Monday, June 2, 2014

NGALOR NGIDUL TENTANG DISORDER

Mohon maaf ya karena belum update cerita pasa bedah buku #CKUS di Bangil Sabtu kemarin. Saya masih nunggu upload-an foto-foto kegiatannya dari temen-temen biar sekalian gitu hehe.

Oh ya, Sabtu kemarin, di sepanjang perjalanan berangkat dan pulang Malang-Bangil, Bangil-Malang, kami banyak cerita soal psikologi, khususny gangguan jiwa yang diderita oleh anak-anak. Di mobil, pas berangkat kami hanya bertiga. Saya, Mbak April dan Pakdhe Alif (suami Mbak April-maunya sih dipanggil pakdhe aja daripada Mas biar lebih keren *itu juga permintaan suami Mbak April hehe). Mbak April juga yang lebih banyak sharing tentang pengalamannya selama magang dan praktikum S2.


Mulai dari kisah anak-anak RM yang mana si anak ini perilakunya sangat aneh. Di sekolah nggak pernah bicara dan nggak mau bicara. Tapi, setelah Mbak April nyari anamnesanya ke keluarga anak tersebut, eeh... di rumah, si anak ini malah bertingkah seolah-olah hiperaktif, curi-curi perhatian orangtuanya. Awalnya sih anak ini tuh trauma sama gurunya, gitu kata ortunya. Tapi, dalam kisah yang dituturkan oleh gurunya malah berbeda. Jadi, sempat bingung juga, sebenarnya mana yang sangat bisa dipercaya. Sampai-sampai Mbak April kesulitan menegakkan diagnosis.

Belum lagi, anak-anak dengan gangguan jiwa yang ditempatkan di RSJ Lawang. Mendengar cerita Mbak April, nggak jauh beda dengan pengalaman temen saya yang sekarang lagi tesis. Parah. Di RSJ, kasus yang menimpa anak dan remaja lebih banyak karena masalah korban pelecehan seksual. Bahkan, ada salah satu pasien baru (cewek), masih remaja, cantik tapi akhirnya berujung skizofrenia (kalau orang psikologi nggak boleh bilang "gila", ntar disomasi kalo bilang gila). Dia ini korban patah hati, putus dari pacarnya plus korban pelecehan seksual juga. 

Ada pula pasien cewek yang sangat-sangat belia malah lebih parah lagi. Dia juga korban pelecehan seksual oleh beberapa pemuda. Jadi, ceritanya, anak ini punya riwayat kontrol diri yang kurang sehingga mudah terpengaruh dan mudah dihasut. Suatu ketika, ada pemuda yang mengajaknya jalan, dia menurut saja. Lalu, dibawalah dia ke sebuah sawah yang sepi. Pemuda itu melancarkan aksinya, menggagahi remaja ini. Dan, kalau menurut saya, tampaknya anak ini saking traumanya, dia punya gejala disosiatif. Nggak tahu apa yang menimpanya, terlihat seperti orang linglung, bingung mau pulang ke mana dan rumahnya pun tidak tahu. Setelah beberapa lama, barulah pihak Dinsos mengambilnya dari jalanan dan dirujuk ke RSJ. Teman saya pun pernah tanpa sengaja melihat (ini juga karena ulah pasien itu), kasihan... kasihan sekali. (Maaf) kelamin remaja cewek ini sudah hancur tak berbentuk. Astaghfirullah. Miris. Tapi, ketika diwawancarai gitu, remaja ini malah sering mengingat-ingat kejadian di mana dia pernah "ditiduri". Dia juga sering bertingkah aneh dengan memasukkan jarinya ke dalam mulut yang menurut ucapannya, dia sedang berfantasi menikmati "oral seks" dengan si pemuda (entah pemuda yang mana, saking banyaknya). Dia pun tertawa-tawa sendiri seolah merasa nikmat dengan apa yang pernah dialami. Dan, kebetulan ada mahasiswa kedokteran yang juga berkunjung waktu itu. Mahasiswa FK ini menawari untuk memeriksa perut pasien ini karena mungkin saja hamil mengingat cerita-cerita yang digelontorkan oleh pasien ini sendiri. Tapi, pasien ini menolak dengan keras. Yaaa, entah pihak rumah sakit sudah memeriksanya atau belum, tidak tahu juga. Tapi, semoga saja tidak ada hal buruk yang menimpa remaja malang itu deh.

Pasien-pasien remaja pun, kalau diobservasi lebih mendalam, ternyata mereka itu sangat agresif dan sebaiknya perlu menjaga jarak dengan mereka. Fantasi dan hasrat seksual mereka lebih besar. Jadi, jangan heran bila mendapati pasien itu berhubungan badan dengan sesama pasien (sesama jenis) di bangsal mereka suatu waktu. 

