Berikut ini saya lampirkan salah satu jurnal tentang dampak buruk yang diakibatkan oleh perceraian orangtua terhadap anak-anak mereka. Sebenarnya sih dalam Psikologi itu tidak mengenal kata "nakal" pada anak-anak. Tapi, kata nakal ini sudah menjadi kata umum yang sering dipakai. Makanya ada juga yang sering kita dengar seperti "kenakalan remaja" dan sebagainya. Kalau kami biasanya mengganti kata nakal dengan kata "berperilaku menyimpang", kedengarannya lebih formal gitu lah :D hehe.
Yuk, capcus disimak jurnalnya.
---
JURNAL JUVENILE DELINQUENCY (KENAKALAN REMAJA) PADA
REMAJA PUTRA KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA
Sutji Prihatinningsih
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
ABSTRAK
Belakangan ini angka perceraian meningkat. Perceraian dan perpisahan orang tua menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian remaja putra sehingga terjadi kenakalan remaja putra. Peneliti bertujuan untuk meneliti mengenai Juvenile Delinquency (Kenakalan Remaja) pada korban perceraian orang tua. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah remaja putra yang berusia 16 tahun, korban perceraian orang tua dan memiliki kecenderungan Juvenile Delinquency (kenakalan remaja). Penelitian ini dilakukan secara studi kasus, dengan pengumpulan data dan menggunakan metode wawancara sebagai metode utama, observasi dan pengamatan. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh hasil, bahwa subjek yang memiliki orang tua yang bercerai mengalami kerinduan terhadap figur kedua orang tua. Hal ini terjadi karena subjek telah kehilangan kedua orang tua untuk panutan masa depannya.
Kata kunci : Juvenile Delinquency (kenakalan remaja), Perceraian Orang Tua
Pendahuluan
Keluarga merupakan lingkungan terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan didalamnya remaja mendapatkan pendidikan pertama kali. Setiap orang pasti mendambakan keluarga yang harmonis, keluarga yang penuh dengan rasa aman, tenang, riang gembira dan saling menyayangi diantara anggota keluarga. Sekarang ini permasalahan yang sering terjadi biasanya dimulai dari lingkungan keluarga, misalnya pertengkaran antar suami-istri sehingga mengakibatkan perceraian dan berdampak kurang baik bagi perkembangan kepribadian remaja (Usu, 2007). Perceraian pasangan suami-istri seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Peristiwa ini menimbulkan anak–anak tidak merasa mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup. Seringkali perceraian diartikan sebagai kegagalan yang dialami suatu keluarga (Holmes dan Rahe, 2005).
Dalam penelitian terakhir hubungan remaja yang orang tuanya bercerai akan memiliki sikap pesimis mengenai kehidupan pernikahannya karena perceraian akan membawa perubahan bagi remaja dan membuatnya semakin jauh dari orang tuanya. Orangtua yang tidak peka, tidak menyadari perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungannya dengan anak dan membuatnya semakin jauh dari anak hingga anak merasa diabaikan. (Hetherington. 2002) Remaja yang mengalami situasi perceraian orang tua akan menunjukan kesulitan penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial. Semua bentuk kericuhan batin dan tingkah laku remaja yang merupakan pencerminan dari gaya hidup yang tipis dari suatu keluarga yang ”sakit” secara sosial, yang didalamnya terdapat interaksi antara anggota yang kacau berantakan. (Cole, 2004; Kartono, 2006).
Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis,yang artinya anak-anak, anak muda, sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquency berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada remaja Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2006).
Menurut Kartono (2006), aspek-aspek perilaku Juvenile delinquency (Kenakalan Remaja) dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Kenakalan terisolir
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal mereka didorong oleh faktor-faktor berikut:
1) Keinginan meniru dan ingin konfrom dengan gangnya, jadi tidak ada motivasi, kecemasan, atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu.
3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang menyenangkan.
4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu bereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari kelompok gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perilakunya pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru.
b. Kenakalan neurotik
Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa. Ciri-ciri perilakunya adalah:
1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gang yang kriminal itu saja.
2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas ketakutan, kecemasan, dan kebingungan batinnya.
3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa kemudian membunuh korbannya, kriminal, dan sekaligus neurotik.
4) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orang tuanya biasanya juga neurotik atau psikotik.
5) Remaja memiliki ego yang lemah dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan.
6) Motif kejahatannya berbeda-beda.
7) Perilakunya menunjukan kualitas kompulsif (paksaan).
c. Kenakalan psikopatik
Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah lakunya, yaitu:
1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten dan orang tuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.
2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran.
3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.
4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak perduli terhadap norma subkultur gangnya sendiri.
5) Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologist, sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik sebagai berikut:tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu menentang apa dan siapa. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa sebab.
d. Kenakalan defek moral
Defek (defec, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri, yaitu selalu melakukan tindakan sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada intelegensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaan sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional.
Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat aspek yaitu:
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, dan hubungan seks bebas.
d. Kenakalan yang melawan status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, kabur dari rumah, dan membantah perintah orang tua.
Menurut Kartono (2006), Juvenile delinquency (kenakalan remaja) mempunyai karakteristik umum, yaitu:
a. Perbedaan struktur intelektual
Pada umumnya intelegensi mereka tidak berbeda dengan intelegensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif khusus yang berbeda biasanya kenakalan remaja mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk keterampilan verbal (tes Wechsler).
b. Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang nakal lebih „idiot secara moral‟ dan memiliki perbedaan ciri karakteristik yang jasmani sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga menunjukan ditemukannya fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada remaja nakal: mereka kurang bereaksi terhadap stimulus kesakitan dan menunjukan ketidakmatangan jasmaniah atau anomali perkembangan tertentu.
Menurut Santrock (1996) ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalanremaja, yaitu:
a. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 1996), masa remaja ada pada tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja: (1) terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan
(2) tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai -nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.
b. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Hasil penelitian yang dilakukan Santrock (2002), menunjukan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orang tua yang efektif dimasa kanak-kanak (peranan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.
c. Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius nantinya dimasa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan.
d. Jenis kelamin
Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2006) pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah dan mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah.
f. Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orang tua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orang tua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.
g. Pengaruh teman sebaya
Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan remaja untuk menjadi nakal.
h. Kelas sosial ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan dengan jumlah remaja nakal di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2006).
i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka.
Turner & Helms (1987), mempunyai faktor Juvenile delinquency (kenakalan remaja), antara lain
a. Kondisi keluarga yang berantakan (broken home)
Kondisi keluarga yang berantakan merupakan cerminan adany ketidak- harmonisan antara individu (suami-istri, atau orang tua anak) dalam lembaga rumah tangga.hubungan suami yang tidak sejalan atau seirama yakni ditandai dengan pertengkaran, percecokan, maupun konflik terus menerus. Slama pertengkaran, anak-anak akan melihat, mengamati, dan memahami tidak adanya kedamaian dan ketentraman antara kedua orang tua mereka. Akibatnya mereka melarikan diri untuk mencari kasih sayang dan perhatian dari pihak lain.
b. Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua
Kebutuhan hidup seorang anak tidak hanya bersifat materi saja, tetapi lebih dari itu.ia juga memerlukan kebutuhan psikologis untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Dalam memasuki zaman industrialisasi ini, banyak keluarga modern suami-istri bekerja diluar rumah hanya untuk mengejar kebutuhan materi yang berkecukupan makin lama ada kecenderungan tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua diserahkan kepada pembantu.
c. Status sosial ekonomi orang tua rendah.
Kehidupan ekonomi yang mapan, berarti semua kebutuhan keluarga dapat terpenuhi dengan baik, termasuk keperluan pendidikan, kesehatan, dan rekreasi anak-anak
d. Penerapan kondisi keluarga yang tidak tepat.
Sebagian dari orang tua beranggapan bahwa penerapan disiplin terhadap anak-anak berarti harus dilakukan secara tegas, keras tidak dikenal kompromi serta tidak mengenal belas kasihan kepada anak. Ketika anak sering memperoleh perlakuan kasar dan keras dari orang tua. Akan tetapi, mereka cenderung melakukan tindakan-tindakan yang negatif, sebagai pelarian maupun protes terhadap orang tuanya.
Remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia yang dianggap matang secara hukum, yaitu rentang usia 13 hingga 18 tahun. Remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar. Sedangkan remaja adalah “rekontruksi keasadaran” masa remaja adalah masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. (Piaget, dalam Ali & Asrori 2008)
Perceraian adalah peristiwa yang traumatis bagi semua pihak yang terlibat bagi pasangan yang tak lagi dapat hidup bersama dan juga bagi anak-anak, mertua/ipar, sahabat, serta teman Cole (2004). Sedangkan, menurut Yusuf (2004), perceraian orang tua adalah keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan.
Menurut Save (2002) Perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi anak-anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena “kehilangan” satu orang tua. Bagaimana anak bereaksi terhadap perceraian orang tuanya sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan sesudah perpisahan.
Menurut Save (2002), ada beberapa faktor penyebab timbulnya perceraian, yaitu:
a. Krisis moral “perselingkuhan”.
b. Tidak tanggung jawab, yang dimaksud setelah nikah dalam jangka waktu tertentu di tinggal pergi begitu saja.
c. Penganiayaan berat, seperti penganiayaan fisik maupun mental.
d. Cacat biologis “mandul”, tidak bias memenuhi kebutuhan sex
e. Poligami tidak sehat, karena tidak ada persetujuan dari istri pertama.
f. Ekonomi, tidak pernah di nafkahi.
g. Tidak ada keharmonisan, dalam rumah tangga selalu bertengkar.
h. Gangguan pihak ke tiga, seperti orang tua terlalu ikut campur dalam rumah tangga.
