Ini tugasku waktu zaman kuliah dulu,, semoga bermanfaat^^
JOURNAL REVIEW
Judul : MARRIAGE AND FAMILY THERAPISTS WORKING WITH
COUPLES WHO HAVE CHILDREN WITH AUTISM
Julie Ramisch
Michigan State University
Latar Belakang : Autisme yang belakangan ini menjadi topik yang menjadi fokus utama media popular, dilaporkan bahwa orang tua dari anak-anak autis berada dalam kecenderungan tingkat perceraian yang tergolong lebih tinggi dari tingkat rata-rata jumlah kasus perceraian yang ada. Namun hal tersebut hanyalah sebuah isu belaka yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan ilmiah. Selain itu, para ahli/peneliti pun mengemukakan bahwa hal tersebut bukanlah salah satu faktor pemicu keretakan rumah tangga. Yang tepat adalah terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi kesehatan dan stabilitas perkawinan di antaranya usia, jumlah anak, jenis kelamin anak, ras, status sosial ekonomi dan sebagainya. Dan untuk masalah orang tua yang memiliki anak yang terdiagnosis autis kemungkinan bisa saja memberikan kontribusi untuk memicu permasalahan dalam perkawinan yang disertai dengan variabel lain dan hal tersebut dapat mempengaruhi persepsi pasangan tentang kehidupan perkawinannya.
Sayangnya tidak ada penelitian sebelumnya yang mengungkap tentang bagaimana pengaruh penerapan atau pemberian terapi pasangan (terapi keluarga) terhadap keluarga yang memiliki anak autis. Memang terdapat kekurangan informasi mengenai terapi keluarga atau terapi pasangan yang memiliki anak autis, tetapi ada beberapa penelitian yang dapat menjadi acuan yakni penelitian terkait terapi keluarga dengan orang tua yang memiliki anak berpenyakit tertentu ataupun cacat. Dalam banyak kasus, psikoedukasi merupakan teknik yang paling sering digunakan oleh para peneliti dalam melakukan intervensi kepada para orang tua yang memiliki anak cacat (berkebutuhan khusus).
Di samping uraian di atas, peneliti pun mengungkapkan bahwa mengasuh anak autis bukanlah hal yang mudah. Butuh sebuah perjuangan dan pengorbanan yang ekstra baik dalam hal perasaan, tanggung jawab, pemenuhan kebutuhan, hingga mengatur emosionalitas antar pasangan agar dapat mengelola tingkat stress masing-masing. Oleh karena itu, peneliti menyusun penelitian dengan cara menyusun teknik terapi baru dengan menggunakan model Double ABCx dari McCubbin dan Patterson. Teknik tersebut dijadikan sebagai instrument terapi untuk membantu para terapis secara efektif dalam menanggulangi permasalahan yang terjadi antar pasangan khususnya untuk menangani tingkat stress yang dialami pasangan yang memiliki anak autis seperti kasus yang terjadi pada keluarga Jamie&Maria yang memiliki anak autis bernama Adam
Teknik/Terapi : Penelitian tersebut menggunakan berbagai pendekatan yakni menggunakan pendekatan model Double ABCx yang pertama kali dikembangkan oleh Hill (1949, 1958) yang kemudian diadaptasi dan dimodifikasi oleh McCubbin dan Patterson. Model ini dijadikan sebagai alat yang dapat membantu terapis untuk dapat menilai dan membuat panduan treatment yang tepat pada pasangan yang memiliki anak autis. Hal-hal yang dapat diungkap melalui terapi ini adalah (A) stressor dan tekanan, (B) kemampuan keluarga untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya manusia dan masyarakat untuk mengatasi tekanan, (C) definisi dan persepsi keluarga terhadap situasi untuk dapat memberikan makna dan menyusun strategi untuk mengatasi permasalahan yang ada, dan (X) krisis (proses adaptasi). Model ABCx tersebut sedikitnya juga merupakan terapan dari focused solution therapy. Selain itu, dikombinasi dengan teknik couples therapy.
Hal-hal yang dilakukan terapis di antaranya :
1. Melakukan asesmen dan intervensi untuk mengatasi stressor ; terapis diharapkan mampu membantu klien (pasangan) untuk membuat spesifikasi terkait stressor yang muncul yang mana memberikan kontribusi besar dalam sistem keluarga. Pasangan (orang tua) diminta untuk menuliskan daftar masalah apa saja yang dialami pada selembar kertas. Setelah itu, terapis membantu mengarahkan mereka untuk fokus pada masalah yang ada dalam daftar tersebut. Kemudian, membantu pasangan dalam mengkomunikasikan permasalahan tersebut antara satu sama lain.
2. Melakukan asesmen dan intervensi tentang sumber daya. Maksudnya, terapis harus memiliki kompetensi dan wawasan yang luas mengenai topik permasalahan yang menjadi fokus pasangan. Dalam hal kaitannya dengan masalah autis, maka terapis harus mempunyai sumber-sumber relevan (referensi) tentang autis yang sekiranya bermanfaat bagi pasangan tersebut. Di samping itu, terapis memberikan waktu luang pada pasangan dan meminta mereka mencari referensi tentang penyakit autis dari berbagai media maupun internet. Ketika mereka telah memperoleh sumber-sumber referensi yang relevan maka hal ini dapat dijadikan sebagai langkah pijakan untuk mengetahui pelayanan pendidikan yang terbaik dan sesuai untuk mewadahi anak mereka yang terdiagnosis autis. Terapis juga dapat memberikan rekomendasi kepada pasangan untuk tetap menjaga kesehatan hubungan perkawinan mereka.
3. Melakukan asesmen dan intervensi untuk coping. Terapis dapat meluangkan waktu dengan pasangan suami istri untuk membahas kemampuan atau strategi coping untuk mengatasi masalah tekanan yang dialami. Terapis membantu mereka agar dapat berpikir realistis sehingga dapat menerima diagnosis yang menyatakan bahwa anaknya positif autis, memberikan support kepada mereka agar dapat keluar dari rasa frustasinya, dan membantu mereka dalam mengembangkan sense of self agar dapat memahami anaknya secara lebih mendalam, dan terakhir adalah terapis membantu pasangan tersebut untuk bekerja bersama-sama dalam mengatasi / memecahkan masalah dan menata serta mengelola kembali sistem keluarga mereka (beradaptasi dengan baik satu sama lain) demi mencapai “stronger relationship” di antara suami, istri dan anak.
Analisis kesimpulan : Terapis dan orang tua perlu untuk percaya bahwa ada harapan untuk masa depan dan bahwa semua keluarga memiliki potensi untuk beradaptasi positif ketika seorang anak didiagnosis dengan autisme. Terapis memiliki potensi untuk menjadi aset penting untuk fungsi keluarga dan kesejahteraan. Melalui pendekatan Double ABCx dalam couples therapy ini dapat membantu pasangan untuk dapat bertahan hidup dan memberikan pencerahan terkait pemahaman tentang autism. Sehingga akan berdampak positif pada keluarga dalam mengelola stress yang muncul dan membantu mereka untuk merencanakan strategi ke depannya serta memberikan evaluasi secara keseluruhan.