Saturday, October 16, 2021

PULIH DARI TRAUMA, SULITKAH?

8:15 AM 0 Comments

pic by bitmoji


Oleh

Yanuarty Paresma Wahyuningsih, S.Psi., M.Psi., Psikolog

 

Malang, 16 Oktober 2021

Kalau kita pernah mengalami peristiwa yang tidak hanya mengganggu dan menegangkan tapi juga menyebabkan kita merasa tidak berdaya, sulit meregulasi emosi, merasa tidak aman terus-menerus dan menghambat berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari, bisa jadi kita sedang mengalami trauma. Trauma psikologis bisa membuat kita struggling dengan kondisi emosi, ingatan terhadap peristiwa traumatis tersebut dan rasa cemas yang tidak tahu kapan akan mereda. Kondisi trauma juga bisa membuat seseorang merasa putus asa, sulit mempercayai orang lain dan tidak berdaya menjalani kehidupannya.

Trauma merupakan respons emosional terhadap peristiwa mengerikan dan terdapat after effect baik berupa keterkejutan maupun penolakan serta melibatkan reaksi jangka panjang antara lain munculnya pengalaman perasaan yang tidak terduga, kilas balik, gejala fisik dan hambatan dalam menjalin hubungan sosial (APA, 2013).  Peristiwa yang seperti apa sih yang bisa membuat kita trauma? Pengalaman atau peristiwa traumatis tidak selalu melibatkan cedera fisik atau melibatkan luka fisik tapi juga luka emosional. Peristiwa traumatis juga tidak ditentukan oleh fakta objektif melainkan peristiwa tersebut dikatakan traumatis berdasarkan bagaimana pengalaman emosional subjektif kita memaknai peristiwa tersebut. Secara umum, peristiwa traumatis bisa berupa kecelakaan, luka atau cedera, bencana alam, dan kekerasan. Selain itu, kondisi stres yang berlangsung terus-menerus tiada henti seperti berjuang melawan penyakit yang mengancam keselamatan jiwa dan bertempat tinggal di lingkungan yang erat dengan tindakan kejahatan yang tinggi juga bisa menyebabkan trauma pada seseorang (Ronad, Patali, & Patali, 2018).

Ketika kita mengalami peristiwa buruk pun, kita tentu butuh beberapa waktu untuk mengatasi rasa sakit atau luka agar bisa merasa aman kembali. Lalu, apa saja langkah yang bisa dilakukan agar mampu recovery dari trauma? Disclaimer sebelumnya, bahwa kemampuan masing-masing individu dalam proses pemulihan tentu berbeda. Oleh karena itu, setiap orang bisa mencoba mencari cara yang membuat mereka aman dan nyaman selama proses pemulihan.

Ronad, Patali, & Patali (2018) merangkum beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk beradaptasi dengan after-effect dari trauma agar di kemudian hari kita memiliki bekal ketika menghadapi peristiwa atau pengalaman serupa.

1.    Bergerak/Lakukan Aktivitas Fisik

Cedera psikologis pasca trauma pun juga bisa mengganggu kesehatan tubuh. Pikiran dan perasaan yang mengganggu bisa semakin memperkuat ketakutan seseorang. Oleh karena itu, salah satu langkah pemulihan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik seperti olahraga ternyata berperan dalam membantu memperbaiki sistem sensorik. Para ahli menyarankan bahwa latihan fisik selama kurang lebih 10-30 menit setiap hari baik untuk kesehatan fisik maupun mental. Latihan fisik tidak hanya berupa latihan angkat beban tapi juga berjalan, berlari, bermain bola, menari, berenang atau lainnya. Kenapa perlu olah fisik? Melakukan latihan fisik ini bukan semata-mata untuk mengalihkan perhatian kita terhadap pikiran dan perasaan mengganggu ya. Melakukan latihan fisik maksudnya adalah memberikan waktu bagi diri sendiri untuk benar-benar being mindful, memusatkan perhatian pada tubuh dan memperhatikan sensasi yang muncul saat bergerak. Latihan fisik ini berguna untuk menghindari kerusakan atau gangguan berlebih pada tubuh pasca trauma. Namun, jika mengalami cedera fisik yang parah, maka latihan fisik berat tidak dianjurkan.

2.    Terhubung dengan Lingkungan Sekitar

Seseorang cenderung merasa perlu menarik diri dari orang lain. Sayangnya, mengasingkan diri justru bisa memperburuk kondisi diri. Bergaul dan reconnect dengan orang sekitar bisa membantu individu selama proses pemulihan. Kita tidak perlu terlalu banyak menginvestasikan energi untuk menyendiri. Namun, seseorang yang pernah mengalami trauma cenderung merasa takut atau belum siap untuk membuka dan menceritakan permasalahannya. Saat menjalin kembali hubungan dengan lingkungan sekitar, bukan berarti wajib membahas permasalahan atau luka-luka emosional tersebut. Kondisi setiap orang tentu berbeda dan ada beberapa orang yang tidak siap bercerita atau jika bercerita justru memperburuk kondisinya. Kalaupun ingin bercerita, ceritalah dengan orang yang dapat dipercaya yang bisa mendengarkan kita tanpa menghakimi.

