by paresma elvigro
Seisi ruang kelas ini mendadak dilingkupi cahaya emas dengan bintang-bintang kecil jatuh berguguran bak salju. Kenya merasa sedang berada di sebuah tempat asing yang keindahannya tak mampu ia kemukakan dengan kata. Sebuah alat peraga anatomi manusia dan beberapa toples berisi organ-organ tubuh hewan yang sudah diawetkan di sebuah meja kuning panjang di sudut kiri Kenya sempat menghembuskan getaran kecil, seolah hidup. Ah, Kenya lagi-lagi berkhayal! Dikedipkan matanya berulang kali.
Yang disahutnya barusan hanya mengurai senyum manis. Sementara itu, Kenya--gadis dengan rambut berkepang dua dan berkacamata tebal--berusaha menekuklututkan kecemasannya. Ada semacam rasa gundah berbaur takut kerap dihampiri oleh Bion.
"Kamu kebiasaan banget sih. Bengong sendirian di kelas.'' Bion menarik kursi bundar di sebelah Kenya lalu duduk dengan tenang.
Sudah beberapa hari ini pasca ujian blok Biologi, Kenya memang malas keluar kelas--lebih tepatnya laboratorium XII IA 1. Beberapa hari ini juga, Bion sering menghampirinya.
"Kamu lagi baca buku apa?"
Kenya terkesiap. Tangannya spontan menutup buku lembar eksperimen di pangkuannya. Bola matanya lari ke sana kemari seperti tengah mencari sesuatu.
"Kamu lagi nyari apa sih?" tanya Bion penasaran.
Kenya sibuk menunduk ke kolong meja. Dipegang gagang kacamatanya agar tidak melorot. Poni kudanya sama resahnya dengan mata sipitnya yang sedang mencari-cari sesuatu.
“Hei, kamu lagi nyari apaan, Ken?” tanya Bion lagi, kali ini ikut menunduk ke kolong meja.
Kenya terkejut ketika mendapati wajah Bion sangat dekat dengan wajahnya. Mulutnya membuka hingga berbentuk O. Ia melengos lalu mengangkat kepalanya dan melempar pandang ke seberang kiri, tak jelas apa yang tengah dilihatnya. Yang pasti, Kenya gugup saat pandangannya bertaut dengan pandangan Bion di kolong tadi. Wajah Bion membuatnya kikuk.
Bion pun mengangkat kepalanya hingga membentur pinggiran meja. “Aooow!” rintihnya sembari mengelus ubun-ubunnya dengan tangan kanan.
Kenya mengernyit miris. Ditangkupkan tangannya ke depan dahi lalu diguncang-guncangkan seraya meminta maaf pada Bion. Gara-gara ia, Bion jadi terbentur meja.
Bion tertawa geli melihat tingkah Kenya. “Kenya... Kenya. Kamu masih saja terlihat lugu,” celetuknya sambil geleng-geleng.
Kenya melipat bibirnya, ditekan hingga terlihat tipis. Ia tertunduk dengan mata lesu. Kedua tangannya dilekatkan ke atas paha, di atas rok panjang abu-abunya. Gadis itu mematung dengan posisi ini cukup lama. Hanya kelopak matanya yang bergerak.
Sementara itu, Bion memiringkan kepalanya ke bawah, memarkir pandangannya tepat beberapa senti di samping mata Kenya. Ia semakin bingung dengan tingkah Kenya yang tidak jelas. Tidak biasanya Kenya bertingkah sebodoh ini, pikirnya.
“Kenya...”
Kenya tak berkutik.
“Ken...!” tegur Bion lagi, nadanya meninggi.
Pelan-pelan, Kenya menoleh ke arah Bion dengan raut memelas.
“Kamu kenapa? Kenapa kamu diam saja?”
“Ini sudah hari kesepuluh...” desis Kenya dengan suara hampir tak terdengar.
Bion mengangguk tak tega, “I... iya sih. Tapi... seharusnya kamu senang,” gagapnya lalu melengos.
Tanpa Bion sadari, mata Kenya sudah membanjir.
“Ken,” sahutnya sambil melirik jarum jam di tangan kiri Kenya. “Lima menit lagi...”
Kenya langsung memotong, “Apa aku boleh minta sesuatu?”
“Apa?”
“Kasih aku kesempatan sebentar aja!”
“Untuk?”
“Aku... aku mau bicara.”
Bion tertawa, hampir terbahak. “Bukannya dari tadi kamu sudah bicara, Ken?”
“Ini serius.”
“O... oke, baiklah,” balas Bion pasrah. “Apa yang mau kamu omongin?”
“Sepuluh hari yang lalu, waktu kita pertama ketemu...” Kenya gugup. Ia meremas-remas tangannya sambil menunduk kaku. Ia ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Kenapa?” Bion tersenyum santai.
“Kamu tau kan? Aku nggak pernah punya teman. Semua ngejauhin aku karena aku ini culun,” lanjut Kenya dengan nada agak cepat.
“Iya, lalu?”
“Cuma kamu satu-satunya orang yang mau nemenin aku.”
