Bagi seorang anak, mainan mahal memang menyenangkan
tapi, kasih sayang orangtua lebih menentramkannya
@de_Paresma
----
Saat itu dia masih TK. Sebut saja Diana (nama disamarkan). Dia anak balita perempuan yang cerdas, heboh dan menggemaskan. Kakaknya justru kebalikannya, tidak secerdas dia. Dia memiliki orangtua yang super sibuk. Dari Senin hingga Sabtu, ibu dan ayahnya berangkat kerja tiap pukul setengah enam pagi. Ayahnya adalah seorang kontraktor dan ibunya karyawan sebuah pabrik tersohor.
Setiap bangun pagi, saya selalu mendengar Diana teriak merengek setengah sadar di tempat tidurnya dengan menyebut, "Ayah.... ayah....!" Malangnya, ketika bangun, dia tak mendapati seseorang yang diserunya karena telah berangkat mencari nafkah.
Pagi-pagi, kadang di bawah tutup saji ada makanan, kadang juga tidak. Kadang, saya yang membantu memasak untuk Diana dan Kikan, sang kakak, itupun jika saya kuliah siang. Saya hanya berpikir, bagaimana Kikan dan Diana bisa makan kalau ibunya tidak memasakkan sesuatu--meskipun hanya nasi dan telur mata sapi--untuk sarapan mereka. Khusus Diana, setiap pagi wajib minum susu. Jika tak ada susu atau persediaan susu habis, biasanya dia meminum air hangat bercampur gula pasir.
Bersyukur, mereka tinggal bertetangga dengan kakak sang ayah. Sehingga, setiap pagi, ada Mbak Eva (samaran) yang membantu Diana untuk sekolah. Kadang pula Pakdhe Kas (samaran), ayah Mbak Eva yang membangunkan dan membuatkan sebotol susu untuk Diana. Kalau saya kuliah pagi, kadang saya yang mengantar Diana ke sekolah, jaraknya pun tidak jauh, hanya beberapa meter saja dari rumah mereka.
Saat pulang sekolah, Diana langsung pulang ke rumah Mbak Eva, makan, bermain, nonton dan tidur siang di depan TV rumah Mbak Eva. Kalau saya ada di rumah, saya juga sering menemaninya bermain atau sekadar melihatnya asyik dijari Mbak Eva mengerjakan PR dari sekolah. Acapkali melihat Diana mengerjakan PRnya, saya sering bergumam, "Benar kata Mbak Eva. Diana anak yang cerdas, bahkan lebih cerdas dan tanggap daripada sang kakak." Itu adalah tanggapan Mbak Eva yang selama bertahun-tahun merawat Diana dengan telaten dan sabar. Ya, namanya juga sepupuan. Kebetulan di tahun itupun, Mbak Eva belum ada tanda-tanda hamil dan punya anak, sehingga selain sibuk membuka dagangan jajan di depan rumah, tugasnya pun membantu mengasuh Diana selama ditinggal orangtuanya kerja.
Selama dua tahun lebih menumpang di rumah Diana (yang mana ibunya adalah adik Bapak saya), saya turut mencermati perkembangan Diana. Kata dosen saya, usia Diana itu adalah masa emas, masa tumbuh-kembangnya sangat pesat apalagi fungsi kognitifnya. Dan, dosen saya pun bilang, bahwa masa-masa itu, sang anak masih sangat membutuhkan peran aktif orangtua. Namun, hal itu tidak terjadi pada Diana. Tapi, hebatnya, dia bisa tumbuh cerdas meskipun tanpa bimbingan penuh dari orangtuanya.
Melihat pola asuh keluarga mereka, sang ibu yang menurut pengamatan saya adalah orang yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif justru menerapkan pola asuh yang cenderung permisif. Kadang peduli pada Diana dan Kikan (utamanya soal urusan sekolah, membantu anak mengerjakan tugas sekolah dsb), kadang pula acuh dan mengalihkan urusan tersebut kepada Mbak Eva atau Pakdhe dan Budhe Kas. Sementara itu, sang ayah pun hampir sama. Mereka memang peduli soal kebutuhan anak-anaknya, bahkan rela bekerja dari pagi hingga sore hari demi mencukupkan kebutuhan sang anak. Namun, dalam pandangan psikologi perkembangan, pemenuhan kebutuhan itu saja tidak cukup. Anak butuh dukungan, kasih sayang serta kebersamaan dengan orangtua mereka.
