FROM GOOGLE |
Pagi ini temanya nulis fiksi berbentuk surat
-----
To: Kaylila
Assalamu'alaikum Kaylila
Apa kabar? Semoga kamu dalam keadaan sehat. Maaf bila aku sudah lancang mengirimkan surat ini padamu. Sebelum kamu marah, mohon bacalah ini sampai habis. Eum, tidak. Mungkin, surat ini tak akan pernah sampai kepadamu. Tapi, izinkan aku tetap menulisnya untukmu.
Tahukah kamu, Kaylila? Ada sejumput rasa yang telah lama kugembok dalam jeruji hati terdalam. Rasa yang telah membuntuti jiwaku semenjak pertama kali bertemu denganmu. Oh ya, apa kamu masih ingat kapan kali pertama kita bertemu? Ah, mungkin kamu akan ingat tempat itu tapi tak akan pernah ingat padaku.
Setahun yang lalu, kita bertemu di sebuah seminar pra nikah. Saat itu, kamu terlihat sangat manis dengan gamis hijau pupus dan jilbab panjang kuning muda. Hampir saja pandanganku tak mampu lepas darimu. Aku takut bila setan membisikkan hasrat untuk menghampirimu. Semua kutahan, tentunya dengan dzikir panjang. Aku memutuskan untuk pindah ke kursi paling depan. Maksud hati agar aku bisa lebih fokus mengikuti seminar itu karena tujuanku datang bukanlah untuk memandangmu.
Kaylila, selepas mengikuti seminar itu, aku tak mendapati sosokmu di antara gerombolan peserta foto bersama. Mungkin kamu sudah pulang lebih dulu. Atau, mungkin saja kamu mulai merasa gusar karena aku sempat memperhatikanmu saat kursi kita masih saling berseberangan di awal masuk ruang ber-AC itu.
Kaylila, sejak saat itu, aku mulai mencari tahu tentang dirimu melalui media sosial. Aku menemukan satu akunmu. Sayangnya, kamu bukanlah tipe orang yang suka menulis status tiap hari. Berandamu itu kamu biarkan terisi oleh berderet-deret status share dari beberapa page muslimah. Dari situ, Tak ada yang bisa kutemukan sehingga aku berkesimpulan bahwa kamu adalah gadis misterius.
Astaga, maaf. Sedari tadi aku mengoceh tanpa memperkenalkan diri. Perkenalkan. Aku adalah seorang pengagum yang bersembunyi di balik media sosial. Seseorang yang memantau dirimu dari belahan bumi berbeda. Aku juga lebih mirip seperti seorang bocah dua belas tahun yang sedang memandangi mobil mainan robot terbaru favoritku di balik etalase toko. Aku sangat ingin membelinya namun sadar itu terlalu mahal bagiku. Kira-kira seperti itu pula yang kurasakan saat mengagumimu.
Entah mengapa, aku merasa sangat sulit mendekatimu. Seolah ada tameng yang berusaha membatasi langkahku. Apakah kamu sempat menyadari keberadaanku saat kita pertama bertemu? Ah, mungkin tidak. Mana mungkin? Kita saja tak pernah berbincang dalam seminar itu. Bagaimana mungkin kamu tahu apalagi merasakan keberadaanku.
Kaylila, kini aku telah kembali ke tanah perantauanku, Jerman. Sementara kamu ada di Indonesia. Aku menempuh kuliah magister kesehatan di sini. Di sini aku selalu tergerak untuk belajar lebih baik. Awalnya, aku berharap setelah lulus nanti, aku akan pulang ke Indonesia lalu mencari dan melamarmu. Tapi, rasa takut jauh melebihi harapanku. Sudikah kamu menerima diriku? Aku memang tak tahu bagaimana kriteria laki-laki atau suami idamanmu. Walaupun demikian, sedikitnya aku paham bahwa seorang muslimah sepertimu tentu menginginkan pendamping yang sekufu terutama dalam hal agama. Aku pun seorang muslim, tapi kurasa... pengetahuan agamamu jauh lebih banyak daripada yang kupunya. Aku bukan seorang berjanggut tipis yang setiap hari rajin mengikuti pengajian. Aku juga bukan pemuda yang suka memakai baju koko yang rajin i'tikaf di masjid. Selama di Jerman, tidak mudah langkahku untuk mengakses masjid. Sangat jauh dari universitas tempatku belajar. Apakah kamu akan menerima pemuda seperti itu?
Ya ampun, ocehanku sudah terlalu berbelit-belit. Baiklah, sekarang aku tak ingin memperpanjang tulisan ini. Aku sadar tak mungkin bisa dengan mudah memilikimu. Aku pernah membaca sebuah hadits. Kini kupaham bahwa aku sudah terlalu banyak membuang waktu memikirkanmu. Aku pun paham bahwa apa yang kusukai, belum tentu baik bagiku. Bukan maksudnya kamu tak baik bagiku. Tapi, bisa saja Tuhan tidak meridai perasaan ini terhadapmu. Oleh karena itu, aku selalu memohon pada Tuhan agar Dia memudahkan aku untuk melepasmu dari dasar hatiku. Aku juga memohon agar Tuhan membiarkanku melupakan semua tentangmu. Dengan begitu, aku bisa lebih fokus mencintai Tuhan. Jangan sampai, rasa cinta padamu melebihi cinta pada Tuhanku. Jangan pula, rindu ini melampaui kerinduanku pada-Nya.
Kaylila, sekarang setidaknya aku sudah cukup bahagia. Bahagia dengan mengagumi seperti ini. Biarkanlah rasa ini dipimpin oleh Sang Pemilik cinta hingga pada akhirnya berlabuh di dermaga yang tepat. Jika dermaga itu adalah dirimu, aku yakin Tuhan akan memberi kemudahan dan kemurahan-Nya. Jika tidak, aku akan tetap bahagia karena yakin Tuhan akan memberikan cinta yang jauh lebih baik daripada dirimu semata.
Salam kenal,
Pengagum rahasiamu
No comments:
Post a Comment
Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.