Inti dari menjalin kembali relasi sosial selama proses pemulihan adalah melakukan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan pengalaman menyakitkan yang kita alami. Jika kita menghindar dari keterhubungan dengan teman-teman lama, tidak ada salahnya untuk menyambung kembali silaturahmi terebut. Selain itu, ikut terlibat dalam kegiatan sosial seperti menjadi seorang volunteer juga bisa menjadi sebuah metode yang berguna untuk menantang rasa ketidakberdayaan kita. Dengan membantu orang lain atau berada dalam suatu support group dengan orang-orang yang mengalami masalah serupa atau masalah lain bisa membantu mengurangi rasa kesepian dan isolasi. Menjalin pertemanan dengan orang baru, bergabung dalam komunitas dan mengembangkan kompetensi atau skill baru melalui workshop juga langkah yang baik.

3.    Lakukan Relaksasi dan Mindfulness Exercise dan Jagalah Kesejahteraan Diri

Salah satu fast method yang bisa dilakukan ketika perasaan mengganggu muncul adalah dengan melakukan relaksasi dan grounding. Relaksasi yang bisa dilakukan seperti relaksasi pernapasan dan relaksasi otot. Rasakan sensasi pernapasan dan staying grounded dengan hal-hal yang ada di sekitar. Contohnya seperti duduk di sebuah kursi kemudian rasakan sensasi kaki menapak pada lantai, rasakan sensasi punggung ketika bersandari pada badan kursi, rasakan pula sensasi bau atau aroma yang menguar di sekitar kita, sensasi penglihatan dengan memandang beragam hal, benda atau situasi yang tertangkap oleh mata dan rasakan sensasi saat mendengar beragam suara di sekitar.

Selain itu, melindungi kesejahteraan diri juga langkah yang penting. Salah satu langkahnya adalah dengan mengkonsumsi makanan yang sehat, tidur yang cukup. Bila memerlukan perawatan pendukung lainnya maka tidak ada salahnya mengupayakan diri mendatangi ahli profesional sesuai dengan keluhan lanjutan yang dialami.

Sekali lagi, proses pemulihan setiap orang pasca mengalami peristiwa traumatis tentu berbeda ya. Mudah atau sulitnya proses pemulihan pasca trauma bergantung dari perspektif atau cara pandang dan penilaian subjektif kita terhadap kondisi diri sendiri. Jika kondisi kita tidak kunjung membaik, maka segera mencari bantuan profesional adalah langkah yang tepat. Proses pemulihan tidak hanya dilakukan sendiri, kadang kita juga butuh saran dan arahan dari orang lain. Namun, perlu diingat bahwa penanganan apapun yang kita jalani bertujuan untuk mengembalikan keberdayaan dan keberfungsian diri dalam aspek-aspek hidup kita. Oleh sebab itu, setelah mendapatkan penanganan yang tepat, sudah menjadi tugas kita untuk membiasakan diri melanjutkan langkah-langkah tersebut secara proaktif dan mandiri.

 

Referensi:

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical of Mental Disorder. DSM V. Fifth Edition. Washington DC: American Psychiatric Association.

Ronad, A. V., Patali, C. S., & Patali, S. C. (2018). Ways to overcome emotional and psychological trauma in a day today life. Current Trends in Biomedical Engineering & Biosciences, 17 (1), 001-005. DOI:10.19080/CTBEB.2018.17.555955.

Sunday, September 5, 2021

Tipe Inner Critic Manakah Kita?

1:34 PM 0 Comments

Oleh: 

Yanuarty Paresma Wahyuningsih, S.Psi., M.Psi., Psikolog

 

credit: image by bitmoji

Malang,

Minggu, 5 September 2021

Apakah kita sering mengkritik diri habis-habisan seolah telah melakukan suatu kesalahan yang fatal? Tampaknya itu adalah segelintir tanda bahwa inner critic atau kritik batin sedang menyerang diri kita. Inner critic muncul dalam wujud yang variatif namun tanda yang paling umum kita alami adalah kita kerap menghujani diri sendiri dengan pesan atau kalimat negatif yang bisa menyebabkan kepercayaan diri maupun harga diri kita jatuh.

Betapa kejam ketika kita mampu menghalau bahkan mengabaikan kritikan tajam dari orang lain namun tidak bisa mengendalikan kritikan yang bersumber dari dalam diri sendiri. Berkaitan dengan ini, Hal Stone dan Sidra Stone (1994) mengemukakan bahwa inner critic atau kritik batin sebenarnya memiliki fungsi yaitu mencegah diri dari rasa malu dan rasa sakit. Namun di dalam perkembangannya, rasa malu dan sakit (pain) dipandang sebagai sesuatu yang negatif dan tidak boleh terjadi padahal kenyataannya perasaan tersebut adalah bagian dari suasana hati  atau akibat dari suatu peristiwa yang dialami oleh siapapun selama masih dalam batas yang wajar (tidak berlebihan).

