Dulu. Cinta seringkali datang dengan suguhan rasa seperti frappe. Dingin. Beku. Serutan es batu bahkan nyaris memudarkan rasa khas dari cinta itu sendiri.
Dulu. Cinta juga hadir dengan rasa yang mirip ristretto. Volume dari espresso cinta yang murni bahkan dibatasi hanya setengah. Cinta yang kurasa hanya sepotong-sepotong. Seduhan air yang sedikit disertai leburan rasa pekat, manis dan singkat membuatku tersedak saat menyeruputnya.
Kelak, akan tiba musim penghujan menggugurkan bulir-bulir cinta yang lebih berwarna. Rasanya? Aku berharap seperti secangkir guillermo. Aroma espresso yang kuat disertai irisan jeruk nipisnya semoga mampu menyeimbangkan langkahku menghadapi getir hari-hari berat. Atau, seperti affogato. Tambahan es krim vanilla membuat mimpi buruk yang hadir tak kan teramat pahit rasanya.
Frappe. Ristretto. Guillermo. Affogato. Bila takdir mempertemukan dua rasa yang lama dengan dua rasa baru di musim penghujan nanti, mana yang akan kupilih? Satu rasa bahkan belum tentu akan kupilih, apalagi jika keempat rasa itu mengetuk pintu bersamaan.
Sejenak aku berbisik, "Tuhan, jika boleh meminta. Rasa yang belum usai kutenggak dahulu, tak perlu Kau suguhkan lagi. Aku ingin berbetah-betah hanya dengan satu rasa. Menyeruputnya setiap hari hingga napasku tak lagi dapat mencium aromanya. Tentunya dengan rasa pilihanMu."
Thursday, August 4, 2016
CINTA: FRAPPE, RISTRETTO, GUILLERMO, AFFOGATO
by
paresma.psikolog
on
9:13 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bisa gak kerja sambil jadi pnulis, sy pribadi slalu ingin menjadi penulis tpi melepaskan pekerjaan rasanya kurang pas dan bijaksana apalgi dimasa pandemi seperti ini.
ReplyDeleteTapi munulis dan bekerja tapi bisa menetap dikapala single tasking seperti saya.
Adakah masukan?