Friday, April 27, 2012

REVIEW FILM SANG PENCERAH




       Film Sang Pencerah merupakan sebuah film yang dibuka sebagai sebuah drama  sejarah. Hanung Bramantyo sebagai penulis cerita tersebut mencoba membingkai situasi zaman melalui rangkaian kata-kata pembuka / teks di layar yang menyebutkan bahwa Syeikh Siti Jenar  telah  membelokkan Islam di Jawa ke dalam praktik mistik dan klenik.
Dan, kisah ini berawal pada tahun 1868 bertempat di Kauman,Jogjakarta. Ahmad Dahlan belia yang diperankan oleh Ikhsan Idol digambarkan sebagai bocah nakal yang suka mengendap-endap dari balik pohon beringin raksasa yang terletak di alun-alun Kidul Keraton Jogjakarta dengan tujuan mencuri sesaji yang ditaruh oleh penduduk-penduduk miskin yang selalu ke tempat itu guna meminta berkah dari penunggu pohon tersebut.
     Kemudian, disusul dengan adegan yang melompat ke masa di mana Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang mengutarakan keinginannya kepada ayahandanya (yang diperankan oleh Ikranagara).untuk ke Makkah dengan alasan untuk belajar dan lebih mendalami agama Islam. Sepulang ke tanah air, Ahmad Dahlan yang telah beranjak dewasa (diperankan oleh Lukman Sardi) tampak mencerminkan banyak perubahan, di antaranya berubah menjadi sosok penuh wibawa dan telah matang secara intelektual. Setelah beranjak kembali ke lingkungan Kauman, kampung muslim di lingkungan Keraton yang tidak lain adalah tempat tinggalnya, Muhammad Darwis yang kini telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan tersebut diangkat sebagai imam khatib Masjid Besar Kasultanan Jogjakarta yang sebelumnya dijabat oleh ayahnya. Dialah yang menggantikan ayahnya sebab melihat kondisi beliau sudah tidak sebugar dan sesehat dulu lagi hingga akhirnya beliau wafat.
      Ahmad Dahlan yang telah mempersunting Siti Walidah, semakin mantap dengan kehidupan yang dijalaninya dan mempunyai dua orang anak, sepasang putra dan putri. Tidak berhenti di situ saja. Konflik mulai bermunculan di mana ketika dia bersikukuh mempersoalkan arah kiblat masjid Besar. Dengan aktraktif, ia mengundang seluruh jamaah beserta para kyai. Di hadapan para kyai “kolot” Keraton yang diketuai oleh Kyai Penghulu (Slamet Rahardjo), Dahlan membentangkan peta dunia dan menjelaskan bahwa kiblat masjid Besar Kauman selama ini telah melenceng dari arah ka’bah. Lalu, penjelasan Dahlan ditentang oleh Kyai Pakualaman yang menuturkan bahwa kiblat itu bukanlah masalah arah melainkan ada di dalam Qalbu (hati) tiap ummat. Namun, kyai Ahmad Dahlan tetap keukeuh menjelaskan bahwa berdasarkan ilmu falaq, pulau Jawa tidak berada selurus dengan negeri Arab. Semakin memanaslah perdebatan tersebut dan maka dari itu, dari sinilah berawal konflik antara Ahmad Dahlan dan para elite kyai keratin yang mana di antara mereka masih terhitung saudara-saudaranya sendiri. Mereka antara lain, paman, adik, dan kyai Lurah (Agus Kuncoro).
       Cerita tersebut beranjak pada tahun 1903, di mana Ahmad Dahlan memutuskan untuk pergi haji kedua kalinya. Ketika pulang ke tanah air, ia justru menyebarkan benih-benih pembaruan Islam di tanah air. Meskipun demikian, semakin lama beliau semakin tidak tahan melihat begitu banyak kesalahan yang terjadi di Kauman, utamanya di masjid Besar. Hingga pada suatu ketika beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai imam khatib di masjid Besar lalu mendirikan langgar sendiri di Kauman Kidul. Ia mengajarkan pengajian kepada murid-murid pengikutnya yang juga merupakan pemuda desa Kauman. Tampak salah seorang muridnya bertanya tentang apakah agama itu sebenarnya. Ahmad Dahlan lantas tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut secara gambling tetapi sejenak ia memainkan sebuah alunan musik dengan menggunakan biola yang dia peroleh dari kawan-kawan seperguruan ketika menempuh studi di Makkah. Satu per satu muridnya hanyut dan terharu akan keindahan alunan musik yang dimainkan oleh Ahmad Dahlan setelah sempat murid-muridnya itu kebingungan dengan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan itu. Setelah usai menggesek senar-senar biola, ia kemudian bertanya kepada murid-muridnya tentang apa yang mereka rasakan setelah mendengar musik tadi. Jawaban yang muncul pun berbeda. Namun, yang lebih mengesankan, dari perkataan yang diucapkan oleh Ahmad Dahlan, ia secara tidak langsung menjawab pertanyaan muridnya tadi. Ia mengatakan bahwa agama itu ibarat merasakan suatu keindahan, ketentraman, dan damai. Lalu, sejenak ia menyuruh salah satu muridnya (diperankan oleh Joshua) untuk mencoba memainkan biola tanpa arahan dan bantuan darinya. Tidak heran, dari nada-nada yang tidak beraturan yang dimainkan oleh muridnya itu, ia menanyakan kembali mengenai apa yang dirasakan. Kacau. Ya, Ahmad Dahlan dengan penuh wibawa mengungkapkan bahwa apabila agama itu tidak dipelajari lebih dalam akan menimbulkan kekacauan.