Proses perkembangan dari kritik batin ini dapat diamati sejak masa pertumbuhan di usia anak dan berkaitan dengan pengasuhan orangtua. Dalam proses pertumbuhan anak, orangtua kerap menuntut dan mengajar anak-anak mereka agar berperilaku dan berpenampilan baik menurut ekspektasi orangtua ataupun standar sosial yang dianut oleh sebagian besar orang di lingkungan mereka. Dengan demikian, para orangtua meyakini bahwa apabila anak-anak selalu menunjukkan sikap dan penampilan yang baik dan sesuai ekspektasi orangtua maka anak akan tumbuh menjadi seseorang yang berhasil di dunia, di manapun itu baik di rumah, di tempat kerja maupun di lingkungan sosialnya. Hal ini menyebabkan orangtua begitu gigih untuk mengawasi, mencari-cari kesalahan dan memberi penilaian yang tidak tepat terhadap anak kemudian bersikeras menuntut anak untuk memperbaiki kesalahannya (Stone & Stone, 1994).

Obsesi orangtua yang menginginkan anaknya tumbuh menjadi orang hebat dan mampu memenuhi segala ekspektasi mereka, hal ini justru dapat membuat anak menjadi tertekan. Orangtua merasa mendapatkan kenyamanan apabila anak mereka tidak melakukan kesalahan namun hal ini tentu saja melawan kecenderungan respon alami anak yang lama-kelamaan bisa terbawa hingga di masa dewasa. Orangtua tidak senang saat anak mereka melakukan sesuatu yang dianggap salah namun sikap orangtua yang demikian bisa membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang selalu merasa kurang. Kritik batin ini bisa tumbuh dengan cara membuat sang anak mengembangkan perasaan ingin selalu merasa diterima dan disukai orang lain. Ketika mereka berbuat salah atau tidak dapat memenuhi ekspektasi diri sendiri maupun orang lain maka mereka dapat merasa bersalah, gagal dan ditolak.

Earley dan Weiss (2013) mengidentifikasi bahwa terdapat 7 (tujuh) jenis Kritik batin antara lain; [1] The Perfectionist ; [2] The Inner Controller ; [3] The Taskmaster ; [4] The Underminer ; [5] The Destroyer ; [6] The Guilt Tripper; dan, [7] The Molder. Mari kita bahas satu per satu ya.

[1] The Perfectionist. Kritik batin berbentuk The Perfectionist ini mencoba membuat seseorang melakukan segala sesuatu dengan sempurna. Individu dengan kritik batin jenis ini memiliki standar yang sangat tinggi baik dalam hal performa, produktivitas maupun perilaku. Jika orang tersebut gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan, maka kritik diri si perfeksionis ini menyerang dengan mengatakan bahwa perilaku atau apapun yang kita kerjakan tidak cukup baik sehingga menyebabkan individu tersebut sulit untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaannya. Tidak jarang, tipe orang dengan kritik diri Perfeksionis juga tampak merasa sulit memulai sesuatu, tidak tahu ingin memulai dari mana dan takut jika hasilnya tidak sesuai ekspektasi yang bisa membuat mereka gagal.

[2] The Inner Controller. Kritik batin dengan jenis The Inner Controller atau Pengendali Batin ini dicirikan pada individu yang kerap berusaha mengendalikan perilakunya yang impulsif seperti mudah marah, makan secara berlebihan atau lainnya. Kritik diri dalam bentuk pengendali batin ini muncul dengan cara memperlakukan individu setelah melakukan sesuatu yang impulsive.

[3] The Taskmaster. Seseorang dengan kritik batin jenis Taskmaster ini tampak pada hasratnya untuk terus bekerja terlalu keras agar mencapai keberhasilan. Alih-alih memberikan motivasi, kritik batin jenis ini justru dapat menekan dan menghakimi bahwa individu tersebut adalah pribadi yang pemalas, tidak kompeten dan bodoh. Akibatnya, orang dengan kritik batin jenis ini juga kerap terlibat dalam pertengkaran dengan diri sendiri maupun orang lain dan sering menunda-nunda sebagai cara untuk menghindari pekerjaan yang membuatnya tidak nyaman.

[4] The Underminer. Individu yang memiliki kritik batin jenis Underminer ini kerap merasa tidak percaya diri dan tidak berharga sehingga cenderung enggan mengambil risiko atau melakukan suatu pekerjaan karena menganggap pekerjaan tersebut hanya akan berakhir dengan kegagalan. Kritik batin seperti ini menyerang dengan cara memberi tahu individu bahwa dia tidak berharga. Akibatnya, orang tersebut cenderung sering takut mengambil keputusan termasuk keputusan yang besar dan mencegah diri melakukan sesuatu agar terhindar dari penolakan dan ancaman. Jika dibiarkan, hal ini bisa menyebabkan seseorang tidak bisa mengembangkan diri dan potensinya secara maksimal.

