Teman yang baik laksana mutiara terpendam dalam laut
--@de_Paresma--
Pagi ini saya mau bercerita tentang beberapa manusia alias teman saya. Teman yang istimewa bagi saya.
Saya punya sahabat masa SD, namanya Warda. Orangnya cantik, baik dan sejak bertemu lagi sepulang saya dari kuliah, dia terlihat bongsor dari yang dulu. Dulu, dia juga sangat populer layaknya artis. Waktu saya masih kuliah di Malang, dia masih sering menelepon, saya juga masih suka SMS dia.
Kami selalu bertukar pikiran dan cerita satu sama lain. Tidak terasa, persahabatan kami sudah tak terhitung berapa belas tahun. Saya suka dengan gayanya yang nyentrik, kadang lucu dan murah senyum. Warda juga sangat baik. Kebaikan-kebaikannya terlalu banyak jadi tidak mungkin saya beberkan semua di kanvas ini.
Waktu SMP, kami masih satu sekolah dan pernah satu kelas. Kami selalu saling mendukung apapun cita-cita dan prestasi kami di sekolah. Tidak seperti anak-anak lain, kami masih suka surat-suratan. Ya, saya yang memulainya karena dulu saya pernah tergabung dalam komunitas korespondensi anak sekolah (yang kini namanya sudah tertelan bumi). Acapkali ada masalah, kami tuangkan seluruhnya di lembaran-lembaran kertas yang kami robek dari buku pelajaran atau binder kami. Lalu, kami mengirimkannya saat jam istirahat dan membacanya saat pulang ke rumah sekaligus menulis balasannya dan baru saling tukar surat keesokan hari.
Dulu, saya pernah memberinya sebuah boneka. Ah, boneka murah yang saya beli di penjual boneka bekas! Tapi, saya mencuci boneka itu sampai bersih lalu saya berikan padanya. Saya pikir, Warda tidak akan suka apalagi mau menyimpannya. Tidak tahunya, waktu ketemu lagi, dia bilang, boneka beruang orange itu masih disimpannya hingga sekarang. Saya juga masih menyimpan hadiah bingkai kupu-kupu darinya. Bingkai itu sebenarnya lebih cocok diberikan untuk pasangan pengantin karena tulisannya yaaa begitu isinya, tapi entah kenapa dia memberikan itu pada saya. Ya, saya terima saja, berharap suatu hari, saya seperti sepasang kupu2 di bingkai itu: menemukan jodohnya.
Saat SMA, kami tak satu sekolah. Ini juga karena kesalahan teknis. Dia di SMADA dan saya di SMANSHA. Namun, kami masih sering bertemu karena rumahnya berada di pinggir jalan raya depan kompleks rumah saya. Saat ramadhan, kami kadang tarawih di masjid kompleks sebelah yang berada persis depan rumahnya.
Sejak itu, saya punya sahabat baru. Namanya Wira. Kulitnya putih, matanya sipit, cerewet, kalau bicara seperti rel kereta api, orangnya memang baik, suka melucu, hampir gak pernah menangis dan berjilbab. Darinya, saya menemukan hidayah memakai jilbab. Kami seperti sepasang puzzle, saling melengkapi. Pertemuan pertama kali sangat lucu. Dia menawari saya duduk sebangku bersamanya, di bangku paling depan. Saat itu, dia orang pertama yang mengira saya ini non muslim. Entah kenapa dia menduga begitu. Hahaha.... dia pun mengira saya teramat pendiam dan kelewat kalem. Tapi, saat dia bilang saya non muslim, saya berdecak dan tegas mengemukakan bahwa saya ini muslim, dia pun percaya. Hehehe, aneh. Hubungan persahabatan kami pun aneka rasa, seperti nano-nano, manis, asam, asin. Kadang juga seperti kopi, pahit. Sama seperti saya dan keluarga Warda, saya keluarga Wira juga akrab, sama ayahnya, ibunya adek-adeknya dan semua. Kami sering saling mengunjungi rumah. Sewaktu kami berpisah tempat kuliah, kami masih rajin kontak bahkan saya pernah mendengarnya menangis di telepon akibat membahas satu topik (cukup kami yang tahu). Saya menemukan diri saya pada Wira. Wira pun pernah berkata, "Kalau saja salah satu di antara kita adalah pria, mungkin saya sudah jatuh cinta padamu. Kita ini terlalu kompak, sampai ke hati pun kompak, kalau ngomong juga kompak. Dan semua kelebihan juga kekurangan kita sangat pas disandingkan." Hahaha.. konyol, tapi begitulah kami. Wira lah yang mengajarkan saya untuk lebih dekat dengan Allah. Wira pula yang membawa saya untuk menemukan apa arti bahagia yang sesungguhnya.
