malang dan praktisnya, kalo ada di Malang ya kenapa nggak dicoba aja dulu kan daripada langsung jauh? Jujur, saya nggak pengen merepotkan ortu dengan meminta uang ngekos harus bolak-balik untuk melamar pekerjaan sementara saya hanya punya pegangan uang yang tidak banyak. Ya. Saya memang orang yang terbilang realistis kalo sudah menyangkut uang. Kalo nggak atau memang lagi ngirit ya kenapa harus dipaksakan. Daripada ujung-ujungnya saya minta lagi dengan kondisi ortu yang saat ini memang penghasilan bertumpu pada rental motor, ya saya pikir saya akan tampak mendzolimi keluarga saya kalo sampai memberatkan mereka hanya untuk kepentingan diri sendiri.</p><p><br /></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijMTvZDQoHjUF7MHfmmbRFqJ6HrkQaB-U_wKbHG8aClIVurxAb3te-KrAhVKgW3pu8qe6f5_J8Cb2o608I2JLvi-_IOvJ92VXO0QGGErdspL9nwvcwF4LwE6BoTIXcCRLvu7-NUhw79UI/s339/10.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="339" data-original-width="230" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijMTvZDQoHjUF7MHfmmbRFqJ6HrkQaB-U_wKbHG8aClIVurxAb3te-KrAhVKgW3pu8qe6f5_J8Cb2o608I2JLvi-_IOvJ92VXO0QGGErdspL9nwvcwF4LwE6BoTIXcCRLvu7-NUhw79UI/s320/10.png" /></a></div><p></p><p>Pertimbangan kedua: tentang persaingannya. Saya memilih formasi Umum dan syukurnya di RSJ Lawang adanya ya formasi Umum. Saya mulai memprediksi bahwa sepertinya persaingan di Malang tidak akan se-ketat (banget) di RS Jogja, Bandung apalagi Jakarta. Secara ya kan, saya tahu banget lulusan sana tuh jago-jago banget. Jadi, keputusan memilih RSJ Lawang insyaAllah saat itu (dan juga sekarang) adalah keputusan tepat yang juga berasal dari petunjuk Allah. Saat beberapa minggu setelah memasukkan berkas administrasi tahap awal, saya melihat siapa aja sih yang memasukkan lamaran ke RSJ Lawang? Ya, sesuai prediksi saya, wkwk.. nggak ada maksud menerawang cuma kadang intuisi nggak salah juga sih. Pendaftar khususnya di formasi PSIKOLOG KLINIS yang memilih RSJ RW ada 6 orang termasuk saya dan salah satunya ada teman sekuliah saya di kampus. Lainnya saya nggak kenal sih walau sesama profesi.</p><p><br /></p><p>Pemberkasan administrasi tahap awal waktu itu, saya memang hectic wira-wiri ke sana kemari. Saya maksimalkan ikhtiar dan nggak putus untuk tetap rutin sholat sunnah (gak hanya sholat wajib) setiap hari seperti biasanya (memang dari sejak kuliah udah terbiasa) dan saya juga mencoba merutinkan sedekah dan mengencangkan faktor lainnya. Sebelum tahap administrasi awal dibuka pun, saya sudah sejak 2019 pertengahan rajin mendownload materi di internet dan belajar setiap harinya. Ya belajar TIU, TWK dan TKP. Pun hingga masuk tahun 2020, saya tetap belajar sambil menunggu tahap selanjutnya yaitu tes SKD (Seleksi Kompetensi Dasar). Saya sudah 2 kali ikut tes CPNS sejak 2017 dan 2018 dan paham saya gugurnya di TIU, saya pun getol belajar maksimal di TIU sampai rajin ikut tryout gratis maupun berbayar.</p><p><br /></p><p>Alhamdulillah Allah berikan jalan. Saya pun mulai SKD di awal tahun 2020, saya lupa Januari atau Februari ya wkwk... Saat itu SKD berlangsung di Bapelkes Surabaya. Saya diantar oleh Bapak, Mama dan adek saya yang cewek (adek yang cowok di rumah ngurus rentalan). Saat di perjalanan menuju Surabaya karena Bapak dan kami semua nggak paham jalan di Surabaya ya akhirnya ngandelin Maps, ndilalah sempat kena tilang di lampu merah Darmo apa di mana ya itu. Lalu, saya tambahin uang Bapak (kami bagi dua) buat bayar tilang karena ya saya juga ikut salah sih soalnya saya baca Maps tapi ga ngeh soal lampu merahnya itu yang ternyata salah lampu merah (harusnya nggak ikuti lampu merah yang satunya malah ngikuti eehhh ya ditilang deeeh karena dikira menerobos). Lalu, kata Mama dan Bapak, nggak papa ditilang, diikhlaskan wes, semoga nanti berkahnya Emma bisa lulus, Aamiiin.. Saya pun terharu sambil mengaminkan.</p><p><br /></p><p>Singkat cerita udah sampai di Bapelkes Surabaya, udah detik-detik mau masuk ke ruangan tes, saya berusaha tenang dan udah berdoa. Lalu setelah klik mulai soal, saya pengen bersujud banget, Oh Allah, ini soal TIUnya kebanyakan mampu saya kerjakan dan saya yakin saya pilih jawaban yang benar. Entah kenapa rasanya mudah aja gitu. Setelah selesai ngerjain semua, saya udah feeling sih TWKnya ada yang salah jawab tadi, trus pas udah logout dari CAT, dan nilai saya... Waah, Alhamdulillah banget. Ini bagi saya sih dan saya nggak mau membandingkan dengan orang lain tapi saya bandingkan dengan nilai di tes SKD CPNS tahun-tahun sebelumnya, mulai ada peningkatan. TIU dari yang nggak passing grade mulu di tahun-tahun sebelumnya selalu dapat 60, finallya SKD 2019 ini TIU bisa dapat 115 (ini pencapaian banget bagi saya yang merasa sering gagal di tes Matematika). Nggak rugi deh udah belajar hampir setahun sebelum tes jadi membuahkan hasil. Mama dan Bapak bersyukur dan ikut senang mendengar nilai saya sudah lumayan.</p><p><br /></p><p>Setelah itu, ada jeda menuju ke SKB. SKBnya waktu itu masih sama di Bapelkes Surabaya juga tapi yang tadinya mau digelar bulan Maret namun pandemi menghadang jadi molor sampai bulan Oktober. Ya nggak sih? CMIIW yaa duh kalo soal tanggalan ini nih agak lupa udah. Nah selama proses menanti jadwal SKB saya pun belajar materi kesehatan umum maupun materi psikologi sesuai profesi saya, itu saya lakukan setiap hari. Saya selalu sempatkan belajar setiap harinya walau hanya dua atau tiga jam gitu. Kalo udah, ya saya ulang lagi dari awal.</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRSaZnWGDCEUaQPobYvBFSmdfx4g_8_P-QfPJezD9OdWrYglRFRFcHXR92TEbLuvEndfVw-eGU8fY-svFKSjJjVl5qQ8FsE9VIvpVJu4ply77DFsMgDr4yjP7hP8tQ9IIxiSP7T86wq9I/s398/60.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRSaZnWGDCEUaQPobYvBFSmdfx4g_8_P-QfPJezD9OdWrYglRFRFcHXR92TEbLuvEndfVw-eGU8fY-svFKSjJjVl5qQ8FsE9VIvpVJu4ply77DFsMgDr4yjP7hP8tQ9IIxiSP7T86wq9I/s320/60.png" /></a></div><p></p><p>Saya berangkat SKB kali itu naik bus sendiri menuju Surabaya. Vibesnya beda aja sih karena lagi pandemi jadi Bapelkes tu tampak sepi karena memang jumlah peserta juga dibatasi. Sampai di sana saya di-tes rapid dong pakai ECLIA aja sih, trus hasilnya non-reaktif deh kayaknya. Lalu masuk ke ruangan. Saya sempat nggreges masuk angin ditambah duduk tepat di sebelah kanan saya tuh terpampang kipas angin besaaaar yaa jadi saya ngerjain soal waktu itu tuh sambil keringat dingin. Namun, dengan modal bismillah gaspool deh. Apapun hasilnya saya sudah pasrahkan ke Allah. Kalo memang takdirnya lulus pasti akan lulus kok, kalo sebaliknya ya udah berarti belum rejeki. Saya mikirnya praktis gitu aja sih daripada overthinking lagi.</p><p><br /></p><p>Usai logout dari sistem CAT SKB, saya lihat skor saya lumayan sisa berdoa aja deh. Nah, waktu pengumuman kelulusan SKD itu tuh, dari 6 orang yang daftar hanya 2 orang yang lolos di tes SKD-nya termasuk saya. Saya ada di peringkat pertama juga nggak nyangka banget dan selisih skor dengan peserta di bawah saya alhamdulillah masih lumayan jauh jadi masih ada kesempatan.</p><p><br /></p><p>Ohya, karena pandemi, jadi tes EBA (Executive Brain Assessment---saya juga kurang tahu sih model tes EBA itu seperti apa karena baru pertama ini mencoba formasi di Kemenkes) dalam SKBnya ditiadakan, jadi cuman SKB CAT dan Penelusuran Rekam Jejak aja. Rekam Jejak itu mayan sih kalo misal ada pengalaman kerja di pemerintahan di bawah lingkup Kemenkes sebelumnya bisa dapat skor 20%. Tapi saya nggak pernah kerja di lingkup Kemenkes jadi otomatis Rekam Jejak saya skornya 0. Nah, di situlah saya kencengin doa semoga aja siih tes kali ini benar-benar fair, dan kami berdua nggak ada Rekam Jejak wkwk. Eeeeh.. Setelah pengumuman kelulusan di November 2020 lalu, alhamdulillah saya tetap stay di peringkat pertama. Nggak nyangka, speechless, sujud syukur dan wah banget rasanya bisa membuktikan ke diri sendiri bahwa saya MAMPU, saya ternyata BISA LOH ASAL SAYA MAU RAJIN BELAJAR DAN NGGAK PUTUS ASA.</p><p><br /></p><p>Intermezzo sedikit ya, jadi melamar formasi di tes CPNS itu dulu bukan cita-cita saya, tapi ternyata Allah memberikan saya rejeki di CPNS 2019 ini. Pun, saya pernah kok ngerasa down karena merasa sebagai pengangguran yang nggak ada penghasilan pasti tiap bulannya, harus kerja serabutan terus, disuruh resign di tempat kerja sebelumnya dan udah dapat pengalaman semacam tidak dihargai oleh orang lain. Jadi, saya yakin pilihan dan jawaban Allah atas usaha kita itu pasti datang tepat waktu. Iya, waktunya tu tepat banget. Jadi uang simpanan darurat yang waktu itu saya kumpulkan saya pakai untuk CPNS ini buat biaya ngeprint bolak-balik, bensin ke sana kemari, akomodasi tes, jajan, dan kebutuhan harian kok juga pas habis banget sejak udah diterima CPNS hehe. Saya mikirnya mungkin sudah ada ganti yang lebih baik setelah ini. Sure, it comes true.</p><p><br /></p><p>Per Januari 2021 lalu, saya udah resmi mulai dinas di RSJ Lawang. Saya ditempatkan sesuai SK di Instalasi Rehabilitasi. Posisi saya Psikolog Klinis Ahli Pertama dengan golongan III/b. Tugasnya notabene sih berhubungan dengan pasien psikotik rawat inap. Beda dengan psikolog yang ada di Poli Klinik Psikologi di bagian depan yang berhubungan dengan pasien rawat jalan. Even gak bertugas di Poli, saya merasa bahagia banget bisa ditempatkan di Inst.Rehabilitasi karena ada banyaaak hal yang bisa saya pelajari. Allah pun lagi-lagi Maha Baik, saya diberi kesempatan untuk mengisi struktur organisasi Inst.Rehabilitas nggak hanya sebagai psikolog klinis tetapi juga sebagai Ketua Tim Litbang Rehab. Bismillah semoga bisa amanah sampai akhir hayat dan akhir pengabdian kelak. </p><p><br /></p><p>Ohya sekarang ini per 18 Maret 2021 saya udah mulai mengikut LATSAR via blended learning jadi diawali dengan via daring dulu. Mohon doanya yaa, semoga semua lancar dan saya serta teman-teman seperjuangan lainnya bisa lulus dengan hasil sangat memuaskan pada latsar ini. Mohon doanya juga semoga bisa amanah dalam mengemban tugas sebagai Abdi Negara, dan doain juga yaa semoga setiap tahun bisa ngumpulin SKP/PAK sesuai target hehe. </p><p><br /></p><p>Semangat yaa buat teman-teman yang juga pengen mencoba berjuang di jalur CPNS. Nggak ada salahnya dicoba kok. Jauhi berita-berita hoax soal sogok-menyogok, itu mah hoax banget. Kalian pasti paham gimana perjuangan menuju ASN, jangan minta selalu dimudahkan namun kita ikhtiarnya sambil meminta untuk DIMAMPUKAN MENGHADAPI SETIAP PROSESnya.</p><p><br /></p><p>Aamiiin..Aamiiin.</p><p><br /></p><p><br /></p><p>Best Regard,</p><p><br /></p><p>Yanuarty Paresma Wahyuningsih</p>paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-63554913848097960492020-07-13T20:59:00.000+07:002020-07-13T21:26:05.568+07:00THRIVING TO THE NEXT LEVEL<blockquote class="tr_bq" style="text-align: center;">
<i>"Whether you think you can or you think you can't, either way, you are right!</i> <i>-Henry Ford-</i></blockquote>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Halo, Assalamu'alaikum teman-teman. Sudah hampir setahun saya nggak update blog ini. Sebelumnya, mengenai blog ini, saya sempat merasa sedikit sedih karena sekitar 2016 atau 2017 lalu, blog ini sudah berhasil dapat AdSense namun karena suatu kejadian, AdSense nya jadi terblokir. Saya sudah mencoba mengajukan banding, hanya saja tidak dikabulkan oleh pihak Google. Kira-kira, ada teman blogger yang tahu kah bagaimana cara agar bisa mengajukan AdSense lagi?<br />
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<div style="text-align: left;">
Okay, itu tadi hanya sedikit intermezzo. Setelah hampir setahun saya tidak update blog ini, tentunya banyak peristiwa yang terjadi. Ohya, saya juga senang banget karena ternyata meskipun blog ini sering saya tinggal dalam waktu lama, masih ada juga orang yang mengunjunginya dan membaca kisah-kisah saya di dalam. Padahal, beberapa waktu belakangan, postingan di blog ini isinya sambatan aja sih, hehehe. Terima kasih ya buat teman-teman pembaca yang pernah mengirimkan email ke saya karena telah membaca blog ini dan mendapat insight dari sini. Semoga masih ada manfaat dan inspirasi yang bisa dipetik dari tulisan saya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Ohya, tadi saya bilang ada banyak peristiwa yang terjadi. Bagi yang update kisah-kisah sambatan saya di blog ini mengenai pekerjaan, saya akan kembali menceritakan alur kelanjutannya. Saya yakin, kalian yang sudah baca dari awal pasti juga sedang menunggu-nunggu kabar berikutnya (wkwk... tapi bukan sok ngartis ya).</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sejak saya resign dari kampus, saya lebih banyak menjalani rutinitas dari rumah. Awal tahun 2020 lalu, saya kembali mendaftar CPNS dan kali itu saya memasukkan berkas lamaran yang ditujukan kepada instansi Kementerian Kesehatan namun memilih untuk penempatan di salah satu Rumah Sakit besar di Malang. Kenapa saya lagi-lagi pilih Malang, karena saya melamar untuk jabatan psikolog dan saya memilih tempat sekaligus daerah yang sudah mulai menggerakkan regulasi terkait profesi psikolog klinis. Awalnya saya memang tertarik untuk menunggu formasi di daerah lain hanya saja kualifikasi dan formasinya membingungkan. Ada yang menuliskan formasi Psikolog Medis, ada juga yang menuliskan Psikolog Klinis tapi dengan syarat pendidikan S1 Psikologi. Nah, daripada nanti ribet di tengah jalan jadi saya memilih penempatan dan formasi yang jelas. Saya juga sudah tahu mengenai latar belakang RS yang saya pilih jadi setidaknya untuk persoalan regulasi insyaAllah tidak akan banyak kendala di lapangan nanti. Ya, saya berpikir begini agar ketika saya kelak lulus dan diterima, saya bisa fokus. Alhamdulillah setelah mengikuti tes SKD CAT saya dinyatakan lulus dan saat ini sedang menunggu jadwal SKB.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhm4PkiDnjwr4FnC5TF72gdhsHQHGnw-VsA4ZfFHw65U4xmbyYuGCWLPvBF5znosjzcvnnMw3VwAL7E9EZrmkcdzlkmETv5xMkgzwujHEWQsU7mVj_-DfCj_7CnsjIJXGVx1_zzyw3NhpA/s1600/20.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhm4PkiDnjwr4FnC5TF72gdhsHQHGnw-VsA4ZfFHw65U4xmbyYuGCWLPvBF5znosjzcvnnMw3VwAL7E9EZrmkcdzlkmETv5xMkgzwujHEWQsU7mVj_-DfCj_7CnsjIJXGVx1_zzyw3NhpA/s320/20.png" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Saya pernah baca salah satu buku filsafat populer, di situ terdapat penjelasan bahwa sebenarnya tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Namun, kita sering banget ya misal ketemu teman di jalan nggak janjian gitu dibilang kebetulan. Di buku itu dijelaskan bahwa segala peristiwa yang terjadi di masa kini itu merupakan rangkaian dari peristiwa masa lalu yang saling bersambung dan berkaitan. Nah, ini relate banget sih dengan kehidupan kita sehari-hari. Seseorang kadang fokus memandang dan menilai suatu kejadian buruk maupun baik hanya pada satu sudut pandang, hanya menilai apa yang memang terjadi di depan matanya dan nggak jarang menyalahkan keadaan. Misal nih, kita lagi jalan di trotoar lalu ada dua orang yang berlari kemudian menabrak lengan kita hingga kita dan barang bawaan kita terjatuh. Kita langsung reaktif, marah, jengkel dan nggak jarang juga mengeluarkan vocabulary berisi kebun binatang. Namun, pernah nggak sih ketika mengalami peristiwa annoying seperti itu kita berpikir bahwa kejadian dua orang berlari menabrak kita hingga kita itu terjatuh itu ada penyebabnya. Penyebabnya apa? Penyebabnya bisa diketahui dengan menelusuri proses peristiwa sebelumnya. Bisa saja dua orang tadi tidak bermaksud menabrak kita, bisa saja mereka terburu-buru karena dikejar debt collector, karena merasa terancam atau karena hal lainnya sehingga menyebabkan mereka tidak memperhatikan sekitarnya dan hanya fokus untuk melindungi diri mereka.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Lalu, apa sih hubungannya saya jelaskan hal di atas dengan proses seleksi CPNS yang saya ikuti? Hehehe... jadi, sering banget saya mendengar teman-teman yang berpikir bahwa "Ih si anu nih lulus karena kebetulan aja. Biasanya juga nggak sepintar itu..." Nah, sekarang ngerti kan maksud saya? Saya juga awalnya sempat berpikir begitu karena dua kali seleksi sebelumnya, saya tidak pernah berhasil. Lalu, apakah saya lulus karena kebetulan? Nggak dong. Saya kemudian memahami intisari dari buku filsafat yang saya baca bahwa tahun ini saya bisa berhasil lulus SKD karena ada proses-proses yang melatarbelakanginya. Saya belajar dengan sangat giat. Saya belajar setiap hari dan ikut try out. Meskipun hasil try out tidak bagus, tapi hal itu nggak menyurutkan semangat saya. Alhamdulillah saat proses SKD berlangsung, saya mampu mengerjakan dengan baik. Salah satu nilai saya dari sebelumnya rendah banget jadi meningkat namun ada juga yang stagnan bahkan sedikit turun tapi masih passing grade. So, jangan lagi bilang bahwa sesuatu itu terjadi secara kebetulan ya. Saya juga nggak percaya sih dengan coincidence begitu. Intinya ada proses atau rangkaian peristiwa in the past yang melatarbelakangi, jika bukan itu berarti ada campur tangan takdir Tuhan juga.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sembari saya menunggu jadwal ujian SKB yang tertunda sejak merebaknya virus Covid-19, saya pun juga sedang menantikan jadwal ujian perpanjangan SIPP saya oleh Himpsi. Semoga kedua jadwal tersebut bisa beriringan bergantian terbitnya. Ya, semoga Allah memberikan kelancaran dan kelulusan di kedua ujian tersebut (karena memang menyangkut profesi saya juga sih hehehe).</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Tadi saya juga bilang bahwa saya lebih banyak melakukan rutinitas di rumah. <i>Work from Home</i>. Bener banget bahkan itu sebelum ada Covid-19 sih, ya sejak saya resign intinya. Saya membuka praktik mandiri di rumah karena saya belum mampu membuat ruangan klinik pribadi (bukan biro ya, kalau biro beda lagi) dan di rumah saya hanya memanfaatkan satu ruangan besar di tengah di lantai atas yang mana ruangan itu sepi dan bisa saya setting dan juga tidak ada lalu lalang orang rumah, sehingga saya pergunakan sebagai ruang konsultasi saya. Kalau dicermati, ternyata dari sekian banyak psikolog di Malang, sepertinya saya aja psikolog muda yang membuka praktik mandiri (ya meskipun begitu saya juga ada biro bareng teman-teman cuman masih sedang dalam perbaikan sistem dan program sih).</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Nah, karena Corona, jadi saya alihkan praktik konseling melalui online. Jika ada yang membutuhkan layanan konseling bersama saya, bisa kok silakan DM saya melalui IG saya @paresma.psikolog. Nanti akan saya berikan nomor admin saya untuk booking konsultasi.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Selain, berpraktik mandiri, saat ini saya juga sedang merintis sebuah project baru bernama @seilmu.id. Bisa dicek langsung ke Instagram @seilmu.id ya. Seilmu kepanjangan dari Sekumpulan Ilmuwan Muda, wadahnya para ilmuwan muda. Apa aja sih programnya? Programnya adalah memberikan pengajaran dan pembelajaran gratis via online kepada target remaja dan dewasa dan khususnya bagi anak-anak yang kurang mampu namun tidak menutup jangkauan bagi kalangan umum. Di Seilmu ID ini kami mempunyai koneksi para expert dari berbagai lintas keilmuan. Kami berbagi pengajaran gratis dalam bentuk Webinar baik itu berupa edukasi maupun pelatihan. Nah, bagi teman-teman yang ingin bergabung sebagai kontributor pengajar di Seilmu ID, kami open ya. Silakan aja kontak admin kami di IG @seilmu.id. Syaratnya adalah mau berbagi ilmu secara gratis (tidak dibayar/jadi pure sedekah ilmu) dan tidak terbatas backgroundnya berasal dari latar pendidikan manapun, kami welcome.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBvzMdT6dvc3LViRBLCYlXvSORwz1Umy8Ttlr6s8nGnCuVDzxD2Lf9WzH8P-96QERIAu2ovGIsqtnnEmOkBeTeVDUI6z5b3GIki1rY8wEsGLPBGWHen4LXFGhrij-rn62aT8Z4cZmxnp4/s1600/SEILMU+TRANSPARAN.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="431" data-original-width="579" height="238" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBvzMdT6dvc3LViRBLCYlXvSORwz1Umy8Ttlr6s8nGnCuVDzxD2Lf9WzH8P-96QERIAu2ovGIsqtnnEmOkBeTeVDUI6z5b3GIki1rY8wEsGLPBGWHen4LXFGhrij-rn62aT8Z4cZmxnp4/s320/SEILMU+TRANSPARAN.png" width="320" /></a></div>
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Itu dulu ya kabar dari saya. Sampai jumpa kembali di cerita berikutnya. Bagi kalian yang ingin bertegur sapa dan mengenal saya lebih lanjut, bisa telusuri saya di Instagram saya di @paresma.psikolog atau klik aja di sidebar blog ini ya. Nah, saya sekarang karena untuk sementara bekerja remote dari rumah, saya tetap membuka layanan konseling atau konsultasi online via aplikasi hangouts. Jika kalian ingin memperoleh layanan dari saya, bisa kontak saya melalui DM IG dan akan saya berikan nomor kontak admin untuk booking jadwal.<br />
<br />
<br />
See you again ya teman-teman. Semoga semua sehat di manapun berada. ^_^<br />
<br />
Best Regards,<br />
<br />
<br />
Paresma, Psikolog</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-37845559919711841742019-08-22T21:24:00.002+07:002019-08-22T21:42:08.584+07:00KECANTIKAN DAN BERAT BADAN<blockquote class="tr_bq" style="text-align: center;">
<i>"Real women are fat and thin and neither and otherwise" -Hanne Blank-</i></blockquote>
<div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuwV6iXH214jfk7BmUJju6FDLXynIDnm_ITvyvojFg8_bCwhQ5roP-VovjPjZc-EaLBY6AJr06smdN2gReTBLcCPr8Ht7VjguonhNrMORSXMXWGU4QscoX8nMMEOJD0nsTHNPSlzwzgIg/s1600/bitmoji-20171026022958.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuwV6iXH214jfk7BmUJju6FDLXynIDnm_ITvyvojFg8_bCwhQ5roP-VovjPjZc-EaLBY6AJr06smdN2gReTBLcCPr8Ht7VjguonhNrMORSXMXWGU4QscoX8nMMEOJD0nsTHNPSlzwzgIg/s200/bitmoji-20171026022958.png" width="200" /></a></div>
<br /></div>
<div>
<b>Apa itu <i>Body Shaming</i>?</b><br />
<b><br /></b></div>
<div>
<i>Beauty has no weight limit. </i>Begitulah kalimat aji pamungkas yang pernah saya baca dari mbah google.<br />
<br />
<i>Body Shaming</i> adalah suatu bentuk intimidasi, hinaan, celaan dan komentar negatif terhadap kondisi tubuh atau fisik seseorang. <i>Body Shaming</i> juga termasuk salah satu bentuk <i>verbal bullying</i> loh.<br />
<br />
Siapa yang pernah atau sedang mengalami <i>Body Shaming</i>? Sip, kita senasib tetapi nggak sepenanggungan hehehe.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Sejak kuliah S2 2014 silam dan lulus 2017 kemarin, berat badan saya "hobi" naik turun alias nggak stabil. Banyak makan tapi juga imbang dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan ditambah lagi saya pernah mengalami gangguan di lambung yang perlu setahun masa pemulihan. <i>It's not easy sometimes when people around me keep observed that I'm </i><b style="font-style: italic;">thin</b>. Ya, memang sih <i>people changed as time goes by</i>, but perubahan paling menonjol yang terjadi pada diri saya dan <i>observable</i> banget adalah berat badan. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Perlu kalian tahu bahwa di luar sana bukan hanya yang obesitas aja yang kerap diejek. Tapi, yang kurus pun jadi bahan "bulanan". Kalau aja saya mau protes, udah dari dulu saya ngeluh, <i>why</i>. Di saat saya makan banyak, ngemil banyak, minum susu dan sebagainya, metabolisme tubuh saya justru bertambah cepat pula sampai saya juga nggak tahu terabsorbsi ke mana kah asupan yang saya makan?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Saya juga bosan mendengar sekitar saya mengira bahwa saya ini makannya sedikit, malas makan, cacingan, nggak doyan ngemil atau apalah. Bahkan ada yang pernah bilang sih (tapi bukan ke saya melainkan ke adek saya yang justru lebih kurus lagi daripada saya), <i>they said</i>, "Orangtuanya nggak ngasih makan ya kok kurus banget?" <i>Well</i>, mendengar itu ya saya nggak terima dong. Kalau kamu merasa gemuk toh masih makan dibayarin sama orangtua juga lalu apakah saya mesti bangga dengan itu? Nggak. Sekali lagi, nggak.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Setiap orang yang bertemu saya pasti bakal melihat perubahan drastis itu pada diri saya. Kenapa sih? Jangan pikir saya juga nggak berpertanyaan serupa dengan mereka. Saya pun bertanya kenapa?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lambat-laun, saya pun cuek bodo amat dengan ocehan orang lain, termasuk ocehan teman sendiri. Udahlah gaes. Toh, nanti akan ada saatnya saya bisa gemuk. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat. Ya, masih syukur sih kalau cuman bilang, "Kok kurus?" daripada ngejek lalu ditambah-tambahin dengan kalimat interpretasi yang ngawur parah. Toh, mereka yang bener-bener ngejek itu juga nggak ngasih saya makan jadi saya nggak mau ambil pusing. Saya senyumin aja lah. Kalau itu termasuk gunjingan ya, inshaallah nanti saya mungkin bisa dapat pahala sabar. Wkwkwk, sok pede. Tapi, <i>it's true. </i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
Saya yakin bahwa nggak hanya orang kurus macam saya ini tapi juga yang gemuk atau bahkan sebagian besar perempuan <i>have been ever feel insecure with her body or physical performance when she looked at the mirror </i>dan perempuan adalah makhluk paling lama kalau sudah berdiri di depan cermin.<br />
<br />
Tapi tunggu dulu. Kita pun bisa saja ngebodisyeming-in diri sendiri. Hati-hati ya saat bercermin, kebanyakan perempuan tuh sambil nggumam, "Aku kok kurus banget sih ya? Pipiku kok chubby banget ya?"<br />
<br />
<b>Efek <i>Body Shaming</i> Terhadap Kesehatan Mental</b><br />
<br />