[5] The Destroyer. Kritik batin jenis ini menyerang harga diri seseorang dari yang paling dasar. Seseorang dengan kritik batin ini cenderung kerap merasa malu dan enggan melakukan apapun. Selain itu, kritik batin ini bisa menghancurkan vitalitas, kreativitas dan membunuh keinginan atau motivasi seseorang.

[6] The Guilt Tripper. Kritik batin ini menyerang seseorang disebabkan oleh tindakan tertentu yang dilakukan atau tidak dilakukan pada masa lalu yang diduga membahayakan orang lain terutama orang yang dicintai. Kritik batin ini membuat seseorang merasa bersalah, tidak bernilai dan sulit memaafkan diri sendiri akibat perilaku tertentu yang dianggap tidak dapat diterima.

[7] The Molder. Seseorang cenderung berusaha menyesuaikan dirinya terhadap standar masyarakat atau bertindak dengan cara tertentu berdasarkan budaya atau adat-istiadat. Kritik batin ini menyerang seseorang ketika bertindak tidak sesuai dengan standar yang berlaku dan memuji ketika melakukannya. Kritik batin ini menekan seseorang untuk terus melakukan standar-standar tersebut setiap saat karena jika mereka tidak mematuhi atau mengikutinya maka mereka akan mengkritik diri habis-habisan bahwa mereka tidak akan diterima oleh lingkungan.

Setelah membaca ketujuh tipe inner critic di atas, manakah yang relate dengan diri kita saat ini? Apapun itu, yuk belajar perlahan untuk memulihkannya. Bagaimana cara meredakan dan berdamai dengan inner critic tersebut? Kita akan bahas pada postingan artikel berikutnya di hari lain ya.


Referensi:

Stone, H., & Stone, S. (1993). Embracing Your Inner Critic: Turning Self-Criticism into a Creative Asset. New York: Delos, Inc.

Earley, J., & Weiss, B. (2013). Freedom from Your Inner Critic: A Self-Therapy Approach. Louisville, Colorado: Sounds True.

https://www.voicedialogueinternational.com/articles/The_Inner_Critic.pdf

Sunday, April 18, 2021

KEKURANGAN VITAMIN D MEMICU DEPRESI, BENARKAH?

3:54 PM 0 Comments

 Welcome back dear,

Sudah lama ya tidak posting hal tentang psikologi. Postingan ini sebenarnya sudah saya draft kemarin, sisa di-publish saja. Beberapa waktu lalu saya scroll ke akun Flipboard dan menemukan topik menarik seputar depresi dan kaitannya dengan nutrisi.

Kalau kekurangan vitamin tertentu bikin kita jadi lemas, kurang darah, kurang tenaga, itu sih sudah mainstream kita dengar. Tapi, pernah tidak sih kalian kepikiran bahwa saat kekurangan konsumsi vitamin-vitamin ini, maka kita cenderung rentan terhadap gangguan psikologis.

Bagi yang pernah tahu, congrate deh, itu artinya kalian memang suka baca dan melek terhadap pengetahuan baru. Bagi yang belum pernah tahu, sini deh merapat, kita bincang bareng. Berhubung juga di blog ini lebih banyak silent reader-nya daripada yang aktif komentar (entah mungkin malu, takut, sungkan atau lainnya), tidak apa-apa. Tapi next biar lebih asyik, tinggalin komennya juga yah, agar kita bisa bertukar pikiran/opini juga.

Baca: Gangguan Mood: Depresi

Depresi. Bagi yang selalu ngikutin tulisan di blog ini pasti sudah pernah baca postingan saya tentang gangguan depresi. Depresi itu merupakan salah satu gangguan mood yang bisa dialami oleh siapapun. Bukan hanya pada orang dewasa, depresi juga bisa dialami oleh remaja.

Baca: Depresi Pada Remaja

Kita sudah sering mendengar dan membaca bahwa depresi itu cenderung lebih banyak disebabkan oleh faktor biologis dan psikososial. Namun, belum banyak dari kita yang familiar dengan faktor biologis sebagai salah satu faktor penyebab depresi.

 

Apa saja sih faktor biologis yang dapat memicu depresi? Depresi bisa juga disebabkan karena adanya gangguan sistem regulasi dan/atau perubahan keseimbangan hormon di dalam tubuh. Gangguan atau ketidakstabilan hormon ini, jika kita tarik dalam lingkup bahasa lebih luas, banyak lagi penyebabnya. Salah satunya adalah akibat kekurangan vitamin. Yap, kurangnya konsumsi vitamin tertentu bisa menyebabkan ketidakseimbangan produksi hormon bahkan defisit hormon di dalam tubuh. Bahaya juga ya ternyata. Namun perlu digarisbawahi ya bahwa kekurangan vitamin bukanlah faktor tunggal, melainkan kita juga perlu mengetahui bahwa gangguan psikologis itu pun disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.

