Ini adalah request dari Bunda Arifah Abdul Majid.
Jadi pertanyaannya:
- Gimana kondisi psikologis anak yang orangtuanya bercerai?
- Sejauh mana orangtua (khususnya sang mama agar bisa berperan sehingga kondisi psikis anaknya bisa tetap baik?
Well, kita coba bahas satu per satu ya.
Kebetulan, skripsi saya dulu temanya tentang perceraian. Salah satu subjek saya adalah seorang ibu single parent sama sepreti Bunda Arifah ini. Subjek saya itu tidak menikah lagi karena usianya telah menginjak 40 tahun. Jadi, saya coba membahas permasalahan Bunda Arifah dari pendekatan penelitian saya ya. Kurang lebih tidak jauh berbeda.
Kebetulan, skripsi saya dulu temanya tentang perceraian. Salah satu subjek saya adalah seorang ibu single parent sama sepreti Bunda Arifah ini. Subjek saya itu tidak menikah lagi karena usianya telah menginjak 40 tahun. Jadi, saya coba membahas permasalahan Bunda Arifah dari pendekatan penelitian saya ya. Kurang lebih tidak jauh berbeda.
Dari hasil penelitian saya, bagi pasangan yang bercerai kemudian telah memiliki anak, maka anak digolongkan sebagai korban. Proses perceraian ini akan sangat memberi pukulan telak pada kedua belah pihak. Sementara anak, jika ortunya bercerai di usianya bayi, maka anak tersebut tentu tidak tahu menahu dan baru aka nmenyadari ketika remaja. Jadi, beban pikiran anak terhadap perceraian ortunya setelah ia tahunya pas remaja itu tidak terlalu berat dan besar. Beda jika ortu si anak bercerai ketika ia telah berusia remaja. Kondisi emosional mereka yang notabene sudah labil, akan semakin tidak terkendali ketika ortunya bercerai, apalagi perceraian tersebut tidak berlangsung secara baik-baik.
Situasi yang kacau ini akan memberi efek frustrasi hingga depresi bagi si anak. Ke depannya, anak akan membuat definisi mengenai siapa figur ibu dan siapa figur ayah. Misalkan, si anak tahu kalau sang ayah yang menceraikan ibunya dan sering terlibat pertengkaran atau "peperangan fisik" dengan sang ibu, maka anak akan mendefinisikan seorang ayah sebagai seseorang yang tega dan semena-mena terhadap perempuan. Maka, belief yang berkembang tersebut akan terus mengendap dan terinstal dalam otak si anak dan bisa mempengaruhi sikap dan perilakunya terhadap figur laki-laki. Sama halnya jika ibunya yang ada di posisi menggugat cerai lalu si anak lebih memihak pada ayahnya, anak pun akan mengembangkan ketidakpercayaan terhadap sang ibu karena dianggap jahat terhadap sang ayah.
Untuk masalah yang terjadi selama proses penyesuaian ini jauh lebih rumit dan complicated dibandingkan saat proses perceraian. Masalah penyesuaian yang menempati rating paling tinggi berdasarkan banyak penelitian itu adalah masalah dalam proses penyesuaan diri terhadap trauma emosional. Ini berlaku bagi ortu (pihak yang bercerai, terutama perempuan/ibu/istri) dan anak. Kondisi emosi orangtua yang down juga akan memberi pengaruh pada kondisi emosional sang anak (terutama mereka yang udah remaja dan tahu bahwa ortunya cerai/menyaksikan sendiri perceraian ortunya). Biasanya ditandai dengan perasaan bersalah, sedih yang berlarut-larut dan kecewa. Jika tidak teratasi, akan berlanjut pada fase depresi.
Kalau untuk anak yang ortunya bercerai ketika ia masih bayi, kondisi emosionalnya tentu beda-beda tiap individu. Kalau pada masa bayi, tentu kita nggak bisa mendiagnosa atau memprediksi gimana sih kondisi emosionalnya waktu ortunya cerai. Pun dengan anak yang masih dalam rentang usia kanak-kanak, mereka pun masih belum paham.
