by catatanistri.com |
------
Selama praktikum ini, ada banyak sekali kasus-kasus yang bertebaran. Walaupun mayoritas kasusnya masih dalam ranah "problem psikologis" dan nyaris nggak ada yang nemu kasus "disorder", tapi bila diinterpretasikan ke masa depan, problem-problem psikologis yang ada sekarang ini lama-kelamaan akan menjadi gunung es di kemudian hari.
Berbicara soal masalah psikologis pada anak, banyak sekali memang. Ujung-ujungnya, kalau lagi bahas masalah pada anak, pasti kami akan selalu mempertanyakan, "Orangtuanya itu gimana?"
Sebagai contoh, ada 2 kasus pada anak. Satunya problem psikologis, satunya lagi udah dalam taraf gangguan.
Sebut saja A. Setelah dites, anak bernama A ini memiliki IQ di atas rata-rata. Namun, selama pengetesan IQ, banyak kejanggalan yang terjadi ketika menjawab pertanyaan dari tester. Dengan usia yang telah menginjak 8 tahun, semestinya si A sudah bisa berpikir abstrak (walau masih taraf belajar) dan seharusnya si A juga bisa lebih kreatif karena mengingat IQ-nya di atas rata-rata tadi. Namun, hal tersebut tak ditemukan dalam diri si A. Sebagai contoh, si A sukar menjawab soal pengulangan deret angka dari belakang. A hanya bisa mengerjakan soal pengulangan deret angka dari depan. Kemudian, pada beberapa subtes verbal, si A seringkali memberikan pola-pola jawaban yang dangkal dan kurang mampu meramunya menjadi kalimat-kalimat yang lebih kreatif.
Setelah ditelusuri, menurut sang tester, rupanya di rumah, anak tersebut memang sudah di-setting oleh orangtuanya. Maksudnya, sejak kecil, si A ini bener-bener ditata untuk menjadi seperti apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Si A diberi makanan yang bergizi tinggi, kemudian selalu ditata agar menjadi anak yang penurut. Orangtua si A juga sering mengatur-atur si A, harus begini dan begitu tanpa memberikan kesempatan bagi si A untuk melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Akibatnya, si A tumbuh menjadi anak laki-laki yang sangat sistematis, tidak akan mau melakukan sesuatu tanpa disertai aturan yang pasti, kaku dan kreativitasnya tidak terasah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan antara skor IQ dengan fakta keseharian si anak. Malah beberapa di antara teman kami yang menyimak analisis kasus tersebut sampai menginterpretasi, "Nanti kalau udah gede, bisa gawat apalagi anak cowok. Kalau diatur-atur kayak gitu terus, bisa-bisa si anak jadi suami-suami takut istri lagi." Hahaha... interpretasi yang terlalu jauh tapi masuk akal juga sih hehe.
Kemudian, masalah kedua masih pada anak. Sebut saja B. Dia adalah anak tunggal dari ibu dan bapak yang pendidikannya sama-sama lulusan magister. Sayangnya, si B harus dijebloskan ke dalam RSJ karena terdapat tanda-tanda psikotik yang mengarah pada gangguan skizofrenia. Setelah ditelusuri, ternyata si anak ini selalu dipaksa dan diatur oleh orangtua agar menjadi sesuai keinginan orangtua. Si anak harus mengikuti sejumlah les-les privat akselerasi yang sangat tidak masuk akal. Orangtuanya saat ini sangat menyesal melihat keadaan si B yang makin parah dari hari ke hari.
Dari kedua ilustrasi kasus di atas, mengapa sih tidak boleh mengatur-atur anak disertai paksaan?
Eum, sebenarnya wajar bila orangtua menginginkan agar anaknya tumbuh menjadi sosok terbaik nan membanggakan. Namun, tidak semuanya harus serba diatur.
Anak juga butuh solitude time (ini istilah pribadi saya aja sih hehe). Dalam solitude time ini, biarkanlah si anak untuk belajar melakukan atau memutuskan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dengan begitu, si anak juga akan belajar konsekuensi dan tanggung jawab dari apa yang sudah dilakukan. Selain itu, orangtua yang notabene pengetahuannya sudah tentu lebih luas daripada sang anak juga sebaiknya mengarahkan anak agar bisa berpikir abstrak, bukan hanya berpikir konkret terutama dalam proses belajar problem solving.
Selain mengatur-atur secara berlebihan, hal lain yang sering dilakukan orangtua terhadap anak adalah membentak. Tindakan membentak anak juga dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan fisiknya. Sebuah studi internasional dari Amerika pernah mengadakan penelitian dan telah membuktikan bahwa detak jantung seseorang akan cenderung meningkat ketika menerima atau mendengar suara bernada tinggi. Ketika seseorang kerap mendengar suara-suara bernada tinggi atau yang bernada sentakan, lama-kelamaan denyut jantungnya akan menjadi lebih cepat sehingga menyebabkan jantung gampang lelah.
Selain itu, masih ingatkah kita dengan salah satu bait dalam sebuah petuah lama. Eum, kalau tidak salah intinya itu melarang kita mengasuh anak dengan kemarahan karena ia akan belajar untuk memaki, berontak dan bermusuhan (hehe saya lupa kalimatnya apa).