Baik secara langsung maupun nggak langsung, <i>body shaming</i> yang kerap kita lakukan atau kita terima itu sebenarnya nggak baik. Nggak baik buat kesehatan mental kita. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1471015315300283" target="_blank"><span style="color: red;">Iannaccone</span> </a>(klik aja nama Iannaccone ntar keluar jurnalnya) dan kawan-kawan pada tahun 2016, dari 111 responden penelitian dengan rentang usia 13-19 tahun, hasilnya adalah <i>body shame</i> mempunyai hubungan yang sangat kuat/signifikan dengan kerentanan terhadap <i>eating disorder</i> (gangguan makan).<br />
<br />
Ya. Ejekan tentang fisik seseorang bisa saja berakibat fatal terhadap kesehatan mentalnya. Seseorang yang diejek biasanya jadi mengubah pola makan menjadi nggak seimbang, diet jadi ketat banget, jadi <i>too much</i> fokus buat ngurusin atau gemukin badan sedangkan aspek hidup yang lain dilewatkan dan mempengaruhi kondisi psikisnya menjadi lebih sensi, makin kurang percaya diri, merasa dirinya nggak berharga dengan tampilan <i>body image</i>-nya dan bisa jadi mempengaruhi hubungan sosialnya (misal karena takut dibilang gendut atau kurus sama temen-temen, akhirnya mending dia memilih untuk ngehindar, milih untuk nggak usah reunian, nggak mau nyapa temen-temennya lagi).<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEih_fSjfg4YYvBmVwbGo0-HgZYpCH7vXEhVWVYNI6mZTFfY-bub2x21OF77vskGrzXs7y1X8gcqYAi_187cF8teVkfuN7wXvoiwRBAs6slUgyfOmK31wF_6YLz3lz6GSrVq0_o47QgkXZs/s1600/bitmoji-20171025112144.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEih_fSjfg4YYvBmVwbGo0-HgZYpCH7vXEhVWVYNI6mZTFfY-bub2x21OF77vskGrzXs7y1X8gcqYAi_187cF8teVkfuN7wXvoiwRBAs6slUgyfOmK31wF_6YLz3lz6GSrVq0_o47QgkXZs/s320/bitmoji-20171025112144.png" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
<b>Cantik itu Apakah Memang Harus Kurus/Gemuk Dulu?</b><br />
<b><br /></b>
Dari waktu ke waktu, stigma sosial mengenai seorang wanita dan pria ideal semakin bergeser. Stigma itu nganggap bahwa perempuan cantik dan ideal adalah perempuan yang punya bentuk tubuh yang berisi (nggak kurus banget, nggak gemuk juga) dan laki-laki yang gagah adalah laki-laki yang rajin nge-gym dan badannya kekar berotot.<br />
<br />
Apalagi pengaruh media sosial dan teknologi yang kerap menampilkan figur model perempuan langsing, seksi, tinggi, putih di berbagai iklan produk. Kita yang melihatnya jadi cenderung menginternalisasi pandangan bahwa cantik itu harus seperti stereotype netizen, cantik itu harus putih banget, tinggi semampai, seksi, dan lain sebagainya. Lalu, saat visualisasi mengenai <i>ideal body</i> nggak sesuai dengan realita, akhirnya kepikiran dong. Apalagi cewek yang memang makhluk perasa. Kita jadi ngerasa nggak sesuai sama stereotype tadi, nggak sesuai dengan "standar sosial masyarakat" mengenai kecantikan. Padahal, kita sendiri tahu udah sungguh-sungguh tahu nggak sih makna dari cantik itu apa?<br />
<br />
Kecantikan atau <i>Beauty</i> itu definisinya apa sih? Pernah nggak kita bener-bener nyari tahu akar definisi dari cantik ini. Konstruk definisi mengenai Cantik dan Kecantikan itu mempunyai sejarah yang cukup puanjaaang.<br />
<br />
Kalau nyari di google, kebanyakan orang nulisnya definisi cantik dan kecantikan itu bermula dari Aristoteles dan/atau Plato. Nah, kalau dari referensi jurnal yang saya baca. di zaman Yunani Kuno, kecantikan itu adalah bagian dari estetika. Nah, teori yang mendasarinya disebut sebagai <i>The General Theory of Beauty. </i>Dari teori umum ini, kecantikan atau keindahan itu didefnisikan melalui proporsi bagian-bagian baik itu meliputi ukuran, kualitas, jumlah bagian dan keterkaitan lainnya.<br />
<br />
Lalu, <i>The Great Theory of Beauty</i> dikembangkan oleh Phytagoras. Phytagoras mendefinisikan keindahan/kecantikan dalam struktur sempurna, dan struktur ini didefinisikan ke dalam proporsi bagian-bagian. Teori keindahan ini pertama kali diterapkan pada musik, kemudian berlanjut diterapkan pada arsitektur, patung dan keindahan makhluk hidup dan melibatkan penglihatan serta pendengaran, harmoni dan simetri. Wawawaw... ini tahu lah ya kalau nyebut Phytagoras pasti langsung konek ke pelajaran Matematika. Bahkan di zaman kuno kayak gitu, ternyata Phytagoras juga merumuskan keindahan dan kecantikan yang definisinya tuh ada kaitannya sama kalimat-kalimat yang matematis banget, cantik itu adalah sesuatu yang simetris, sederhananya begitu.<br />
<br />
Kemudian, teori tentang cantik/indah menurut Phytagoras ini mendapat pertentangan dari berbagai filsuf lain akhirnya direvisilah sama si Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, Ficcino, Aquinas, Alexander Baumgarten, Hogart, Edmund Burke & George Santayana, Armstrong, Kant, dan muassiiiih banyak lagi. Kalian bisa baca di <span style="color: red;"><span style="color: red;"><a href="https://eprints.utas.edu.au/1058/5/5._Ch_3_Beauty.pdf" target="_blank">SINI</a> </span>, </span><a href="http://proceedings.eurosa.org/2/delledonne2010.pdf" target="_blank"><span style="color: red;">Sini</span> </a>dan <a href="file:///C:/Users/ahoy/Downloads/Dialnet-OnBeautyAndTheBeautifulInAestheticEducation-4909314.pdf" target="_blank"><span style="color: red;">Sini </span></a>ya (klik aja kata Sini itu dan bacaannya memang bahasa inggris semua jadi harap bersabar untuk belajar yes). Saya nggak bisa ceritain secara detail semuuuaaanya jadi monggo dibaca aja. Tapi, saya paling tertarik dengan definisi keindahan/kecantikan menurut Edmund Burke & George Santayana.<br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>Menurut Burke yang notabene seorang objectivist berpendapat bahwa kecantikan/keindahan adalah kualitas yang berasal dari dalam objek yang bertindak secara mekanis pada pikiran manusia melalui intervensi panca indera. Sedangkan Santayana (subjectivist) berpendapat bahwa keindahan/kecantikan bukan dikaitkan pada objek melainkan dikaitkan pada diri kita dan menurutnya, kecantikan adalah sebuah fenomena psikologis yang dengannya kita memproyeksikan kualitas sensasi dan emosi ke dalam objek atau benda-benda.</i></blockquote>
<br /></div>
<div>
Nah, semakin hari semakin tahun berjalan, definisi kecantikan pun mulai bergeser. Para ilmuwan juga akhirnya sependapat bahwa definisi cantik atau kecantikan sudah semakin <i>depend on social stigma</i>. Dalam artian, setiap orang atau kelompok masyarakat mempunyai konstruk tersendiri dalam mendefinisikan kecantikan. Jadi bisa aja menurut kelompok masyarakat A, cantik itu adalah sesuatu yang tampak secara fisik dan <i>pleasurable</i> ketika dipandang atau didengar. Bisa juga kecantikan itu didefinisikan sebagai suatu hal metafisik dalam bentuk aura misal. Atau bisa aja masyarakat lain berpandangan bahwa cantik itu nggak hanya memenuhi syarat struktur bagian-bagian secara fisik, melainkan juga memenuhi standar <i>spiritual values</i> seperti misal memiliki sifat jujur, punya nilai-nilai moral yang baik atau lainnya.<br />
<br />
Nah, gimana? Sampai sini udah paham dikit lah ya bahwa arti dari cantik itu luaaaas banget. Jadi, kita, saya ataupun kalian mendefinisikan kecantikan itu pasti bakal beda-beda kan dan mungkin tergantung konteksnya juga. <i>Well, </i>nggak salah sih kalau ada yang nilai kita cantik apa nggak itu dari fisik. Kalau dari sisi laki-laki yang memang mereka makhluk visual pasti cenderung menilai perempuan dari <i>physical performance</i>-nya dulu, dari <i>outer beauty</i>-nya dulu. Nggak salah memang dengan pepatah "dari mata turun ke hati". Mayoritas laki-laki ya memang begitu. Jadi fenomena dari mata turun ke hati ini ya sejalan banget sama pandangan Aristoteles mengenai kecantikan (menekankan dari segi tampilan fisik/lahiriah). Teori Aristoteles mengenai kecantikan ini kita bisa temui juga pada teori-teori dan praktik tentang Cinta, kalian pasti akan sadar sepenuhnya bahwa <i>outer beauty</i> itu adalah senjata untuk memikat hati lawan jenis dan <i>inner beauty </i>adalah penjaga atau pertahanannya supaya tetep cinta sama kita, ciyeee.. ya gitu, memang bener kok.<br />
<br />
Kok sudah jauh ya bahasannya :D<br />
<i>Back to body shaming</i>, so, kalian yang masih menilai cantik itu harus selalu dari standar fisik, nggak salah memang tapi jangan menjadikan itu sebagai satu-satunya pandangan yang benar. Dengan kita banyak membaca sejarah, kita bisa memahami dan nggak asal nyeplos. Kalau kebanyakan cuman lihat kecantikan dari segi fisik, ya jadi bakal mudah untuk ngebodisyeming-in orang. Padahal makna cantik itu luas kan?<br />
<br />
Gimana? Masih mau <i>body shaming-in</i> orang lain atau diri sendiri? Coba deh banyak-banyak baca, banyak-banyak <i>tabayyun</i>. Dengan begitu, kita jadi mengerti bahwa kita nggak bisa memaksakan pendapat kita soal "cantik" harus diinternalisasi oleh semua orang. Nggak bisa cuy. Menurut loe, cantik itu gemuk, menurut gue bisa jadi cantik itu lebih ke hal-hal yang bersifat <i>moral values</i>. So, saling terbuka terhadap pandangan orang memang perlu, tapi harus difilter juga ya dan jangan memaksakan standarmu harus selalu mesti sama dengan orang lain.<br />
<br />
Sayangi dirimu, <i>values</i>-mu, standarmu. Kamu berharga kok.<br />
<br />
See you...<br />
<br />
Paresma,<br />
<br />
Malang, 22 Agustus 2019</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-22908305723275498072019-07-31T11:47:00.000+07:002019-08-22T11:47:50.389+07:00SETELAH LULUS MAPRO PSIKOLOGI KLINIS<blockquote class="tr_bq" style="text-align: center;">
<i>"Bahkan Setiap Penolakan Kecil Dapat Mendorong Anda Menuju Kesuksesan"</i></blockquote>
<div style="text-align: center;">
-Sophie Cornish & Holly Tucker: Build A Business From Your Kitchen Table-</div>
<div style="text-align: center;">
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdgZf3vnAG2OZWijeI5gt5MYq1O1NndiiDrkSUn8ukhEakD0nNUFl34sKezm8Gy61QY2EVNNB4sFgd7EwJcVLUO_yJPyE2I-rjkhyt1J7CzTRcx6CqmeVaMfOkmCcNYEm0-jDODsOF4V0/s1600/IMG-20190224-WA0037.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1040" data-original-width="780" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdgZf3vnAG2OZWijeI5gt5MYq1O1NndiiDrkSUn8ukhEakD0nNUFl34sKezm8Gy61QY2EVNNB4sFgd7EwJcVLUO_yJPyE2I-rjkhyt1J7CzTRcx6CqmeVaMfOkmCcNYEm0-jDODsOF4V0/s320/IMG-20190224-WA0037.jpg" width="240" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kebun Binatang Prigen</td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sebelumnya, terima kasih bagi siapapun teman-teman yang sudah berkunjung ke blog ini dan mencari bacaan terkait bagaimana kuliah magister profesi psikologi dan semacamnya. Saya pikir belum ada yang mau berbagi selengkap ini sih.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Ohiya, hari ini saya mau sharing terkait perjalanan setelah lulus mapro psikologi.</div>
<div style="text-align: left;">
Mei 2017 lalu saya sudah wisuda dari mapro psikologi di UMM. Saya angkatan 2014 ya. Kalau sekarang mungkin ada beberapa peraturan kampus yang sudah berubah. Don't really know sih. </div>
<br />
<div style="text-align: left;">
Setelah saya lulus dari mapro, flashback sedikit, tibalah saya di titik menjadi "pengangguran lagi". Pengangguran yang sedang mencari pekerjaan dengan level berbeda. Kalau dulu saya pernah mencicipi jadi Dosen meski cuma sebentar, maka hasrat untuk menjadi dosen sesaat setelah lulus dulu masih berapi-api. Lalu, saya masukkanlah lamaran kerja ke mana-mana. Ke perusahaan kecil hingga yang besar (dan kenapa ke perusahaan sedangkan saya ini lulusan psikolog klinis, saya bahkan sepak terjang saja semua lowongan yang ada, di pikiran saya saat itu yang penting kerja, titik). Lalu, setelah berbulan-bulan menanti, ada panggilan di salah satu BUMN ternama di Jakarta. Saya sebenarnya tidak diijinkan oleh ortu tetapi saya ngeyel sedikit dan akhirnya berangkat dengan catatan dari bapak, harus ditemani mama. Oke, Saya pun ikut seleksi. Dan, saya gagal (tidak ada panggilan pasca psikotes hari itu). Saya kembali ke Malang dan melanjutkan petualangan mencari lowongan lagi.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Saya pun mengirimkan berkas ke UMM, kampus saya sendiri. Dan, saat itu saya terlambat memasukkan berkas. Oke, otomatis saya ditolak. Lalu, CPNS sudah dibuka, saya daftar formasi dosen di salah satu kampus negeri berbasis Islam di Malang. Saya gagal. Saya ikut lagi di kampus itu untuk formasi NON CPNS, saya pikir saya punya peluang besar untuk lolos, eh ternyata mereka mengutamakan pelamar yang sudah lebih dulu pernah menjadi dosen LB di kampus tersebut. Saya gagal lagi. Pergantian tahun dan CPNS buka kembali, saya mencoba daftar formasi dosen di kampus negeri lagi, lagi dan lagi saya gagal di tes CAT.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Saya rehat dari petualangan itu... dan salah satu dosen senior di kampus mengontak saya. Beliau memberikan saya pe er yang berbayar. Jadi, waktu itu beliau sedang menulis buku BERLIAN (buku tentang play therapy) dan saya dipercayakan oleh beliau untuk mengedit beberapa bagian naskahnya. Alhamdulillah, saya dapat pemasukan dari tiga kali project editing yang beliau berikan pada saya. Tidak lama setelah itu, saya pun ditawari kembali oleh dosen tersebut untuk mendaftar sebagai TUTOR di Lab Psikologi kampus. Singkat cerita, saya diterima. Saya persingkat lagi, dan saya pun kembali mengirimkan lamaran dosen ke kampus saya sendiri sembari saya bekerja sebagai tutor. Tetapi nihil. Padahal dekan saya sendiri yang meminta untuk memasukkan berkas. Namun, di sepanjang proses penyeleksian, saya bahkan tidak diberikan konfirmasi apapun terkait apakah saya diterima atau ditolak. Saat memasuki ajaran baru, tahu-tahu saya dengar sudah ada dosen baru yang masuk dari hasil seleksi tersebut. Yap, sakit tapi tak berdarah dan saya mencoba sembuh dari kekecewaan itu. Saya terima.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Saya pun diangkat menjadi karyawan kontrak oleh Universitas dengan posisi sebagai Instruktur di Lab Psikologi. Karena satu dan lain hal, kebijakan mendadak, sangat mendadak dari kampus, membuat saya harus... diPHK. Sedih? Iya. Kecewa? Iya. Kecewa sebab tidak ada konfirmasi apapun saat saya mencoba menerima tawaran memasukkan berkas dosen. Sedih karena tiada angin dan hujan tiba-tiba ada peraturan bahwa kampus sudah tidak menerima calon dosen yang S2 nya lulusan dari kampus sendiri dan tidak boleh ada lulusan S2 yang menjabat sebagai instruktur atau tutor di kampus. Seketika saya gamang harus ke mana lagi. Seketika langit putih biru di atas kepala saya berubah jadi suram, kelam, abu-abu menuju.. hitam. Dunia seakan berhenti sekejap.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Singkat cerita, pasca Juni 2019 lalu, saya sudah tidak lagi bekerja di kampus. Tidak ada keliling ke fakultas sebagai instruktur yang mengasistensikan dosen selama proses belajar mengajar. Pun tidak juga bekerja sebagai instruktur di Lab Psikologi kampus. Saya keluar dengan hati yang sungguh patah, berkeping-keping. Dalam sekian tahun petualangan saya harus berujung pada begitu banyak penolakan. Mungkin ini juga soal nasib. Apakah itu berarti nasib saya jelek? Saya tidak mau bilang begitu karena saya yakin Allah pasti sedang mengatur rencana yang terbaik bagi saya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Akhirnya, saya putuskan untuk mengurus sesuatu yang selama dua tahun sejak lulus sempat saya skip sejenak. STR dan SIPPK. Yap, saya putuskan untuk menjadi seorang freelancer. Menjadi associate psikolog bagi yang membutuhkan dan menjadi freelance writer untuk situs yang menyenangi kualitas tulisan saya dan fokus membangun self-branding terkait profesi psikolog klinis saya. Alhamdulillah sejak akhir 2017 hingga sekarang, saya juga sedang merintis Biro Psikologi bersama rekan-rekan sejawat saya, ada adek tingkat dan kakak tingkat. InsyaAllah proses perizinannya masih berjalan dan mudah-mudahan bisa diterima oleh masyarakat. Biro saya namanya Taka Psikologi. Merintis dari nol tentu tidak sama dengan yang sudah punya banyak uang di awal. Tapi kami yakin, rezeki masing-masing sudah diatur. Walau di Malang sudah banyak biro psikologi yang lebih dulu terkenal, itu bukan masalah buat saya dan teman-teman. Saya dan teman-teman toh tidak ingin berkompetisi karena kami juga punya ciri khas dan target masing-masing.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Setelah lulus mapro, urusan sebagai psikolog tidak berhenti di situ saja. Urusan ini berlaku seumur hidup. Apakah urusan yang saya maksud? Urusan keanggotaan dan administratif lainnya. Setelah sumpah profesi dan memperoleh SSP dan SIPP, perjuangan tentu tidak berakhir di situ. Sebab PERMENKES sudah mengeluarkan aturan baru bahwa psikolog klinis adalah bagian dari tenaga kesehatan dan peraturannya hak dan kewajibannya diatur dalam undang-undang oleh MENTERI KESEHATAN RI. Otomatis, kita harus punya STR dan SIPPK.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sebelum mengurus STR, harus sumpah profesi klinis dulu. Loh, kan dulu sudah sumpah profesi, kok sumpah lagi? Ya, memang begitulah syaratnya. Harus sumpah profesi yang khusus psikolog klinis. Caranya? Rajin-rajin update informasi di web atau IG IPK Indonesia saja ya untuk tahu di mana dan kapan jadwal sumpah profesi psikolog klinis akan diadakan. Alhamdulillah waktu itu saya sudah ikut sumpah profesi klinis yang kebetulan diadakan di Surabaya. Kemudian dari sumpah itu, saya mendapatkan Surat Sumpah Profesi yang kemudian itu sebagai salah satu syarat berkas untuk mengurus STR. Untuk kelengkapan berkas mengurus STR mending langsung saja buka laman STR ONLINE ya, di situ lengkap kok. Kalau saya jelaskan di sini, tangan saya nanti keriting.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Setelah STR jadi dan sudah ada di tangan, harus mengurus SIPPK (Surat Izin Praktik Psikolog Klinis) dengan meminta rekomendasi surat izin praktik ke IPK wilayah tempat kamu berada dan terdaftar sebagai anggota IPK. Setelah itu membawa surat rekomendasi tersebut menuju ke DINKES KOTA/KABUPATEN setempat sesuai dengan alamat praktik. Kalau alamat praktik kita itu di rumah alias praktik perseorangan psikolog klini ya sesuaikan letaknya di kota atau kabupaten berarti ngurusnya mengikuti dinkes kota atau dinkes kabupaten. </div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Alhamdulillah saya sudah punya STR psikolog klinis dan sekarang sedang memulai mencari informasi untuk mengurus SIPPK. Saya sedang mengejar karena November tahun ini SIPP saya akan berakhir masa berlakunya. Jadi sebelum berakhir, saya harus segera mengurus SIPPK. Kalau SIPP mati terus mau ngurus SIPPK, ada syaratnya harus kredensial/ujian lagi sepertinya (untuk info jelasnya tanyakan saja langsung ke sekret IPK Wilayah atau IPK Indonesia ya).</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sekarang saya kesibukannya tidak banyak dan tidak serutin dulu. Tapi banyak hal yang saya syukuri. Saya buka praktik di rumah menangani klien di rumah jadi saya punya banyak waktu untuk branding, untuk mengedukasi masyarakat melalui Instagram, dan waktu ibadah pun jadi lebih fokus dan selalu berusaha tepat waktu untuk sholat. Soalnya kalau kerja kadang harus nunggu selesai kelas dulu baru sholat kadang juga susah tepat waktu. Saya juga jadi lebih mudah untuk ikut kegiatan seperti seminar, workshop lintas ilmu. Sekarang ini saya tertarik dengan dunia membangun bisnis. Ya karena tergerak dari merintis biro bareng teman, jadi saya juga sedang mencari workshop supaya dapat ilmu membangun bisnis di era digital seperti sekarang ini. Saya juga berusaha rutin memberikan edukasi di Instagram. Kalau mau main, monggo saja, Instagram saya @paresma.psikolog.<br />
<br />
Alhamdulillah semua saya syukuri. Apapun itu, saya yakin rezeki saya sudah ada dan pasti akan datang kapanpun di manapun asal saya berusaha.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Semangat buat teman-teman yang ingin kuliah di Psikologi, ingin lanjut Mapro psikologi klinis dan/atau yang sudah lulus dari Mapro. I feel you. Don't Give Up.</div>
<br />paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-2486567243572040502019-05-13T13:20:00.000+07:002019-08-21T18:41:38.614+07:00DOWN AS A STRENGTH<div style="text-align: center;">
<blockquote class="tr_bq">
<i>"Life has pounded me down and trashed me around, Time and time again, But I always get right back up, Because I still love life--just as the earth still loves the rain."</i></blockquote>
-Suzy Kassem, Rise Up and Salute the Sun: The Writings of Suzy Kassem-<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQIrG_ALosiQIVBv4KmIfaxO82n1re997u0XZ1KfBN5FULXSlbaJ-8qVi_wfumaNmr6_W6KYvrU9O1Acg1GOSUVp757Eq7SJaqRyoiET2bmpab71p_bjx78md-iBKLaosstv0NjaqJdtk/s1600/2018-02-14+20.47.17.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="471" data-original-width="628" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQIrG_ALosiQIVBv4KmIfaxO82n1re997u0XZ1KfBN5FULXSlbaJ-8qVi_wfumaNmr6_W6KYvrU9O1Acg1GOSUVp757Eq7SJaqRyoiET2bmpab71p_bjx78md-iBKLaosstv0NjaqJdtk/s320/2018-02-14+20.47.17.png" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Paralayang Batu, Photo by Me</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi satu tahun, satu bulan, satu minggu, satu hari hingga satu detik ke depan. Sama seperti hari kemarin. Hari penentuan yang mengguncangkan pikiran dan perasaan walau sebenarnya sudah <i>prepare </i>sejak awal. Hari penentuan yang membuat saya harus memilih dengan saklek: melangkah mundur. Mundur yang saya definisikan di sini sesaat terpatri seperti makna kekalahan dan kekecewaan. Namun sesungguhnya esensi dari melangkah mundur yang saya maksud mungkin sejatinya merupakan kiriman jawaban dari Allah agar saya bisa merencanakan <i>planning </i>lain yang lebih baik untuk menenangkan hidup ke depan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak mudah untuk menerima sebuah syarat yang terlontar begitu saja dari sebuah lingkungan tempat kita bernaung termasuk di tempat kerja. Tapi, mungkin dan semoga saja ini menjadi pilihan terbaik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalut, gundah, hampa, hingga perasaan kurang semangat untuk berangkat kerja sudah saya rasakan beberapa hari sejak vonis pilihan itu. Bukan hanya saya, tapi juga teman-teman lain. Di saat inilah, pikiran terforsir untuk segera menemukan solusi bagi diri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seorang teman berkata, "Sudah berapa banyak kekecewaan yang Mbak terima dari pihak atas di tempat itu dan semoga Allah akan ijabahi doa-doa Mbak."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Membaca ucapan yang tertulis dalam secarik surel seorang teman itu membuat relung hati kembali mengaduk luka yang sempat kering (sebentar) tapi kemudian kembali menganga, melebar dan saya hanya berharap dapat lekas sembuh setelahnya.<br />
<br />
Ya, siapa sih yang tidak tersakiti ketika setelah sekian tahun kamu bekerja di tempat yang selama ini membesarkanmu, lantas tiba-tiba keabsurd-an terjadi dan beberapa pihak mengatakan bahwa, "Instruktur tidak boleh ada yang telah lulus S2 atau sedang menempuh S2." ditambah beberapa kali melamar menjadi dosen atas permintaan dari dekanat sendiri, lantas dijatuhkan begitu saja dengan tidak adanya konfirmasi apapun yang terlontar dari mereka untuk saya. Tidak ada konfirmasi diterima, tidak juga ditolak. Didiamkan. Diabaikan. Baru selang beberapa bulan kemudian, terbitlah penolakan secara sepihak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
----------<br />
Allah pasti punya rencana yang lebih baik dan terbaik daripada semua ini. <i>Flashback </i>ke beberapa tahun lalu hingga sekarang, mungkin saja bagi sebagian orang bisa saja menyerah ketika menjadi saya. Di usia saya yang kini sudah nyaris menginjak kepala tiga, saya masih belum mendapatkan pekerjaan tetap. Meskipun demikian, kilas balik dari semua itu, masih banyak yang patut saya syukuri. Sekarang saya punya tim yang bareng-bareng mengembangkan biro psikologi. Yang tadinya saya juga tidak membayangkan akan punya biro Taka Psikologi ini bareng teman-teman. Alhamdulillah mereka pun adalah orang-orang baik, insyaAllah.<br />
<br />
Saat ini, saya hanya bisa berusaha dan terus berusaha, mencari peluang yang sekiranya memang sangat bisa untuk diambil. Walau tempat di mana saya belajar sekian tahun tidak membutuhkan saya lagi, tidak masalah, saya masih mampu bertahan di luar tempat tersebut karena saya punya Allah.<br />
<br />
Sekian banyaknya ujian yang saya terima hingga saat ini, saya jadikan sebagai manfaat dan pelajaran untuk ke depannya. Kadang kita perlu mengalah dan mundur. Mengalah bukan berarti kalah, namun mengalah untuk menyusun strategi kemenangan selanjutnya.<br />
<br />
Usia bukanlah tolak ukur kesuksesan. Selama mau berusaha, di usia berapapun itu, kalau memang sudah <i>timing</i>nya maka insyaAllah pasti kesuksesan itu akan datang walau mungkin <i>packaging</i>nya bakal berbeda-beda bentuknya.<br />
<br />
Thank you my Lord Allah, udah ngajarin banyak hal selama hidup. Saya tahu bahwa masih ada yang lebih sulit daripada saya. Saya tidak menyerah. Saya masih mampu. Saya punya Engkau. Biarlah Engkau yang membalas semua ini dengan sesuatu yang indah di depan nanti.<br />
Aamiin...</div>