Vitamin apa sih yang saat kekurangan itu bisa lead us to depression? Salah satunya yang akan kita bahas adalah Vitamin D. Kurangnya asupan vitamin D (ketidakcukupan vitamin D sebesar 20-30 nanogram/mililiter) bisa memicu timbulnya gangguan psikologis dan penyakit fisik seperti  kanker, osteoporosis, penyakit kardiovaskuler, diabetes, depresi dan gangguan mental lainnya (Penckofer, Kouba, Byrn, Ferrans, 2010). 

Vitamin D ini merupakan vitamin yang paling banyak dibutuhkan oleh tubuh daripada vitamin lainnya. Vitamin D juga sangat berperan penting dalam meregulasi hormon-hormon lain. Nah, kekurangan vitamin D ini nih bisa menyebabkan tubuh turut kekurangan hormon-hormon penting  seperti testosteron pada pria dan progesteron serta estrogen pada wanita. Ketiga hormon ini merupakan bagian dari hormon yang diperlukan untuk mengatur keseimbangan suasana hati. Jika kita kekurangan progesteron, estrogen dan testosteron maka bisa memicu perubahan suasana hati hingga ke arah gangguan mood.

Jadi nih, vitamin D itu tidak hanya berfungsi untuk mengatur kalsium dan fosfor buat tulang supaya tidak terjadi osteoporosis, melainkan juga punya fungsi sebagai pengikat vitamin lain dan pengatur hormon supaya meminimalisir gangguan psikologis. Menarik sih ya, ternyata fisik dan psikis itu saling berdampingan.

Apa yang harus dilakukan atau adakah makanan yang harus dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan vitamin D?

☺ Sun and light exposure alias bertemulah dengan cahaya/matahari. Paparan sinar matahari yang baik itu saat pagi hari sebelum jam 10. Saya jadi teringat dengan ibu-ibu yang selalu bilang kenapa bayi itu harus dijemur, saya pikir cuma ritual mitos saja, tapi ternyata ada manfaatnya juga. Bukan cuma bayi atau baju jemuran yang butuh sinar matahari loh ya, remaja dan orang dewasa pun memerlukan cahaya matahari. Keluar rumah dan berjemur sekitar 20-30 menit di bawah cahaya matahari pagi itu sangat baik supaya senyawa-senyawa tertentu dalam tubuh bisa dikonversi menjadi vitamin D. Nah, beruntunglah ya buat kalian yang tinggal di daerah tropis.

Paparan sinar matahari ini ternyata membantu menstimulasi tubuh untuk memproduksi vitamin D. Nah, daripada beli vitamin bentuk suplemen dengan harga yang mahal, mending konsumsi yang gratis saja, hahaha... Kalau bisa sih, rumah kita dicat dengan warna yang terang dan punya ventilasi yang memadai supaya cahaya bisa tetep masuk ke dalam rumah ya.

Buat kalian yang tinggal di area atau kawasan rumah yang gelap/minim cahaya matahari seperti di daerah pegunungan dengan cuaca dingin atau ekstrim, kalau mengacu pada penelitian psikologi sih, orang-orangnya cenderung lebih mudah mengalami Seasonal Affective Disorder.

Mengkonsumsi beberapa makanan sumber vitamin D. Menurut Holick (2007), sumber makanan yang baik untuk dikonsumsi guna mencukupi kebutuhan vitamin D antara lain berasal dari sumber makanan alami yaitu ikan berlemak seperti salmon, tuna, sarden, mackarel, minyak ikan kod, jamur shitake dan jamur kancing, dan telur. Kemudian dari sumber makanan fortifikasi antara lain jus jeruk, susu formula bayi, yoghurt, susu, mentega, margarin, keju dan sereal.

Gimana dear, mantap kan pengetahuan kali ini. Semoga bermanfaat yah.

 

Referensi:

 

Holick, M.F. (2007). Vitamin D deficiency. The New England Journal of Medicine, 357, 266-281.

Penckofer, S., Kouba, J., Byrn, M., & Ferrans, C.E. (2010). Vitamin D and depression: Where is all the sunshine. Issues Mental Health Nurs., 31 (60, 385-393.

 

Saturday, March 27, 2021

MAKAN PAKU DAN FENOMENA PICA

4:33 PM 0 Comments


Oleh Yanuarty Paresma Wahyuningsih, S.Psi., M.Psi., Psikolog


Malang, 27 Maret 2021

Beberapa tahun lalu pernah tersiar kabar mengejutkan di beberapa platform media. Ada seorang Bapak sebut saja namanya Anto (nama samaran), berprofesi sebagai kuli bangunan di daerah Tasikmalaya yang disinyalir memakan benda tak lazim yakni paku sejak lama. Parahnya, Pak Anto mengeluh perutnya sakit, membengkak, bernanah hingga mengeluarkan paku.