Syukurlah, Diana tidak seperti anak-anak korban broken home yang cenderung brutal atau anak-anak yang tidak punya tata krama. Diana pun dimasukkan ke TPA dan mengaji setiap sorenya. Saya salut dengan Mbak Eva dan keluarganya yang mau merawat dan memperhatikan perkembangan Diana selama beberapa tahun belakangan ini.
Diana pun bukan anak manja dan cenderung mandiri. Dia sudah bisa mandi sendiri, pakai baju kadang sendiri, pakai sepatu sendiri, kadang pulang sekolah pun jalan kaki sendiri atau bareng dengan temannya tanpa dijemput Mbak Eva. Selain itu, daya ingat Diana juga sangat kuat. Buktinya, setiap dia punya keinginan yang diutarakan pada ayah atau ibunya tapi belum juga terpenuhi, maka keinginan itu masih disimpan kuat-kuat dalam memorinya sehingga suatu waktu dapat dia recall kembali saat ada momen yang pas untuk memintanya. Dalam pelajaran atau hapalan surat-surat pendek Alquran pun demikian. Sekali lagi, sungguh sangat berbeda dengan Kikan, kakaknya.
Okelah, walaupun Diana tidak merasa haus kasih sayang. Tapi, bagaimana dengan Kikan, kakaknya. Sejak lahir, Kikan sudah ditinggal sang ayah pergi memenuhi panggilan kerja di luar pulau, kebetulan waktu itu ada proyek pembangunan rumah saya di sini (Sul-sel). Kikan lebih banyak dirawat oleh Pakdhe Kas. Tapi, bertolak belakang dengan adiknya, Kikan tumbuh menjadi anak yang cenderung pasif, kadang pesimistik, kadang brutal dan mudah terpengaruh dengan teman-temannya (ditambah lagi dia punya teman-teman yang suka berkata-kata buruk).
Selama beberapa tahun sejak kelahirannya, Kikan memang sudah haus kasih sayang, terutama dari sang ayah. Beberapa kali dia juga ditinggal bekerja oleh sang ayah ke kota lain, bukan hanya satu kali itu saja. Sang ibu pun cenderung kurang aktif dalam mengawasi perkembangan Kikan saat puncak usia keemasannya. Mungkin, inilah dampak paling menonjol yang disebabkan oleh pola asuh keluarga ini. Tanpa sadar, Kikan sebenarnya menjadi korban. Kata Mbak Eva, fungsi kognitifnya tumbuh kurang optimal dan lebih sering bengong. Makanya, jika ibu atau ayahnya menegur, Kikan tidak langsung merespon dan harus ditegur dua atau tiga kali dengan suara keras bila perlu.
Apa pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini? Ya, anak-anak membutuhkan kasih sayang, bukan mainan apalagi materi. Mereka membutuhkan kebersamaan dan kehangatan dengan kedua orangtua. Jika kebutuhan itu terpenuhi, maka anak tersebut akan tumbuh optimal nantinya. Jika tidak, kepribadian anak itu juga akan berkembang kurang baik. Sadar atau tidak, orangtua memang akan melakukan apapun agar sang anak tercukupi kebutuhannya. Tapi, kebanyakan dari mereka hanya bertolak pikiran pada kebutuhan fisiologis semata, sementara kebutuhan paling penting lainnya terabaikan.
Saya cuma bisa menggumam, semoga Kikan dan Diana menjadi pribadi salihah nantinya. Dan, semoga ibu dan ayahnya bisa lebih banyak meluangkan waktu untuk mereka berdua dibanding sebelum-sebelumnya.
----
Salam kriuk dari kakak sepupumu,
Paresma :)
nice post kak!
ReplyDeletegolden age adalah masa yang amat sangat penting untuk "Benar-benar diperhatikan"..
pintar sekali kakaknya menganalisis perkembangan diana. aku jadi teringat dengan dosenku, "pengalaman, jam terbang, clien/pasien adalah guru terbaik untuk kita belajar"..
yup RIGHT!! :) betul banget
Delete