</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-43235121783321260892018-10-07T11:09:00.002+07:002018-10-07T11:09:49.498+07:00APA RENCANA SELANJUTNYA<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgE3bmpBr_RyDTfrzmVxJ5FxAytyBVKOf3d6YGMWMPfJ54U2czXH_mBhrkv8BHa9IxX4ncCG3VCSWE5o0TKDBaIoVgfoSVa46-ryt16rUV-jHzMdZALujfUMIDPVJ3p2Ma7PqF4GviWdLg/s1600/BRIAN+TRACY.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="800" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgE3bmpBr_RyDTfrzmVxJ5FxAytyBVKOf3d6YGMWMPfJ54U2czXH_mBhrkv8BHa9IxX4ncCG3VCSWE5o0TKDBaIoVgfoSVa46-ryt16rUV-jHzMdZALujfUMIDPVJ3p2Ma7PqF4GviWdLg/s400/BRIAN+TRACY.png" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Image by Paresma</td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Terhitung sejak Februari lalu saya bekerja di kampus sebagai tutor dan sejak April dikontrak oleh Universitas Muhammadiyah Malang sebagai karyawan dengan perjanjian khusus (Instruktur).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kerjanya gimana tuh? Kayaknya saya udah cerita deh di postingan sebelum-sebelumnya. Monggo dibaca aja (wkkk ketahuan deh kalau malas mengulas lagi).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Ini sudah Oktober dan gak terasa sih udah delapan bulan saya kerja di kampus. Betah gak? Kalau soal iklim kerja, saya juga nggak bisa bicara banyak karena pasti akan sangat subjektif. Yang pasti, nyaman-nyaman aja sih cuman ya itu ribetnya di manajemen waktu, manajemen kelas kalau pas asistensi apalagi kalau andai dapat kelas dengan jadwal asistensi sama alias tabrakan. Nah, pusing dah tu kan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kenapa sih gak lamar jadi dosen aja? Pertanyaan ini kerap saya peroleh dari orang lain maupun teman dan keluarga. Tahun lalu sampai tahun ini total sudah lima kali saya pernah mencoba melamar di posisi dosen termasuk di kampus sendiri. Tapi entah saya juga gak paham, hasilnya semua nihil a.k.a. ditolak gaes wkwkk. Gak paham juga dengan beberapa lamaran yang saya masukkan memang penilaiannya ada yang kurang <i>fair</i> menurut saya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tempo hari, Kepala Lab memanggil saya ke ruangan beliau. Saya pikir ada mandat tugas baru lagi dari beliau seperti mencari jurnal atau ditugaskan untuk lainnya. Eh ternyata beliau mengajak saya berbicara seputar "salah satu rencana hidup saya yaitu di sub bagian karir atau pekerjaan". Saya juga heran kenapa beliau tiba-tiba menanyakan mau ke mana kah saya setelah kontrak selesai, apakah saya perlu memperpanjang kontrak dan hanya menjadi instrktur? Kenapa gak lamar jadi dosen saja di kampus sendiri dan kampus lainnya? Dan orientasi karir mau ke arah mana?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berentetan pertanyaan yang jatuhnya jadi obrolan semacam curhat ke Kepala Lab yang juga dulu beliau adalah dosen pembimbing tesis saya, menurut saya, mungkin beliau paham bahwa saya gak seharusnya stagnan di situ-situ aja. Apalagi dengan pendidikan sudah strata-dua mengapa hanya bekerja sebagai instruktur dan gak mencoba di tingkatan yang lebih tinggi. Jujur, saya pun masih bingung dan berharap semoga kegalauan memikirkan rencana selanjutnya ini bisa segera mendapatkan secercah jawaban tiga bulan sebelum kontrak berakhir April nanti.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya juga pengen bisa menabung lebih banyak. Salah satu teman kerja saya pun tahu bahwa saya akhir-akhir ini cukup menghemat dan sebagian besar uang gaji saya terhitung gajian kedua hingga keempat masih cukup banyak. Saya hanya memakai uang hasil ceperan dari tugas-tugas lain di kampus untuk biaya beli bensin, jajan (sesekali aja) dan beli keperluan pribadi (sabun dll). Saya sampai segitu ketatnya menabung karena gak ingin kejadian di masa lalu terulang dimana ketika saya dulu mendapatkan royalti berlimpah, semua habis gak bersisa untuk saya pakai sebagai sangu kuliah sehari-hari, makan, hang out dan lainnya. Penyesalan itulah yang membuat saya agak irit dan nyaris mikir berulang kali untuk mengeluarkan uang demi hal yang bersifat konsumtif.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya paham betul bahwa maksud Kepala Lab menanyakan hal itu sebagai tanda kepeduliannya pada saya. Saya seharusnya bisa lebih dari itu. Saya juga sebenarnya pengeeen banget bisa ikut seminar untuk meningkatkan kompetensi di bidang HR atau di bidang klinis dan lainnya. Hanya saja gaji yang saya terima tidak sebanding dengan biaya seminar fantastis yang musti dibayarkan. Jadi, ya... saya mengurungkan diri terus setiap kesempatan seminar itu ada. Saya juga gak mau merepotkan orangtua dengan minta lagi ke mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Semoga saya bisa segera mendapatkan "<i>insight</i>" untuk segera <i>move forward</i>. Saya ingin mengembangkan diri lebih tinggi lagi, bisa menambah networking lebih luas lagi dan punya <i>skill </i>serta kompetensi yang memadai. <i>Please God, help me now</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i><br /></i></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxabOVps_SLi1c8qA3kQulmOc-gHGKmxMHGQjntwG44RmpjG8ToTYKgo-9W4sEEDEhxi1i3NdDIpC8Aj15yXSOpkyQHUpXMyy0TBMG7NBulRAbn2DbsmNk3uvXgQUPF2e0q6Ydkwc9eaA/s1600/bitmoji-20171025112201.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="396" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxabOVps_SLi1c8qA3kQulmOc-gHGKmxMHGQjntwG44RmpjG8ToTYKgo-9W4sEEDEhxi1i3NdDIpC8Aj15yXSOpkyQHUpXMyy0TBMG7NBulRAbn2DbsmNk3uvXgQUPF2e0q6Ydkwc9eaA/s320/bitmoji-20171025112201.png" width="318" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-53655988192334082632018-06-03T15:29:00.001+07:002018-06-03T15:43:26.554+07:00COMPARE YOURSELF TO OTHERS IF...<blockquote class="tr_bq" style="text-align: center;">
<i>"I will not reason and compare; my business is to create"</i></blockquote>
<div style="text-align: center;">
-William Blake-<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7GjYXwOJy4zKEdkXYKjQtGK2PeNSIdspwffjLmDrwGFDxtnFt_WpwPl2xs29N2UqLXUm-6GfGaQCgd8dH4XwVnPy2laHAc4ilVEzhe67ncFq0mTbHO-L4TD-rS2hyphenhyphen30O8oxp47mFpT_U/s1600/depositphotos_6300578-stock-photo-envy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="337" data-original-width="450" height="479" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7GjYXwOJy4zKEdkXYKjQtGK2PeNSIdspwffjLmDrwGFDxtnFt_WpwPl2xs29N2UqLXUm-6GfGaQCgd8dH4XwVnPy2laHAc4ilVEzhe67ncFq0mTbHO-L4TD-rS2hyphenhyphen30O8oxp47mFpT_U/s640/depositphotos_6300578-stock-photo-envy.jpg" width="640" /></a></div>
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>It's natural to compare ourselves to others but sometimes it makes us unhappy even if we have enough with what we have or done. </i>Banding-membandingkan ini saya yakin sih itu jadi salah satu pencetus kemunculan pepatah bahwa rumput tetangga lebih hijau. CMIIW. <i>kidding</i>.<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Merasa karir masih di situ-situ aja sementara teman-teman lain sudah sampai pada level tertinggi. Merasa bahwa pasangan orang lain jauh lebih perhatian daripada pasangan sendiri. Merasa bahwa teman sudah sidang skripsi/tesis sedangkan diri sendiri masih mandeg di proposal. Merasa bahwa anak sendiri belum bisa <i>say mama or papa</i> sementara bayi anak orang lain udah bisa ngoceh banyak kata. Merasa bahwa hidup diri sendiri jauh lebih sulit sedangkan orang lain berlimpah bahagia. Sampai kapanpun proses membandingkan yang berlangsung itu gak akan membuat kita <i>get well or enough.</i> Semakin banyak kelemahan yang dicari-cari maka akan semakin banyak pula pembanding yang jauh lebih baik di luar sana.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagian pakar, peneliti, penulis dan <i>coach</i> yang pernah saya dengar mengatakan bahwa yang namanya iri dan cemburu itu adalah hal yang dapat merusak diri sendiri dan merupakan suatu tanda <i>insecure</i> terhadap apa yang diirikan atau dicemburui. Tapi kalian pasti tahu kan bahwa iri itu juga punya bentuk positif. Nah, kalo cemburu? Ternyata cemburu juga ada dua jenis; <i>reactive and suspicious jealousy</i>. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bedanya iri sama cemburu itu apa? Iri itu adalah <i>wanting what someone else has. </i>Sedangkan cemburu adalah <i>when we worry someone will take what we have.</i> Oke jadi jelas ya bedanya apa?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu yang mau dibahas di sini apa? Kita bahas iri dulu ya.<br />
<br />
Iri itu adalah emosi dimana seseorang menjadi "terluka" karena melihat keberuntungan justru berpihak pada orang lain, bukan pada dirinya. Iri ini muncul karena ada komparasi sosial. Komparasi ini terjadi ketika orang lain yang diperbandingkan itu dipersepsi memiliki persamaan yang nggak jauh beda dengan diri sendiri seperti misalnya kita iri dengan teman yang berhasil juara kelas padahal sekolah di tempat yang sama dan sama-sama mendapatkan fasilitas serta pelajaran yang setara. Dengan kata lain, iri itu muncul karena <i>self-view</i> yang kita buat berdasarkan kacamata <i>why someone else being better off</i>.<br />
<br />
Waktu sekolah dulu dan penelitian belum berkembang pesat kayak sekarang ditambah akses teknologi <i>especially</i> bisa <i>browsing</i> ke mbah gugel pun masih jauh dari realita (konon, saya sebagai anak generasi Dilan dan Milea taunya ya masih ada wartel, hape juga masih jadul yang orang Parepare bilangnya hape pelempar mangga saking bodi hapenya yang berat, ke mbah gugel aja masih harus nyari PC di warnet, jaman dulu warnet isinya ya masih dipake buat <i>game online</i>, dan pas punya laptop pertama waktu SMA dulu tahunya cuma MS Word doang bahaha). Jadi akses ke ilmu pengetahuan yang lebih mendalam juga masih minim. Kalau dulu mah, iri itu di mana-mana konotasinya negatif, jelek, nggak boleh, dosa, de es be. Eh, ternyata makin bertambah usia, makin melek pengetahuan dan makin lancar akses informasi, baru tahu deh saya kalau iri itu udah pernah diteliti dan nggak cuma ada sisi negatif tapi juga ada positifnya.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOygMb102NXvQiI2xwrVPSdn10dCJJJFUnITU4spsKLVGZsg55krKctgMwQHGS5D7ls-Y2ga9AWcbi-3OKtxxVDocMUesp0t5yS7K06ASlbg0X_3i2_-Zb40CTuVatUSmYoBsmyDFRyy0/s1600/bitmoji-20171025111643.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOygMb102NXvQiI2xwrVPSdn10dCJJJFUnITU4spsKLVGZsg55krKctgMwQHGS5D7ls-Y2ga9AWcbi-3OKtxxVDocMUesp0t5yS7K06ASlbg0X_3i2_-Zb40CTuVatUSmYoBsmyDFRyy0/s320/bitmoji-20171025111643.png" width="320" /></a></div>
<br />
Jadi gaes, dari penelitian yang dilakukan oleh Van de ven, Zeelenberg dan Pieters pada tahun 2011 dan studi oleh Gersman pada 2014 menemukan bahwa iri itu ada dua macem, iri yang sifatnya destruktif dan ada pula yang sifatnya <i>improving</i>. Dari penelitian itu, iri yang bersifat destruktif itu disebut <i>Malicious envy</i> kalau bahasa jermannya <i>Misgonnen</i>. Sedangkan iri yang sifatnya membangun itu disebut <i>Benign envy </i>atau dalam bahasa jerman <i>Beniden</i>.<br />
<br />
<i>Benign envy</i> ini berdampak positif karena saat seseorang melihat rekan lain bisa mencapai target yang lebih baik, lebih berprestasi dan lebih lebih lainnya, maka hal tersebut dipandang sebagai pemicu diri untuk lebih semangat. Ya, semangat untuk meningkatkan performa, meningkatkan kualitas dirinya, aktif melakukan perbaikan dan pengembangan diri sehingga bisa menyamai atau bahkan melebihi diri orang lain yang jadi pembandingnya tadi.<br />
<br />
<i>Malicious envy</i> justru sebaliknya, karena dalam <i>malicious </i>ini mengandung perasaan dengki sehingga saat melihat orang lain lebih sukses dari dirinya, ia merasa tertekan, frustrasi, enggan berusaha lebih, menghindari <i>trial error</i>, takut terhadap kegagalan dan keseringan mundur daripada mencoba. Hal ini disebabkan ia merasa nggak mampu menyaingi orang lain yang jadi pembandingnya. Hahaha... mungkin nggak sih, orang yang sampai berkata bahwa Tuhan itu nggak adil, kenapa orang lain ditakdirkan lebih sedangkan dirinya segitu aja juga bisa disebut iri yang <i>malicious</i>? <i>Maybe </i>ya.<br />
<br />
Beberapa minggu yang lalu, di kampus kedatangan alumni angkatan 2010. Eh kebetulan aja si Bapak dosen mempersilakan si alumni ini buat ngisi di kelas. Dia itu sekarang lagi menjalani program magang agar bisa dapat "tiket" untuk beasiswa kuliah S3 di luar negeri, jadi magangnya itu di luar negeri juga (lupa di negara mana hahaha, ketahuan deh kalau nggak begitu perhatiin). Ngisinya pake ngomong Bahasa Inggris pula cas cis cus lancar jaya kayak Bus Sumber Kencono yang melaju secepaat terbangan Superman (mulai ngaco deh). Iya wajar sih soalnya ngisinya di kelas F (kelas bilingual kalau di Psikologi). Saya bahkan nyaris lupa kalau saya juga alumni kelas F,<br />
<br />
Materi apa yang dibawakan oleh si alumni itu? Materinya seputar motivasi gitu dah gimana caranya supaya adek-adek kelas F ini bisa nentuin <i>passion</i>, <i>purpose</i> alias mau ke mana mereka dan apa yang ingin mereka ciptakan di masa mendatang. Meski pada akhirnya teori kadang nggak selalu berbanding lurus bin mulus dengan praktik di lapangan faktualnya, namun seenggaknya hal itu bisa melecutkan semangat belajar, biar nggak hobi alpha doang gitu di kelas ya kali aja. Buktinya juga ada satu di antara mereka yang dibebastugaskan penelitian skripsi karena berhasil mengikuti dan meraih penghargaan The Best Young Sociopreneurship Leadership Exchange gitu dengan catatan produk atau hasil karyanya kemaren itu tinggal digubah formatnya dalam bentuk skripsi aja.<br />
<br />
Lalu, di akhir kata Bapak dosen ngasih semacam quote gitu yang bunyinya kurang lebih gini, <i>"Kita hidup di tanah yang sama namun yang membedakan antara kita dengan lainnya adalah sejauhmana batas horizon kita berada."</i><br />
<i><br /></i>
Nah, apa hubungannya dengan bahasa iri tadi. Jadi korelasinya adalah, sebenarnya iri itu nggak masalah kok, nggak masalah jika membandingkan diri sendiri dengan orang lain asal dengan catatan menjadikan pencapaian dan keberhasilan orang lain sebagai pecutan untuk giat berkarya, berusaha, berdoa mewujudkan apa yang menjadi tujuan dan cita-cita. Bukan hanya menjadi pengecut yang belum apa-apa udah bilang nggak bisa. Tapi coba sesekali menantang diri bahwa kita mampu menyamai atau bahkan melebihi orang yang pernah menjadi penyebab kita iri.<br />
<br />
Kadang saya jadi mikir, apakah para motivator itu tercipta dan makin banyak menjamur karena dulunya mereka juga sama, berada di posisi yang persis kayak kita sekarang? Tapi dengan <i>benign envy</i> yang dimiliki orang-orang itu dan tentunya pengamatan dan pengalamannya bertemu dan berelasi dengan orang banyak akhirnya mereka bisa jauh lebih sukses daripada yang dulu. Bisa jadi sih.<br />
<br />
Eh eh, saya jadi teringat dengan postingan Instagram simbak pembawa berita yang termashur itu. Postingannya panjang lebar namun intinya menyarankan pada generasi muda Indonesia untuk menemukan <i>passion</i>nya dan nggak hanya sekadar mau kerja sebagai PNS atau kerja di perusahaan ternama. Tapi, bisa menghasilkan sebuah karya abadi yang mempunyai daya pakai, daya jual, dan daya daya lainnya (apaan sih Ma) di masa depan. Lalu, postingan itu diserang bertubi-tubi oleh netizen. Netijen mikirnya seakan-akan simbak tadi banding-bandingin profesi ini dan itu dan akhirnya nggak terima kok dibanding-bandingin padahal tanpa adanya karyawan di perusahaan itu dan tanpa adanya PNS, ya proses perekonomian dan terlebih kehidupan mana bisa jalan. Kita memang perlu bercita-cita setinggi mungkin, kita boleh aja bermimpi menjadi seorang bos, tapi kita juga nggak bisa bekerja jika tanpa adanya bawahan dan di mana-mana tangga karir yang normal itu selalu dimulai dari level paling bawah dulu supaya bisa sampai ke puncak. Ah, simbak pasti paham namun mungkin sih, mungkin caranya mengemas <i>caption</i> terlalu berbelit-belit padahal maksudnya itu bukan untuk menjatuhkan profesi tertentu dan meninggikan derajat entrepeneur. Jadi, netijen pada salah paham kan yak bacanya.<br />
<br />
Kadang juga saya mikir, mungkin ada benarnya kali ya teorinya si Adler itu bahwa seseorang sejak lahir mempunyai bawaan yang disebut dengan <i>inferiority</i>. Perasaan kecil, minder, nggak percaya diri ditambah dengan makin banyaknya komparasi yang dilakukan maka lama-kelamaan memunculkan <i>effort</i> untuk meraih <i>superiority</i> dengan cara masing-masing. Tapi kalau dibahas dari sudut pandang Fitrah Based Education, jelas jauh timpang. Kalau di FBE, dijelasin bahwa sejak lahir, manusia itu sudah mempunyai fitrah yang terdiri dari 8 macam, salah satunya adalah fitrah bakat dan kepemimpinan. Supaya seseorang bisa menjadi <i>what they want to be and being as superior as its purpose</i>, tinggal diasah dan diarahkan aja fitrahnya itu dan pastinya memerlukan "kepekaan" juga kerja sama dari berbagai ekosistem, nggak hanya dari orangtua tapi juga lingkungan sekolah, <i>peer group</i>, lingkungan sosial yang lebih luas dan sebagainya.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3XmQhXORxLJc51PexKZdnGGwutQ8phVtrkZDK6MyjKaq8Mf71Ie8OraGsygg4vfo98k03QCypuGvPUE4WZfZe_jNVaY_NsHl_sg3tHZHi6QkGZ8gpfrMh_d8f-4mG4bd7As3JG3JrbHs/s1600/bitmoji-20171026023158.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3XmQhXORxLJc51PexKZdnGGwutQ8phVtrkZDK6MyjKaq8Mf71Ie8OraGsygg4vfo98k03QCypuGvPUE4WZfZe_jNVaY_NsHl_sg3tHZHi6QkGZ8gpfrMh_d8f-4mG4bd7As3JG3JrbHs/s320/bitmoji-20171026023158.png" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
Pada akhirnya kita nanti nggak akan dikenal dan dikenang melalui apa yang kita makan dan apa yang kita pakai atau hanya sebatas makna artifisial, melainkan kita perlu mencari makna sebagai apakah kita ingin dikenal dan dikenang kelak.<br />
<br />
Namun melihat realita <i>jaman now</i>, belom juga iri, komen baik-baik atau ngucapin selamat ke orang yang berhasil aja udah di-negative thinking-in, masuk ke lambe turah, netijen jadi julid. Pas udah iri, terjadilah perang dunia ke lima, main bunuh-bunuhan, perang-perangan sosmed, balas-balasan tik toh, <i>eh</i>..., saling blokir memblokir. Ah, itulah... sekarang tampaknya kok ya disepelekan banget, urusan komunikasi dan relasi jadi semudah menekan tombol ON dan OFF. Suka nggak suka dikit, iri nggak iri, tinggal Block.<br />
<br />
Maka<i>, </i>irilah dan bandingkan dirimu dengan orang lain jika rasa iri itu dapat membangkitkan gairahmu untuk menjadi lebih baik daripada sebelumnya, <i>not to impress others but to show it to yourself that you can and done it well.</i><br />
<br />
(<i>Next post</i> mungkin bisa kita bahas untuk versi <i>jealous-</i>nya)<br />
<br />
Sampai jumpa lagi</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-32632134202512737072018-05-17T14:35:00.002+07:002018-08-21T10:46:23.063+07:00HOW TO HANDLE WORKPLACE CONFLICT<blockquote class="tr_bq" style="text-align: center;">
<i>"Speaking without Thinking is like Shooting without Aiming."</i> </blockquote>
<div style="text-align: center;">
-Ancient Proverb- </div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<br />
Long time no see...<br />
Thanks for all my silent reader in here..<br />
<div style="text-align: justify;">
Sudah memasuki bulan Mei. <i>So excited</i> soalnya Mei itu adalah momennya si blog ini ulang tahun. Blog ini sejak Mei 2011 mulai beroperasi (tsaah... kek mau launching mobil aja ya pake kata beroperasi). Sekarang udah 2018 jadi udah 7 tahun. Wow... 7 tahun saya ngeblog meskipun dengan<i> time schedule</i> yang berantakan, maksud saya, udah mulai jarang-jarang ngeblognya karena harus <i>multi-tasking</i>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7pYL85NuGDPUhzVMECtmUMRnaRSI4-GX9ELstqeqqQwgwXQdE5VzskTs5Df9jyhb9LiCs30XJyQd07nxwHeLY02kq9MKNoyWMQTsSvZZXv09R-k4f6vcb9dof_cXyHwqajzNAQM-uwcA/s1600/bitmoji-20171025111447.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7pYL85NuGDPUhzVMECtmUMRnaRSI4-GX9ELstqeqqQwgwXQdE5VzskTs5Df9jyhb9LiCs30XJyQd07nxwHeLY02kq9MKNoyWMQTsSvZZXv09R-k4f6vcb9dof_cXyHwqajzNAQM-uwcA/s320/bitmoji-20171025111447.png" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Alhamdulillah tepat di bulan <i>blog anniversary </i>ini, saya juga udah dua bulan lebih bekerja di kampus. Kampus mana? UMM lagi cuy. Hahaha... Kalo ada yang bilang, kok di situ-situ aja sih? Kok nggak nyoba ke luar aja sih? Udah gans, tapi ya untuk saat ini rejekinya berlabuh di kampus sendiri. <i>But</i>, <i>it's seems..not bad </i>lah, daripada saya luntang-lantung di rumah cuman ngerjain itu-itu aja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kok agak nggak nyambung sama judulnya ya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kembali ke topik yang mau kita bahas. Judul ini bukan semata-mata saya comot dari pikiran mentang-mentang karena saya udah dapat kerjaan, bukan juga pengen gibah karena ini lagi ramadhan (oya betewe,<i> happy fasting</i> ya) dan bukan juga karena saya mau sok-sok jadi pakar resolusi konflik. Bukan. Kepikiran buat nulis tentang topik ini karena... di mana pun kita kerja dan apapun pekerjaannya, pasti akan ada konflik. Konflik apakah itu? Pastinya berbeda tiap orang tiap lembaga tiap perusahaan.<br />
<br />
Konflik adalah situasi dimana terdapat suatu ketidaknyamanan atau adanya tujuan, emosi atau kognisi yang tidak kompatibel di dalam sebuah perusahaan/lembaga/tempat kerja atau antara individu atau kelompok yang mengarah pada interaksi oposisi. Konflik bisa terjadi karena adanya ketidaksesuaian/pertentangan dengan pihak atau orang lain menyangkut kebutuhan. keinginan, persepsi, nilai, gagasan, sumber daya, minat, tujuan, kepribadian dan pendekatan dalam penyelesaian masalah. Dan... konflik adalah sesuatu yang normal terjadi sebagai bagian dari kehidupan berorganisasi, bekerja dan berinteraksi.<br />
<br />
Di awal-awal semester genap ini, saya sudah menghadapi konflik. Sebagai instruktur yang tugasnya menjadi perantara dosen dengan mahasiswa, banyak hal yang bisa aja terjadi. Miskomunikasi terkait jadwal perkuliahan, RPS, hingga terkait cara mengajar dosen ditambah mahasiswa jaman <i>now </i>yang udah kalo ibarat Bon Cabe tuh mungkin udah di atas level 30. <i>Why? </i>Mahasiswa jaman <i>now</i> itu udah nyaris-nyaris setara aja sama seorang kritikus, apa-apa dikomen, dapat tugas dari dosen susah sedikit aja dikomenin, dikeluhin de es be de es be...Syukurlah mereka nggak kayak penyanyi dangdut yang ngomenin segala sesuatunya pake dilagukan. Padahal teknologi tu udah canggih. Antara instruktur, mahasiswa dan dosen udah diwadahi Grup Whatsapp. Eh, tapi ada aja alasan mahasiswa nih, yang kalo buka WA saking udah panjang banget notifnya jadi males baca. Ya, salah siapa dong kalo ketinggalan info???<br />
<br />
Di semester ini, saya kedapetan matkul Tes Psikologi Lanjut yang isinya adalah praktikum tes proyektif. Dua dosen yang saya dampingi pun mempunyai karakter/ciri khas mengajar yang sedikit berbeda dibanding dosen-dosen lain dalam jajaran pengampu matkul itu. Jadi, saya awalnya juga udah nggak <i>shock</i> karena udah tahu jam terbang dosen-dosen tersebut dan pola pikirnya dan lainnya. Yang jadi konflik adalah bagaimana memenej supaya meskipun ada dosen yang keurutan RPS berbeda dari dosen lainnya, mahasiswa tetap memperoleh tugas yang sama dan jadwal praktikum seperti kelas yang diampu dosen lain.<br />
<br />
<i>Overall</i>, semua bisa saya atasi. Mahasiswa pun udah paham, dan saya juga sering berpesan dan mengabarkan kepada dosen pengampu bahwa ketika mereka nggak masuk dan saya yang mengisi materi, saya selalu minta untuk dikoreksi apabila ada penjelasan saya yang nggak <i>match</i> atau menyimpang banget. Alhamdulillah dosen-dosen tersebut pun juga memahami bahwa meskipun saya udah S2 tapi nggak menutup kemungkinan kesalahan dalam penyampaian maksud dan tujuan iu muncul karena berbagai sebab.<br />
<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1V_t9jgNeVyg8mNNSutl5iFL8GX60u2HnTyraVuyhGQLYpLCzhStIDOR_NQ_KTdOLu6xujRbKRGlPOAbYHi82R0bcAgH_0lqgn1UkAt6tfdh_eEcbVa5wIFk7GqbEjLGo66z6giXwRvs/s1600/bitmoji-20171026021824.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1V_t9jgNeVyg8mNNSutl5iFL8GX60u2HnTyraVuyhGQLYpLCzhStIDOR_NQ_KTdOLu6xujRbKRGlPOAbYHi82R0bcAgH_0lqgn1UkAt6tfdh_eEcbVa5wIFk7GqbEjLGo66z6giXwRvs/s320/bitmoji-20171026021824.png" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<i>Next, how to handle when workplace conflict exist?</i><br />
<i><br /></i>
Coba deh kalian baca salah satu buku terbitan McGraw-Hill tentang sumber dan resolusi konflik. Atau, kalo kalian pernah baca <b>Five Conflict Management Style</b> yang diidentifikasi oleh Thoman dan Kilmann, maka mungkin kalian bisa mencobanya tuh.<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://id.pinterest.com/pin/317222367485305214/?autologin=true" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;" target="_blank"><img alt="Conflict Management Styles | Michelle Bañuelos | Pulse | LinkedIn" src="https://i.pinimg.com/564x/1b/0c/1a/1b0c1a3122ad4326b81106e555458514.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<br />
Jadi, menurut Thoman dan Kilmann, gaya manajemen konflik itu ada 5 tipe. Nah, melalui 5 tipe tadi, kita juga bisa mengidentifikasi orang ini nih termasuk asertif ataukah kooperatif dalam memenej konflik (seperti gambar di atas tuh. Mau dibahas satu-satu nggak? Okke, kita bahas deh ya.<br />
<br />
<ol>
