Film Sang
Pencerah merupakan sebuah film yang dibuka sebagai sebuah drama sejarah. Hanung Bramantyo sebagai penulis cerita
tersebut mencoba membingkai situasi zaman melalui rangkaian kata-kata pembuka /
teks di layar yang menyebutkan bahwa Syeikh Siti Jenar telah membelokkan Islam di Jawa ke dalam praktik
mistik dan klenik.
Dan, kisah ini berawal pada tahun 1868 bertempat di Kauman,Jogjakarta. Ahmad Dahlan belia yang diperankan oleh Ikhsan Idol digambarkan sebagai bocah nakal yang suka mengendap-endap dari balik pohon beringin raksasa yang terletak di alun-alun Kidul Keraton Jogjakarta dengan tujuan mencuri sesaji yang ditaruh oleh penduduk-penduduk miskin yang selalu ke tempat itu guna meminta berkah dari penunggu pohon tersebut.
Dan, kisah ini berawal pada tahun 1868 bertempat di Kauman,Jogjakarta. Ahmad Dahlan belia yang diperankan oleh Ikhsan Idol digambarkan sebagai bocah nakal yang suka mengendap-endap dari balik pohon beringin raksasa yang terletak di alun-alun Kidul Keraton Jogjakarta dengan tujuan mencuri sesaji yang ditaruh oleh penduduk-penduduk miskin yang selalu ke tempat itu guna meminta berkah dari penunggu pohon tersebut.
Kemudian, disusul dengan adegan
yang melompat ke masa di mana Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) tumbuh menjadi
seorang pemuda dewasa yang mengutarakan keinginannya kepada ayahandanya (yang
diperankan oleh Ikranagara).untuk ke Makkah dengan alasan untuk belajar dan
lebih mendalami agama Islam. Sepulang ke tanah air, Ahmad Dahlan yang telah
beranjak dewasa (diperankan oleh Lukman Sardi) tampak mencerminkan banyak
perubahan, di antaranya berubah menjadi sosok penuh wibawa dan telah matang
secara intelektual. Setelah beranjak kembali ke lingkungan Kauman, kampung
muslim di lingkungan Keraton yang tidak lain adalah tempat tinggalnya, Muhammad
Darwis yang kini telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan tersebut diangkat
sebagai imam khatib Masjid Besar Kasultanan Jogjakarta yang sebelumnya dijabat
oleh ayahnya. Dialah yang menggantikan ayahnya sebab melihat kondisi beliau
sudah tidak sebugar dan sesehat dulu lagi hingga akhirnya beliau wafat.
Ahmad Dahlan yang telah
mempersunting Siti Walidah, semakin mantap dengan kehidupan yang dijalaninya
dan mempunyai dua orang anak, sepasang putra dan putri. Tidak berhenti di situ
saja. Konflik mulai bermunculan di mana ketika dia bersikukuh mempersoalkan
arah kiblat masjid Besar. Dengan aktraktif, ia mengundang seluruh jamaah
beserta para kyai. Di hadapan para kyai “kolot” Keraton yang diketuai oleh Kyai
Penghulu (Slamet Rahardjo), Dahlan membentangkan peta dunia dan menjelaskan
bahwa kiblat masjid Besar Kauman selama ini telah melenceng dari arah ka’bah. Lalu,
penjelasan Dahlan ditentang oleh Kyai Pakualaman yang menuturkan bahwa kiblat
itu bukanlah masalah arah melainkan ada di dalam Qalbu (hati) tiap ummat.
Namun, kyai Ahmad Dahlan tetap keukeuh menjelaskan bahwa berdasarkan ilmu
falaq, pulau Jawa tidak berada selurus dengan negeri Arab. Semakin memanaslah
perdebatan tersebut dan maka dari itu, dari sinilah berawal konflik antara
Ahmad Dahlan dan para elite kyai keratin yang mana di antara mereka masih
terhitung saudara-saudaranya sendiri. Mereka antara lain, paman, adik, dan kyai
Lurah (Agus Kuncoro).
Cerita tersebut beranjak pada tahun
1903, di mana Ahmad Dahlan memutuskan untuk pergi haji kedua kalinya. Ketika
pulang ke tanah air, ia justru menyebarkan benih-benih pembaruan Islam di tanah
air. Meskipun demikian, semakin lama beliau semakin tidak tahan melihat begitu
banyak kesalahan yang terjadi di Kauman, utamanya di masjid Besar. Hingga pada
suatu ketika beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
imam khatib di masjid Besar lalu mendirikan langgar sendiri di Kauman Kidul. Ia
mengajarkan pengajian kepada murid-murid pengikutnya yang juga merupakan pemuda
desa Kauman. Tampak salah seorang muridnya bertanya tentang apakah agama itu
sebenarnya. Ahmad Dahlan lantas tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut
secara gambling tetapi sejenak ia memainkan sebuah alunan musik dengan
menggunakan biola yang dia peroleh dari kawan-kawan seperguruan ketika menempuh
studi di Makkah. Satu per satu muridnya hanyut dan terharu akan keindahan
alunan musik yang dimainkan oleh Ahmad Dahlan setelah sempat murid-muridnya itu
kebingungan dengan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan itu. Setelah usai menggesek
senar-senar biola, ia kemudian bertanya kepada murid-muridnya tentang apa yang
mereka rasakan setelah mendengar musik tadi. Jawaban yang muncul pun berbeda.