        Tidak lama kemudian, penduduk sekitar dan para kyai masjid Besar mencap Ahmad Dahlan adalah orang kafir dengan alasan kalau beliau memberikan ajaran-ajaran yang salah kepada pemuda desa Kauman hanya karena pemikirannya tidak sejalan dengan  sudut pandang para kyai masjid Besar Kasultanan. Pembakaran langgar Kidul yang dilakukan oleh orang-orang sekitar tidak lantas menyurutkan niatnya untuk terus berdakwah dan mengemban amanah menyiarkan dan meluruskan pandangan masyarakat akan agama Islam. Meskipun hanya dengan pengikut yang tidak seberapa jumlahnya dan juga adanya teror yang berdatangan terus-menerus, ia tetap membangun kembali langgarnya dan itupun atas rujukan dari saudaranya yang sebelumnya sempat mencegahnya pergi dari Kauman. Dahlan kemudian melebarkan kiprahnya dengan melamar sebagai guru di sekolah Belanda(Kweekscholl) dan mengajarkan agama Islam kepada para murid. Selain itu, beliau juga bergabung dengan perkumpulan Boedi Oetomo yang diketuai oleh Wahidin Soedirohoesodo. Tidak hanya kedua hal tersebut, beliau pun membulatkan tekadnya dengan membangun / mendirikan madrasah ibtidaiyyah diniyyah Islam di dekat rumahnya. Dari ulasan cerita ini, dapat diambil hikmah lagi yakni ketika kyai dari Magelang datang berkunjung ke madrasahnya yang kemudian menuduh bahwa madrasah tersebut dibuat atas dasar adanya unsure-unsur kafir di dalamnya, Ahmad Dahlan masih saja dapat tersenyum dan menimpali pandangan kyai Magelang tersebut dengan sudut pandangnya yang masuk akal. Di samping itu, persoalan seperti masalah pernikahan, tahlilan yang awalnya bagi penduduk kebanyakan dianggap upacara sakral dan mewah telah diluruskan olehnya. Sebuah pernikahan itu tidaklah melihat sisi keabsahannya dari sisi materi pesta yang diadakan dengan menghamburkan sejumlah uang. Akan tetapi, seperti yang kita ketahui, di dalam Islam, sebuah pernikahan dianggap sah bilamana memenuhi syarat yakni ada wali, saksi, calon mempelai laki-laki dan perempuan serta mahar. Begitu juga dengan tahlilan, tidak perlu mengadakannya secara besar-besaran tetapi dengan mengirmkan doa kepada orang atau sanak keluarga yang meninggal dengan khusyuk itu sudah lebih dari cukup.
       Dalam kisah ini, kyai Ahmad Dahlan pun mengatakan bahwa agama itu adalah proses. Seorang manusia tidak bisa langsung dikatakan ia adalah orang yang bertakwa bilamana tidak menjalani suatu proses dan proses yang dilalui pun bukanlah suatu proses yang singkat.
          Pada hampir akhir cerita, satu hal yang menarik yang dapat kita saksikan dalam film tersebut yakni kegigihan yang dilahirkan oleh sosok Ahmad Dahlan semakin membesarkan niat beliau untuk berdakwah dan terus berdakwah. Dan, beliau berpikir dan berencana serta berunding dengan murid-murid pengikutnya bahwa ia ingin mendirikan sebuah perkumpulan sendiri seperti halnya perkumpulan Boedi Oetomo. Ia pun meluruskan niat dan rencananya itu dengan tidak gentar sekalipun masih dicap kafir. Dan, akhirnya setelah dirundingkan oleh pengurus Boedi Oetomo dan mendapat izin dari presiden, maka ia pun member nama perkumpulannya dengan nama Muhammadiyah, yang artinya pengikut Muhammad, Rasulullah SAW. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah dengan maksud untuk berta’faul mampu meneladani jejak perjuangan nabi Muhammad SAW dalam rangka mengakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Di sisi itu pun sempat beliau mengutarakan,”hiduplah, dengan menghidupi Muhammadiyah bukan hidup dalam Muhammadiyah”. Sesungguhnya, Muhammadiyah itu hanyalah sebatas organisasi yang mungkin bisa dikatakan juga sebagai organisasi dakwah dan bukan merupakan sebuah agama. Namun, setelah menjelaskan itu, kyai Penghulu pun tetap tidak setuju dan mengira kalau Ahmad Dahlan diangkat menjadi residen yang artinya bawahan orang-orang Belanda.
        Di penghujung kisahnya, terlihat jelas betapa susahnya perjuangan yang dilalui oleh Ahmad Dahlan hingga akhirnya beliau berhasil meyakinkan dan memperbaiki kesalahpahaman antara dia dengan kyai-kyai masjid Besar Keraton. Tidak hanya itu, mereka pun akhirnya mendukung  semua yang telah dijalankan oleh Ahmad Dahlan yang kemudian meresmikan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Muhammadiyah adalah sebuah gerakan modernisasi / pembaharuan Islam di tanah air Indonesia  dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.

1 comment:

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.