<li><b>Accomodating, </b>Orang dengan tipe ini persis seperti slogan, mendahulukan kepentingan kelompok daripada kepentingan pribadi. Dibilang ngalahan, nggak juga sih. Cuman lebih bisa membangun emosi yang positif dengan lebih mendengarkan apa yang dibutuhkan orang lain dan perusahaan, percaya bahwa relasi itu adalah hal penting daripada hal lainnya, dan pendekatan accomodating ini dalam penyelesaian masalah akan efektif apabila pihak lain sudah mempunyai solusi terbaik sehingga bisa beradaptasi dengan keputusan atau solusi yang disepakati bersama.</li>
<li><b>Avoiding, </b>tipe pendekatan dimana seseorang dengan ciri seperti ini tidak ingin terlibat dalam konflik apapun. Bagi mereka, saat ada konflik, mereka membiarkan orang lain yang memutuskan dengan catatan asalkan diri mereka nggak disangkutpautkan dengan masalah yang terjadi. Orang kayak gini juga cenderung mengutamakan keuntungan pribadi atas solusi yang ditetapkan oleh orang lain namun dirinya sendiri nggak mau berkontribusi.</li>
<li><b>Collaborating, </b>orang dengan tipe pendekatan ini adalah mereka yang tidak berparadigma <i>win and lose</i>, buat mereka saat ada masalah, nggak ada yang untung atau rugi dan nggak ada yang menang dan kalah. Bagi mereka, bekerja/berusaha mencapai tujuan bersama dan "menang" bersama merupakan hal pokok. Orang kayak gini juga pandai mencari solusi yang dapat disepakati atau dapat bermanfaat bagi kepentingan bersama, mampu memantai ketika ada kres dalam relasi antar individu atau kelompok dan mampu berpikir kreatif dalam memecahkan masalah.</li>
<li><b>Competing, </b>orang dengan tipe pendekatan ini adalah mereka yang menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang banyak. Mereka ingin didengarkan dan dipenuhi kehendaknya tanpa memikirkan orang lain, nggak bisa diajak kooperatif alias keras kepala banget, mudah mengacaukan suasana dan relasi dan paradigma <i>win and lose</i> itu kepake banget. Tapi sebenarnya pendekatan ini akan berguna jika memang outcomenya sangat penting dan memang ada dalam situasi sangat mendesak alias harus mengambil keputusan dalam waktu singkat.</li>
<li><b>Compromising, </b>ini merupakan level pendekatan yang <i>moderate</i>, nggak yang asertif tapi juga nggak kooperatif. Orang seperti ini menganut paham bahwa ketika berada dalam situasi mencekam dan solusi yang diputuskan tidak cukup baik, maka semua orang mau nggak mau harus ngerasain "ketidakbaikan" atas konsekuensi dari solusi itu nantinya. Dengan kata lain, apapun solusinya dan konsekuensinya, akhirnya kudu sama-sama impas dah daripada nggak sama sekali.</li>
</ol>
<div>
<br /></div>
<div>
</div>
<br />
Nah, apapun pendekatan manajemen konflik yang digunakan, semua pasti ada sisi positif dan negatifnya. Tinggal kita aja yang siap apa nggak menghadapi dan memutuskan.<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
Oke, sekian dulu ya, semoga bermanfaat.</div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicicYAntpXhyzgZLnWh5a-m-RJIzwIkq3q6nb4BM3J6Y1uys3k_n0mGFlg2VzHZpDe6v438xXZSdVdKMKPN5WOPsd7EOOt6dhcixKdWfMo1heYLzEUBl9ZeCyZiwAicKNkJjmDjTeXQ9w/s1600/bitmoji-20171026021953.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="396" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicicYAntpXhyzgZLnWh5a-m-RJIzwIkq3q6nb4BM3J6Y1uys3k_n0mGFlg2VzHZpDe6v438xXZSdVdKMKPN5WOPsd7EOOt6dhcixKdWfMo1heYLzEUBl9ZeCyZiwAicKNkJjmDjTeXQ9w/s320/bitmoji-20171026021953.png" width="318" /></a></div>
</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-36628506554218822752018-03-04T18:46:00.002+07:002018-03-04T18:46:25.621+07:00TELL ME HOW TO SOLVE THIS GUILTY FEELING<div style="text-align: center;">
<img alt="Hasil gambar untuk guilty feeling quote" height="400" src="https://www.coolnsmart.com/images/cns/shame-guilt-difference.jpg" width="400" /></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br /><br />
<div style="text-align: justify;">
Beberapa hari lalu saya sempat chit-chat dengan salah seorang sahabat. Sebut saja namanya Melati. Melati ini kuliah Magister di salah satu universitas di Malang. Kalau ada yang baca ini dan kenal dengan orang yang saya maksud, saya nggak mau ngomongin dari belakang. Hanya mengambil banyak hikmah dan makna dari perjalanan hidup beliau saat ini. Yeah, mungkin di luar sana ada segelintir orang yang butuh di-refresh dengan contoh pengalaman nyata. Bisa jadi, ada yang punya pengalaman serupa dengan si Melati dan semoga kalian terinspirasi setelah membaca ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Guilt.</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Guilt merupakan penyesalan atas pikiran, perasaan, sikap atau keadaan negatif yang terjadi pada diri sendiri atau pada orang lain. Seseorang yang punya <i>guilty feeling</i> akan merasa seolah harus bertanggung jawab penuh atas kesalahan yang ia perbuat dan atas situasi buruk yang menimpanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perasaan bersalah itu <i>literally</i> punya manfaat bagi orang yang ngerasain. Manfaatnya adalah, dengan adanya perasaan bersalah, seseorang dapat melakukan introspeksi atau melakukan refleksi dengan mengaitkan antara dirinya dengan situasi negatif yang terjadi. Jadi, <i>guilty feeling </i>ini sebenarnya merupakan proses evaluatif supaya seseorang menyadari sesuatu yang salah, mengembangkan solusi untuk mengatasi "kesalahan" itu dan yang lebih penting lagi adalah menjadi sarana bagi seseorang untuk menerima situasi buruk yang menimpa akibat kesalahannya dan belajar tanggung jawab.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengakui kesalahan itu memang baik tapi memelihara perasaan tersebut terus-menerus hanya akan membuat hidup <i>stuck</i> di situ-situ aja. Bahkan, perasaan bersalah yang diinternalisasi secara berlebihan bisa saja menyebabkan seseorang jadi takut untuk melangkah ke depan, takut salah lagi. <i>Guilty feeling</i> yang sudah tidak sehat itu juga bisa membuat seseorang kebanyakan berimajinasi. Maksud saya, kebanyakan berandai-andai seolah dia harus begini dan begitu supaya nggak melakukan kesalahan atau supaya nasib buruk nggak menimpanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Guilt</i> berbeda dengan <i>regret</i>. Menurut Berndsen dkk pada penelitiannya tahun 2004 silam, bahwa <i>guilt</i> itu berhubungan erat dengan <i>interpersonal harm, it means</i> bisa mempengaruhi, membahayakan, merusak hubungan orang yang merasa bersalah itu (bukan hanya pada dirinya) tapi juga hubungannya dengan orang lain di sekitarnya. Sedangkan <i>regret</i> adalah sebaliknya, lebih banyak berhubungan dengan <i>intrapersonal harm.</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi, sebenarnya perasaan bersalah itu ada yang normal juga kan ternyata. <i>Guilt</i> juga punya kaitan erat dengan <i>prosocial behavior</i>. Dengan kita tahu kalau kita salah dan menyesalinya, kita jadi bisa berempati juga pada orang lain. Berbeda halnya dengan orang yang <i>guiltlessness</i> alias nggak punya rasa bersalah, hati-hati gengs. Orang yang kepekaannya nyaris nggak ada itu bisa kita lihat pada orang-orang dengan kepribadian antisosial. Orang dengan kepribadian antisosial ini sulit untuk peduli pada sesuatu dan sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Dan lagi, mereka yang nggak punya rasa bersalah ini-kalau di dalam literatur psikologi tentang <i>guiltlessness</i>-itu diidentikan dengan minus <i>moral emotions</i> sehingga mereka cenderung bertindak <i>immorally</i>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjs0rJjvPZjEWesOPwSHLMy-Z009m1N8C4oqgnqr5_kDeTnIjVvIhpvZZaBzUIA6JJwVPp8mtQzxTULJ6SIh7Sgp1oCKR2bPB4uuqLyuFmEfHPflm5ok_rwncjkWUteDuUcCqOaPSt96qg/s1600/bitmoji-20171025112144.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjs0rJjvPZjEWesOPwSHLMy-Z009m1N8C4oqgnqr5_kDeTnIjVvIhpvZZaBzUIA6JJwVPp8mtQzxTULJ6SIh7Sgp1oCKR2bPB4uuqLyuFmEfHPflm5ok_rwncjkWUteDuUcCqOaPSt96qg/s320/bitmoji-20171025112144.png" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ya, namanya manusia, kita memang punya kendali atas apa yang ingin kita capai, tapi Tuhanpun juga bekerja. Terkadang, ada saat dimana situasi nyata nggak sejalan dengan harapan. Kadang pula kita harus ditempa berbagai ujian, kesalahan dan kegagalan. Supaya apa? Supaya kita bisa belajar untuk meminimalisir peluang jatuh pada kesalahan dan kegagalan yang sama. Tapi, ada juga sih tipe orang-orang yang sampai sedemikian sering gagal dan bersalahnya, sampai nggak bisa berpikir realistis, depresi, hingga menjauhi segala hal yang berhubungan dengan pemicu <i>something</i> yang pernah buat dia salah dan gagal atau dengan kata lain nggak mau <i>trial and error</i>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menilik pengalaman sahabat saya tadi yaitu si Melati, saya terus terang aja iba sama dia. Dan, ini adalah titik dimana ia baru pertama kali merasakan hal ini dan melakukan seperti ini. "Ini" yang saya maksud adalah... Jadi, singkat cerita, dia lagi kebut tesis, namun selalu susah menemukan judul. Pas sudah nemu judul, dosennya menganggap itu tuh cuma ecek-ecek (dosennya menolak). Belum lagi, Melati harus berbohong pada orangtuanya. Melati kerap mengatakan bahwa dia sebentar lagi bakalan selesai, namun kenyataannya bahkan proposal pun dia belum bikin juga.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Melati juga sempat depresi, beberapa minggu nggak keluar kamar kos. Semua rutinitas tampak terhenti begitu saja. Belum lagi, dia juga sempat mengalami infeksi kandung kemih. Alhamdulillahnya, sekarang kondisinya sudah membaik. Tapi, karena dia jarang sekali keluar kos, jarang menghirup udara segar, terus-terusan madep laptop namun nggak kunjung dapat pencerahan, pikirannya pun jadi kalut, sulit berkonsentrasi dan motivasinya hilang timbul begitu saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya yang notabene nggak sejurusan sama dia pun nggak bisa banyak bantu. Sebagai psikolog, ingin sekali pastinya ngebantu Melati, namun bantuan saya tampaknya nggak ada yang mempan untuk Melati. Sudah coba konseling, bahkan kasih terapi sederhana, besok-besoknya Melati juga nggak bisa konsistens ngejalaninya sampai <i>drop </i>lagi. Satu sisi saya kasihan, tapi satu sisi lagi saya juga nggak ngeh dengan bidang mata kuliahnya yang mana jika itu diterapkan dalam sebuah penelitian, <i>output</i>nya bagaimana dan metodenya seperti apa dan isu yang diteliti itu apa. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga hal yang sering saya lakukan untuknya adalah menyemangati, ngajak jalan/refreshing dan mendoakan. Walau frekuensinya juga nggak sering karena tahun lalupun saya masih sibuk kuliah masa-masa tesis juga. Saya juga sempat ngajak Melati turlap bareng saya dengan harapan dia bisa sedikit terhibur dan pikirannya bisa segar kembali. Namun, setelah saya jarang mengunjunginya karena saya pun sudah kerja, dia kumat lagi. Sungguh, ini saya pikir kurang ngebantu sih buat Melati. Yang dia butuh tuh bantuan konkret seperti membantunya nemuin <i>gap</i> penelitian, metodenya bagaimana dan harus mulai dari mana ngetiknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tahun lalu, saya juga sudah ngajak dia konseling dengan teman saya. Awalnya, motivasinya mulai terang, tapi sepulang dari situ, redup lagi. Kambuh-kambuhan gitu dah. Kan ada tuh kan masa-masa dimana ketika kita bisa bantu ngasih <i>insight</i> ke orang lain supaya sadar dengan apa yang "abnormal" dalam dirinya, dan supaya orang tersebut bisa lebih mudah diarahkan sampai kita ngerasa <i>effortless. </i>Maksud <i>effortless</i> di sini, tanpa banyak usaha yang aneh-aneh, tanpa usaha yang ekstrim-ekstrim karena orangnya juga mudah diarahkan, kita sebagai psikolog ngerasa seneng juga pastinya. Tapi, beda dengan kasus Melati ini, saya ngerasa udah membantu ini itu tapi di sisi lain ketika semua itu mental begitu saja, ada perasaan gagal karena Melati masih punya PR banyak untuk membersihkan distorsi-distorsi pikirannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWVcjmQEpm5ertqvKN_BBl32MXd1h8UBuypSvdX6N5zJaPKZAFKlxTh7MlmMtevjvbR8yyqPALfTI3lsMWvVTNtJdE1MEiHF7llPk7a679-yxTsQL-4diG6smtGtnFRqxOE57qz_KwB6I/s1600/bitmoji-20171025110520.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWVcjmQEpm5ertqvKN_BBl32MXd1h8UBuypSvdX6N5zJaPKZAFKlxTh7MlmMtevjvbR8yyqPALfTI3lsMWvVTNtJdE1MEiHF7llPk7a679-yxTsQL-4diG6smtGtnFRqxOE57qz_KwB6I/s320/bitmoji-20171025110520.png" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Melati selalu mengulang alasan yang sama dan menceritakan hal yang sama. <i>Stuck. </i>Nggak ada progres. Yang ada hanyalah berkembangnya perasaan bersalah dan berdosa pada orangtua, dosen dan pada dirinya sendiri. Saya pun sampai bingung, cara apa lagi sih yang harus dikerahkan untuk "membersihkan" distorsi pikirannya dan buat dia mau kebut tesisnya. Mana Melati juga bilang ke saya kalau waktunya sisa dua bulan lagi. Bahkan sudah tersisa satu setengah bulan. Jika Melati nggak lekas menyelesaikan lalu sidang, dia akan terkena sanksi DO (<i>Drop Out</i>).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika ada teman-teman yang baca tulisan ini, <i>please</i> <i>lemme know how to solve this problem for Melati</i>.</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-75249026088997190282018-02-08T10:04:00.000+07:002018-06-03T13:45:32.332+07:00(UN)EMPLOYED: SUDAH KERJA DI MANA?<blockquote class="tr_bq" style="text-align: center;">
<i>"Success is no accident. It is hard work, perseverance, learning, studying, sacrifice and most of all, love of what you are doing or learning to do"</i></blockquote>
<div style="text-align: center;">
-Pele-</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Welcome 2018 </div>
<div style="text-align: justify;">
Sudah lama sekali nggak update blog lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apa kabarnya di awal tahun ini?</div>
<div style="text-align: justify;">
Alhamdulillah di awal tahun ini tepatnya Januari lalu, saya sudah genap 28 tahun. Meski sudah memasuki tahun genap lagi, namun mungkin saya masih harus berperang melawan keadaan.<br />
<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa hari kemarin, saya sempat berbincang dengan sahabat karib ter-soulmate saya yaitu Nawira. Ya, memang sih, kami berdua agak senasib untuk soal pekerjaan cuma bedanya dia sudah menikah sedangkan saya belum. Saya tahu semua orang punya keputusan masing-masing, termasuk sahabat saya. Hehehe.. skip...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Minggu lalu di saat saya dan Nawira memutuskan untuk istirahat sejenak dari dunia per-lowongan-pekerjaan alias nggak kirim-kirim lamaran dulu untuk beberapa waktu, di saat benar-benar hampir menyerah itu, tiba-tiba dosen yang dulu juga bisa dibilang wali kelas saya sekaligus ex-dosen pembimbing PKPP saya menelepon. Saya kira beliau mau order artikel lagi, ternyata dia menelepon dengan maksud berbeda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dosen saya itu menawarkan saya untuk jadi tutor di Fapsi UMM. Beliau meminta saya untuk menghubungi salah satu dosen yang saat ini diangkat menjadi kepala Laboratorium Psikologi yang ternyata tidak lain adalah ex-dosen pembimbing tesis kemarin. Setelah meminta brosurnya, saya lihat ternyata lowongan tutor sudah tutup beberapa jam lalu setelah dosen ex pembimbing PKPP saya itu telepon. Tapi kemudian saya bilang ke dosen ex pembimbing tesis bahwa saya direkomendasikan untuk daftar. Puji syukurnya, beliau memperbolehkan saya menaruh berkas di keesokan harinya dan langsung diterima. Begitu pula dengan wawancaranya, semacam ngobrol biasa karena sama dosen sendiri. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entah harus senang atau sedih. Ketika bersinggungan dengan yang namanya gaji. Saya sempat ditanya oleh dosen pas wawancara, apa yang saya harapkan dengan menjadi tutor sebab gajinya nggak banyak? Jawaban saya keluar begitu saja dari mulut dan itulah yang saya katakan. Tapi akhirnya juga diterima. Hanya saja, banyak orang termasuk orangtua dan si abang yang awalnya kurang setuju saya bekerja di kampus. Belum lagi sistemnya kontrak selama 6 bulan. Tapi, di sisi lain, sahabat saya, Nawira mendukung sepenuhnya karena menurut dia, lebih bagus lagi, setidaknya bisa dijadikan portofolio tambahan relevansi pengalaman, sekaligus menambah link, sekaligus siapa tahu <i>someday</i> di kampus ada pembukaan rekrutmen dosen lagi sehingga saya bisa direkomendasikan lagi (mungkin aja.. mungkin..) dan lebih bagus lagi karena sistemnya kontrak diperbarui setelah 6 bulan, jadi kalaupun mau <i>out</i> dan bekerja di tempat lain setelah 6 bulan berlalu, masih cukup leluasa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSOW6NeWqoPYkB7edBryZGJh9j6aH1g6MEVx0jHMWpzOZbvpmUqIoj4goo1HJl16L6W7nskz_1q0uwd4rRTWVf5jvBU3onSJRt9d1XGLzmDzQBd9LYsTTtrYbYMQl8FHOd6cmzA5HTpYk/s1600/bitmoji-20171025111004.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSOW6NeWqoPYkB7edBryZGJh9j6aH1g6MEVx0jHMWpzOZbvpmUqIoj4goo1HJl16L6W7nskz_1q0uwd4rRTWVf5jvBU3onSJRt9d1XGLzmDzQBd9LYsTTtrYbYMQl8FHOd6cmzA5HTpYk/s320/bitmoji-20171025111004.png" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejenak saya merenung dan memang cenderung sensitif jika ada orang yang menanyakan soal pekerjaan pada saya. Kalau biasanya saya suka iseng update di sosmed sehabis ikut tes ini itu di sini di situ, kali ini nggak sama sekali dan orang non-keluarga yang tahu pun cuma 3 orang, si abang, Nawira, dan satu lagi sahabat saya yaitu Ayu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kenapa nggak daftar dosen sih waktu UMM pas buka itu? Saya telat memasukkan berkas pemirsaah... karena ternyata di luar ekspektasi pas awal buka langsung banyak pendaftar yang menyerbu sehingga saya nggak mendapat tempat bahkan untuk wawancarapun udah nggak dipanggil meskipun di brosurnya lowongan itu masih lama baru berakhir. Lagi, lagi mungkin belum rejeki.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kenapa nggak coba daftar di perusahaan? Setelah pengalaman ikut-ikutan melamar dan tes di salah satu perusahaan kemarin dan setelah sekian banyaknya saya <i>apply</i> di perusahaan lain juga, saya berpikir mungkin memang saya belum pantas untuk bekerja di perusahaan. Sebab, saya sama sekali belum punya pengalaman bekerja di perusahaan sebelumnya, ditambah <i>basicly</i> saya lulusan klinis dengan beberapa tempat magang dan praktek dulu pun berbau klinis semua. Kalaupun kelak saya mau mencoba kembali melamar ke perusahaan, minimal saya harus belajar tentang PIO entah itu saya ikut magang dulu atau belajar otodidak. Dan, kalaupun saya sudah menambah pengalaman itu, kenyataannya perusahaan terutama BUMN nggak banyak juga yang mau menerima lulusan maksimal usianya 28 tahun kayak saya. Kalaupun ada, itu harus benar-benar lowongan pekerjaan yang mencantumkan kualifikasi S2 dengan usia maksimal 30 atau 35 tahun atau sama seperti CPNS.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Lets see</i>. Pengalaman kerja saya masih terbilang kurang. Saya merasanya begitu. Selain psikologi, <i>skill</i> lain yang saya punya pun dan tidak cukup nge-trend untuk saya gembar-gemborkan saat wawancara hanya <i>writing</i> (menulis). Mungkin kalau di perusahaan, pikir mereka, kalau <i>skill </i>menulis, semua orang juga bisa. Mereka bukan mencari itu, tapi mencari yang setidaknya paham PIO atau minimal pernah berkecimpung di dunia industri organisasi sebelumnya. Kalaupun nyatanya ada juga teman yang dulunya sama-sama klinis tapi berhasil nyasar di perusahaan, mungkin ada faktor lain yang belum saya ketahui kenapa dia bisa diterima bekerja di situ meski dia juga tidak punya pengalaman yang terbilang banyak dan relevan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ya Tuhan, maaf, bukan saya tak bersyukur. Kalau dibilang senang, nggak begitu senang banget sih. Tapi saya akan coba untuk menjalani hari-hari sebagai tutor sekaligus asisten dosen dulu untuk saat ini. Entah setelah 6 bulan nanti apakah saya memilih untuk coba melamar di tempat lain atau memilih tetap bekerja di situ, saya juga belum tahu. Saya memang senang mengajar dan sebelumnya pun sudah punya pengalaman sebagai dosen LB. Cuma untuk bisa menabung lebih banyak, saya harus memutar otak, mencari cara. Kira-kira setelah ini apa yang bisa saya lakukan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa malam kemarin, saya berkeinginan jualan kue gitu. Waktu saya bikin kue tempo hari, Bapak bilang kue bikinin saya kali itu enak rasanya. Dan, itu kali pertama kue bikinin saya benar-benar berhasil dan dinilai enak sampai ludes. Jadi sempat terpikir, apakah saya coba jualan kue juga ya? Jadi kuenya dititipin ke penjual sayur gitu di dekat rumah kan banyak tuh penjual sayur. Mengingat untuk area Sawojajar 2 ini pun belum ada yang jual kue kayak yang saya pengen jual itu. Jadi, bisa saya modif dengan resep yang simpel tapi tetap enak dan kemasannya dibikin bagus. Lagi-lagi saya harus menganalisis lebih lanjut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya memang bukan laki-laki sih tapi entah kenapa kalau ada <i>quote</i> yang bilang bahwa harga diri laki-laki itu adalah bekerja, maka saya pun juga merasa seperti itu. <i>To be honest</i>, setelah sekian lama hidup seperti ini, sekarang saya bukanlah <i>the old emma</i>. Terus terang aja, saya kadang banyak nggak cocoknya sama teman perempuan yang saya kenali di sekitar. Itulah kenapa makin ke sini, sahabat perempuan saya makin sedikit dan yang benar-benar cocok pun hanya dua orang seperti yang sudah saya sebutkan namanya. Hanya mereka sahabat yang bisa menerima perubahan dan cara berpikir saya sekarang meski kenyataannya mereka masih sama seperti perempuan kebanyakan.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDJZTd43pM_F5kiAWDldJtiakBSkbdQEj_Um7KqFaaHLvhMWPgt72Vc2mQRC6kxUfx_858nbKVH98eWKtfmL9lIlrF3arpFlPM90ML4lYSRpCxBad0AsFNsy-acHbKJNzWeBJjvk5iKu0/s1600/bitmoji-20171026021701.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDJZTd43pM_F5kiAWDldJtiakBSkbdQEj_Um7KqFaaHLvhMWPgt72Vc2mQRC6kxUfx_858nbKVH98eWKtfmL9lIlrF3arpFlPM90ML4lYSRpCxBad0AsFNsy-acHbKJNzWeBJjvk5iKu0/s320/bitmoji-20171026021701.png" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
Dari dulu<i>, </i>saya kerap mendengar <i>mindset</i> lingkungan yang mengatakan bahkan mungkin bisa dibilang menjudge bahwa perempuan gak usah sekolah tinggi-tinggi, ga perlu kerja sampai dapat posisi yang bagus, cukup jadi perempuan <i>ngalem</i> untuk dipersiapkan ngurusin rumah tangga, ngurusin suami, ngurusin anak. Itupun sama persis dengan yang saya dengar dari orang sekeliling saya bahkan sebagian besar dari keluarga Bapak, sepupu-sepupu saya kayaknya semuanya pada nikah muda. <i>But, it's not me literally</i>. <i>I'm not the same with them</i>. Saya nggak bisa memaksakan diri sama seperti mereka. Bahkan sebagian teman S2 pun beberapa waktu ada yang nyeletuk nyuruh saya cepat nikah ini itu, gak usah ngoyo cari kerja karena toh itu tugas suami kita nantinya dan mereka notabene ada yang udah lama nikah maupun yang baru aja nikah (bisa ngomen begitu ke saya).<br />
<br />
Bagi saya, tanpa mengesampingkan kodrat laki-laki dan perempuan, dan tanpa embel-embel feminisme ya, perempuan itu juga bisa berkontribusi untuk sekitarnya atau nggak usah kejauhan deh, minimal buat ngembangin dirinya sendiri. Laki-laki memang sudah kodratnya memimpin, mengayomi dan melindungi. Tapi, itu bukan berarti perempuan nggak boleh sekolah tinggi juga kan? Minimal, dengan sekolah tinggi, perempuan bisa memperoleh ilmu yang baik, nah kelak kan juga pasti kepake ilmunya buat anak-anak. Perempuan juga bukanlah boneka yang dicetak persis seperti pada zaman jahiliyah hanya sebagai pemuas nafsu atau malah dibunuh saja deh karena dianggap nggak bisa ikut andil dalam peperangan. Buktinya toh banyak banget kan para pejuang kemerdekaan yang berjenis kelamin perempuan. Banyak perempuan-perempuan yang bisa menginspirasi sesama perempuan lain.<br />
<br />
Oke fix. Dan, saya akhirnya sedikit menjauh. Menjauh karena saya nggak bisa memaksakan diri untuk mengabulkan alias memberikan jawaban sama seperti yang mereka lakoni, ya sama seperti teman-teman perempuan saya kebanyakan. Menjauh dalam artian, sudah nggak se-terbuka itu kalo curhat bahkan mungkin nggak pernah lagi curhat. Jika mereka bertanya, saya jawab seperlunya sembari menahan emosi agar saya bisa tetap berdiri tanpa tercabik karena <i>mindset</i> mereka itu. Saya tetap menghargai cara pandang dan keputusan mereka tapi bukan berarti saya harus tenggelam menerima mentah-mentah apa yang mereka sampaikan. Mereka boleh mengkritik tapi tentunya nggak boleh memaksa dong ya, hehehe.<br />
<br />
Saya bukannya nggak tahu sunnah. Saya paham jelas. Hanya saja terkadang ada beberapa hal yang memang saya nggak sejalan pemikiran sama mereka aja. Syukurnya, di keluarga mama yang mana saya cucu tertua sementara adek-adek sepupu masih banyak yang kecil-kecil, justru mereka sangat menghormati keputusan saya. Mereka justru mendukung apa yang saya lakoni, saya mau apa, ini dan itu. Padahal, latar belakang pendidikan dan pekerjaan mereka pun mayoritas ibu rumah tangga, dan kalau paman saya yang laki-laki pun juga nggak se-wah itu. Mereka sangat mendukung saya bisa bekerja dan mandiri. <i>I see</i>, mereka mampu memahami tanpa banyak tapi.<br />
<br />
Di saat tak bisa apa-apa, saya merasa harga diri saya turun telak. Belum lagi kalau ada teman-teman yang memancing obrolan dengan nada memaksakan kehendak sampai mengiba tapi dengan nada sinis seperti beberapa waktu lalu. Saya sempat tidak senang mendengar teman SMA berkata demikian kepada saya tapi saya masih bisa maklumi karena saya sudah sangat lama tidak pernah kontak dengannya lagi pasca lulus.<br />
