Saya ingin
bertutur tentang seorang sahabat saya. Sebut saja Rani namanya. Semasa kuliah
ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak
awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu
dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya. Ketika
Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di Universiteit
Utrecht ,
di negerinya bunga tulip, beruntung Rani terus melangkah. Sementara
saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan
seluk beluk hukum dan perundangan.
Beruntung
pula, Rani mendapat pendamping yang "setara" dengan dirinya,
sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka lahir
ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan
dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu diambil
dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir "ya",
jadilah nama yang enak didengar : Alifya.
Tentunya
filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula. Ketika Alif,
panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila
saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu
negara ke negara lain makin meninggi. Saya pernah bertanya , " Tidakkah si
Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?" Dengan sigap Rani menjawab : "
Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok." n itu
betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak
dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak
yang lincah, cerdas dan pengertian.
Kakek
neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang
ibu-bapaknya. "Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti."
Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang
tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu
yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita
kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh
kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan
seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "DAPAT
MEMAHAMI" orang tuanya. Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka
merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Kisah Rani,
Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya
malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang
tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya
menginginkan anak seperti Alif. Suatu
hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan
baby-sitternya. "ALIF INGIN BUNDA MANDIKAN." Ujarnya. Karuan saja
Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar.
Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien,
baby-sitternya.
Persitiwa
ini berulang sampai hampir sepekan, "BUNDA, MANDIKAN ALIF" begitu
setiap pagi. Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa
peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian. Sampai suatu sore, saya
dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. "Bu dokter, Alif demam dan
kejang-kejang. Sekarang di Emergency". Setengah terbang, saya pun
ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah punya rencana lain. Alif,
si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya.
Rani,
bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor
barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan putranya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil
terbaring kaku. " INI BUNDA LIF, BUNDA MANDIKAN ALIF " Ucapnya lirih,
namun teramat pedih. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami
masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata,
" INI SUDAH TAKDIR, IYA
KAN ? Aku di sebelahnya ataupun
di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan ?". Saya diam saja
mendengarkan.
" INI
KONSEKUENSI SEBUAH PILIHAN." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening
sejenak. Angin senja berbaur aroma bunga kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk. "Aku ibunya
............................!" serunya kemudian, "BANGUNLAH LIF,
BUNDA MAU MANDIKAN ALIF. BERI KESEMPATAN BUNDA SEKALI SAJA LIF". Rintihan
itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-ngais tanah
merah. Air mata kesedihan menyirami pusara Alif, putra satu-satunya. ( Nasi
telah jadi bubur, yang berlalu tak pernah kembali lagi, penyesalan selalu
datang terlambat )
Sebuah pelajaran yang SANGAT berharga,
dimana kasih sayang tak akan pernah bisa ditukar dengan harta dunia; dimana
kasih ibu sebagai takdir adalah untuk dilaksanakan, bukan untuk diingkari; dan
dimana pun engkau berada, kelalaian bisa menjadi fatal error!!!
waktu tak bisa kembali....dan nyawa hanya satu.... akan KAU bawa kemana??Wassalammu'alaikum wr. Wb (Dikutip dari tulisan Sister, Nur W. R).
No comments:
Post a Comment
Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.