pic by google |
Aku masih di sini, duduk terpaku menatap titik-titik hujan yang mengetuk jendela bening di samping kiriku. Seorang barista baru saja meletakkan gelas espresso di meja bundarku. Barista itu tampak canggung, mungkin juga sungkan karena aku tak berkata apa-apa, pun terima kasih kepadanya.
Sekarang, bola mataku memerhatikan cangkir espresso itu dengan saksama. Kutuangkan setengah sendok teh gula murni dan kutambahkan satu sachet kecil madu. Kusaksikan tiap kepulan asap yang mengembang bak sebuah pertunjukan opera yang tak ingin kulewatkan. Kuputar cangkir itu hingga pegangannya mengarah tepat di sebelah kanan. Tapi, tak ada hasrat yang cukup tinggi untuk segera meneguknya. Kubiarkan cangkir itu menyepi sendiri. Hanya aroma espresso-nya saja yang kunikmati.