<br />
Bukan berarti saya lantas memutuskan seluruh kontak komunikasi dengan orang lain. Bukan. Hanya saja, saya butuh waktu untuk membuktikan pada diri saya sendiri bahwa saya mampu lebih baik daripada yang mereka sangka. Saya nggak mau membuktikan ke mereka karena toh kalau tujuannya berpusat pada orang lain, nggak bakal ada habisnya, saya jelas nggak akan selalu bisa memenuhi ekspektasi orang lain terhadap saya. Tapi, untuk diri saya, saya wajib berproses lebih baik, dengan bekerja saya bisa meningkatkan atau mendapatkan banyak <i>skill</i>, menantang diri sendiri untuk melihat seberapa mampukah saya untuk menghadapi konsekuensi yang jauh berbeda dari sebelumnya dan memegang kendali atas diri saya bahkan di saat-saat penuh tekanan.<br />
<br />
Kenapa saya keukeuh mau begitu? Karena umur saya sudah terlewat jauh. Saya merasa lambat memulai. Di saat orang lain di usia segini sudah pada matang, saya pribadi merasa tertinggal jauh. Tapi, saya jadi ingat kembali dengan salah satu buku yang pernah saya baca bahwa setiap orang punya <i>timing-nya</i> masing-masing layaknya bunga yang punya musim kapan dia akan bermekaran dan kapan dia harus berguguran sejenak. Mungkin, sekarang ini belum <i>timing</i> yang tepat bagi saya. Kalau dulu saat saya sudah berhasil melampaui satu harapan yaitu menulis buku solo, ternyata memang benar sekali bahwa sukses itu dimulai dari konsistensi. Karena dulu saya <i>stuck</i> dengan kuliah profesi, nggak bisa mikir nulis buku lagi, saya pun nggak konsisten lagi dan saat itulah saya merasa roda hidup saya mungkin akan bergeser ke bawah karena memutuskan untuk tidak menulis buku untuk waktu yang panjang, dua setengah tahun lamanya. Ibarat bintang, saya hanya bersinar sekejap di malam hari, dan perlahan sinarnya meredup dan lenyap ketika memasuki pagi atau kala mendung dan hujan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya juga jadi ingat waktu reuni dengan teman S1 tahun lalu. Di antara semuanya, kenapa saya yang tampak <i>ngenes</i> sendiri: pengangguran, datang basah-basah karena kehujanan di jalan (malah dikira gembel karena itu restoran sedikit mahal), belum lagi pas tukar kado, yang lain dapat barang yang bisa disimpan lama, saya dapat sabun mandi batangan. Bukannya nggak bersyukur dan bukannya mau ngomel karena sebelumnya juga ketentuannya cuma disuruh bawa kado-kadoan dengan <i>range</i> harga maksimal sekian. Bukan kadonya yang saya maksud tapi nilainya, <i>value</i>nya. Dan itu, ketika yang lain pada <i>share</i> kado di grup, lagi-lagi saya mungkin ditertawai karena dapat sabun mandi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjewfly7V40SR1wiHiAaI4dkmjZMVHU0xgFaQ9m57DC-x7jlG3CUlMf_uIANqBGmkxo5utLadvZ7mH3-hFafQQ5u8FwZaFn-ndQAMLAKZH_qLyCKR6TMfgujmj1LaKcUj_mbt_l88MjmiY/s1600/bitmoji-20171025112154.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjewfly7V40SR1wiHiAaI4dkmjZMVHU0xgFaQ9m57DC-x7jlG3CUlMf_uIANqBGmkxo5utLadvZ7mH3-hFafQQ5u8FwZaFn-ndQAMLAKZH_qLyCKR6TMfgujmj1LaKcUj_mbt_l88MjmiY/s320/bitmoji-20171025112154.png" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya jadi teringat pasca lulus S1 dulu. Entah kenapa agak mirip kayak sekarang. Dulu lamar di mana-mana pun nggak ada yang nyantol dan baru setelah itu pekerjaan yang mendatangi saya. Salah seorang kakaknya teman menawari untuk bekerja sebagai tutor plus motivator di Guidance Club STAIN dan saya terima. Tapi mungkin lebih <i>ngenes </i>dari sekarang sebab dulu saya digaji 50 ribu per pertemuan dan saat mahasiswa lagi mager nggak datang, saya pun nggak bisa dapat <i>fee</i>. Hingga akhirnya saya diminta untuk <i>micro teaching</i> dan karena memang lagi butuh dosen pengajar matkul psikologi, saya pun mendapat SK mengajar. Syukurnya, karena kampusnya terletak di seberang kompleks rumah sehingga saya cukup berjalan kaki dan nggak keluar uang sepeser pun. Tapi ya itu, gajiannya tiap 6 bulan sekali. Setidaknya saya syukuri karena setelah <i>resign</i>, uangnya bisa saya pakai untuk jajan kuliah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Satu sisi, sahabat saya bilang, mungkin memang terkadang rejeki yang mengejar kita, bukan kita yang mengejar rejeki. Saat saya coba mengejar rejeki ke sana kemari dengan harapan bisa langsung dapat tempat bagus, gaji bagus, namun kenyataannya yang saya kejar, justru menjauh. Tapi, di saat saya mencoba berhenti mengejar sejenak, justru rejeki yang menghampiri meski jumlahnya (kalau di mata orang lain) sedikit bahkan mungkin mereka nilai kurang pantas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya juga nggak ngeh kenapa begini, tapi mungkin jalan rejeki saya salah satunya juga berasal dari perantara "tangan" orang lain. Dulu saya daftar SNMPTN nggak lolos, tapi sekalinya diperkenalin sama ex-mahasiswa UMM yang mana itu juga adalah ex-pacarnya tante saya dan saya lolosnya di UMM. Kemudian, saya juga baru ngeh, ketika saya coba menulis artikel psikologi dengan lebih fokus, saya juga dapat tawaran untuk nulis artikel di salah satu <i>website</i> yang cukup terkenal (nggak usah saya sebut tapi mungkin orang juga udah pada tahu kali ya hihi) meski nggak ada kaitannya sama psikologi samsek tapi saya sering kaitkan juga dengan psikologi. Belum lagi beberapa waktu ini, dosen ex pembimbing PKPP saya sering order tulisan ke saya dan sering pas banget, saat saya sedang kekurangan, lagi-lagi datang orderan. Ya, itu sih, sisi positif yang saya syukuri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entah apa yang terjadi 6 bulan berikutnya, tapi untuk sekarang, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk bekerja sebagai tutor mengabdi di kampus dulu. Saya berharap semoga ke depannya, saya bisa dapat pekerjaan tetap, bisa menabung lebih banyak, bisa punya asuransi kesehatan sendiri (karena saya sudah tidak bisa ikut lagi dengan asuransi tanggungan ortu) dan saya juga berharap kelak bisa punya usaha sendiri yang mana dari usaha itu, saya juga bisa pergunakan hasilnya untuk lebih rajin sedekah. Pikir dan harap saya, sebelum menjadi istri, minimal saya harus bisa belajar mengelola uang, sedikit ataupun banyak, saya perlu belajar cari uang sendiri, menghidupi diri sendiri untuk mempersiapkan hal-hal di luar dugaan. Saya ingin membahagiakan diri sendiri dulu, bahagiain orangtua dulu sebelum membahagiakan keluarga kecil saya sendiri nantinya. Minimal saya punya <i>value </i>agar kelak suami saya bangga memiliki saya sebagai pendampingnya (*colek si abang superman).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKEql24m2BAXZ_khJiYSgqSDANJ-xINxpOF7pCr4-d3Q1UOiCXhppaT_1tTIOXlH4H_52mXaQi_nRpWHBBDmFGsckaOBpKVK37Wzo0-WLrHIhxin276XPqxuGbmJEY8-5KMWOWWj-iOMM/s1600/bitmoji-20171025112516.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKEql24m2BAXZ_khJiYSgqSDANJ-xINxpOF7pCr4-d3Q1UOiCXhppaT_1tTIOXlH4H_52mXaQi_nRpWHBBDmFGsckaOBpKVK37Wzo0-WLrHIhxin276XPqxuGbmJEY8-5KMWOWWj-iOMM/s320/bitmoji-20171025112516.png" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-7515985317919495782018-01-22T17:27:00.002+07:002018-01-22T17:27:37.367+07:00PENGALAMAN TES TPA DI PT DAHANA (PERSERO)<blockquote class="tr_bq" style="text-align: center;">
<i>"Life is either daring adventure or nothing at all"</i></blockquote>
<div style="text-align: center;">
-Helen Keller-</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelum masuk ke cerita inti, saya tahu bahwa perjalanan karir saya masih <i>stuck</i> di sini-sini saja. Ibarat kata, pengen naik ke lantai 12 di suatu apartemen, saya bahkan baru berjalan mencari <i>lift</i> supaya bisa menuju ke lantai 12 tersebut. Orang-orang terdekat sudah merong-rong untuk segera bekerja. Bukan atas dasar mencari gaji, bukan masalah materi, melainkan agar ilmu, gelar, ijazah yang sudah saya peroleh selama kuliah tak lantas terbuang percuma dan satu lagi, agar saya bisa mandiri dan bisa mulai belajar mengatur keuangan. Kalau alasan kedua sih itu adalah kalimat yang tercetus dari diri sendiri. Jujur saja, meskipun saya juga mengisi kekosongan alias ke-menganggur-an saya dengan menjadi <i>freelance writer</i>, upah yang saya dapat belumlah cukup untuk membuat saya menabung lebih sering dengan jumlah yang konstan dan sedikit lebih besar dari biasanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Terhitung sejak wisuda Mei dan sumpah profesi pada November lalu, entah sudah berapa banyak lamaran yang saya <i>apply</i>. Entah itu lewat jobstreet hingga memberanikan diri ikut CPNS sama si abang (cuman kita menargetkan wilayah kerja yang berbeda namun dengan formasi sama yaitu dosen psikologi).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terhitung sejak mengirimkan lamaran, waktu demi waktu berlalu, yang datang adalah penolakan dari stasiun TV ternama. Kemudian berlanjut dengan saya mengikuti seleksi CPNS Kemenag untuk formasi dosen psikologi di UIN Malang sini, pun nilai saya hanya kurang sedikit saja dan langsung gagal di TKD. Saya bahkan mencoba kembali ikut seleksi dosen non PNS di universitas itu lagi, namun ternyata, mungkin dugaan saya dan teman-teman lainnya yang ikut dalam seleksi itu benar bahwa menyertakan campur tangan "orang dalam" hingga akhirnya sekeras apapun saya berusaha, yang menang adalah yang jelas-jelas punya <i>link</i>. Kalaupun mengandalkan <i>link</i> sepenuhnya, saya bukannya angkuh tapi saya pun bisa dengan enteng memilih, mau masuk UB atau UIN, tapi untuk awal, hati nurani saya berbicara, untuk awal perjalanan, saya pun ingin belajar memulai semua dari nol, belajar berjuang sendiri agar tahu bagaimana rasanya orang lain berjuang di luar sana.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah gagal untuk ke sekian kalinya, saya kembali mendapat panggilan atau lebih tepatnya orderan menerjemahkan artikel kemudian me-<i>review</i> dan menggubahnya menjadi sebuah artikel untuk klien. Alhamdulillah ternyata Allah juga tahu bagaimana cara memenuhi kebutuhan saya saat itu, saat saya benar-benar kehabisan uang buat beli sabun dan perlengkapan/kebutuhan pribadi wkwkw.. Okelah, dengan senang hati saya terima <i>job </i>sampingan tersebut dan bersyukur dengan upah yang saya dapat walau tak banyak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Silih waktu berganti, saya <i>shock</i> ketika bertepatan dengan pengumuman kegagalan tes dosen itu, terbitlah sebuah email dari sebuah perusahaan. Sebuah perusahaan yang saya saja nyaris lupa kalau pernah mengirimkan lamaran ke sana. Dan, yang <i>wonderful</i> plus bikin saya girang sebab ini kali pertama saya mendapatkan respon baik dari lamaran yang saya tujukan khususnya menyasar ke perusahaan. <i>Oh God</i>, saya cukup senang sebenarnya meski awal-awalnya sempat dilema. Dilema karena jaraknya sangat jauh dari tempat tinggal. Yap, saya diundang untuk ikut seleksi tahap pertama ke Jakarta.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat itu, saya coba minta izin pada orangtua, tapi mama sempat menolak namun bapak sih ngijinin aja. Karena masih ada urusan mendesak yang harus saya urus, mau tidak mau, saya harus berangkat menggunakan pesawat. Tapi, dengan syarat, harus ada yang menemani saya dan itu mama. Okaylah, tapi tumben aja gitu saya jadi anak mami, biasanya juga boleh pergi sendirian. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya jadi ingat kata-kata si abang. Dia bilang kalau seandainya saya memilih untuk tidak berangkat untuk ini saja, bisa-bisa perjalanan karir saya hanya di situ-situ saja dan tidak ada kemajuan. Sahabat saya juga mengatakan hal serupa, dicoba saja karena kita tidak tahu di mana dan dari mana rezeki itu berada/datang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berangkatlah saya ke Jakarta dengan destinasi Jakarta Selatan. Saya menginap di sebuah griya kecil Airy Room di daerah Asem Baris, Tebet. Dari situ, hanya butuh waktu 10 menit saja untuk sampai ke Menara Hijau. Yang tadinya sih tesnya di kantornya yang di MTH namun entah karena alasan apa, 13 Januari lalu, saya mendapatkan email revisi tempat seleksi dan itu di Menara Hijau.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat hari H, memang tesnya dibagi dua kloter. Kloter pertama pukul 08.00-13.00 dan saya mendapat giliran tes di kloter kedua yaitu pukul 13.00-17.00. Awalnya saya sempat ternganga kok lama sekali ya tesnya sampai sore. Setelah saya ikuti, oh rupanya ada menu lain yang disampaikan oleh pihak HRDnya sebelum tes inti berlangsung. Kita terlebih dahulu diberikan sambutan kemudian mendapat suguhan video singkat mengenai profil PT Dahana dan kemudian mulai masuk ke tes intinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat saya bilang ingin mengikuti seleksi di PT Dahana, orang-orang terdekat yang saya beritahu bahkan tidak tahu sama sekali perusahaan apa itu Dahana dan bergerak di sektor apa. Ya, memang sih, tapi meski begitu saya sering kok lihat logo Dahana nampang di beberapa <i>spot </i>tertentu. Cuma ketika menyimak profilnya dan <i>browsing</i> di internet, saya baru tahu kalau PT Dahana bergerak di sektor industri khususnya produksi bahan peledak, selain di pertambangan. Ya, begitulah kilasnya ya. Tapi, sebagai informasi saja, PT Dahana juga termasuk salah satu BUMN jadi pastilah perusahaan ini sangat bonafid ya kayak perusahaan BUMN lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika tes berlangsung, saya sempat kaget karena soal-soalnya begitu banyak. Ada ratusan soal yang harus dikerjakan hingga pukul 17.00. Wow, emejing. Untuk sub-subnya saya pikir serupalah dengan tes TPA yang biasa kita hadapi kalau ikut tes di perusahaan atau di tempat lain, hanya saja yang membedakan tiap tempat/perusahaan/lembaga mungkin jumlah soal dan tingkat kesulitannya saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kemarin, jujur, saya berusaha mengisi dan menjawab soal-soal yang saya ketahui pasti benar jawabannya. Namun, kalau ditanya berapa soal yang tidak saya jawab, banyak juga sih. Karena banyak juga soal yang menyertakan narasi panjang, dan beberapa saya lompati. Saya pun berpikir, kalau nilai tiap soal sama, saya tidak perlu membuang waktu untuk terpaku pada soal yang narasinya terlalu panjang dan saya tidak yakin itu benar. Tapi sebagiannya sih saya coba jawab meski belum tahu apakah itu benar atau salah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain TPA, pihak HRD pun menjelaskan bahwa masih banyak rangkaian tes yang harus dihadapi. Setelah pengumuman TPA ini keluar, yang lolos ke babak selanjutnya akan mengikuti Psikotes (kalau FGD saya kurang tahu apakah tahun ini diadakan atau tidak). Setelah itu lanjut Personal Screening. Kemudian lanjut Interview User dan Interview HRD, Interview Direksi maybe. Nah, pihak HRD juga bilang, jangka waktu keseluruhan tes maksimal harus bisa selesai dilaksanakan hingga Maret 2018 ini sebab April mendatang akan mulai memberikan menu Management Traineenya untuk masa percobaan. Etts.... untuk masa percobaan, akan diuji selama tiga bulan, kalau tidak salah dengar berlokasi di Subang, kantor pusatnya. Kemudian kalau performa selama masa percobaan dinyatakan baik dan lulus, maka bisa lanjut ke masa OJT sekitar 9 bulan lalu kontrak kerja selama 2 tahun untuk awal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Banyak orang terdekat saya yang berharap saya bisa lolos hingga tes tahap akhir. Saya pasrah dan hanya bisa berusaha juga berdoa. Kalau memang rezeki saya di Dahana, inshaallah, pasti saya akan bagikan lagi cerita-cerita selanjutnya di blog ini. Namun mengingat saat tes kemarin, khusus untuk formasi S2 Psikologi, jumlah peserta yang hadir amat sangat sedikit yaitu hanya sekitar lima orang yang hadir sementara lainnya absen. Padahal di daftar hadir waktu tanda tangan mungkin ada sekitar 8 atau 10 orang khusus Psikologi. Dan itu tandanya, persaingan sagat ketat, bukan?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yah, selagi menunggu pengumuman, saya juga selalu meluangkan waktu untuk <i>back to be a freelance</i> heheh<i>.</i> Alhamdulillah beberapa waktu lalu saya juga sudah mengirim lagi satu tulisan untuk salah satu <i>website</i> klien dan diterima. Setelah ini, saya harus mencari ide tulisan baru lagi, supaya bisa kirim lagi, lagi dan terus. Yang saya senangi dan syukuri adalah, sewaktu mengirimkan tulisan di web tersebut, adminnya sungguh ramah dan menyatakan bahwa tulisan saya mumpuni, beliau pun meminta saya untuk terus menulis. <i>Thanks coach admin</i>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-16632518361677606062017-12-17T13:22:00.001+07:002017-12-17T13:31:26.473+07:00KANGENKadang, aku kangen kamu.<br />
<div>
Aku tidak perlu menjadi siapa-siapa yang bukan diriku, tidak perlu berpura-pura terlihat lebih pintar seperti Emma Watson ketika ada di sampingmu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kadang, aku kangen kamu.</div>
<div>
Sekilas, kamu kadang kurang memperhatikan saat aku mengatakan satu atau dua hal saat kamu menelepon.</div>
<div>
Tapi, di lain kesempatan, dugaanku keliru.</div>
<div>
Rupanya kamu juga sering sekadar memberi <i>feedback </i>atau bertanya ulang mengenai hal yang tadinya menurutku tak kamu hiraukan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kadang, aku kangen kamu.</div>
<div>
Kangen meluangkan waktu bersama, apalagi saat hujan turun, semakin deras, tak juga reda.</div>
<div>
Entah kamu berpura-pura menahan agar aku tak menyudahi pertemuan kita atau memang kamu sengaja menahan karena ingin kita menyisihkan waktu lebih lama.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Fase kadang aku kangen kamu kini berganti dengan frekuensi sering.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Sering, aku kangen kamu.</div>
<div>
Menggambar absurd bin alay yang mana seolah gambar itu merefleksikan tentang kita</div>
<div>
Mengirimimu kartun-kartun lucu</div>
<div>
Mengganggu kala kamu sedang sibuk.</div>
<div>
Menggerutu bila kamu makin tak kunjung menoleh ke arahku.</div>
<div>
Sering, aku menggunakan cara komunikasi yang kurang baik, semakin sibuk, semakin kusesaki dengan sejumlah pesan singkat.</div>
<div>
Maafkan aku ya</div>
<div>
Aku hanya ingin menunjukkan bahwa kangen itu sungguh tak kubuat-buat</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tapi yang membuatku makin cinta karena selepas kusampaikan rasa rindu, teleponmu berdering nyaring.</div>
<div>
Yang membuatku terheran,</div>
<div>
kala kamu bilang kamu jahat.</div>
<div>
Jahat karena memangkas menit telekomunikasi antara kita.</div>
<div>
Belum juga rinduku benar-benar terobati, kamu sudah menutup telepon.</div>
<div>
Ah, itu bukan jahat.</div>
<div>
Hanya saja aku memahami bahwa duniamu bukan hanya tentangku</div>
<div>
Ada keluarga, teman, pekerjaan, pikiran-pikiran tentang impian, dan lainnya yang membutuhkan eksistensialismemu.<br />
<br />
Melihatmu bertumbuh<br />
Semoga selalu ke arah yang lebih baik<br />
Ku pun ingin bertumbuh<br />
Kadang, kamu memarahiku<br />
Tidak jarang pula nasehatmu memenuhi dinding telinga dan hatiku<br />
Nasehat agar aku terus berprogres<br />
Agar tak gampang menyerah, walau kutahu di sana kamu kadang merasa lelah dengan kesibukanmu<br />
Agar aku bisa menambah keterampilanku, hingga bisa memberdayakan sesuatu</div>
<div>
Sering aku kangen kamu</div>
<div>
Terlebih saat kutersadar, satu tahun telah berlalu dan kita belum kunjung bertemu melepas rindu<br />
<br />
Sering aku kangen kamu<br />
Tidak jarang rasa bosan itu datang<br />
Bosan karena rutinitas masing-masing<br />
<br />
Sering aku kangen kamu<br />
Menggebu dan makin mendesak saat kamu mulai menghilang<br />
Menghilang untuk sekadar menetralkan pikiran akibat tekanan yang kamu hadapi di sana<br />
Berapa banyak teori yang sudah kubaca<br />
Bahwa saat seseorang sedang memilih untuk sendiri maka berikanlah ia waktu untuk sendiri, menghibur dan melipur laranya sebelum bersua lagi</div>
<div>
Aku tak butuh teori<br />
<br />
Sering pun aku kangen kamu<br />
Kangen saat kamu marah besar<br />
Membentak<br />
Salah paham<br />
Malas<br />
Dan sejenisnya<br />
Namun, yang membuatku makin cinta<br />
itu tak berlangsung lama<br />
Kamu pun lekas pulih dan kembali normal<br />
<br /></div>
<div>
Sering aku kangen kamu</div>
<div>
Cepatlah kemari</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-30944098071769411262017-12-07T19:24:00.001+07:002017-12-07T19:27:49.836+07:00IT IS OKAY NOT TO BE OK<div style="text-align: justify;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGpIXf-4nYjY97OTwrr6zmOUdNYxKkoJyhQZH2GOtNIV6ijDHGT5j3w77C_nO8_Xpgngwkzt_MfMQSrbYjyxiBB0xFkCiGZK-HzltUA42egBj7gDmtmInkQfr13H3X7e7EhNIYXO-DhD0/s1600/woman-1958723_960_720.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="579" data-original-width="960" height="384" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGpIXf-4nYjY97OTwrr6zmOUdNYxKkoJyhQZH2GOtNIV6ijDHGT5j3w77C_nO8_Xpgngwkzt_MfMQSrbYjyxiBB0xFkCiGZK-HzltUA42egBj7gDmtmInkQfr13H3X7e7EhNIYXO-DhD0/s640/woman-1958723_960_720.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="https://pixabay.com/en/woman-solitude-sadness-emotions-1958723/" target="_blank">Sumber: Pixabay</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
Emang sih udah banyak teori dan penelitiannya kalo <i>Positive emotion </i>menjadi salah satu faktor yang bisa mempengaruhi atau meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang. Ya memang kita selama ini udah terdoktrin dengan kalimat, "<i>Don't worry, just be happy</i>." Tapi kan gak setiap hari dan setiap saat orang itu punya emosi positif, gak setiap hari kita itu hanya dicekoki oleh situasi atau peristiwa yang membuat hati berbunga-bunga. Pasti ada juga kan peristiwa atau situasi dimana mau gak mau emang kita harus ngerasain <i>bad mood</i>, sedih, sebel, marah, jijik, atau kecewa. Emosi negatif yang kayak gini amat sangat adaptif dan <i>occasional</i> yang kita kadang gak bisa kontrol kapan datang dan perginya, tapi emang harus dihadapi.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Alhamdulillah saya sendiri belum pernah mengalami depresi, <i>I mean clinical depression</i>. Dan.. jangan sampai deh. Tapi kalo ditanya berapa kali merasakan kesedihan khusus tahun 2017 ini? Eumm...<i>really do not know</i> sih frekuensinya berapa banyak kejadian yang bikin saya sedih, tapi yang pasti ada. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang namanya kesedihan itu, semua orang pasti ngerasain lah. Gak mungkin ada orang yang gak pernah sedih seumur hidupnya, yakan? Entah sedih karena meninggalnya orang terdekat atau keluarga, sedih karena patah hati, sedih karena dipecat dari tempat kerja, sedih karena gak dapat nilai baik saat ujian sekolah, sedih karena gagal masuk universitas yang dipengenin, sedih karena gak punya duit buat beli popok bayi, atau sedih karena karena lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sedih itu adalah hal yang wajar. Sebenarnya, orang yang sedih itu mula-mulanya kebingungan juga apa yang harus dia lakukan agar kesedihannya berkurang? Apa yang dapat mereka lakuin supaya mereka "sejenak lupa" pada permasalahan yang memicu kesedihan mereka? Apakah dengan baca buku, nonton film, piknik, atau lainnya? Orang yang sedih juga cenderung pengen dibiarin sendirian. Kenapa? Kenapa bisa begitu? Soalnya pas seseorang tu lagi sedih-sedihnya, di dalam hati mereka masih ada pergolakan. Iya, hati dan pikirannya lagi berperang melawan perasaannya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Psikolog klinis bernama Robin Dee Post, Ph.D mengungkapkan bahwa kesedihan atau <i>sadness</i> itu seringkali dianggap orang-orang sebagai emosi yang negatif padahal sebenarnya <i>sadness</i> itu merupakan perasaan yang adaptif. Hal ini berarti <i>being sad is totally normal, with sadness, we deal ourselves to the painful experiences</i>.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhj20QntP2nCdTiQSiSam1Cea74AELGpVdXW29Qg21Y1pLVuS9cOU1kDJtiirActXdNXdkMmwKLRxVlGpUl4rCk5dXcohqjVNh1x4iwkzrO0_pXwebmgRCVHQK0K3wAihjSw2l7KYTySyg/s1600/bitmoji-20171025061404.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhj20QntP2nCdTiQSiSam1Cea74AELGpVdXW29Qg21Y1pLVuS9cOU1kDJtiirActXdNXdkMmwKLRxVlGpUl4rCk5dXcohqjVNh1x4iwkzrO0_pXwebmgRCVHQK0K3wAihjSw2l7KYTySyg/s320/bitmoji-20171025061404.png" width="320" /></a></div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Biasanya, rasa sedih itu terjadinya gak lama-lama. Orang yang sedih gak butuh waktu lama buat <i>move up</i>. Namun, kalo kesedihannya udah berlangsung selama dua minggu bahkan lebih maka waspada ya akan gejala depresi.<br />
<br />