Ngeri tidak tuh? Ngeri kan? Kok bisa sih ya Pak Anto mau-maunya makan paku? Apa mentang-mentang jadi kuli bangunan, mau nguji "kejantanan" dengan makan bahan bangunan? Tidak. Ternyata bukan itu persoalannya. Kata istrinya, suaminya itu makan paku karena diduga depresi karena sang suami kehilangan becaknya. Istrinya juga bilang kalau setahun terakhir ini sang suami alias Pak Anto sering kelihatan murung karena becaknya dicuri karena kendaraan itu jadi satu-satunya ladang buat dia mencari nafkah sebelum bekerja sebagai kuli bangunan.

Selain Pak Anto, kasus serupa juga banyak terjadi di belahan bumi lainnya loh seperti ada gadis yang makan rambutnya sendiri, ada anak kecil yang doyan makan bedak tabur, ada juga Bapak yang makan rumput dan masih banyak lagi.

Aneh ya. Kok bisa sih mereka punya nafsu memakan makanan yang sama sekali bukan untuk dimakan kayak begitu? Apa itu salah satu tanda orang-orang emejing bin sajaib yang dikasih kekuatan super?

Orang awam mungkin saja akan berpikir bahwa orang-orang seperti itu termasuk orang ajaib, sama seperti si anak yang dulu konon katanya menemukan batu ajaib yang bisa menyembuhkan penyakit kemudian mendadak dia menjadi dukun penyembuh dan berita tentang dia sempat viral di mana-mana.

Tapi, bagi orang-orang berakal dan mengerti ilmu pengetahuan serta punya pemikiran logis, sudah pasti bakal mengelak bahwa itu bukan mukjizat. Mana mungkin sih orang yang makan benda aneh bisa dibilang mukjizat? Nah, kalau sudah kayak begitu pasti kita akan berpikir, kepo dan ingin nyari tahu dong ya, penyebabnya apa, riwayat asal-usul peristiwa itu tuh bagaimana, apakah ada kaitannya dengan sebab medis atau psikologis dan sebagainya.

Saya juga bukan berarti tidak percaya sama sesuatu yang benar-benar bisa dibilang "ajaib" atau mukjizat. Kadang ada sesuatu yang tidak bisa kita jangkau dengan nalar, tapi ada juga yang memang hal itu sebenarnya ada tapi tidak layak untuk ditiru.

Oke. Oleh karena blog ini isinya adalah postingan bernalar, dan sebagai manusia berakal, berilmu dan berbudi pekerti, mari kita bahas ya, kenapa sih fenomena unik kayak begitu bisa ada?

.

Sejarah Gangguan Pica

Perilaku memakan sesuatu atau benda tidak lazim kayak yang dilakukan si Pak Anto dan beberapa orang lainnya yang serupa itu termasuk gangguan makan atau bahasa kerennya eating and feeding disorder. Spesifiknya, gangguan itu disebut Pica Disorder.

Pica? Kok lucu ya namanya? Pica itu adalah salah satu gangguan yang digolongkan ke dalam Eating And Feeding Disorder di dalam DSM-V. Dulu gangguan ini termasuk klasifikasi gangguan makan pada infant, anak dan remsaja. Nah, sejak diperbaruinya DSM menjadi DSM-V maka gangguan tersebut sudah direlokasi ke dalam sub gangguan makan. Kenapa bisa begitu? Soalnya seiring berkembangnya zaman dan semakin luasnya penelitian, gangguan Pica ini tidak hanya dialami oleh anak atau remaja namun juga dialami oleh orang dewasa dan/atau segala range usia.

Usut punya usut nih, dari artikel penelitiannya Parry-Jones dan Parry-Jones (1992), Pica itu diambil dari nama Latin seekor burung Magpie (burung zaman baheula). Nah, kenapa kok bisa diambil dari nama burung? Soalnya habit makan si burung ini tuh di luar kebiasaan makan hewan-hewan sewajarnya. Begitu sih cerita zaman dulunya ya. Jadi, orang yang punya kebiasaan makan aneh sama kayak burung Magpie dong?? Hahaha.. tidak bisa disamakan begitu juga ya.

Pada abad ke-16 itu (masih nyambung dengan penelitian Parry di atas), ternyata perilaku makan tidak biasa ini juga dialami oleh Simpanse. Nah, dari penelitian itu sudah cukup jelas yes kalau gangguan ini tuh tidak hanya dialami oleh manusia tetapi juga hewan.

Belum lagi orang-orang zaman primitif kan identik dengan berburu. Tidak jarang juga zaman dulu ada orang dari etnis tertentu yang sudah terbiasa makan benda-benda aneh apalagi kalau pas tidak ada hewan yang bisa jadi sasaran perburuan untuk dikonsumsi. Kasian tidak sih? Nah, buat anak-anak zaman now, jangan sok mau gaya-gayaan deh ya kalau makan, sok pilih-pilih makanan, lihat tuh orang zaman dulu mau makan saja susah. Terbayang tidak sih andai kalian jadi mereka, mau makan apa saja yang penting makan? Tidak kan?