Biasanya, mereka baru akan bertanya saat udah remaja. Sederet pertanyaan tentang siapa ayah/ibunya, kenapa nggak tinggal dalam satu rumah, kapan bercerai, kenapa bercerai dan lainnya akan digemborkan. Jadi, untuk mengantisipasi drop-nya emosional mereka, ortu hendaknya membicarakan perihal perceraian tersebut terhadap sang anak secara baik-baik. Yakinkan bahwa mereka tetap punya ibu dan ayah, walau sudah pisah rumah, tapi peran ibu dan ayah tak akan berubah sampai kapanpun.
---
Jadi, untuk masalah kondisi psikis anak korban perceraian ortu, tergantung dari masing-masing anak ya, Bunda. Ada anak yang bisa menerima dan memahami meski ortunya bercerai sejak ia kecil. Tapi, untuk ortu yang cerainya ketika anaknya udah remaja, pada umumnya, kondisi emosi anak akan bertambah labil dan bila ortu tidak peduli dan tidak pernah bertanya, maka remaja tersebut akan mengembangkan perilak destruktif, melawan ortu, membangkang dan tindak kriminal serta keras kepala (ini sama seperti anak subjek penelitian saya waktu skripsi).
Soal peran ortu, bila sang ibu single parent yang tinggal dengan anak ditambah ibunya bekerja, maka sang ibu harus mampu memenej waktunya dengan sangat baik. Kalau bekerja, sebisa mungkin manfaatkan waktu sepulang kerja, malam hari dan weekend dengan anak. Yaah bangunlah quality time dengan anak meski harus curi-curi waktu. Berikan perhatian pada anak. Jangan lupa untuk selalu membuka diskusi atau berikan kesempatan agar anak mau curhat tentang segala unek-uneknya kepada sang ibu, entah itu soal sekolah atau tentang masalah pribadinya. Terus, kalao ayahnya masih hidup, hendaknya ngatur jadwal pertemuan ibu anak dan ayah bareng-bareng dalam satu waktu luang. Setidaknya agar anak merasa nyaman bahwa ortunya peduli kepadanya.
Yang penting komunikasi, perhatian, kasih sayang dan kepercayaan harus tetap terjaga dan dijalin dengan baik. Dengan begitu, beban psikis yang dirasakan anak tidak terlalu berat.
Eum, untuk kasus remaja yang ortunya bercerai memang agak sulit mengatasinya, apalagi remajanya mulai memunculkan perilaku "suka melawan", nggak mau dengerin apa kata ortu, dan semaunya sendiri atau minta kebebasan yang berlebih. Untuk masalah yang lebih serius kayak gini, sebaiknya langsung dikonsultasikan kepada ahli terdekat di kota Bunda ya. Bisa ke psikiater, konselor atau psikolog. Ajak anak untuk mengadakan pertemuan langsung. Nanti bila perlu, ahli akan memberikan tindak lanjut, apakah akan diberikan treatment terapi perilaku (bila berdampak pada buruknya perilaku anak) ataukah hanya perlu konseling keluarga saja dengan melibatkan kedua ortu yang sudah bercerai beserta anak.
Demikian dari saya. Mohon maaf bila ada kekurangan. Bagi yang punya masukan lain, monggi di-sharingkan, karena di sini nggak ada yang benar atau salah. Kita berbagi pengetahuan dan pengalaman sebagai pelajaran untuk melangkah lebih baik. ^__^
---
Jadi, untuk masalah kondisi psikis anak korban perceraian ortu, tergantung dari masing-masing anak ya, Bunda. Ada anak yang bisa menerima dan memahami meski ortunya bercerai sejak ia kecil. Tapi, untuk ortu yang cerainya ketika anaknya udah remaja, pada umumnya, kondisi emosi anak akan bertambah labil dan bila ortu tidak peduli dan tidak pernah bertanya, maka remaja tersebut akan mengembangkan perilak destruktif, melawan ortu, membangkang dan tindak kriminal serta keras kepala (ini sama seperti anak subjek penelitian saya waktu skripsi).