<b><a href="https://emmakim28.blogspot.co.id/2013/04/gangguan-mood-part-1-depresi.html" target="_blank"><span style="color: #e06666;">Baca: Depresi</span></a></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beda lagi dengan <i>grief. Grief </i>kerap dimaknai sebagai kedukaan. Bahkan rasa duka ini bisa jauh lebih lama menetap dalam diri seseorang bahkan lebih lama dari rasa sedih orang yang depresi. Kedukaan ini biasanya identik dengan masalah kehilangan sesuatu atau seseorang yang amat berharga bagi seseorang/atau bagi kita.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Eum, saya pernah baca sih kalo ternyata <i>grief</i> itu punya tahapannya loh. Tadi kan kalo <i>sadness </i>itu dirasainnya gak lama, tapi kalo udah kelamaan bisa aja berkembang menjadi <i>grief.</i> . Orang pertama yang merumuskan tahapan bagaimana sih seseorang merespon kedukaan itu adalah Elisabeth Kubler-Ross. Kubler-Ross ini pernah menuliskannya di dalam bukunya yang berjudul <i>On Death and Dying</i> pada tahun 1969. Di dalam buku itu ada 5 tahapan respon terhadap kedukaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>FIRST</b><i style="font-weight: bold;">,</i> Adalah Tahap <b>Denial</b>. Tahap ini tuh merupakan tahap <i>short defense</i> yang dirasakan atau dilakuin oleh orang yang lagi sedih. Pada tahapan ini, orang yang lagi berduka atau sedih bakalan menolak kenyataan atau peristiwa yang menimpanya. "Kenapa sih kok jadi begini?" "Ini seharusnya gak terjadi!" Mereka masih berada di fase menolak semua hal yang menyebabkan ia sedih. Gak jarang juga sih ada yang sampai ngelimpahin kesalahan ke orang lain sebagai penyebab kesedihannya. Buat yang sering kena semprot ya, maklumi lah ya hehehe. Orang ini tuh masih belum bisa menerima alias masih dalam proses memupuk kesadarannya terhadap kejadian atau peristiwa yang dialami.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>SECOND, Anger</b><i style="font-weight: bold;">.</i> Pada tahap ini seseorang akan merasa sangt marah dan melampiaskan kemarahannya dengan sumpah serapah atau dalam bentuk nyalahin dirinya, nyalahin orang lain dan ada juga yang kadang sampai nyalahin Tuhan. Mereka yang ada di tahap ini bakalan bilang, "Why me?" "Siapa yang harusnya disalahkan sih?", "Ini pasti gara-gara dia nih jadi gini!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>THIRD, Bargaining</b>. "I'll do anything to repair it if I have once more time..." Pada fase ini, orang yang lagi sedih udah mulai <i>slow down</i> dikiit. Mereka udah mulai membangun negosiasi-negosiasi baik pada dirinya sendiri ataupun pada orang yang udah bikin dia sedih. Penawaran ini mereka lakuin karena dalam lubuk hati yang paling dalam, mereka masih berharap semua bisa diperbaiki. Saat mereka tahu udah kehilangan orang yang dicintai karena kematian atau perpisahan, mereka cenderung masih memendam harapan kalo suatu hari bakal balik ke semula lagi andai mereka ngelakuin A atau B atau C.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>FOURTH, Depression. </b>Karena belum tahu dan belum nemuin solusi atas kesedihannya, orang yang lagi sedih bisa jadi makin sedih dan terus-menerus berpusat pada dirinya. Orang yang depresi, malah makin menarik diri dari lingkungan, gak mau keluar rumah, gak mau ketemu orang dulu, lagi pengen sendirian dulu katanya sampai-sampai belain cuti beberapa hari dari kerja buat nenangin dirinya, <i>maybe</i>. Makin hari, kesendirian yang dilakuin makin buat orang yang ada dalam tahap ini tuh jadi makin pusing, gak bisa mikir, nangis terus, merasa seolah dirinya lah yang paling menderita karena masalahnya dan mulai terdiskoneksi dari lingkungan sekitar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>FIFTH, Acceptance. </b>Beda orang tentu beda juga ya berapa waktu yang dia butuhin buat sampai ke fase akhir. Fase dimana dia udah mau menerima kenyataan. Menerima. Itu gak gampang loh apalagi buat yang sedihnya bukan sedih ecek-ecek. Gimana dia udah ngelewatin proses berperang dengan hati dan pikiran, gimana dia udah kehabisan suara karena marah-marah teriak gak jelas, dia udah ngelewatin fase dimana dia masih berandai-andai buat balik ke hari kemarin sebelum peristiwa menyedihkan itu terjadi. Fase menerima itu sangat gak mudah. Selain itu juga karena di fase ini, orang yang sedih udah mulai membuka hati dan pikiran buat maafin dirinya, maafin orang lain dan memaafkan kondisi dan juga mulai meminta ampun karena udah nyalahin Tuhan. <i>Just say, "Everything's gonna be OK right now."</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: justify;">
Kubler-Ross kemudian bilang dalam bukunya itu sih kalo sebenarnya kelima <i>stages</i> di atas itu gak mesti semuanya dialami oleh orang yang sedih dan gak mesti urut dari <i>denial </i>sampe <i>acceptance. </i>Kesedihan itu kan perasaan yang sangat personal jadi masing-masing orang berproses ke <i>healing</i> juga beda-beda. Tapi yang pasti prosesnya gak jauh dari lima fase itu atau mungkin ada fase dalam bentuk lain, mungkin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu gimana sih caranya supaya kesedihan atau kedukaan itu bisa berkurang? <i>Accept and tolerate it, not escape from it</i>. Jonathan M. Adler, seorang Psikolog dari Franklin W. Ollin College of Engineering mengatakan bahwa menerima kompleksitas hidup adalah cara yang bermanfaat untuk memperoleh kesejahteraan psikologis.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglfxi5C7O0WF5SAMtqyv7Cjj4c_Esf9gs-3kfrtWcfnEX0MlQk2Yr6KXz7NYv2uy2WC_E7MQ6jNOuS8CDsVp0gJFLZ1TupGgxT-sa5t3uY-AByXeY3h6M957OW9MWWliKgUof8pn2F7rA/s1600/bitmoji-20171025060821.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglfxi5C7O0WF5SAMtqyv7Cjj4c_Esf9gs-3kfrtWcfnEX0MlQk2Yr6KXz7NYv2uy2WC_E7MQ6jNOuS8CDsVp0gJFLZ1TupGgxT-sa5t3uY-AByXeY3h6M957OW9MWWliKgUof8pn2F7rA/s320/bitmoji-20171025060821.png" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
Sebel sih emang karena emosi negatif bisa membuat kita bak sedang naik <i>roller coaster. </i>Perasaan jadi gak menentu, pengennya ya sedih, ya marah juga. Tapi penting untuk kita ingat bahwa ternyata memang benar, udah banyak banget penelitian psikologis bahwa ada emosi-emosi negatif yang justru mempunyai dampak positif buat diri kita.<br />
<br />
Nah ini, satu lagi pernyataan <a href="https://www.huffingtonpost.com/2013/10/28/bad-moods-benefits_n_4150083.html" target="_blank"><span style="color: #e06666;"><b>Joseph F. Forgas</b></span></a> (seorang psikolog sosial dari University of New South Wales Australia) bahwa <i>mood</i> yang jelek itu bisa loh mempertajam ingatan jangka pendek, memperbaiki kemampuan komunikasi dan meningkatkan perhatian terhadap hal-hal detail.<br />
<br />
Pada tahun 2009, Forgas juga pernah melakukan penelitian kepada 120 pria dan wanita. Seluruh responden itu dibagi ke dalam dua kelompok. Ada kelompok yang diminta menonton film sedih dan juga disuruh mengingat-ingat kenangan buruk dan satu kelompok lagi diminta menonton dan mengingat film serta kenangan yang positif. Hasilnya, kelompok responden yang menonton film sedih dan mengingat kenangan buruk jauh lebih bagus performanya dalam mengungkap dan membongkar kepalsuan mitos perkotaan.<br />
<br />
Kok bisa ya hasilnya gitu? Mencengangkan kan? Kenapa bisa begitu, sebab menurut Forgas, status <i>mood</i> itu merupakan sinyal atau radar paling peka dan paling evolusioner yang berguna untuk memudahkan seseorang merespon secara tepat terhadap situasi lingkungan. Nah, kalo emosi kita positif, kita udah pasti bakal mikir yang positif-positif emang ya, tapi beda kalo emosi kita lagi gak bagus, kita justru lebih peka untuk mengungkap banyak fakta dan informasi dan juga jadi lebih perhatian pada hal-hal kecil yang mungkin orang lain gak bisa paham apa itu. Bener banget ini yakan?<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEJgWiiCIf4h4iDRXitmnWUMkakoiAH4Sr-9-wDgWdlOfKN_k3gT2L_jAmBO5z_pWtnrBRqMmjGQzKzyEbA4dTWRBJ7MN3przn4VWA2Xeyw8f_X5mi34mCQZQCMoAdJHSb8IxPfxH4amk/s1600/bitmoji-20171025060424.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEJgWiiCIf4h4iDRXitmnWUMkakoiAH4Sr-9-wDgWdlOfKN_k3gT2L_jAmBO5z_pWtnrBRqMmjGQzKzyEbA4dTWRBJ7MN3przn4VWA2Xeyw8f_X5mi34mCQZQCMoAdJHSb8IxPfxH4amk/s320/bitmoji-20171025060424.png" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
<i>So, embrace our sadness </i>dan semoga ke depannya dengan kesedihan itu, kita bisa berproses lebih baik lagi. Biar gimanapun, kesedihan itu kan bagian dari hidup. Jadi, nikmatilah kesedihan itu sebelum nantinya kebalik, orang lain yang sedih karena kita udah berpulang.</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-48035239197564344892017-11-24T08:40:00.004+07:002017-11-24T08:44:19.200+07:00UNEMPLOYED: MELAMAR GURU BK<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9Ec4n-4JZC9R0mZ2wwGiAzYwavTBQGuNvHmmw6LeD3ffydUxK6bWkWwLHJHWMfCpigun46C7HuEmPjOzhoATrHolAlKJw6hBtDKBKmKHc5ze5DH1c9H-IJYEprtZn7V-s3KxwV__qUUQ/s1600/12.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="868" data-original-width="1600" height="346" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9Ec4n-4JZC9R0mZ2wwGiAzYwavTBQGuNvHmmw6LeD3ffydUxK6bWkWwLHJHWMfCpigun46C7HuEmPjOzhoATrHolAlKJw6hBtDKBKmKHc5ze5DH1c9H-IJYEprtZn7V-s3KxwV__qUUQ/s640/12.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<br />
Jumat yang lalu saya coba berkelana untuk masukin lamaran lagi. Saat itu target saya adalah sekolahan. Saya ceritain <i>sample</i> aja ya. Salah satu sekolah yang saya tuju adalah sekolahan swasta di kota Malang. Sekolahnya sih bagus dan tampaknya <i>high class</i>. Saya pikir wah kalo <i>high class</i> berarti sistemnya juga bagus dan mungkin aja lagi ngebutuhin psikolog <i>prefer than just as </i>Guru BK. Cuman.. tujuan saya ke sana emang masukin lamaran sebagai guru BK soalnya lagi pas banget gitu mereka <i>open recruitment</i> beberapa posisi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Paginya, saya menelepon salah seorang sahabat yang letak rumahnya gak jauh dari sekolah itu. Pas udah dapat ancer-ancer alamatnya langsunglah saya cuuus ke situ. Sesampainya di sana, saya diarahkan oleh seorang <i>security </i>ke ruang yang lebih mirip TU (Tata Usaha).<br />
<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pas udah ngucapin salam, masuk, lalu nyampein maksud kedatangan, saya pun langsung ngasih berkas ke salah satu staf yang ada di situ. Ibunya bilang mau dikroscek dulu kelengkapan berkasnya. Pas si ibunya ngebuka dan melihat ijazah saya, dia nanya, "Mbak mau melamar untuk posisi apa?" Saya dengan lugas menjawab bahwa saya ingin <i>apply </i>posisi Guru Bimbingan Konseling. Sontak, gak lama setelah ibunya baca ijazah S1 dan S2 saya, ibunya bilang bahwa kualifikasi saya gak relevan dengan posisi yang saya lamar.<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>What??? </i>Gak relevan gimana sih maksudnya? Ibunya kemudian menjelaskan bahwa untuk posisi BK ini harus dari lulusan <i>pure </i>BK atau Psikologi Sekolah/Pendidikan. Sedangkan ijazah saya sudah psikolog (walau memang saya gak bilang kalo konsentrasi saya klinis). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Udah ya, habis itu, dengan lugunya, si ibu nanya, berkas saya apakah mau ditinggal aja atau dibawa pulang? Langsung aja saya bilang, saya bawa pulang aja. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sedih? IYA</div>
<div style="text-align: justify;">
Kenapa seorang psikolog gak bisa melamar untuk posisi Guru BK? Ini sekalian mau menjawab pertanyaan teman-teman yang sering banget muncul: Bisa gak sih lulusan psikologi berkarir sebagai Guru BK?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRj_4gaeOYS9Y28-ejgX4ZfCw2FJiWcOao3tEC8Ngz-Q4MAGevOHLODezauLPHrp6_Ff7QKmNDlrpfhi43iWDYxH8nrCgHs6ISe4yGOYAUUfmfgeX-nKC0C1seuh7in8x5tvC7T9ZoXRY/s1600/bitmoji-20171025112201.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="396" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRj_4gaeOYS9Y28-ejgX4ZfCw2FJiWcOao3tEC8Ngz-Q4MAGevOHLODezauLPHrp6_Ff7QKmNDlrpfhi43iWDYxH8nrCgHs6ISe4yGOYAUUfmfgeX-nKC0C1seuh7in8x5tvC7T9ZoXRY/s320/bitmoji-20171025112201.png" width="317" /></a></div>
<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk <i>case </i>ini, mungkin beda lagi kalo saya lamarnya di Sekolah ABK, mungkin masih bisa dipertimbangkan. Masih mungkin sih soalnya dulu pas saya praktek di SLB, pihak sana nyeletuk semisal pengen magang atau coba melamar di sini, dipersilahkan nanti bisa jadi bahan pertimbangan.<br />
<br />
Tapi untuk sekolah umum atau swasta dengan murid non-ABK, mungkin... mungkin ya, memang sekarang aturannya harus berasal dari lulusan BK atau psikologi pendidikan. Nah, psikologi pendidikan itu yang kayak gimana sih maksudnya? </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya pun jadi sempat mikir sembari jalan ke parkiran. Psikologi pendidikan? Mungkin untuk yang pernah ambil magister psikologi pendidikan di universitas tertentu bisa <i>qualified</i> untuk jadi guru BK. Emang ada ya jurusan Psikologi Pendidikan? Ada. Universitas tertentu ada kok jurusan itu cuman setahu saya program Magisternya, tapi kalau S1 jurusan Psikologi Pendidikan, saya kurang ngeh, ada apa gak. CMIIW.<br />
<br />
Kalau jaman <i>old </i>kayaknya udah banyak banget guru BK yang berlatar belakang pendidikan S1 Psikologi namun kemudian melanjutkan S2 Psikologi Pendidikan (khusus orang pendidikan) atau yang lebih benernya lagi apa nih?<br />
<br />
Kalau berkiblat dari kualifikasi lamaran kerja di sekolahan yang saya tuju kemarin sih gitu bunyinya: Berasal dari S1 BK atau psikologi sekolah. Nah, yang jadi pertanyaan saya ini psikologi sekolah ini yang masih ambigu jadi kemarin itu saya mikirnya mungkin kalau udah bergelar psikolog bisa kali ya? Haha wkwk ini asumsi saya aja. Jadi kemarin itu saya mungkin terlalu pede berangkat dengan gelar psikolog.<br />
<br />
Nah, nah... jika mengacu pada <a href="http://abkin.org/images/download/permendiknas-no.-27-tahun-2008.pdf" target="_blank"><span style="color: #e06666;">Permendiknas No.27 Tahun 2008</span></a> dan peraturan dari Himpsi Pusat, kualifikasi akademik Guru BK harus memenuhi standar dan kompetensi konselor.<br />
<br />
Bunyi Permendiknas No.27 Tahun 2008 mengenai standar dan kompetensi konselor tuh begini nih:<br />
<blockquote class="tr_bq">
<span style="color: red;"><i>Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. </i><i><br /></i><i>Kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal adalah: </i></span></blockquote>
<br />
<ol>
<li><span style="color: red;"> <i>Sarjana pendidikan S1 dalam bidang Bimbingan dan Konseling</i></span></li>
<li><span style="color: red;"><i>Be</i><i>rpendidikan profesi konselor</i></span></li>
</ol>
<br />
Lalu, gimana nasib para senior, maksud saya mereka yang udah lama berkecimpung dalam karir guru BK namun tidak sesuai dengan standar kompetensi Permendiknas? Gimana dengan guru BK yang dia adalah lulusan S1 Psikologi murni dan kemudian mengikuti akta IV untuk sertifikasi BK?<br />
<br />
Sampai saat ini saya juga kurang paham, bagaimana alternatif solusinya. Tapi usut punya usut nih, kalo misalkan ada sekolah yang membuka lowongan kerja lalu mempekerjakan guru yang gak sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan oleh Diknas maka hal itu bakalan mempersulit proses akreditasi sekolah tersebut. Jadi, satu-satunya cara yang menurut saya ini masih menjadi jalan yang pasti akan sulit untuk dilalui adalah dengan kuliah lagi.<br />
<br />
Kuliah lagi? Emangnya gampang? Mudah kalo ada biaya dan emang mau belajar. Kendalanya mungkin hanya persoalan waktu dimana harus mengulang ikut kuliah dari ngambil S1 Bimbingan Konseling lalu lanjut S2 Profesi Konselor. Belum lagi sekarang pendidikan S1 itu memakan waktu minimal 4 tahun dan S2 minimal 2-3 tahun. Kalo ditotal sekitar 6-7 tahun baru kelar. Bukan kendala sih kalo emang <i>passion</i>-nya di situ.<br />
<br />
Lalu bagi lulusan Psikologi sama juga. Kalo dari lulusan S2 Psikologi Sekolah/Pendidikan mungkin masih bisa jadi pertimbangan untuk menduduki jabatan guru BK. Sedangkan bagi lulusan profesi bidang peminatan lain, lebih baik, jaga-jaga aja daripada nantinya udah terlanjut terjun terus pas akreditasi lembaga kita dianggap "biang" karena gak sesuai sama standar kompetensi mending carilah lahan yang memang untuk profesi kita.<br />
<br />
Tapi sejauh ini sih, kalo soal lamar kerja, saya masih sering ngirim-ngirim lamaran ke perusahaan padahal itu kan ranahnya profesi Psikolog Industri dan Organisasi ya. Heheh.. Bukannya mau merebut lahan teman sendiri. Tapi sering ada juga loh lowongan yang tulisannya sih lagi nyari Psikolog Klinis ehtapi lah kok kompetensi dasarnya mirip profesi PIO ya.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdcKNHkU_yjKrZvgB4nXi0CT-dZ4Gn10TyOas3Fg4djA41OcQxFuf49MgV2ec68bywv_jiwegHw23Ii9IzfxEXgAKFMNbf6E3Si6YALY7atXLx6jNjhZB9qsTgOXnjSRx5FwOYWdZONrk/s1600/bitmoji-20171025112324.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdcKNHkU_yjKrZvgB4nXi0CT-dZ4Gn10TyOas3Fg4djA41OcQxFuf49MgV2ec68bywv_jiwegHw23Ii9IzfxEXgAKFMNbf6E3Si6YALY7atXLx6jNjhZB9qsTgOXnjSRx5FwOYWdZONrk/s320/bitmoji-20171025112324.png" width="320" /></a></div>
<br />
Ini mungkin jadi PR juga ya buat pemerintah supaya lekas-lekas ngatur perundang-undangan yang jelas dan sah buat para psikolog, bukan cuma itu tapi dipetakan juga lapangan kerja bagi lulusan profesi bidang klinis, IO, pendidikan, perkembangan, sosial dan lain-lain supaya nantinya gak terkesan "ngerebut lahan sejawat". Yah beda lagi sih kalo emang mau beralih peminatan. Kalo dulu saya juga sering dapat cerita dari alumni psikologi yang banyak berkecimpung di dunia industri padahal mah bidang peminatannya di pendidikan, sosial dan lainnya. Tapi seiring berjalannya waktu, mereka harus beradaptasi dengan peraturan yang ada. Ya mau gak mau harus pedagogik gitu belajar sendiri supaya bisa mencapai standar kompetensi yang ditetapkan oleh lembaga tempatnya bekerja.<br />
<br />
Tetap semangat. Kalo emang udah mentok, mending langsung buka lapangan kerja sendiri atau berbisnis. <i>Someday </i>sih saya juga pengen bisa berbisnis sendiri. Amin. Sekarang pengen nambah pengalaman dulu, semoga segera.<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-43804872484522776952017-11-01T08:09:00.002+07:002017-11-02T16:23:59.979+07:00KENAPA NULIS TENTANG PSIKOLOGI?<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu64DMqyG7nBIFWDklJg3pKkMX1u995PEX7kWZ2gaCWxrfF0qazGwu7hsODaWWGFWY1eTiogkJUqjAosnKEkMzA10sVBAHMFyp27eGj6L3gGNYuEcXKDuta7NdkLYfR0bw7vxpohv34nU/s1600/bitmoji-20171025061153.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu64DMqyG7nBIFWDklJg3pKkMX1u995PEX7kWZ2gaCWxrfF0qazGwu7hsODaWWGFWY1eTiogkJUqjAosnKEkMzA10sVBAHMFyp27eGj6L3gGNYuEcXKDuta7NdkLYfR0bw7vxpohv34nU/s320/bitmoji-20171025061153.png" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
Sering banget saya dapat email yang isinya nanyain tentang kuliah di fakultas psikologi itu kayak gimana, atau kalimat pujian <i>something</i> yang bagi saya, saya masih jauh belum apa-apa dibanding pujian yang mereka haturkan. Tapi, makasih ya buat semua pembaca yang udah sering mampir ke sini.<br />
<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Kenapa sih kok saya bikin blog yang isinya banyakan postingan tentang psikologi? Kenapa gak ikutin blog lain yang isinya tentang printilan <i>make up</i> atau <i>product</i> <i>review</i>? Apakah awalnya bikin blog itu emang buat <i>personal branding </i>di bidang psikologi? Nyaman gak sih nulis yang bertema psikologi? Apa gak pusing tuh kudu nyari bahan tulisan dulu? Kudu baca jurnal dulu ya baru nulis?</div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUzM9FPeyI3QT9t7gyK-P5OfE2fhTgYnI4HRUSYbiYkgojqM19FWIEhAGRhoU0NmqSWLyrK4wR8eSmgmOifFUh-Eu0Na3k7xKfN_9-0Abiw9Sth6Nkp3wSq7RJoBaQccwar_3ktvA6lYA/s1600/bitmoji-20171025061043.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUzM9FPeyI3QT9t7gyK-P5OfE2fhTgYnI4HRUSYbiYkgojqM19FWIEhAGRhoU0NmqSWLyrK4wR8eSmgmOifFUh-Eu0Na3k7xKfN_9-0Abiw9Sth6Nkp3wSq7RJoBaQccwar_3ktvA6lYA/s320/bitmoji-20171025061043.png" width="320" /></a></div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hmm... mungkin banyak yang sepintas nanya kayak gitu. Tapi, bentar ya, saya jelasin dulu. Awal saya ngeblog itu tahun 2011 kalo gak salah. Pada waktu itu, saya masih kuliah semester 8 dan masih magang di UPT BK kampus. Karena gak setiap hari dapat <i>job</i>, maka waktu luangnya justru lebih banyak dan itu kadang bikin saya cepet bosan. Terus, kepikiranlah buat bikin blog. Dulu pas ikut program aplinet dari kampus sih udah dapat tugas disuruh bikin blog cuman saya udah lupa <i>password</i>nya karena saat itu saya pake <i>platform</i> wordpress.com. Kemudian, saya akhirnya bikin lagi pake Blogspot karena menurut saya <i>platform</i> ini lebih simpel menunya dan enak aja gitu (bagi saya aja sih).<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Awal-awal postingannya isinya tentang hal-hal yang bertema Islami. Ternyata postingan itu mendapat banyak <i>view</i> di luar dugaan. Tapi, makin lama, saya makin gak nyaman. Toh, simpel aja, saya juga bukan ahli agama. Kalo saya sok-sok an nulis tentang agama, pertanggungjawabannya nanti juga besar. Kalopun pernah saya nulis buku yang pake <i>basic </i>pengetahuan agama, itu karena saya tertarik untuk ngupas dari sudut pandang agama dan emang pas aja momennya.<br />
<br />
Tapi, habis itu saya udah hapus sih beberapa postingan yang banyak pengunjungnya itu? Kenapa dihapus? Soalnya ada banyak komen pertanyaan juga dan saya gak <i>expert</i> jadi daripada salah jawab, lebih baik saya hapus. Hahaha <i>flight mode on </i>wkwkwk. Gak sih, beneran takut aja kalo salah jawab. Kan maluuu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lambat laun, saya jenuh. Saya mulai memperbarui isinya dengan postingan curhat pribadi. Yah... isinya kisah saya selama (masih) berprofesi sebagai Dosen LB dulu. Saya juga mulai merampungkan tiga <i>draft </i>buku lama saya sebelum pindah ke Malang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Makin hari, saya makin bosan dengan isi postingan yang itu-itu aja. Akhirnya kepikiranlah, kenapa gak posting hal-hal yang berhubungan dengan mata kuliah psikologi aja ya? Lagipula itu sih pikir saya, bisa lebih <i>enjoyable</i> karena selain nulis, saya bisa sekalian berbagi ilmu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOBf5U_vP1u2yEeg1VSSQWQIzwarsZMW1gzN5iYPrqhFhsJctMHxb9MhMJK19gNtw_BuVSAEIiDf2x27Y7OgcZRhFveCE_DJrIDK2hgOfNnUSDlLIL-ywslyUHE893KmIYs3CUpzpWfkE/s1600/bitmoji-20171026023158.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOBf5U_vP1u2yEeg1VSSQWQIzwarsZMW1gzN5iYPrqhFhsJctMHxb9MhMJK19gNtw_BuVSAEIiDf2x27Y7OgcZRhFveCE_DJrIDK2hgOfNnUSDlLIL-ywslyUHE893KmIYs3CUpzpWfkE/s320/bitmoji-20171026023158.png" width="320" /></a></div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yap, saya eksekusilah harapan itu. Jadilah, satu per satu postingan bernada nyikologis mulai <i>publish</i>. Dikit-dikit kalo ada cerita yang saya dapat dulu pas kuliah S1, saya tulis. Nah, pas saya mutusin lanjut kuliah profesi, maka makin banyaklah bahan yang bisa saya tulis berhubung rata-rata di kelas, kami gak cuman dapat materi tapi juga cerita-cerita yang bersinggungan dengan <i>daily living</i> namun masih nyikologis juga. Belum lagi, makin banyak email yang saya dapat dari temen-temen yang udah diam-diam mampir ke blog ini. Makin antusiaslah saya untuk menulis topik-topik psikologi sebanyak yang saya mampu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalo ada yang nanya, apakah saya kudu buka jurnal dulu, kudu survei dulu, kudu belajar dulu sebelum nulis? Jujur aja, saya orang yang kalo lagi bosan itu suka banget buka-buka internet, baca artikel di berbagai situs. Gak jarang, saya juga baca artikel semi jurnal di beberapa situs internasional. Ternyata ada banyak penelitian baru yang menurut saya itu akan sangat bermanfaat bila saya mau bagi di sini dan saya tulis ulang versi bahasa saya. Banyaaak banget dan sayang kalo gak dibagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya juga gak merasa terbebani dengan tulisan yang saya posting karena saya memang orang yang suka belajar hal-hal baru. Tiap ada <i>event</i>/peristiwa atau artikela menarik berbau psikologi yang saya alami, baca atau dengar, saya langsung <i>draft </i>ke blog. Alhamdulillah kalo banyak yang tertarik baca. Tapi gak jarang juga sih mungkin ada yang malas baca karena kadang saya juga nulis hal-hal yang isinya tuh hasil-hasil penelitian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Trus soal <i>personal branding, </i>saya pribadi awalnya mikir pengennya sih gitu. Mumpung mungkin gak banyak blogger yang mau rajin posting hal-hal berkaitan dengan keilmuan psikologi. Kalopun ada, mungkin bahasanya <i>copast</i> jadi agak berat dibaca. Awalnya. Tapi lama-lama, ngalir aja sih. Kalo saya <i>on demand</i> kayak gitu, mungkin saya gak bakal bisa dan mau nulis dari dulu. Soalnya kalo <i>personal branding</i>, buat saya itu kalimat yang berat untuk saya cerna. Berat karena ada tanggung jawab profesional yang mungkin kudu diemban. Harus merhatiin syarat ini itu segala macam. Bagi saya, udah ah, gak usah gitu-gitu, biar ngalir aja. Kalopun ada yang sebut saya kayak gitu alhamdulillah. Kalopun akhirnya saya tulis <i>tagline</i> blog ini sebagai blog psikologi atau blogger psikologi, anggap aja buat lucu-lucuan. Seru aja gitu, hehehe...<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSp7iP2Nv_cFTOm1i33j28KwuVGZTQluFZrpuhPU0D_iabdEaMsribkH4hTqhxKzAAko2c3501aznrIwENOmGaDz5OjVgVTGhwutPpxtINfpSqq04cC9VuleB9o7WAAaaEpYnz5bBeCqo/s1600/bitmoji-20171025060633.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSp7iP2Nv_cFTOm1i33j28KwuVGZTQluFZrpuhPU0D_iabdEaMsribkH4hTqhxKzAAko2c3501aznrIwENOmGaDz5OjVgVTGhwutPpxtINfpSqq04cC9VuleB9o7WAAaaEpYnz5bBeCqo/s320/bitmoji-20171025060633.png" width="320" /></a></div>
<br />