Selain mengatur-atur secara berlebihan, hal lain yang sering dilakukan orangtua terhadap anak adalah membentak. Tindakan membentak anak juga dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan fisiknya. Sebuah studi internasional dari Amerika pernah mengadakan penelitian dan telah membuktikan bahwa detak jantung seseorang akan cenderung meningkat ketika menerima atau mendengar suara bernada tinggi. Ketika seseorang kerap mendengar suara-suara bernada tinggi atau yang bernada sentakan, lama-kelamaan denyut jantungnya akan menjadi lebih cepat sehingga menyebabkan jantung gampang lelah.
Selain itu, masih ingatkah kita dengan salah satu bait dalam sebuah petuah lama. Eum, kalau tidak salah intinya itu melarang kita mengasuh anak dengan kemarahan karena ia akan belajar untuk memaki, berontak dan bermusuhan (hehe saya lupa kalimatnya apa).
Dampak secara psikologisnya, si anak yang sering mendapat respon negatif seperti teriakan, amarah dan bentakan akan memicu kegagalan pada fungsi kepribadiannya kelak. Si anak akan tumbuh menjadi individu yang suka minder, tidak percaya diri, pemarah dan pemberontak.
Secara umum memang nggak mudah gitu ya menghadapi anak ketika ia berbuat salah. Banyak orangtua langsung merespon dengan memarahi dan membentak. Sebagai contoh yang pernah saya saksikan pada sepasang suami istri yang menikah muda. Ketika si anak bermain lalu tanpa sengaja menghilangkan barang/benda permainan yang sudah diberikan oleh ibunya, Sebenarnya si ibu bermaksud baik, ingin menasehati agar si anak tidak mengulangi kecerobohannya. Setelah saya tanya diam-diam, rupanya si anak yang masih SD ini mengaku bahwa ia memang sedikit ceroboh dan setiap melakukan kesalahan, si ibu pasti mengomelinya. Si ibu marah-marah dan si anak mundur hingga mepet ke tembok dengan ekspresi takut. Si anak cemas dan berlari pada saya saat itu. Sementara si bapaknya justru diam, hanya bertindak sebagai penonton, nggak ada upaya untuk melerai atau menahan amarah istri. Yaaah... akhirnya, saya secara diam-diam ikut menasehati anak tersebut secara baik-baik. Saya pun mengajaknya bermain agar melupakan kesedihan dan kecemasannya. Setidaknya, saya salut dengan anak tersebut. Masih kecil tapi sudah pandai mengoreksi kesalahannya. Dia juga tergolong cerdas karena secara insidental, saya sudah mengujinya melalui tes-tes psikologi sederhana hingga yang rumit. Anak tersebut juga penurut, mau berubah menjadi lebih baik. Heuuum... entah dari siapa dia mempelajari hal tersebut, tapi dari situ saya melihat ada potensi baik yang akan sayang sekali bila orangtua tidak membantu mengoptimalkannya melalui hal-hal positif.
Nggak mudah memang ya jadi figur ortu yang baik. Tapi, bukan berarti dari sekarang kita nggak mau belajar kan? Untuk mengasah keterampilan dan kesiapanmu menjadi seorang ibu, coba aja deh sekali-kali gitu bergaul dan bermain sama anak kecil. Hehehe... saya sendiri sering bermain sama anak kecil. Di kompleks tempat tinggal baru kami, rata-rata dihuni oleh pasangan suami istri yang udah berumur 30-40 tahun tapi baru dikaruniai anak. Jadi, banyak anak kecil di kompleks rumah kami yang sekarang dan yang tertua di daerah RT 05 ini juga nggak banyak. Mungkin satu dua, termasuk Bapak dan Mama saya yang udah punya anak segede-gede gaban ini heheh.
Saya juga punya ponakan (anak dari sepupu yang nikah muda). Ponakan dari suami tante saya juga punya anak kembar yang masih di bawah tiga tahun. Gemeees banget soalnya kembar cewek cowok. Jadi, kadang kalau ada waktu free, saya mampir ke rumah tante saya (rumah mbakku yang ini berdempetan sama rumah tante di belakang kampus). Tiap ke sana, cuma ada anak-anak kecil jadi bergaulnya sama mereka. Main sama mereka. Kalau sama si kembar, saya lebih akrab sama si little Kenzo. Kenzo sangat aktif, murah senyum dan lebih mudah beradaptasi dengan orang lain. Kalau sama si Keyla, nggak begitu. Keyla malah malu dan agak nggak mau deket-deket saya, kelihatan sih kalau Keyla itu tipenya nggak mudah percaya dan nggak gampang beradaptasi dengan orang lain. Tapi, kalau saya lagi shalat di rumah Mbak gitu, si Keyla sering diam-diam ngintip dan bilang pada ibunya kalau saya lagi shalat. Hehehe lucu...lucu.
Loh kok malah jadi saya yang curhat hehehe.
Begitulah postingan saya kali ini (Sebenarnya ini late post, udah saya jadikan draft sejak bulan Desember lalu tapi baru sempat ngedit lagi pagi ini).
Semoga bermanfaat
Semangat pagi ^___^
No comments:
Post a Comment
Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.