Menurut Hurlock (dalam Yusuf, 2004), dampak remaja korban perceraian orang tua,
antara lain
a. Mudah emosi (sensitif),
b. Kurang konsentrasi belajar,
c. Tidak perduli terhadap lingkungan dan sesamanya,
d. Tidak tahu sopan santun,
e. Tidak tahu etika bermasyarakat,
f. Senang mencari perhatian orang,
g. Ingin menang sendiri,
h. Susah diatur,
i. Suka melawan orang tua,
j. Tidak memiliki tujuan hidup,
k. Kurang memiliki daya juang,
l. Berperilaku nakal,
m. Mengalami depresi,
n. Melakukan hubungan seksual secara aktif,dan
o. Kecenderungan terhadap obat-obat terlarang.
Anak yang mengalami perceraian orang tua di mana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak dapat dipungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya (Wildaniah, 2007).
Sarwono (2001), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. Pada masa remaja terutama remaja awal merupakan fase dimana teman sebaya sangat penting baginya. Remaja sering terbentuk kelompok atau lebih dikenal dengan sebutan gang. Idealisme mereka sangat kuat dan identitas diri mulai terbentuk dengan emosi yang labil.
Dalam subjek, orangtua sangat berperan dalam mengawasi anak-anaknya dalam bergaul dan menuntun mereka dalam menjalani hidup supaya tidak salah bergaul dengan teman-teman yang dapat menjerumuskan mereka. Keluarga bagaikan vital mereka sebagai pedoman dalam hidup. Bila mereka kehilangan pedoman hidup mereka ini maka mereka akan susah untuk melewati masa kritis dalam hidup mereka. Masa kritis tersebut diwarnai oleh konflik-konflik internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, dan cita-cita serta keinginan yang tinggi tetapi sulit untuk diwujudkan sehingga menimbulkan stress dan frustasi. Masalah keluarga yang orang tuanya bercerai menjadi akar dari permasalahan remaja.
Timbulnya kenakalan remaja bukan karena murni dari remaja itu sendiri, tetapi kenakalan itu merupakan efek samping dari hal-hal yang tidak dapat ditanggulangi oleh remaja dalam keluarganya. Bahkan orang tua itu sendiripun tidak mampu mengatasinya,akibatnya remaja menjadi korban keadaan keluarganya (Soekanto, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Asfriyati. (2003). Pengaruh keluarga terhadap kenakalan Remaja. library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index®=getit&lid=493. Diakses Tanggal 16 juni 2007.
Basuki, H. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Depok: Universitas Gunadarma.
Cole, K. (2004). Mendampingi anak menghadapi perceraian orang tua. Jakarta: PT. Prestasi Pustaka Raya.
Fauzi, A. D. (2006). Perceraian siapa takut. Jakarta : Restu Agung ( Anggota IKAPI.Jakarta–Indonesia ).
Hurlock, E. B. (1999). Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. (2006). Patologi sosial 2 kenakalan remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kompas cybermedia. (2006). Broken home. http://kompas.com/kompas cetak/0612/15/muda/3171413.htm. Diakses Tanggal 16 juni 2007
Mohammad, A, A. (2008). Psikologi remaja. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Moleong, L. J. (1996). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja RosdaKarya.
Monks, F. J. (2002). Psikologi perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poerwandari. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Depok: Fakultas Psikologi. Universitas Gunadarma.
Poerwandari. (2005). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Depok: Fakultas Psikologi. Universitas Gunadarma.
Santrock, J. W. (1995). Perkembangan masa hidup jilid 2. Terjemahan oleh Juda Damanika & Ach. Chusairi. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2002). Psikologi remaja. Jakarta: Radja Grafindo Persada.
Save, M. D. (2002). Psikologi keluarga. Jakarta : Cipta Jakarta. ( Anggota IKAPI ).
SekolahIndonesia.(2007). Masalah remaja dan solusinya. http://www.SekolahIndonesia. Com/sidev/newDetailArtikel.asp?iid_artikel=13&cTipe_artikel=3-30k. diakses 16 juni 2007.
Singgih, D. & Yulia, S.D. (2004). Psikologi praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.
Sudarsono. (1995). Kenakalan remaja. Jakarta: Rineka Cipta.
Turner, J. S & Helms, D. B. (1987). Life span development.USA: Holt. Reinchart And Winston, Internal Edition.
Wildaniah. (2007). Mengenali karakter anak broken home. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/24/99forumguru.htm-23k. diakses 7 mei 2007
Willis, S.S. (1994). Problem remaja dan pemecahannya. Bandung: Angkasa.
Yusuf, S. (2004). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: Rosda.
Zainun, M. (2002). Mengembangkan keterampilan sosial pada remaja. http://www.e-psikologi.com/remaja/060802.htm-67k. diakses 7 mei 2007.
Zakiah, D. (1995). Remaja harapan dan tantangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
No comments:
Post a Comment
Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.