----

Selain cerita di atas, ada juga kisah mengenai sebuah tempat penampungan orang-orang dengan gangguan jiwa yang sangat eksklusif. Kalau dulu, kami masih bisa berkunjung atau sekadar wawancara ke sana. Tapi, sekarang, sudah dilarang. Di tempat itu, pasien-pasiennya memang berasal dari keluarga terpandang dan khusus. Jadi, tidak boleh sembarangan dijenguk. Pun, keluarga mereka sendiri justru hampir tidak pernah menjenguk lantaran malu. Jahatnya lagi, demi menutupi riwayat pasien, pihak dokter/psikiatri yang bekerja di situ pun membuat diangosis palsu (diagnosa aslinya tidak akan diberikan kepada siapapun di luar pihak tempat penampungan itu).Termasuk juga menyembunyikan alamat asli dan riwayat asli lainnya tentang pasien. Sehingga, mahasiswa yang dulu sempat magang di situ merasa sangat kewalahan dan kesulitan mendapatkan anamnesa dan menegakkan diagnosa. Alamat rumah yang diberikan pada mahasiswa pun palsu sehingga kesulitan untuk mencari keluarga pasien dalam rangka wawancara.

Banyak pula orangtua pasien-pasien jiwa yang cenderung tidak mau menerima keadaan sang anak. Sehingga, banyak pasien yang dianggap telah sembuh lalu dipulangkan ke rumah, lantas tidak betah, jiwanya makin terguncang dari sebelumnya dan kembali ke RSJ. Bahkan ada yang sampai bolak-balik RSJ berkali-kali. 

Family support pada akhirnya menjadi salah satu faktor terpenting. Orangtua boleh merasa terpukul, tapi tidak boleh menolak kenyataan bahwa sang anak mengalami gangguan kejiwaan. Mereka seharusnya bukan membuang anak-anak mereka ke RSJ atau tempat lain. Mereka seharusnya tetap mendampingi anak, menjenguk anak mereka dan memberi dukungan moril atau paling tidak melihat bagaimana kondisi anak-anak mereka. Kalau sudah membuang lalu menolak dan tidak mengakui sang anak, bagaimana nasib anak ini di masa depan? Apakah para orangtua itu tidak takut dengan azab Tuhan karena telah menelantarkan anak hanya karena "sakit"? Bukankah, anak itu adalah titipan amanah untuk para orangtua?

Skizofrenia itu bukanlah hal menjijikkan. Pasien dengan skizo juga kehadirannya bukan untuk dijadikan sebagai kelinci percobaan, dijauhi apalagi dicaci. Mereka tetap mempunyai basic needs. Mereka butuh makan, minum, tidur. Mereka juga butuh rasa aman. Mereka butuh dihargai dan dilindungi. Mereka pun butuh perhatian dan kasih sayang. Yang paling penting, dari dasar hati, mereka pun membutuhkan kesembuhan. Karena memang belum ada obat penyembuhnya, paling tidak memberikan support pada mereka bisa menjadi salah satu bantuan untuk mengurangi manifestasi gejala-gejala skizo. Paling tidak, dengan menghargai dan menerima keberadaannya, mereka bisa tetap tenang. 

3 comments:

  1. Membaca tulisan ini aku jadi “nggregetan” terhadap pelaku pelecehan seksual yang menggagahi tadi itu. benar dan sejujurnya, ingin sekali menampar, menonjok sekuat-kuatnya terhadap mereka yang berbuat demikian. Pasalnya, aku menjadi sangat empati bagaimana mereka kehilangan masa depannya. Semoga, di akhir zaman nanti, para psikolog bisa menyembuhkan kebrutalan remaja putra yang merusak tatanan masyarakat perempuan.

    Selain itu, membaca tulisan ini saya jadi teringat pas kunjugan ke RSJ Ghrasia Sleman Jogja. Pas itu kakak lagi bedah buku, hehe tgl 31 mei. Di sana aku menemukan ya semacam pasien seperti cewek yang masih muda. Aku sempat berfikir, mengapa mereka yang masih muda sudah menjadi skizofrenia. Kalau kaum tua mungkin karena “kewalahan akan tekanan hidup.” jangan-jangan, seperti yang kaka ceritakan, karena menjadi korban seksual, patah hati, dan semacamnya. Sungguh, bikin geram mereka itu yang berbuat semena-mena.

    ReplyDelete
    Replies
    1. menyedihkan memang. kita pun juga jadi bertanya-tanya, gimanaa ya nasib mereka di kemudian hari, apakah akan terus mendekam di RSJ ataukah bisa sembuh..

      seharusnya bukan cuma korban itu yg dirujuk ke RSJ, tp pelakunya juga perlu diberi didikan "mental"..penjara pun skrg sudah gak ada gunanya. malah hukuman penjara bisa menimbulkan manifestasi perilaku kriminal yg semakin menjadi-jadi terlebih kalo pelakunya memang udah gak bisa insight.

      iya Agha, biasanya jumlah paling byk itu pasien perempuan.. tapi padahal loh dlm penelitian, sebenarnya, kaum laki-laki itu jauh lebih rentan mengalami skizo daripada perempuan loh.

      tapi utk persentase kesembuhan skizo sendiri juga hampir nihil, terutama mereka yg memang skizo dengan faktor genetik/punya keluarga yg sama2 skizo..

      Delete
  2. nice article mba :) aku selalu menunggu2 postingan macam pengalaman psikologi seperti ini :) terima kasih

    ReplyDelete

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.