.

Apa saja sih benda yang biasanya dimakan oleh orang-orang dengan gangguan Pica ini?

Benda yang dikonsumsi itu adalah benda-benda non pangan, tidak bisa dicerna oleh perut, tidak bernutrisi sama sekali dan bentuknya bervariasi. Benda-benda yang seringnya diidentifikasi seperti clay, cat, kain, tanah, batu, kerikil, serbuk gergaji, sabun, paku, dan lainnya. Es batu juga digadang-gadang termasuk salah satu daftar benda yang dikonsumsi oleh orang dengan gangguan Pica namun karena Es batu masih tergolong makanan, jadi kurang bisa memenuhi kriteria Pica. Tapi beda lagi jika orang tersebut memakan freezer frost atau cairan yang membeku yang biasanya ada dalam freezer kulkas itu loh. Freezer frost ini berpotensial masuk dalam kriteria daftar makanan non pangan yang apabila orang mengkonsumsinya maka dapat digolongkan ke dalam gangguan Pica.

.

Pica ini dialami oleh siapa saja dan apa penyebabnya?

Pica dapat terjadi di segala rentang usia baik itu anak, remaja, maupun dewasa. Pica ini merupakan gangguan yang tidak berdiri sendiri atau dengan kata lain memiliki komorbiditas atau gangguan penyerta. Maksudnya, Pica dapat terjadi sebelum gangguan utama muncul atau sebaliknya muncul setelah gangguan utama terjadi.

Gangguan penyerta yang dialami oleh orang dengan gangguan Pica ini banyak, tetapi yang seringkali teridentifikasi adalah gangguan perilaku. Pica berkaitan erat dengan gangguan perilaku sih pada umumnya seperti obsessive compulsive, berhubungan juga sama emotional arousal seseorang dan need for oral stimulation tapi yang sudah tergolong over stimulation (APA, 2013).

Nah, menyoal stimulasi nih, karena pada masa perkembangan motorik kasar dan halus, bayi itu kan sukanya icip-icip begitu ya, mainannya atau benda-benda di sekitar kadang dimasukkan ke mulut. Jadi, anak tetap perlu disupervisi oleh orangtua. Jangan biasakan anak icip-icip atau ngunyah sesuatu yang tidak layak untuk dikonsumsi.

Saya jadi teringat, saat acara silah keluarga tahun lalu ke Purwodadi, saya punya adik sepupu yang masih bayi. Si bayi ini diem-diem ngunyah sesuatu ke mulutnya. Ketika saya lihat, eh eh, ladalaaah yang dikunyah adalah uang kertas pemirsaaaah. Konon, ternyata di rumah perilaku si bayi ini sudah biasa terjadi. Si bulek saya membiarkan saja si anaknya ini mengunyah benda-benda non pangan. Pada akhirnya bulek saya ini ditegur oleh anggota keluarga lain. Uang kertas yang dikunyah si bayi ini sudah yang lecek hitam begitu loh. Bahaya kan kalau sampe tertelan.

Selain itu, Pica ini juga diidentifikasi pada anak dengan disabilitas intelektual, spektrum autis, anorexia nervosa, skizofrenia gangguan neurologis dan disabilitas belajar. Anak/remaja/orang dewasa dengan disabilitas intelektual atau yang terganggu fungsi kognitifnya, karena mereka tidak seperti anak normal kebanyakan sehingga dalam mengolah informasi atau mempelajari sesuatu pun cenderung lambat. Jadi, mereka sulit membedakan mana perilaku yang baik dan mana yang berbahaya buat diri dan sekitarnya. Oleh karena itu, Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan pengawasan khusus pula termasuk dalam perilaku atau aktivitas makan.

.

Bagaimana melakukan asesmen untuk mengetahui gejala Pica?

Para ahli biasanya menggunakan instrumen Diagnostic Interview Schedule for Children untuk melakukan asesmen Pica pada anak. Pada remsaja, bisa menggunakan parental report. Sedangkan untuk asesmen pada orang dewasa, belum ditemukan instrumen asesmen yang valid. Selain menggunakan wawancara klinis berdasarkan panduan yang ada di dalam DSM-5, perlu disertai dengan ceklis observasi dan wawancara mendalam.

.

Treatment medis dan psikologis apa yang bisa dilakukan pada orang dengan gangguan Pica?

Treatment apapun bentuknya pastikan dilakukan oleh ahlinya ya yaitu psikiater maupun psikolog. Jangan sok keminter bawa-bawa ke dukun karena ini bukanlah gangguan yang sifatnya gaib. Jika masih ada yang menganggap orang dengan gangguan Pica ini disebabkan oleh guna-guna/pelet, coba ditelaah lagi ya riwayat orang tersebut. Setiap gangguan pasti ada penyebabnya. Sebaiknya bawalah orang tersebut ke rumah sakit atau klinik terdekat dahulu supaya mendapat pertolongan pertama.