Beralih ke masa kuliah. Kali ini saya tidak menceritakan teman karib saya, karena cukup banyak. Saya ingin bercerita tentang teman kelas saya. Namanya Rohman. Ya, laki-laki. Dia unik, cuek tapi juga murah senyum dan baik hati, juga cerdas (ditambah pintar cas cis cus bahasa Inggris). Saya masih ingat. Suatu hari, menjelang UAS, saya pernah terlihat murung di kelas, malas bicara dan saya juga lupa sedang ada masalah apa. Tiba-tiba, saya mendapat SMS berisi kalimat bahasa Inggris yang intinya melarang saya untuk larut dalam kesedihan. Baru pada waktu UAS, saya menanyakan kepada semua teman siapa pemilik nomor asing itu. Eh, tidak tahunya, itu nomor Rohman. Saya bertanya pada Rohman, apa itu benar SMS dari dia? Dia mengangguk dan tersenyum simpul. Saya bingung menafsirkannya bagaimana. Satu sisi, kami memang jarang terlibat obrolan, tapi kenapa isi SMS-nya begitu pas seolah tahu keadaan saya. Saya berterima kasih padanya. Saya makin bingung dengan senyumnya itu. Ya, dia memang murah senyum. Tapi, sampai sekarang, saya masih heran, tak dinyana, orang secuek dia bisa perhatian juga sama temannya bahkan pada teman yang jarang diajak ngobrol olehnya. Bukannya tidak pernah ngobrol. Kami kadang tergabung dalam satu kelompok belajar. Tapi, saya selalu canggung ngobrol dengannya, takut tidak akan nyambung, makanya saya yang lebih sering diam. Kalau ditegur, barulah saya bicara, itu juga seperlunya karena lagi-lagi takut tidak nyambung.
Saya juga mengenal adiknya Rohman, namanya Ima. Kami memang belum pernah bertemu karena dia kuliah di Jakarta. Awalnya, Ima menyapa saya lewat FB menanyakan tentang Rohman. Saya ketawa sendiri, kenapa dia menanyakan abangnya pada saya. Tapi, dari Ima, saya jadi tahu kalau di balik kecuekannya, Rohman adalah sosok kakak yang sangat baik. Pernah, kami hampir bertemu. Ima sudah ada di restoran depan kampus. Tapi, karena saya ada jadwal kuliah lagi, alhasil, kami gagal bertemu lagi. Saya juga pernah menitipkan hadiah untuk Ima melalui Rohman. Ya, saya dan kakaknya memang tidaklah akrab, tapi sama adiknya sudah seperti saya dengan adik sendiri. Ima pun selalu menyebut saya dengan kata "kakakku". Sampai sekarang, saya masih kontak dengan adiknya.
Ini hanya bagian kecil dari kisah-kisah teman dan sahabat saya. Saya bersyukur memiliki sahabat dan teman seperti mereka baik yang sudah akrab maupun yang belum pernah bertemu.
Di masa remaja, konformitas dengan teman sebaya memang sedang tinggi-tingginya. Saya bersyukur bisa berteman dengan orang-orang salih/salihah seperti mereka. Saya belajar banyak tentang arti hidup dari mereka. Meski pernah kres atau salah paham dengan mereka, tapi kami tak pernah berantem hebat. Kami dan keluarga kami sudah seperti menyatu.
Teman yang baik, akan mengantarkan kita pada hal-hal yang baik, begitu pula sebaliknya.
Selain keluarga, teman yang salih/salihah adalah harta berharga yang terlalu sulit untuk kujumpai di zaman modern seperti ini
Teman yang baik ibarat mutiara terpendam dalam laut. Hanya orang-orang terpilih yang bisa memilikinya.
Jadi, peliharalah teman-teman baikmu seperti kau memelihara mutiara itu.
bener sekali setuju
ReplyDeleteyap hehe :)
ReplyDelete