Kalo saya boleh kasih saran nih, kalo mau nulis ya nulis aja. Jangan menulis sesuatu yang membuat kita merasa terbebani atau <i>at least</i> gak bener-bener paham tentang itu. Perkara nulisnya mau pake survei dulu, baca jurnal dulu, atau jungkir balik dulu, ya gak masalah. Yang terpenting kita <i>happy</i> dan menikmati apa yang kita tulis. Semua orang punya <i>style </i>dan metode nulis yang beda-beda. Gak bisa dipukul rata kudu dan mesti sama. Kalo saya pribadi untuk tulisan bertajuk psikologi memang ada yang saya sertakan dengan hasil penelitian, ada yang saya cantumkan sumbernya dan ada yang gak saya cantumin namun saya sertakan nama penelitinya siapa (jadi pembaca bisa cari sendiri pake <i>keyword</i> nama itu di google supaya jari-jarinya dan pikirannya terlatih untuk <i>curious wkwk</i>), ada yang merupakan <i>review</i> dari artikel yang udah saya baca dan ada juga yang berasal dari obrolan sehari-hari yang masih berkaitan dengan fenomena psikologi.<br />
<br />
Okke, sekian dulu ya. Semoga hari ini dilancarkan segala urusan kita, amin...</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-5608752144437899482017-10-26T11:08:00.002+07:002017-10-26T11:14:48.219+07:00UNEMPLOYED: SABAR DAN TERUS USAHA<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjowcQqkcI258ksNRW8qeYjoA0lfroTCcy2YRZ1gf1dsoQwYRfLuZSTyxj8KDkUumai0ZE9d3Fc7SZHB3YjxO3is6WRaZo9gqbIYHgiy7IU8ZGtr4OCx8-VD20OYPOH-onOYmQ00t0-djQ/s1600/bitmoji-20171025055643.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjowcQqkcI258ksNRW8qeYjoA0lfroTCcy2YRZ1gf1dsoQwYRfLuZSTyxj8KDkUumai0ZE9d3Fc7SZHB3YjxO3is6WRaZo9gqbIYHgiy7IU8ZGtr4OCx8-VD20OYPOH-onOYmQ00t0-djQ/s320/bitmoji-20171025055643.png" width="320" /></a></div>
<br />
<div style="text-align: center;">
------------------------ </div>
<blockquote class="tr_bq" style="text-align: center;">
"You'll be fine. You are 25. Feeling (unsure) and lost is part of your path. Don't avoid it. See what those feelings are showing you and use it. Take a breath. You'll be okay, even if you don't feel okay all the time"</blockquote>
<div style="text-align: center;">
-Louis CK-</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzn0oYcgzLb5pwSE06fqVz-udBW57Nh0ThKXkiSHOlQDZ37EeEekoyqCoYJUdmwa_Ii7828emJSG2yoMdaGLihB80Wxm2mN-qSCHcCklLebtHi8yo_6c9s8rtrKveW-iESAGmY1XOyJ6U/s1600/pants-1255851_960_720.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="636" data-original-width="960" height="420" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzn0oYcgzLb5pwSE06fqVz-udBW57Nh0ThKXkiSHOlQDZ37EeEekoyqCoYJUdmwa_Ii7828emJSG2yoMdaGLihB80Wxm2mN-qSCHcCklLebtHi8yo_6c9s8rtrKveW-iESAGmY1XOyJ6U/s640/pants-1255851_960_720.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="https://pixabay.com/en/pants-bag-list-wrench-job-search-1255851/" target="_blank">Sumber: Pixabay</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Usia 20-30 tahun adalah masa-masa produktif seseorang. Gak jarang juga orang dengan usia segitu mengalami banyak permasalahan. Salah satunya karir. Giliran udah wisuda jadi <i>fresh graduate</i>, tapi belum dapat kerja. Ada yang udah dapat kerja, tapi harus <i>resign</i> karena lagi hamil dan repot ngurusin anak. Ada juga yang rela bertahan di tempat kerja meski gak sesuai sama minatnya (bukan <i>passion</i>-nya) dan karena takut gak berpenghasilan lagi kalo sampe <i>resign. </i><br />
<br />
Dua puluh tujuh menjelang 28 pada Januari tahun depan, saya masih begini-begini aja. Udah lima bulan saya nganggur pasca wisuda Mei lalu. Banyak lamaran pekerjaan yang udah saya <i>apply</i>, tapi belum ada yang kunjung memanggil untuk tes dan wawancara. Yang ada saya malah mendapat penolakan lantaran pernah <i>apply</i> ke salah satu perusahaan televisi swasta namun kualifikasi pendidikan saya dianggap ketinggian (karena saya pakai ijazah S2 sementara yang dicari minimal S1 tapi <i>job desc</i>-nya itu lebih pantas dikerjakan oleh lulusan S2 profesi). Ya udin lah. Mungkin emang bukan rejeki saya kerja di pertelevisian.<br />
<i><br /></i>
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5yIB-OH8VJNiyjSUY3T29QETmwJvhtSzN3be5WnIItdasmPWS20FoBOCBOHSL22_2UPwP_6IJ1StPjhA1gXJ623WzOlZl-UimioeXrzWRdMZJeY9azz07N2gE2CnXKTrb_KRd9S0NAnw/s1600/bitmoji-20171025112201.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="396" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5yIB-OH8VJNiyjSUY3T29QETmwJvhtSzN3be5WnIItdasmPWS20FoBOCBOHSL22_2UPwP_6IJ1StPjhA1gXJ623WzOlZl-UimioeXrzWRdMZJeY9azz07N2gE2CnXKTrb_KRd9S0NAnw/s320/bitmoji-20171025112201.png" width="317" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Satu dua bulan ngerasain nganggur sih masih biasa-biasa aja. Tapi lama-kelamaan, saya pun jenuh. Jenuh karena lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan rutinitas yang gak ada bedanya dengan hari-hari kemarin. Nyapu, ngepel, masak (kadang), nyuci, makan, tidur, main hape, baca-baca, liat youtube, anter Mama ke pasar. <i>On repeat. Again and again</i>.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Pernah sih berkunjung ke kampus pas ada job kilat dari salah satu dosen. Saya diminta bantuin revisiin jurnal beliau dan dari itu saya dapat <i>sangu</i>. Lumayan lah buat dipake beli kebutuhan pribadi. Jadi, lumayan juga buat ngendaliin diri gak minta duit ke Mama. Malu lah. Gini-gini saya juga tahu diri. Sebagai anak pertama, masa harus minta melulu. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Di saat-saat nganggur gini, selain dapat ujian "sulitnya mencari pekerjaan", kesabaran hati pun diuji. Beberapa waktu lalu, salah seorang teman <i>chat</i>. Tumben-tumben juga sih dia nge-<i>chat </i>duluan. Saya pikir dia mau ngundang acara, tapi ternyata niatnya pengen silaturahmi. Awalnya sih saya nanya, apa aja kesibukannya. Lama gak denger kabar, rupanya dia lumayan memperlebar sayap. Dia banyak ikut <i>event </i>psikologi dan pekerjaan sosial. Trus si deseu ngomong kalo dia sebenarnya pengen ngajak saya untuk nimbrung di acara psikologi-psikologi gitu tapi deseu takut ngasih tahu karena dikiranya saya cuma mau ikut kalo kerjaan itu menghasilkan duit. Ya Allah... gak segitunya juga kali. Realistis emang perlu. Gimanapun kita butuh uang untuk melanjutkan hidup, buat makan biar ada energi untuk beraktivitas. Tapi sesekali bekerja untuk masyarakat juga perlu supaya kita tahu cara menghargai hidup, tahu gimana itu hidup susah, bisa ngerti posisi orang lain, sekaligus ngajarin diri gimana cara ngabdi dengan ngaplikasiin ilmu secara lebih efektif ke masyarakat meski tanpa <i>fee</i>.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1Cg5At_fXTD7vSog9eSaRVEWfZbj8jZXfdvJjGkzxV-rliwtWPBHCyHCOLmPRvES3mHs1h99secUQFRuMqRcVwT9m0kGx1cOzVn3M-FlzSS_8gK9djOgRNzTT6loOlpJy60TGYvL290c/s1600/bitmoji-20171025060208.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1Cg5At_fXTD7vSog9eSaRVEWfZbj8jZXfdvJjGkzxV-rliwtWPBHCyHCOLmPRvES3mHs1h99secUQFRuMqRcVwT9m0kGx1cOzVn3M-FlzSS_8gK9djOgRNzTT6loOlpJy60TGYvL290c/s320/bitmoji-20171025060208.png" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Balik lagi soal kesabaran yang diuji. Saya juga gak mau munafik tapi juga gak mau iri hati. Saya pun juga manusia yang kadang saat melihat manusia lainnya bisa lebih berkembang, saya jadi ngerasa minder dengan diri saya yang justru belum apa-apa. Saya belum juga dapat kerja, mereka udah punya kerjaan. Mereka bisa dengan mudahnya ikut <i>event</i> namun saya... saya pun sebenarnya pengen ikutan tapi uang dari mana? Gak lucu kalo saya harus minta lagi dan lagi ke Mama. Pas saya lagi ada uangpun, saya bela-belain untuk disimpan lebihnya supaya saya bisa beli sabun, <i>skincare</i> dan barang kebutuhan pribadi lainnya tanpa harus minta ke Mama. Ya, kadang sih kalo pas saya bener-bener gak ada uang, Mama beliin saya pembalut atau apalah itu yang sifatnya personal.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Melihat teman udah selangkah menuju sukses, membuat saya gak lantas langsung iri, melainkan jadi bikin saya banyak mikir. Mikir kira-kira waktu yang sangat luang ini saya gunakan untuk apa ya. Saya pun udah nyoba ngirim beberapa tulisan ke situs online cuman mungkin gak bisa seterusnya karena gak ada perjanjian yang solid untuk jadi kontributor di situ sih. Belum lagi, uang dari hasil buku (yang saya tulis sendiri) udah gak sebanyak dulu bahkan sering juga sih gak dapat bayaran. Saya juga pernah hanya sekali dibayar oleh salah satu penerbit dan setelah tahun berganti, saya gak pernah lagi dapat bayaran atau minimal laporan penjualan (ada penjualan atau gaknya) dari penerbit yang bersangkutan. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Dari empat buku yang saya pernah tulis, ada tiga penerbit berbeda yang menaungi saya. Penerbit pertama dan kedua transparan tapi penerbit yang saya titipin satu buku saya ini, seolah raib, udah gak pernah ngasih laporan apapun ke saya dan kurang <i>respect </i>entah kenapa sih kalo ditanyain gitu. Jadi, ya udah deh, saya maafin. Anggap aja, mungkin buku saya di penerbit itu udah gak laku sama sekali, jadi semuanya dihibahkan, mungkin ya mungkin tapi gak tahu lagi. Saya juga cukup tercekik dengan besarnya pajak royalti dari menulis buku dan jadi mikir, mau nulis lagi apa gak ya habis ini? </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Dengan pajak yang sangat besar (yang persoalan ini pernah diangkat oleh Bang Tere Liye di akun sosmednya), penulis cuman dapat sedikit. Kalo saya bilang sih dikit banget. Selebihnya royalti itu dibayar ke penerbit, buat pajak di tokonya juga, biaya produksi dan lain-lain. Kalo ditanya <i>fair</i> gak? Gak tahu juga sih harus jawab iya atau gak. Cuman yaa... ambil positifnya aja. Tiap pekerjaan dan sistem kerja samanya itu pasti ada plus dan minusnya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<br />
<div class="" style="clear: both; text-align: justify;">
Supaya semangat gak <i>down</i>, saya kadang baca-baca biografi orang-orang sukses. Banyak sih menurut saya, orang-orang yang dulunya dipecat dari kerjaannya, <i>resign</i> bahkan menganggur dalam waktu lama. Tapi, mereka bisa memanfaatkan waktu luangnya itu dengan menciptakan sebuah pemikiran dan produk baru yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLRar8iZLYVbGyMoB7B2meoyy-h07IwOvSeUAz16b5-9uRADiZlqK_qohIq_xFmIVCIG9YlCfgjYU8tUVqq5kcnyOC8g2_aPxpTETbBED7oP-_sCKeuGHhJlVTuixU3Gwh44T_UHD9TOA/s1600/bitmoji-20171025111300.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLRar8iZLYVbGyMoB7B2meoyy-h07IwOvSeUAz16b5-9uRADiZlqK_qohIq_xFmIVCIG9YlCfgjYU8tUVqq5kcnyOC8g2_aPxpTETbBED7oP-_sCKeuGHhJlVTuixU3Gwh44T_UHD9TOA/s320/bitmoji-20171025111300.png" width="320" /></a></div>
<div class="" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="" style="clear: both; text-align: justify;">
Contohnya aja si Bapak Suiciro Honda. Beliau dulunya dipecat dari tempatnya bekerja kemudian mendirikan perusahaan otomotifnya sendiri. Beliau sangat meminati dunia otomotif dan waktu nganggurnya digunakan dengan sangat baik. Si Bapak Honda sampe bikin skuter, bikin velg, dan alat-alat lain. Banyak banget gagasan baru yang langsung dieksekusi oleh Bapak Honda. Belum lagi, beliau juga punya <i>skill </i>marketing yang hebat sehingga bisa mengantarkan dia pada kesuksesan memasarkan produk-produk ciptaannya itu. Beliau juga pernah kok ngerasain masalah finansial sampe bangkrut tapi setelah itu dia bangkit lagi dan memperlebar karirnya hingga terjun ke Formula 1. Produk-produknya pun sampai sekarang masih bisa kita pakai. Yap, motor dan <i>sparepart</i>-nya dengan atas namanya itu.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Meski nganggur, emang harus tetap produktif. Produktif dalam arti mencari dan mewujudkan ide-ide kreatif nan segar, berani menantang diri untuk melakukan hal berbeda dari waktu ke waktu. Contoh kecilnya aja, kalo sebelum-sebelumnya gak pernah bikin kue (kayak saya), biar gak bosen ngelakuin itu-itu doang, coba sesekali eksperimen bikin kue. <i>Failed</i> sih pasti ada, tapi nanti lama-lama juga pasti bisa.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Saya juga kembali nekuni menulis karena udah lama dianggurin juga blog ini. Gapapa lah berbagi cerita dan pengetahuan ya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Saya juga gak lupa berterima kasih buat orang-orang yang senantiasa nyemangatin dan gak ninggalin saya walau saat ini saya belum jadi apa-apa. Buat si doi, makasih ya udah selalu ngasih <i>support</i>, saat saya gagal ikut tes kemarin, dia juga berusaha nyemangatin, bilang anggap aja itu pengalaman buat ke depan. Kalo saya panik, dia juga sering ingetin supaya saya bisa <i>slow down</i>. Makasih yah. Doain saya lah ya supaya bisa cepet dapat kerja juga. Saya kan juga pengen gitu bantu cari duit buat bekal kita nikah nanti gitu. Amin.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrr6usRa0mUbc3KSoJu3P2lPvjI-l5om0DsuJ123n7ZABTF-hEReVZs1f-tDquTPxfOD_SP_C-AXsXqCNbMnG32sNO1nFv1YVjYkKF5ZmCxZpLfw2uzDTK1d2zGi_smV3t2igk7rf5stY/s1600/bitmoji-20171025060046.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrr6usRa0mUbc3KSoJu3P2lPvjI-l5om0DsuJ123n7ZABTF-hEReVZs1f-tDquTPxfOD_SP_C-AXsXqCNbMnG32sNO1nFv1YVjYkKF5ZmCxZpLfw2uzDTK1d2zGi_smV3t2igk7rf5stY/s320/bitmoji-20171025060046.png" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Makasih juga buat dua sahabat yang selalu ngasih wejangan dan motivasi walau raga kita berjauhan. Dua temen SMA ini ngebuat saya jadi merasa punya kakak dan sahabat. Mereka berdua adalah orang yang sampe detik ini masih kontak saya. Saya juga bersyukur punya mereka dalam hidup saya. Makasih ya. Semoga kalian di sana sukses juga. Amin.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
Buat kita-kita yang masih nganggur, tetep semangat, sabar, usaha dan doa. Gak ada yang gak mungkin kok kalo kita terus usaha. Seperti kata Bapak Honda, "Kesuksesan itu dihasilkan dari 99% kegagalan dan 1% usaha."<br />
<br />
Bismillah semoga <i>someday</i>, saya bisa kerja, di mana pun itu, semoga gak lama lagi saya udah bisa kerja. Uppss.. lebih tepatnya semoga bisa berkarir dan berpenghasilan. Bisa nabung buat masa depan. Bisa investasi. Bisa buka usaha mewujudkan impian lainnya. Amin.</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-71339099396621618182017-10-25T16:24:00.002+07:002017-10-25T16:43:48.121+07:00MATEMATIKA: YAY OR NAY<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
"Do not worry about your difficulties in Mathematics. I can assure you mine are still greater."</div>
<div style="text-align: center;">
-Albert Einstein-</div>
<div>
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Saya pikir, tidak ada mata pelajaran/mata kuliah yang mengajarkan hal buruk pada manusia. Namun, gak semua mata pelajaran atau mata kuliah bakal disenangi oleh semua orang, kan? </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Gimana dengan Matematika? Mata pelajaran satu ini pasti bakal kita temui di mana pun, bahkan mulai dari TK hingga kuliah, kita pasti bakal ketemu sama pelajaran satu itu. Ya kan? Kalian yang udah kuliah pun pasti bakal ketemu Matematika dalam bentuk Statistik meskipun kuliahnya di jurusan yang berhubungan dengan ilmu sosial.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<img border="0" data-original-height="490" data-original-width="960" height="324" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinfKZiRZfuxupB7ZiTTVl1BDc1Kb31vwp1rmd9buspyyB3pp3YJDnvvsy75_4SOWjZGE0udIjzN_JwXdYaCW1yM9_ewvBh19orjfwH8dyzf9-IwjYFab8U32su1dahpDL4i579-j_DJX4/s640/math-1547018_960_720.jpg" width="640" /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://pixabay.com/en/math-blackboard-education-classroom-1547018/" target="_blank">Sumber: Pixabay</a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Flashback ketika masih sekolah dulu. Waktu TK hingga SD, saya suka banget belajar berhitung, ya penambahan, ya pengurangan, perkalian sampai pembagian. Senang aja gitu rasanya pas belajar Matematika, apalagi waktu guru ngasih pertanyaan, siapa yang bisa jawab harus ngacungin tangan supaya bisa dapat nilai. Saya juga masih ingat pas kelas 4 SD, saking semangatnya, saya sampai dimarahin guru karena angkat tangan terus pas guru saya ngasih pertanyaan. Kok yang jawab, saya mulu, yang ngacung pertama saya mulu, yang lain ke mana??? Sian deh gueeh.. Kok ya lagi semangat-semangatnya mau jawab pertanyaan di saat semua murid lagi malas, eh malah kena marah. Ya udin deh ah ya, saya diam aja habis itu.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSxjdwoF5hiGDkKuY4qD2Q68qpMXUXz52_cTWLYxU-X40ESYNr89KuqK3OeVCNuOdVvGEWz5LQ1dmbEJiGzSzaJqgTW5ceyEmimyq110YdDr_uDy6fNU7mn_sNDHqbqZMhwmfgAJtYU00/s1600/bitmoji-20171025060339.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSxjdwoF5hiGDkKuY4qD2Q68qpMXUXz52_cTWLYxU-X40ESYNr89KuqK3OeVCNuOdVvGEWz5LQ1dmbEJiGzSzaJqgTW5ceyEmimyq110YdDr_uDy6fNU7mn_sNDHqbqZMhwmfgAJtYU00/s320/bitmoji-20171025060339.png" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, pas masuk SMP, saya merasa pelajaran Matematikanya kok ya makin rumit ya. Gimanapun juga, mau gak mau saya harus lebih giat belajar Matematika karena saat itu saya terpilih sebagai wakil sekolah untuk mengikuti ajang pemilihan siswa dan siswi teladan. Tiada hari tanpa <i>briefing </i>dan pengayaan. Tiap pulang sekolah, saat semua teman udah pada pulang, saya dan satu teman saya yang jadi wakil untuk siswa (laki-laki) gak bisa langsung pulang karena masih harus ikut pengayaan, belajar materi-materi soal yang akan diujikan saat perlombaan. Kebayang malas dan capeknya otak ini Tuhan digenjot tiap hari. Tapi, udah lumayan sih pas terpilih jadi juara III murid teladan bareng temen saya yang cowok itu. Seneng sih iya, cuman sayangnya saya jadi ketinggalan banyak pelajaran di kelas karena setiap minggu, gak pasti hari apa, pasti bakal diijinin cabut dari kelas buat ikut <i>briefing</i>, pengayaan, dan lomba. Lombanya waktu itupun memakan waktu berpekan-pekan. Yah, kebayang dah rasanya sekolah, masuk cuman bentar habis itu disuruh ke kantor depdiknas, habis itu disuruh balik sekolah lagi ikut pengayaan di saat yang lain udah pada pulang ke rumah.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1tZFjWGcutwSyHaPO-x5QnGIk8ZXd03rrn8B1Lygbqn5B4UxSwRl5wxJ09q3kjpwa3pK_DNn-b7MXRo5g2BzJMCeqGXCbxQAR4vktAfXQi_qQy-Ds0Xg8SXzhZq_M_gc6xikhDMn5Al0/s1600/bitmoji-20171025060847.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1tZFjWGcutwSyHaPO-x5QnGIk8ZXd03rrn8B1Lygbqn5B4UxSwRl5wxJ09q3kjpwa3pK_DNn-b7MXRo5g2BzJMCeqGXCbxQAR4vktAfXQi_qQy-Ds0Xg8SXzhZq_M_gc6xikhDMn5Al0/s320/bitmoji-20171025060847.png" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya juga masih ingat waktu kelas VIII atau II SMP, saya pernah mendapat penghargaan karena terpilih sebagai siswi dengan peringkat I umum sekolah. Sontak, temen-temen pada <i>lingak-linguk </i>heran, kaget, <i>speechless</i>, sisanya ikut seneng, sisanya lagi gengges bin gempar gak terima saya dapat rangking I umum. Bahkan temen sekelas yang merasa saya rebut kedudukannya juga sempat gak terima kenapa saya rangking I??? Zzz.... okay, sabar aja ya. Pikir saya, di mana pun sekolahnya, di mana pun berada, pasti ada kok orang yang suka dan gak suka sama diri kita.<br />
<br />
Horornya, pernah saya dihadang salah seorang yang fans berat sama temen saya yang selalu rangking I di sekolah itu. Nah, pas giliran sehabis pengumuman, dia tahu rangking I umum itu jatuh ke tangan saya, dia gak terima. Dia sampe gak tanggung-tanggung ngehadang saya pas pulang sekolah terus nodong saya pake sejumlah pertanyaan. Bahkan parahnya lagi, dia menuduh saya pakai jampi-jampi dan itu dia pake acara teriak-teriak di depan umum. DI DEPAN UMUM, DI DEPAN ORANG BANYAK LO YA, dia teriak, EHHHH EMMA PAKE JAMPI-JAMPI, MUSTAHIL DIA RANGKING SATU. ITU FITNAH!!!<br />
<br />
Ya, yang namanya manusia, saya kezel dong ya. Yang bikin saya makin kezel adalah dia itu laki-laki (tapi rada bences) yang mirip kayak lambe turah. Gak habis pikir, gimana ekspresi dan reaksi orang-orang sekitar ketika dia dengan heboh dan garingnya ngata-ngatain saya kayak gitu. Dia udah mempermalukan dan memfitnah saya di depan murid-murid seantero sekolah. Tapi, temen-temen saya yang baik pada saya bilang ke saya untuk gak usah ngehirauin apa kata orang. Mereka meyakinkan bahwa pemilihan itu sifatnya <i>fair</i> dan gak ada satupun yang berhak merasa dirugikan.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9E7Ny6jezgAy7JWhD9iyBQNnly7jGGbYU93r5FHXimEv9CaNZy9h2cNUIuUetwdLb_f35H0ZJkBomLTpjSQK3AJpzLM-ORR4QMn4VxKK4y_ovr8q96cIxyVy58x6f0V9m0NEqO_Qdnnw/s1600/bitmoji-20171025060835.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9E7Ny6jezgAy7JWhD9iyBQNnly7jGGbYU93r5FHXimEv9CaNZy9h2cNUIuUetwdLb_f35H0ZJkBomLTpjSQK3AJpzLM-ORR4QMn4VxKK4y_ovr8q96cIxyVy58x6f0V9m0NEqO_Qdnnw/s320/bitmoji-20171025060835.png" width="320" /></a></div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Semenjak itu, saya jadi mulai malas belajar Matematika. Malas lantaran beberapa minggu setelah pergantian semester, ada beberapa orang yang menyebarkan isu gak benar mengenai pemilihan peringkat umum sebelumnya. Beberapa teman ada pula yang ikut termakan isu itu sampai meragukan kemampuan saya. Saya hampir berada pada titik tersudutkan, terpojokkan. Bayangin aja, pagi-pagi baru tiba di sekolah, beberapa murid udah kongkow di depan kelas sambil bisik-bisik tapi matanya sinis ke saya. Bodohnya, saya merasa semakin ngenes. Gimana gak ngenes karena teman saya yang selalu rangking dulu itu adalah kelompok belajar saya di kelas (dulu kami sistemnya di kelas adalah duduk berkelompok-kelompok mulai awal hingga akhir semester). Acapkali dia masih <i>mecucu</i> bin <i>mendelik</i> yang kemudian membuat saya ingin saja tukaran kelompok. Tapi, teman-teman yang lain senantiasa nguatin saya diam-diam, minta saya untuk gak nyerah gitu aja dan yakin pasti kelak si teman saya yang marah tadi bakal sadar bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh posisi terbaik di sekolah dengan kemampuan belajarnya yang mumpuni.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Saya ngangguk-ngangguk aja dan pasrah. Belum lagi, makin banyak tugas kelompok yang terbengkalai cuman gara-gara masalah "rangking". Yang tadinya si temen saya yang marah itu adalah ketua kelompok, mendadak mau ngundurin diri dari posisinya dan melimpahkan tugas presentasi ke saya. Saya cuman gak habis pikir kalo ternyata bersekolah pada masa itu sangat kompetitif dan gak mudah untuk bisa pertahanin posisi yang udah diraih mati-matian.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Kejadian beneran. Ketika tiba hari presentasi tugas kelompok Matematika, dengan langkah gontai, saya maju ke depan kelas. Bapak guru Matematika (yang mana beliau adalah mantan guru Mama sekaligus teman Mama jaman dulu) sempat menertawai saya yang bertingkah sok lemah lunglai pas presentasi. Pas kelompok lain mengajukan pertanyaan, saya sebagai ketua tentu punya rasa gengsi jika harus terus melimpahkan tugas menjawab pertanyaan ke teman-teman. Minimal sih saya harus menguasai bahan dan bisa menjawab dengan tegas. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Namun, belum juga saya jawab, semangat saya langsung <i>down</i> ketika Bapak guru nyuruh saya untuk jawab semua pertanyaan tanpa harus minta persetujuan atau bantuan opsi jawaban dari anggota kelompok. MAMPUS gak sih? Udah diketawain guru, temen saya yang masih marah itu acuh gak acuh, belum lagi sorak-sorai dari kelompok lain yang nungguin jawaban dari saya. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Dengan <strike>kekuatan bulan dan bintang</strike> bismillah, dengan kalimat terbata-bata, saya mencoba menjawab. Saya paham jika ada teman yang masih gak sreg sama jawaban yang saya kasih tapi alhamdulillahnya tanpa diminta, mereka mengerti posisi dan keluhan saya. Mereka ternyata udah tahu mengenai isu yang beredar tapi sebagian dari mereka justru memaklumi. Maklum jika saya gak bisa maksimal presentasi karena satu, saya gak <i>expert </i>untuk pelajaran Matematika, dua, saya masih terjebak dalam suasana tidak menyenangkan pasca pengumuman peringkat di semester lalu.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgn6RT3ckDdEv9MiZfZ9aQgEYSgZnapbOuGoO0cBYiSTO4TUZqIvcJ4T7l-Of8PQTEnxGCDy7dvyMtjGMZnOwzzif_MbE3j_cDiglTkQkUQe51Lxkt6_f8SWlhEg8XXHBq9eLyTRfLNrk/s1600/bitmoji-20171025060826.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgn6RT3ckDdEv9MiZfZ9aQgEYSgZnapbOuGoO0cBYiSTO4TUZqIvcJ4T7l-Of8PQTEnxGCDy7dvyMtjGMZnOwzzif_MbE3j_cDiglTkQkUQe51Lxkt6_f8SWlhEg8XXHBq9eLyTRfLNrk/s320/bitmoji-20171025060826.png" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Sehabis presentasi, si Bapak guru nepuk pundak saya sambil ngasih wejangan. Wejangannya apa? Saya disuruh lebih gigih lagi belajar Matematika. Belum sempat saya mau ngucap syukur karena tadinya saya kira bakal dimarahin, eh gak taunya si Bapak guru bilang, "Yan, nanti kamu yang jadi wakil di lomba Olimpiade Matematika ya. Kamu harus ikut. Saya udah usulkan kamu." Errrfffgghh..... Entah harus sedih atau marah atau bahagia. Rasanya campur aduk aja perasaan kala itu. Belum lagi disuruh ikut Olimpiade Matematika. MATEMATIKA LAGI??? Padahal jauh-jauh hari, saya udah minta izin ke guru Biologi buat didaftarin Olimpiade Biologi. Saya udah persiapkan untuk Biologi, mati-matian belajar Biologi supaya nilai saya gak meragukan dan supaya bisa ikut sebagai wakil Olimpiade Biologi. Tapi, lagi-lagi, mengapa saya harus dipaksa untuk gak memilih? Mengapa harus Matematika lagi???</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Saya cuman senyum dengan raut wajah yang jelas gak ikhlas sewaktu dengerin usulan si Bapak guru tadi. Pengen ngelus dada aja, Pak...</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Berasa mimpi buruk tau gak sih. Pagi-pagi harus selesaiin tugas kelompok Matematika yang terbengkalai, harus presentasi dadakan, diketawain, dan disuruh ikut Olimpiade Matematika. <i>Purrrrfeect...</i></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<i><br /></i></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Berjalannya waktu, saya jadi dapat pelajaran berharga. Saya udah pasti dan sangat jelas gagal maju ke babak final Olimpiade Matematika. Belum lagi nilai ulangan blok Matematika saya belakangan banyak yang hancur. Terang aja sih kondisi psikologis saya serasa goyah tak menentu. Bahasa hiperbolanya, seolah sedang berada di titik nadir. Gak tahu kudu semangat dengan cara apa lagi. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Belum lagi, di ujian Bahasa Inggris, (bukannya sombong tapi ini cerita sebenarnya), kebetulan saya dapat nilai paling tinggi di antara seluruh kelas, dan kemudian guru meminta saya untuk ngajarin teman-teman yang membutuhkan, belum lagi saya kudu diminta pertahanin nilai itu hingga akhir sekolah. Belum lagi ada guru Bahasa Inggris satunya yang minta saya untuk gak pelit bagi ilmu. Apa Pak? Jadi, Bapak pikir saya pelit? Saya gak pelit Pak, cuman saya berusaha untuk gak memberikan contekan, sebisa mungkin supaya tetep <i>fair</i> dan saya juga berusaha untuk gak pernah mau nyontek lagi kalo ada ulangan Matematika (iya dulu saya sempat nyontek sih, tapi udah belajar ngendaliin diri). </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Inilah hidup, menjadi manusia yang sewaras mungkin menyadari bahwa hidup gak melulu harus optimis. Kadang, terlalu optimis itu juga gak baik. Kadang, apa yang kita harapkan ternyata gak kenyataan. Bukan karena salah kita yang gak memperbanyak usaha namun karena situasi yang mengharuskan kita untuk gak membuat banyak pilihan. Seperti halnya ketika saya harus terjebak mengikuti Olimpiade Matematika, harus memikul amanah rangking I umum, mendapatkan nilai Bahasa Inggris (yang kebetulan pada saat itu) nilainya sempurna di antara ratusan murid di sekolah dan masih banyak lagi peristiwa kurang menyenangkan yang bersinggungan dengan dunia akademis di sekolah saat itu.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSDlZga6kzT8qVaxvzu5YJn3epY-WHDn3xnLW7SOF0euj2Bs_Vvm_oAPsBEaS0GkXwriFkfd_ADQM49ESS1-Yl6GShGGFyRS-w4ZapdAzbBNPjpz9lJDQzZvn0VsLhfEmwBVY_w0WJBQ8/s1600/bitmoji-20171025110520.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSDlZga6kzT8qVaxvzu5YJn3epY-WHDn3xnLW7SOF0euj2Bs_Vvm_oAPsBEaS0GkXwriFkfd_ADQM49ESS1-Yl6GShGGFyRS-w4ZapdAzbBNPjpz9lJDQzZvn0VsLhfEmwBVY_w0WJBQ8/s320/bitmoji-20171025110520.png" width="320" /></a></div>