Namun, yang lebih mengesankan, dari perkataan yang diucapkan oleh Ahmad Dahlan,
ia secara tidak langsung menjawab pertanyaan muridnya tadi. Ia mengatakan bahwa
agama itu ibarat merasakan suatu keindahan, ketentraman, dan damai. Lalu,
sejenak ia menyuruh salah satu muridnya (diperankan oleh Joshua) untuk mencoba
memainkan biola tanpa arahan dan bantuan darinya. Tidak heran, dari nada-nada
yang tidak beraturan yang dimainkan oleh muridnya itu, ia menanyakan kembali
mengenai apa yang dirasakan. Kacau. Ya, Ahmad Dahlan dengan penuh wibawa
mengungkapkan bahwa apabila agama itu tidak dipelajari lebih dalam akan
menimbulkan kekacauan.
Tidak lama kemudian, penduduk
sekitar dan para kyai masjid Besar mencap Ahmad Dahlan adalah orang kafir
dengan alasan kalau beliau memberikan ajaran-ajaran yang salah kepada pemuda desa
Kauman hanya karena pemikirannya tidak sejalan dengan sudut pandang para kyai masjid Besar
Kasultanan. Pembakaran langgar Kidul yang dilakukan oleh orang-orang sekitar
tidak lantas menyurutkan niatnya untuk terus berdakwah dan mengemban amanah
menyiarkan dan meluruskan pandangan masyarakat akan agama Islam. Meskipun hanya
dengan pengikut yang tidak seberapa jumlahnya dan juga adanya teror yang
berdatangan terus-menerus, ia tetap membangun kembali langgarnya dan itupun
atas rujukan dari saudaranya yang sebelumnya sempat mencegahnya pergi dari
Kauman. Dahlan kemudian melebarkan kiprahnya dengan melamar sebagai guru di
sekolah Belanda(Kweekscholl) dan mengajarkan agama Islam kepada para murid.
Selain itu, beliau juga bergabung dengan perkumpulan Boedi Oetomo yang diketuai
oleh Wahidin Soedirohoesodo. Tidak hanya kedua hal tersebut, beliau pun
membulatkan tekadnya dengan membangun / mendirikan madrasah ibtidaiyyah
diniyyah Islam di dekat rumahnya. Dari ulasan cerita ini, dapat diambil hikmah
lagi yakni ketika kyai dari Magelang datang berkunjung ke madrasahnya yang
kemudian menuduh bahwa madrasah tersebut dibuat atas dasar adanya unsure-unsur
kafir di dalamnya, Ahmad Dahlan masih saja dapat tersenyum dan menimpali
pandangan kyai Magelang tersebut dengan sudut pandangnya yang masuk akal. Di
samping itu, persoalan seperti masalah pernikahan, tahlilan yang awalnya bagi
penduduk kebanyakan dianggap upacara sakral dan mewah telah diluruskan olehnya.
Sebuah pernikahan itu tidaklah melihat sisi keabsahannya dari sisi materi pesta
yang diadakan dengan menghamburkan sejumlah uang. Akan tetapi, seperti yang
kita ketahui, di dalam Islam, sebuah pernikahan dianggap sah bilamana memenuhi
syarat yakni ada wali, saksi, calon mempelai laki-laki dan perempuan serta
mahar. Begitu juga dengan tahlilan, tidak perlu mengadakannya secara
besar-besaran tetapi dengan mengirmkan doa kepada orang atau sanak keluarga
yang meninggal dengan khusyuk itu sudah lebih dari cukup.
Dalam kisah ini, kyai Ahmad Dahlan
pun mengatakan bahwa agama itu adalah proses. Seorang manusia tidak bisa
langsung dikatakan ia adalah orang yang bertakwa bilamana tidak menjalani suatu
proses dan proses yang dilalui pun bukanlah suatu proses yang singkat.
Pada hampir akhir cerita, satu hal
yang menarik yang dapat kita saksikan dalam film tersebut yakni kegigihan yang
dilahirkan oleh sosok Ahmad Dahlan semakin membesarkan niat beliau untuk
berdakwah dan terus berdakwah. Dan, beliau berpikir dan berencana serta
berunding dengan murid-murid pengikutnya bahwa ia ingin mendirikan sebuah
perkumpulan sendiri seperti halnya perkumpulan Boedi Oetomo. Ia pun meluruskan
niat dan rencananya itu dengan tidak gentar sekalipun masih dicap kafir. Dan,
akhirnya setelah dirundingkan oleh pengurus Boedi Oetomo dan mendapat izin dari
presiden, maka ia pun member nama perkumpulannya dengan nama Muhammadiyah, yang
artinya pengikut Muhammad, Rasulullah SAW. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah
dengan maksud untuk berta’faul mampu meneladani jejak perjuangan nabi Muhammad
SAW dalam rangka mengakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Di sisi itu pun
sempat beliau mengutarakan,”hiduplah, dengan menghidupi Muhammadiyah bukan
hidup dalam Muhammadiyah”. Sesungguhnya, Muhammadiyah itu hanyalah sebatas
organisasi yang mungkin bisa dikatakan juga sebagai organisasi dakwah dan bukan
merupakan sebuah agama. Namun, setelah menjelaskan itu, kyai Penghulu pun tetap
tidak setuju dan mengira kalau Ahmad Dahlan diangkat menjadi residen yang
artinya bawahan orang-orang Belanda.
Di penghujung kisahnya, terlihat jelas
betapa susahnya perjuangan yang dilalui oleh Ahmad Dahlan hingga akhirnya
beliau berhasil meyakinkan dan memperbaiki kesalahpahaman antara dia dengan
kyai-kyai masjid Besar Keraton. Tidak hanya itu, mereka pun akhirnya mendukung semua yang telah dijalankan oleh Ahmad Dahlan
yang kemudian meresmikan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Muhammadiyah
adalah sebuah gerakan modernisasi / pembaharuan Islam di tanah air
Indonesia dengan mayoritas muslim
terbesar di dunia.
Izin copy ya
ReplyDelete