Soal peran ortu, bila sang ibu single parent yang tinggal dengan anak ditambah ibunya bekerja, maka sang ibu harus mampu memenej waktunya dengan sangat baik. Kalau bekerja, sebisa mungkin manfaatkan waktu sepulang kerja, malam hari dan weekend dengan anak. Yaah bangunlah quality time dengan anak meski harus curi-curi waktu. Berikan perhatian pada anak. Jangan lupa untuk selalu membuka diskusi atau berikan kesempatan agar anak mau curhat tentang segala unek-uneknya kepada sang ibu, entah itu soal sekolah atau tentang masalah pribadinya. Terus, kalao ayahnya masih hidup, hendaknya ngatur jadwal pertemuan ibu anak dan ayah bareng-bareng dalam satu waktu luang. Setidaknya agar anak merasa nyaman bahwa ortunya peduli kepadanya.
Yang penting komunikasi, perhatian, kasih sayang dan kepercayaan harus tetap terjaga dan dijalin dengan baik. Dengan begitu, beban psikis yang dirasakan anak tidak terlalu berat.
Eum, untuk kasus remaja yang ortunya bercerai memang agak sulit mengatasinya, apalagi remajanya mulai memunculkan perilaku "suka melawan", nggak mau dengerin apa kata ortu, dan semaunya sendiri atau minta kebebasan yang berlebih. Untuk masalah yang lebih serius kayak gini, sebaiknya langsung dikonsultasikan kepada ahli terdekat di kota Bunda ya. Bisa ke psikiater, konselor atau psikolog. Ajak anak untuk mengadakan pertemuan langsung. Nanti bila perlu, ahli akan memberikan tindak lanjut, apakah akan diberikan treatment terapi perilaku (bila berdampak pada buruknya perilaku anak) ataukah hanya perlu konseling keluarga saja dengan melibatkan kedua ortu yang sudah bercerai beserta anak.
Demikian dari saya. Mohon maaf bila ada kekurangan. Bagi yang punya masukan lain, monggi di-sharingkan, karena di sini nggak ada yang benar atau salah. Kita berbagi pengetahuan dan pengalaman sebagai pelajaran untuk melangkah lebih baik. ^__^
Best regards,
duh mbk,jadi inget murid2 istimewaku *biasanya org menyebut anak nakal tp saya menyebut mereka istimewa* kebanyakan korban perceraian. Sebenarnya ortu sudah perhatian tapi mungkin disisi anak hal ini *perceraian* membuat mereka sakit hati, nggak terima dan merasa dibuang..akhirnya mereka lari ke merokok,pergaulan bebas,pergi ke sekolah tpi diam2 belok kanan ke warnet,suka2 mereka,dikasih tau ngeyel,poko'e sak karepe dewelah,dll....
ReplyDeletejadi guru BK rasanya spesial banget karena ketemu sama anak2 istimewa dan khusus mbk hehe
iya Mbak Hanna :) bener banget. oh ya, kita yg di psikologi emang gak boleh bilang "anak nakal" hehehe
Deletehe'em di sekitar kita sebenarnya banyak banget kasus ky gt. dlu, waktu penelitian, sy juga banyak nemuin, anak korban perceraian yg rada nyimpang perilakunya
yuup tugas guru BK itu berat, semoga amanah dan istiqamah ya Mbak. saluut !! semangaaat!!!
Ah, baca postingan mak aku jadi makin optimis bahwa semua akan baik-baik aja dan aku insya Allah pasti bisa menjalani semua dengan baik terutama untuk anak :) terima kasih yaaa postingannya bermanfaat mak..
ReplyDeletesiip Bunda. keyakinan itu punya kekuatan sama kayak LOA dan doa. kalo yakin baik, pasti, insya Allah semua akan baik2 juga :)
Deletesama-sama Bunda. :)