<div class="" style="clear: both; text-align: justify;">
Bersyukurnya, pas udah mau lulus SMP, teman saya udah gak marah lagi. Kami juga udah gak sekelas lagi karena yang masuk peringkat 10 besar diacak untuk menempati beberapa kelas. Saya waktu itu kedapatan masuk di kelas III.1 (waktu kelas III SMP). Saya merasa merindukan aroma kompetisi yang dulu karena terbukti di kelas tiga, saya teramat santai, sering dapat rangking 1 kelas, ngerasa kekurangan <i>challenges</i>. Ya, saya bersyukur aja sih punya teman-teman pintar dan pernah disinisin teman pintar. Itu berarti saya masih punya kemampuan dan saya menghargai kemampuan saya itu.<br />
<br /></div>
<div class="" style="clear: both; text-align: justify;">
Saya pun sadar, mungkin saya gak suka sama pelajaran Matematika akibat pengalaman masa lalu yang gak banget terkait Matematika. Akhirnya, saya malas-malasan setiap ketemu dengan deretan angka yang banyak.<br />
<br /></div>
<div class="" style="clear: both; text-align: justify;">
Buat kamu yang gak suka sama pelajaran Matematika, gak masalah kok. Hidupmu gak lantas bakal <i>ending</i>. Kamu masih bisa pelajari dan kembangkan potensi di <i>subject</i> lain yang kamu minati. Mungkin pada bidang ilmu sosial atau bahasa. Kamu juga gak mesti kok jadi anak IPA. Entah keajaiban apa waktu SMA saya bisa masuk kelas IPA. Jujur, saya sering dapat nilai bagus pada matpel Fisika dan Kimia kala itu tapi gak banget untuk Matematika. Nilai ilmu pengetahuan sosial saya pun jauh melambung tinggi namun saya harus mati-matian untuk tetap <i>survive </i>di kelas IPA.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7uv7T5ltlbFRsJTIbTRo8TbJG_fWCTdpL4s9nFeTds4uVYDEEtXGXg-TARFFLdSPaT8ea621KS4tMxehBrpEorwVJSY5eURSsWm93ktaITxco_lWm0z68Wh5C98lCkCNuRu6V8lqvf8o/s1600/bitmoji-20171025060310.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7uv7T5ltlbFRsJTIbTRo8TbJG_fWCTdpL4s9nFeTds4uVYDEEtXGXg-TARFFLdSPaT8ea621KS4tMxehBrpEorwVJSY5eURSsWm93ktaITxco_lWm0z68Wh5C98lCkCNuRu6V8lqvf8o/s320/bitmoji-20171025060310.png" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Saya petik aja sebagai pelajaran. Kalo udah tahu saya lebih pintar di ilmu sosial, seandainya saya masuk kelas IPS dulu ya, mungkin saya akan selalu merasa puas, mungkin saya hanya bakal semakin terjebak dengan zona nyaman seperti waktu kelas III SMP. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Pas masuk SMA kelas IPA, saya semakin kewalahan. Sempat dapat rangking III umum, tapi setelah itu makin menurun. Entah karena semangat yang juga kian surut atau hal lain.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Sekali lagi, saya katakan, gak masalah kamu gak suka Matematika. Tapi, ketika tiba waktunya kamu harus berhadapan lagi dengan <i>subject</i> itu, maka persiapkan diri, <i>challenge</i> dirimu sendiri sebagai ajang untuk menambah wawasan dan meningkatkan kualitas diri. Gak papa kok kalo nilai Matematika rendah. Yang penting ada niat untuk terus belajar.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Bila perlu, coba temukan metode belajar yang bisa membuat kalian betah dengan Matematika. Belajar kan gak harus selalu di dalam kelas. Bisa belajar dari objek-objek yang ditemuin di kehidupan sehari-hari, belajar bareng temen, belajar di internet atau lainnya. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Kalo kamu pernah membaca artikel bahwa ada penelitian yang menyatakan anak yang gak pintar di Matematika itu karena kekurangan zat besi atau salah ibunya mengandung, stop, jangan terlalu terhasut oleh hasil penelitian. Sekalipun mungkin itu benar, jangan jadikan itu sebagai alasan untuk ogah belajar sama sekali.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Saya juga gitu. Sampai saat ini, saya masih terus belajar. Kadang iseng-iseng nyoba jawab soal-soal yang ada di internet. Itung-itung buat jaga-jaga aja barangkali <i>someday</i> saya dapat panggilan kerja, berharap bisa mendapatkan nilai lebih baik lagi pas ikut tes kerja.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Intinya, jangan pernah menyerah. Terus belajar tingkatkan kualitas diri, minimal dari diri dan untuk diri sendiri. Gak usah dengerin kata-kata orang yang menyudutkan. Tetap <i>recharge</i> diri sendiri dengan hal-hal yang positif dan optimislah dengan kadar sewajarnya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Yap, sekian dulu ya cerita kali ini. Terima kasih udah nyimak.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgikzbIgsIfHTwnq6RnCZu-KlTNosTOS_RVdZQtV3qYWWB_5budBUiFQok-5JicUx_yGfs5VXCn884N1Y_OA16YL5hjZYCyaVz7zyX0nmHWTKcFObOLmBnMbSim93u46b1qPxuVwTf2rHg/s1600/bitmoji-20171025055545.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="398" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgikzbIgsIfHTwnq6RnCZu-KlTNosTOS_RVdZQtV3qYWWB_5budBUiFQok-5JicUx_yGfs5VXCn884N1Y_OA16YL5hjZYCyaVz7zyX0nmHWTKcFObOLmBnMbSim93u46b1qPxuVwTf2rHg/s320/bitmoji-20171025055545.png" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-56455225130177567662017-10-21T19:14:00.002+07:002017-10-21T19:14:35.140+07:00KULIAH PSIKOLOGI, EMANG ENAK? (PART 1)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsu07oRGCaQL22U76OnQ4Pp-yB5Sbc6tj36QwodJ1xlI9mPWPou0iY4NZNtTfOfJCObMzXQWPjxP8ZRUzNd5WW8XjBsWzZJKbVaJVRIL4RYd-Vop4fIbxyFJ8skCKobyrgl5u5gKjy0yI/s1600/kul.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1130" data-original-width="1262" height="358" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsu07oRGCaQL22U76OnQ4Pp-yB5Sbc6tj36QwodJ1xlI9mPWPou0iY4NZNtTfOfJCObMzXQWPjxP8ZRUzNd5WW8XjBsWzZJKbVaJVRIL4RYd-Vop4fIbxyFJ8skCKobyrgl5u5gKjy0yI/s400/kul.png" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Banyak banget yang nanya ke saya, <i>"Kak, kuliah di psikologi ya? Gimana suka duka kuliahnya? Enak ya Kak kuliah psikologi?"</i><br />
<i><br /></i>
Pertanyaan itu tuh seolah-olah kayak <i>trending topic</i> banget. Banyak banget yang bolak balik nanya kayak gitu.<br />
<br />
Jadi, beneran enak nggak sih kuliah psikologi? <i>Worth it</i> kah? Suka dukanya apa? Ah, banyak banget.<br />
Kalau saya ceritain semua mungkin nggak bakal cukup nih satu postingan doang. Tapi, saya cuman mau bilang, jangan kuliah kalau cuman ikut-ikutan atau hanya karena kamu menilai itu tuh jurusannya bagus, bergengsi atau banyak diminati orang lain. Jangan! Kuliah itu nggak kayak sesantai yang kalian lihat di sinetron-sinetron. Bahkan dulu saat SMP, saya pernah ditanyain temen, "Ma, nanti kamu mau kuliah atau langsung nikah?" Saya tentu jawab kuliah, terus temen saya itu bilang, "Ah, kuliah mah santai pasti, Ma. Coba kamu lihat di FTV, anak-anak kuliahannya begitu semua." Yee.. itu mah fiksi, namanya juga sinetron, film, nggak semua yang kita lihat itu adalah fakta.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Kuliah psikologi, mata kuliahnya ngebosenin nggak sih? Menarik nggak? Menarik nggaknya itu <i>depend on</i> banyak sebab. Mulai dari dosennya, isi dari mata kuliah itu, atmosfer di kelas dan masih banyak lagi. Saya pribadi dari awal lebih tertarik sama mata kuliah klinis. Mungkin karena dulunya saya pernah punya cita-cita masa kecil nggak kesampaian untuk jadi dokter. Karena keterbatasan biaya dan karena saya yang nggak jago Matematika dan karena karena lainnya, saya lepas impian itu.<br />
<br />
Saya juga pernah ambil kelas tambahan PIO (Psikologi Industri dan Organisasi) yaitu Anajab (Analisa Jabatan). Saya nyasar ke kelas PIO karena semua kelas tambahan klinis sudah saya ambil dan nggak ada lagi yang baru. Temen saya yang lain banyak ambil kelas Perkembangan tapi saya aja yang menganggap kelas Perkembangan itu ngebosenin (buat saya sih, yang lain <i>fine fine </i>wae). Nyasarlah ke kelas PIO. Kesasaran saya itu bukan nggak membuahkan hasil sama sekali. Justru saya senang, bisa keluar sesekali dari zona klinis. Bertemu dengan teman-teman baru ya walaupun nggak baru-baru banget sih karena sebelumnya pun saya juga udah kenal dan tau hampir semua teman seangkatan. Di kelas itu saya berteman sama satu kakak tingkat dan akhirnya kami ngerjain <i>project</i> bareng. Itu mengantarkan saya pada seseorang yang juga sangat baik dan nilai tambahnya adalah ketemu orang cakep hahahah...wkwkwk.. Ya, mata nggak bisa bohon lah ya kalau ketemu orang cakep mah. Banyak <i>subject</i> baru yang saya pelajari di kelas itu deh pokoknya. Seenggaknya punya sedikit wawasan kalau-kalau saya semisalnya nanti bekerja di perusahaan. (Amin)<br />
<br />
Sejak kuliah Psikologi, saya juga hobi ke perpus sendiri. Bolak-balik pinjam dan baca buku di perpus. Saya juga pernah sampai terkunci di perpus, nggak bisa keluar karena lagi <i>break </i>sholat Jumat, perpus dikunci untuk sementara waktu dan nggak akan bisa keluar kalau nggak ada petugas yang jagain. Bahkan.. hahaha.. saya juga heran sendiri ngelihat diri saya, kok saya sering banget gitu ya sok-sokan baca dan pinjam buku yang mana itu tuh English text semua. Ngaco banget. Tapi pikir saya, memang referensi atau buku psikologi yang bagus itu ya yang English version karena banyak yang langsung rekomendasi dari APA kan.<br />
<br />
Trus, saya juga pernah nangis. Iya nangis pas praktikum. Oiya, Psikologi itu banyak praktikumnya. Jangan bermimpi untuk loncat S2 Profesi dulu deh ya. Bayangin aja dulu praktikum di masa S1 yang nggak kalah... melelahkan sekaligus menyenangkan. Saya pernah nangis hanya karena "dikerjain" sama kakak tingkat dengan alasan baju praktikum saya nggak <i>appropriate</i> padahal baju saya udah panjang, udah sesuai ukurannya, nggak <i>press body</i>. Jiah emang dasar saya aja yang gampang nangis, Tapi emang kakak tingkat itu super duper usil gak masuk akal memang, dan akhirnya pas saya mau nyusul praktikum, kakak tingkat itu dimarahin. KAPOOK LU! Maap ya, itulah siapa yang menabur pasti bakal menuai. Siapa yang ngerjain, bakal kena batunya bweek...<br />
<br />
Trus kalo KKN (Kuliah Kerja Nyata) gimana? Kalo itu yang pasti mahasiswa/i ditempatkan di berbagai daerah tersebar yang udah ditentuin sama kampus, dan pastinya di daerah pelosok. Eum, kalau dulu sih, bagi yang lagi hamil dikasih keringanan bisa KKN Tematik, maksudnya bisa milih atau dipilihkan di tempat yang nggak jauh dari rumah atau tempat tinggalnya gitu. Ya, itu kembali disesuaikan dengan kebijakan masing-masing universitas yah.<br />
<br />
Menariknya, kuliah di fakultas psikologi juga kita bisa "berbuat iseng" hahaha bisa sekali-kali pake jurus observasinya gitu. Haahaha... Kalau misal lihat orang lagi ngapain gitu ya, atau misal salah kostum gitu atau apalah yang bisa dianggap nyeleneh oleh mata, anak psikologi pasti bawaannya kepengen ngomen merhatiin dari atas sampai bawah. Kalau saya sih, ambil sisi positifnya aja. Anggap aja latihan buat observasi supaya bisa mendeskripsikan target dan peristiwa secara lebih detail. Tsaakeeeep! Wkkwkwk.. Hahaha, kalau orang atau target observasinya nyadar kamera alias nyadar kalau lagi diamati dan ngerasa <i>awkward</i>, saat itulah tugas kita buat cabuuuut dari tempat itu atau pura-pura nggak tahu kalau lagi dinyinyirin balik. Huhuhu.. habis gimana lagi, resiko kalau lagi nugas di lapangan, sudah pasti bersinggungan dengan subjek yang bernama manusia, jadi mau nggak mau harus siap semisal kita sebagai observer justru dinyinyirin balik atau misal lagi ngelakuin observasi non partisipan terus diperhatiin balik atau bahkan mungkin ditinggalin.. Jiaah, nyari subjek lain deh kan.<br />
<br />
To be continue....</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-74078604801246316392017-09-01T09:44:00.000+07:002017-09-15T19:28:41.628+07:00KOLOM TANYA JAWAB PSIKOLOGI<div style="text-align: justify;">
Teman-teman Kriuk'ers, ini adalah kolom tanya jawab khusus tentang psikologi. Yang mau bertanya seputar dunia psikologi atau mau <i>cyber counseling</i> (konseling) secara terang-terangan atau curhat akbar yang ada kaitannya dengan psikologi, silakan tinggalkan komentar pada postingan ini ya. :D</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Tapi bagi teman-teman yang malu-malu untuk diposting komennya di sini, silakan aja kirim dan tanyakan via email emmakim28@gmail.com ya. Saya akan melayani pertanyaan kalian. Pertanyaan menyangkut hal-hal personal/privasi saya tidak akan saya jawab ya. Terima kasih :)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-78833209972108069202017-08-23T09:39:00.001+07:002017-08-23T09:44:51.787+07:00Q AND A SEPUTAR PSIKOLOGI UMMHai,<br />
<div style="text-align: justify;">
Belakangan ini nggak tahu kenapa gitu ya saya jadi hobi banget kepoin Youtube ketimbang nonton drama Korea. Banyak tayangan dari beberapa vlogger yang bikin saya <i>amazed and inspired</i>. Haha...</div>
<div style="text-align: justify;">
Dan, beberapa waktu ini saya sering banget nonton vlogger yang bikin semacam Q & A a.k.a. Questions and Answers gitu deh. Jadi, saya pengen aja gitu ya bikin yang serupa cuman ini bedanya via Blog. Gapapa ya, saya juga nggak punya <i>channel </i>Ytube.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Q and A kali ini saya ambil dari beberapa email yang pernah masuk ke saya. Q and A ini khusus membahas tentang email-email seputar kuliah di psikologi ataupun yang pernah nanya tempat saya kuliah. Semoga bisa membantu. Mungkin ini gak semua sih, saya coba posting yang saya ingat dan masih saya simpan aja ya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li><span style="color: #e06666;"><b>RV: saya pengen nanya soal ujian masuk mapro psikologi UMM dan jadwal pendaftarannya kapan ya mbak? Saya juga tertarik sama mapro klinis anak, ada tips dan tricks buat FGD dan wawancara?</b></span></li>
</ul>
<div>
Jadwal pendaftaran mapro ngikutin jadwal pendaftaran maba di kampus/universitas terkait ya. Kalau di UMM, jadwal daftar maba itu dibagi menjadi 3 gelombang, gelombang pertama itu sekitar bulan Maret, gelombang kedua bulan Mei dan gelombang ketiga bulan Juli/Agustus.<br />
<br />
Ujian masuk mapro nggak jauh beda sama ujian pas masuk jadi maba, kalau di mapro tesnya ada tes TPA (potensi akademik), tes pengetahuan seputar psikologi, wawancara, tes kepribadian, dan untuk FGD itu <i>optional</i> sih, kalau saya dulu nggak pake FGD, nggak tahu deh kalau jaman sekarang, pakai apa nggak.<br />
<br />
Tips wawancara, nggak ada deh kayaknya. Hahaha... tapi yang pasti nanti ditanyain kenapa pilih mapro, ada biaya nggak buat kuliah mapro, apa siap keluar dari pekerjaan kalau kuliah mapro. Kalau saya dulu, karena saya juga alumni UMM S1, jadi pas wawancara nggak ditanyain aneh2, cuman ngobrol-ngobrol ringan soal aktivitas sehari-hari aja.</div>
<ul>
<li><span style="color: #e06666;"><b>QP: Untuk biaya SPP di UMM berapa ya mba sekarang? Dan untuk persiapan tes masuknya kira-kira seperti apa saja tesnya mbak?</b></span></li>
</ul>
<div>
SPP di UMM untuk psikologi S1 berapa ya, hahaha... soal angka <i>i'm not sure</i>... lupa sih.. Coba aja langsung tanya ke bagian pendaftaran, nanti dikasih brosur yang isinya ada <i>list</i> biaya per fakultas. Kalau tes S1 sama aja kayak tes-tes SMPB atau yang setara dengan itu ya.</div>
<ul>
<li><b><span style="color: #e06666;">NCN: Biasanya banyak ya mbak yang daftar di UMM dan tesnya apa saja?</span></b></li>
</ul>
<div>
Hahaha... buanyak gengs... Bisa sampai ribuan. Tesnya seperti tes SPMB pada umumnya, tes pengetahuan umum, tes psikotes de el el..</div>
<ul>
<li><b><span style="color: #e06666;">DP: Di UMM untuk profesinya khusus klinis ya dan untuk magister psikologinya khusus apa saja? Apa ada pendidikan?</span></b></li>
</ul>
<div>
Iya, di UMM khusus klinis karena ingin beradaptasi menyetarakan dengan standar APA (<i>American Psychological Association</i>) yang menyebutkan bahwa profesi psikolog itu adalah psikolog klinis. Kalau untuk konsentrasi yang lain untuk mapro nggak ada, cuman klinis aja. Kalau pengen pelajari banyak konsentrasi/minat lain, bisa ambil magister sains psikologi ya.</div>
<ul>
<li><b><span style="color: #e06666;">FD: Saya baca opini publik tuh begini, ngapain ambil jurusan psikologi, 10-15 tahun ke depan bakal serba robot, trus gunanya psikolog apa dong. Opini yang membuat saya bertanya-tanya apakah benar atau tidak. Kalau menurut Kakak bagaimana?</span></b></li>
</ul>
<div>
Ya, itu kan opini. Tiap orang punya pandangan/pendapat masing-masing. Kalau kita bergerak hanya karena "nurutin opini" orang lain terus, lalu kapan bisa ambil keputusan dong?! Coba deh baca, sekarang ini bukan hanya penyakit fisik saja yang makin bervariasi, tapi gangguan/sakit mental pun mulai menjadi bahan perbincangan sekaligus perhatian dunia terutama dari WHO. Udah tahu kan kalau tiap tahun ada digelar Hari Kesehatan Mental Sedunia? Gunanya psikolog ya untuk membantu mereka-mereka yang mengalami gangguan mental atau minimal mengedukasi masyarakat yang masih awal mengenai gangguan psikologis supaya bisa ditegakkan fungsi preventif sedini mungkin.</div>
<ul>
<li><b><span style="color: #e06666;">AF: Saya ingin tau Kak bagaimana jurusan psikologi itu? motivasi kak, saya kelas 12 bentar lagi mau kuliah.</span></b></li>
</ul>
<div>
Jurusan psikologi bagaimana? Gimana-gimananya, mending dijalanin sendiri deh, nanti bakal tahu kuliahnya kayak gimana.. Hehehe.. kalau saya ngejelasin, nanti jadinya subjektif.</div>
<ul>
<li><b><span style="color: #e06666;">RP: Kalau di UMM itu psikologinya untuk IPA bukan? Soalnya pas aku baca blog kakak kayaknya IPA gitu, koreksi kalau salah ya. Oh ya, aku juga pernah denger kalo psikolog anak itu masuk ke klinis, bener nggak? Tapi di sisi lain aku juga ingin masuk ke jurusan neuroscience and psychology. Aku tahu jurusan ini karena unsur ketidaksengajaan.</span></b></li>
</ul>
<div>
Kalau di UMM, gak mesti IPA, IPS atau lainnya. Mau kamu dari jurusan Bahasa pun nggak masalah. Oh, kalau pernah baca blog saya, emang saya ini dulunya SMA jurusan IPA jadi mungkin yang saya tampilkan di postingan lebih banyak tulisan-tulisan yang mengarah ke klinis ya.. heheh ya itu karena saya memang ambil klinis dan sejak S1 saya memang meminati bidang klinis.<br />
<br />
Neuroscience, bagus tuh, dan masih jarang banget yang menguasai bidang itu. Saya pernah denger di Universitas Brawijaya Malang ada mata kuliah sekaligus dosen yang khusus mengajarkan tentang neurosains.</div>
<ul>
<li><b><span style="color: #e06666;">AD: Saya baru mau masuk di UMM juga jadi belajar tesnya pada waktu matrikulasi? Tapi ada yang bilang kalau matrikulasi itu isinya perkuliahan umum saja seperti pengenalan iptek dan lain-lain. Selain itu perkuliahan nanti belajar apa saja mbak? Dan apakah kalau selesai nanti ada ujian untuk mendapatkan gelar psikolognya sendiri?</span></b></li>
</ul>
<div>
Belajar tes waktu matrikulasi, <i>what do you mean?</i> Nggak paham nih sama pertanyaannya. Matrikulasi pas mapro itu (khusus mapro UMM ya) kita belajar perdalam penguasaan alat-alat tes, administrasinya, skoring dan interpretasinya ditambah belajar pengetahuan umum seperti bahasa inggris dan aplikasi internet.<br />
<br />
Di perkuliahan belajar apa aja? Waduh banyak, hahaha... kayaknya nggak mungkin deh saya sebutin semua. Supaya lebih greget mending langsung eksekusi, daftar aja ya dan nikmati sensasinya hehehe...<br />
<br />
Ujian untuk mendapatkan gelar psikolog, ada. Namanya ujian HIMPSI tapi sebelumnya, saya mau ngejelasin rentetannya. Pas semester tiga dan empat, sudah mulai PKPP (Praktek Kerja Profesi Psikologi) di tiga tempat yang diacak secara random meliputi Sekolah/SLB atau Lapas, RSJ dan terakhir di Puskesmas (ini untuk klinis ya, karena di UMM klinis, kalau di univ lain mungkin berbeda karena peminatannya beragam juga). Nah selama tiga putaran PKPP itu akan ada ujian kasus. Ujian kasusnya banyak, ada ujian Internal setiap dua minggu, ada ujian Komprehensif untuk menguji kelayakan tujuh kasus, dan terakhir ujian HIMPSI untuk menguji apakah layak/tidak dinyatakan sebagai psikolog dengan seluruh arsip pengalaman PKPP yang dijalankan itu. Baru setelah itu lanjut ngerjain Tesis untuk dapatin gelar M.Psinya. Jadi pas lulus nanti, akan ada Sumpah Profesi Psikolog. Dari prosesi sumpah, kita diberikan Sertifikat Sebutan Psikolog atau SSP dan Surat Izin Praktek Psikologi atau SIPP.</div>
<div>
<ul>
<li><b><span style="color: #e06666;">FF: Kak, apakah kalau ingin menjadi psikolog harus S1 dan S2 profesi? Kalau misal S1nya dari jurusan non psikologi, apa boleh nanti kuliah S2 ambil psikologi?</span></b></li>
</ul>
<div>
Iyap, harus linier. S1 psikologi dan S2 Profesi Psikologi untuk menjadi Psikolog. Kalau S1 non psikologi boleh kok ambil S2 Sains Psikologi tapi bukan untuk menjadi profesi psikolog ya, tapi jadi ilmuwan psikologi.</div>
</div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6384234503420914440.post-64196159928229355132017-08-21T15:20:00.007+07:002021-09-05T14:35:38.146+07:00<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB8PJtNZCYLwoSifwtdu59rS-Xtvv9zZrRztD2BUEjTIqpsglz5HXAvgPttWLRWi3a-yyKpdFs16tSsUCDE_Sx727daXAIbUZsvTG0jfouSDPvp0NdyAo4ncSA2AkjySsDUpfamoNFUlk/s1600/IMG_1710.JPG" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1067" data-original-width="1600" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB8PJtNZCYLwoSifwtdu59rS-Xtvv9zZrRztD2BUEjTIqpsglz5HXAvgPttWLRWi3a-yyKpdFs16tSsUCDE_Sx727daXAIbUZsvTG0jfouSDPvp0NdyAo4ncSA2AkjySsDUpfamoNFUlk/s320/IMG_1710.JPG" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: normal;">Willkommen! </span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: normal;">Yanuarty Paresma Wahyuningsih, S.Psi., M.Psi., Psikolog</span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: normal;">Clinical Psychologist at RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang</span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: normal;">Freelance Author</span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: normal;">Psychology Blogger</span><br />
<span style="font-size: normal;">IG @paresma.psikolog</span></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size: normal;">Second IG @paresmagraph</span><br />
<span style="font-size: normal;">Praktik Mandiri Psikolog Paresma</span></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size: normal;">Associate Psychologist Ibunda</span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: normal;">Alumni Universitas Muhammadiyah Malang</span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: normal;">For question about my blog post just ask me on here: <a href="https://emmakim28.blogspot.co.id/search/label/Ask%20Me" target="_blank"><span style="color: #e06666;">ASK ME</span></a></span></div>
paresma.psikologhttp://www.blogger.com/profile/04389454410842100154noreply@blogger.com0