“Ya, tapi kan...”
“Tapi,” potong Kenya lagi. “Tapi... kayaknya dosaku nambah satu lagi.”
“Dosa apa?”
“Do-dosa... ka-kar-karena... aku sus-suk-suka sama... sama orang yang selama sepuluh hari ini... nemenin aku.”
Mata Bion membelalak. Dipegang dadanya. Ada sesuatu yang bergejolak di sana. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
“Apa? K-kamu... kamu bercanda kan, Ken? Ini nggak masuk akal,” tampik Bion dengan ekspresi datar.
Tangan Kenya bergetar hebat. Embusan angin dari seluruh jendela laboratorium amat kencang dan berubah dingin. Tepat di depan pintu, ada sebuah pusaran angin yang membulat, mirip tornado tapi tidak mengisap. Kenya melihatnya dengan jelas. Tapi, pusaran itu pelan-pelan makin memburam, hampir hilang.
“Sudah lima menit, Ken.”
“Ayo!” Kenya bangkit dari kursi, memperbaiki poni, kacamata dan seragamnya. Ia berusaha menata diri dan hatinya, seolah tak terjadi apa-apa.
Bion heran. Tidak biasanya dia yang diajak seperti ini. Seringnya, dialah yang mengajak orang-orang yang ditemuinya agar mau bangkit dan pergi bersamanya. Ia belum juga berdiri, masih tercengang di kursi bundarnya.
“Bion, ayo! Sudah waktunya, kan?”
“Kenapa... kenapa kamu semangat banget? Padahal, tadi kamu takut, kan?”
Kenya kecolongan juga. Bion bisa menebak apa yang dirasakannya tadi. “Aku nggak takut karena ada kamu.”
Bion menelan ludahnya dengan mata melotot. “Tapi, aku nggak bakal ada terus di samping kamu, Ken,” lanjutnya, berusaha menyadarkan Kenya.
“Aku tau kok. Aku udah siap apapun itu. Ayo!”
“Apa kamu nggak mau pamit sama temen-temen atau nelpon ortu dulu?”
“Nggak usah...”
“Kenapa?”
“Kan udah kubilang tadi. Nggak ada satu pun yang peduli sama aku, kecuali kamu,” ujar Kenya, anehnya dengan raut sumringah.
“Kenapa kamu keliatannya senang banget sih?”
“Selama sepuluh hari ini, aku udah baca banyak hal tentang rencanamu ini.”
“Baca apa?”
“Aku bahagia karena tujuanku udah tercapai.”
“Tujuan apa?” Bion mendadak kepo.
“Sudah deh, Bion! Ayo, lima menitnya udah hampir habis loh!”
Kenya memaksa Bion untuk lekas berdiri. Bion pasrah, Ruang laboratorium ini mendadak penuh cahaya biru dan putih. Mereka berjalan di antara cahaya itu, keluar dari laboratorium.
Bion masih bingung. Apa yang akan dilaporkannya nanti jika tahu seorang manusia seperti Kenya bisa jatuh cinta dengan malaikat pencabut nyawa sepertinya. Meskipun tak terlahir seperti halnya manusia, tapi Bion cukup paham dengan apa yang diutarakan Kenya tadi.
Sepuluh hari pertemuan mereka. Saat pertama kali Bion menemui Kenya di kelas seperti tadi, ia memberikan sepucuk surat, sebuah surat keputusan dari Yang Maha Kuasa untuk memanggil Kenya kembali.
Sebagai malaikat pencabut nyawa, Bion bangga pada Kenya. Sosok gadis yatim piatu yang diasuh oleh para orangtua tirinya, yang selama ini disiksa, yang tak punya teman apalagi saudara kandung, akhirnya diantarkannya pulang ke tempat asal. Bion baru ngeh. Tujuan yang dimaksud Kenya adalah momen ini. Momen di mana ajal menjemput adalah titik kesempurnaan hidup yang pasti akan dialami oleh semua makhluk.
“Kamu emang pantas bahagia, Ken.” Bion berbalik ke belakang, melihat tubuh Kenya yang tergeletak di meja laboratorium, dikerumuni oleh tangisan teman-teman yang selama ini mem-bully-nya. Sebuah alat peraga terjatuh di kepala gadis sederhana itu. Begitulah cara maut mengambil ruh Kenya.
-Hehehe... mana ada manusia jatuh cinta sama malaikat-
-hanya kreasi fiktif belaka-
cerpen ini mengingatkan aku pada satu film korea Kak, tp aku lupa judulnya hehe
ReplyDeleteeheehehe iya ada kok, aku jg lupa judulnya apa, tapi aneh :D
ReplyDeletekeren... Bion yang Culun, atau Kenya juga Unyu-Unyu ya...
ReplyDeleteceritanya kakak memang cerita unik, yang jarang diangkat sama orang lain...
bgaus sekali..
eh kebalik Gha, yang culun itu si Kenya hehe..
Deletehehe :D masih tahap belajar
oalah.. sorry bacanya kurang teliti kak
Delete