Benda-benda yang dikonsumsi dan sudah masuk ke dalam tubuh bisa sangat membahayakan bahkan berujung kematian jika tidak segera dikeluarkan dari dalam tubuh. Tindakan operasi pun dapat pula dilakukan jika memang dibutuhkan.

Mengenai medical treatment lain, penanganan secara medis pernah dilakukan oleh Pace dan Troyer dengan memberikan vitamin Polyvisol pada anak (Carter, Mayton dan Wheeler, 2004). Beecroft, Bach, Tunstall dan Howard (1998) juga pernah mengujicobakan pemberian multivitamin C pada lansia 75 tahun dengan gangguan Pica sekaligus teridentifikasi Skizofrenia dan dibarengi dengan penanganan psikologis.

Treatment psikologis, ada beberapa sub. Pertama, treatment kognitif bagi orang yang mengalami Pica karena adanya distorsi pikiran (salah mendefinisikan apa itu makanan dan benda serta bagaimana membedakan bentuk sesuatu yang dikonsumsi dengan yang bukan untuk dikonsumsi). Terapi yang bisa diberikan itu adalah terapi kognitif dan perilaku seperti self-monitoring dan relaksasi progresif.

Pada behavioral analysis, terapi yang bisa digunakan adalah terapi perilaku juga atau gabungan kognitif dan perilaku yakni CBT (Cognitive Behavior Therapy) atau bisa juga dengan konsep reinforcement and punishment jika akar problemnya berasal dari stimulus respon.

Tidak lupa juga pemberian treatment psikososial yang tidak lain adalah psikoedukasi. Edukasikan mengenai gangguan Pica, apa penyebabnya, bagaimana itu bisa terjadi dan bagaimana cara memperlakukan orang dengan gangguan Pica pada orang-orang terdekat/ significant other si klien supaya ketika proses perawatan berlangsung, lingkungan sekitar bisa sekalian mengawasi klien tersebut sehingga perilakunya dapat dikendalikan.

Satu lagi, pastinya, saat orang dengan gangguan Pica menjalani perawatan baik di rumah sakit atau sudah dipulangkan ke rumah (rawat jalan), pastikan berikan makanan bernutrisi. Minta keluarga untuk support makanan bergizi buat dikonsumsi oleh orang dengan gangguan Pica ini ya. Kasian loh, mereka sudah banyak kekurangan zat-zat yang dibutuhkan tubuh jadi nutrisinya harus dijaga kembali.



Referensi:

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder Fifth Edition. Washinton DC: American Psychiatric Publishing.

Beecroft, N., Bach, L., Tunstall, N., & Howard, R. (1998). An usual case of pica. International Journal Geriatry Psychiatry, 13(9), 638-641.

Carter, S. L., Wheeler, J. J., & Mayton, M. R. (2004). Pica: A Review of Recent Assessment and Treatment Procedures. Education and Training in Developmental Disabilities, 39(4), 346–358.

Parry-Jones, B., & Parry, W.L. (1992). Pica: Symptom or eating disorder? A historical assessment. British Journal Psychiatry, 160, 341-354. doi: 10.1192/bjp.160.3.341.


Thursday, March 11, 2021

PENGALAMAN TES CPNS KEMENKES 2019-FORMASI PSIKOLOG KLINIS

12:35 PM 5 Comments

 Malang, Kamis, 11 Maret 2021

“You need to spend time crawling alone through shadows to truly appreciate what it is to stand in the sun.” ― Shaun Hick



Assalamualaikum....Haloo.. Sudah lama banget nggak berbagi curhatan di blog ini.  Ada kabar apa ya di tahun 2021 ini?


Sudah setahun lebih nggak ngeblog, vocab saya jadi kurang kaya nih. Anw, Alhamdulillah per Desember 2020 lalu, saya lulus CPNS 2019 di Kementerian Kesehatan dan per Januari 2021 saya ditempatkan di Satker RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Saya juga nggak menyangka bisa lulus tes CPNS dan di usia saya di pengujung 30 tahun 2020 lalu (tahun ini mah udah 31 tahun per Januari lalu wkwk). Gimana siiih kok bisa lulus CPNS?


Oke, jadi di postingan ini saya curhat tentang pengalaman aja ya. Saya beberapa waktu ini jarang banget baca-baca jurnal jadi nggak berbagi tulisan yang berbobot dulu yaa. Bukan malas sih cuma karena sekarang ini saya masih proses adaptasi dengan jam kerja dan jam pulang, jadi tiap pulang ke rumah tuh mata udah ngantuukkk maksimal. Actually sih memang karena perjalanan menuju ke tempat RSJ memang memakan waktu sekitar 35 menit setiap harinya jadi sudah cukup lelah di perjalanan.


Ohya, saya berterima kasih banget bagi siapapun teman-teman yang sudah berkunjung dan membaca tulisan-tulisan ringan di blog saya ini. Beberapa hari lalu juga ada yang notice kok saya jarang bangeeet update di blog. Heheh..makasih ya atas atensinya. I appreciate it.