Alhamdulillah... Pagi ini baru saja membuka TL Twitter. Ada seorang teman yang menuliskan bahwa ujian itu didatangkan untuk mengetahui seberapa dalam husnudzan kita kepada Allah.
Dua hari lalu, saya mendapat email balasan dari penerbit kedua yang saya tuju untuk draft pertama. Alhamdulillah.... ditolak lagi. Membacanya, membuat saya sulit tidur karena kepikiran hendak ditawarkan ke mana lagi naskah itu. Tadinya saya optimis meskipun sebenarnya penerbit tersebut kurang konsisten dengan jadwal evaluasi yang mereka bilang awalnya maksimal sebulan, ternyata telat sampai dua bulan. Dan... akhirnya disuruh menunggu, tapi... penantian itu berbuah pahit.
Setelah bulan April lalu ke penerbit pertama dan menyatakan bahwa penerbit itu suka dengan premisnya namun ceritanya kurang fokuuus saja.... sudah saya revisi. Setelah ke penerbit kedua, eh... saya tidak tahu apa catatan evaluasi mereka, yang jelas mereka bilang tidak lolos seleksi. Padahal, novel itu... sebagian besar ceritanya adalah terinspirasi dari kisah nyata. Mau saya ubah, nanti unsur kisah nyatanya jadi hilang, tentu saya tidak ingin hal itu terjadi.
Kemarin malam... saya akhirnya menata semangat kembali. Saya coba tawarkan naskah itu untuk mengikuti satu lomba. Sempat terbersit keraguan sebab pasti yang ikut memiliki naskah yang bagus-bagus, lebih dari saya. Namun, saya coba untuk menata prasangka baik saya lagi. Saya juga teringat dengan ucapan salah satu teman yang juga merupakan salah satu tokoh dalam novel itu bilang, insyaallah kalau sudah waktunya, draft itu pasti diterima kok, begitu katanya. Saya aminkan dalam hati.
Saya juga sempat berpikir untuk menerbitkannya secara indie, namun karena saya sudah sering mengamati para penulis indie yang sudah malang-melintang di industi indie publishing, saya belum ingin menyentuh penerbit indie.
Sebenarnya, bukan persoalan ingin agar novel itu bisa jadi best seller. Tapi, sejujurnya, saya ingin novel itu bisa terbit di mayor agar kelak bisa lebih mudah dijangkau oleh teman-teman terlebih para tokoh yang ada dalam novel itu (jika mereka hendak membacanya). Saya ingin menghadiahkan novel itu untuk mereka meski sebagian kecil alurnya sudah saya ubah sedikit dengan sentuhan fiksi.
Dengan sisa semangat yang ada, saya mencoba mencerna kembali kalimat "husnudzan" yang ditulis teman di Twitter. Yaa.. jangan berhenti meminta. Ketika permintaan itu belum berbalas, tetaplah husnudzan, karena Allah hendak menguji kita.
Sudah beberapa kali ditolak dan khusus untuk draft novel itu sudah dua kali. Kalau memang pada akhirnya harus diterbitkan secara indie, mungkin saya hanya akan memberikan novel itu kepada satu tokoh yang saya pakai dalam novel itu, seorang teman saya yang sudah lama sekali sulit untuk dihubungi. Bahkan pada saat saya memohon izin memasukkan karakter dia dalam novel ini, pun tidak ada balasan darinya. Saya tahu dia sangat sibuk. Saya ingin sekali menghadiahkan novel itu langsung ke alamat rumahnya tanpa sepengetahuannya. Saya harap, novel itu bisa menjadi penyambung tali silaturahmi antara kita meski dia tidak berharap demikian, meski dia acuh.
Novel itu hanyalah novel sederhana yang saya tulis dengan sentuhan kisah alami yang terjadi di kehidupan nyata dan sebagian lagi saya ubah dengan alur fiktif agar tidak terlalu menyolok. Novel itu saya tulis dengan kesungguhan hati, juga berinai air mata bagi saya. Yaa.. karena di dalamnya ada kisah saya. Kisah yang pernah saya alami dengan beberapa tokoh lainnya.
Friday, August 2, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Semangaaat.. saya juga masih sering ditolak dan sering kali tak tahu alasannya :-)
ReplyDeleteWAAH kalau bunda Leyla memang sudah 17 thn jelas banget malang melintangnya di bidang literasi. kalo saya meski memulai nulis novel dan ditolak dari SMp-SMA, saya masih pemula soal nerbitin buku... hihi, eh tapi senang bisa baca blog bunda, byk pelajaran yg bisa saya ambil terutama urusan tulis-menulis ^_^
Delete