Saturday, April 20, 2013

CATATAN HATI DOSEN JUNIOR

Ada yang berprofesi sama denganku? Yap, dosen junior alias honorer. Apakah Anda mencintai profesi tersebut? Jawabannya sesuai selera masing-masing ya. Winking smile
Saya jadi merasa bahwa profesi dosen honorer bisa disebut sebagai dosen bayangan. Kok begitu? Ada beberapa alasan mengapa saya bisa mengatakan seperti itu.
  1. Nggak sebeken dosen senior atau yang sudah mempunyai sertifikasi sebagai pegawai (PNS). Saya nggak sedang mengucilkan diri sendiri atau mengejek profesi ini. Tapi, setelah sekian bulan bekerja sebagai dosen honorer, atmosfernya makin terasa. Memang tidak bisa dimungkiri bahwa dosen honorer tidak sebeken atau se-tersohor dosen senior yang sudah punya “nama”. Selama bekerja, saya hanya dikenal oleh segelintir makhluk saja. Di lembaga internal, saya hanya dikenal oleh kajur, ibu dosen yang pernah merekomendasikan saya, satu dosen laki-laki yang pernah saya jumpai, dua teman SMA saya yang magang di kantor fakultas kampus. Di kalangan mahasiswa, saya hanya dikenal oleh rekan-rekan mahasiswa semester dua yang memang mengikuti mata kuliah saya, jumlahnya pun sangat fantastis: 11-12 orang saja. Jadi, di kalangan dosen-dosen senior, jelas tidak ada yang mengenal saya sebab saya hanya dosen bayangan, hanya muncul pada saat jam mata kuliah saja. Sebenarnya bisa saja saya memperkenalkan diri pada dosen-dosen senior dan mahasiswa lainnya. Akan tetapi, saya bukan orang yang suka mencari perhatian massal.
  2. Nggak punya ruangan pribadi. Kalau masih junior, masih honorer, jelas belum punya kekuatan untuk bisa sepenuhnya mengambil jatah di bagian internal. Dosen honorer tidak punya ruangan pribadi seperti halnya dosen senior. Hal ini pun mengakibatkan, hubungan antara dosen senior dan junior/honorer mengalami kesenjangan. Karena tidak memiliki ruang pribadi, dosen bayangan jelas lebih sulit dicari. Dosen bayangan boleh-boleh saja mengunjungi kantor fakultas kapanpun, tapi harus sadar diri juga bahwa kita tidak memiliki fasilitas paling nggak “kursi” untuk duduk, nongkrong sejenak. Kalau mau nebeng ngobrol di kantor fakultas, musti cari kursi sendiri. Bukan masalah yang besar sih, tapi setidaknya yaah harus tahu diri juga kalau kita tidak se-spesial dosen senior. Selain itu, karena nggak punya ruang pribadi, jadi bila mahasiswa ingin mencari, maka tempat atau destinasi yang bisa dikunjungi hanya ada dua opsi: ruang kelas saat mengajar dan alamat rumah.
  3. Nggak punya seragam seperti dosen pegawai. Kalau saja saya sudah berusia tiga puluh atau empat puluh tahun, tanpa seragam pun, mungkin masih kelihatan kalau saya ini adalah salah satu dosen di kampus itu juga. Tapi, dengan usia yang masih sangat muda: 22-23 tahun, ditambah performance yang masih berjiwa muda plus body kecil seperti saya ini, pasti akan sulit untuk menginterpretasi bahwa saya ini adalah dosen. Hal ini pernah terjadi ketika hari pertama saya mengajar. Ketika tiba di kampus, destinasi saya adalah kantor jurusan. Saya bertemu seorang teman (teman masa SMA yang magang sekaligus kuliah di situ). Karena saya malu bila harus duduk di kursi dosen yang ada di kantor jurusan, maka saya memilih untuk duduk di teras sembari menunggu jam mata kuliah mahasiswa selesai baru setelah itu turun ke GKB bawah. Saya dan teman saya pun berbincang di luar. Seorang mahasiswi (namanya Rani, yang pernah ikut kajian guidance club mingguan bersama saya) datang lalu kami bercipika-cipiki. Di sekeliling saya juga ada satu mahasiswi (teman Rani, tapi saya tidak kenal) dan berdatangan lagi dua mahasiswi yang benar-benar asing bagi saya. Lalu, saya dan teman SMA saya berbincang tentang rencana wisudanya dan soal rencana pernikahan salah satu teman SMA kami. Ketika saya pamit untuk beranjak ke GKB, salah satu mahasiswi yang tidak saya kenal tadi berbisik pada teman SMA saya, “Siapa itu?” Saya hanya berjalan meninggalkan mereka sambil sumringah dalam hati. Lalu, samar-samar, teman saya berkata, “Itu dosen loh.” Tanpa melihat ekspresi si mahasiswi yang bertanya tadi, saya bisa memastikan bahwa dia pasti tidak menyangka bahwa saya benar-benar dosen. Setelan kemeja kotak ungu, rok hitam, jilbab dual warna, tas ransel warna-warni plus sneakers yang saya kenakan saat itu, pasti akan mengundang interpretasi bahwa saya juga adalah salah satu mahasiswa di situ, bukan dosen sebagaimana seharusnya. Hahaha, lucu tapi saya tidak menganggap itu masalah.
  4. Nggak punya ID card. Bagi bagian internal, ini sangat penting. Dengan adanya ID card, kita bisa lebih mudah untuk dikenali. Tapi, bagi honorer seperti saya, jangan harap mendapatkan ID card. Ini memang tergantung dari lembaga/kampus/universitas masing-masing sih. Ada yang memang memberikan ID card pada seluruh karyawan atau pegawai, tapi ada juga yang tidak. Mungkin, ini juga akan menjadi pemborosan bila seluruh pegawai baik yang honor maupun yang tetap mendapatkan ID card. Tapi, sebenarnya balik lagi ke fungsinya sebagai tanda pengenal. Tanpa ID card, dosen honorer akan sulit untuk dikenali. Harus buka berkasnya di jurusan dulu baru benar-benar tahu bahwa kita adalah dosen, tapi bedanya bayangan.
  5. Ini poin yang sangat sensitif. Nggak punya penghasilan tetap. Sebagai dosen honorer, jelas penghasilannya tidak berdasarkan UMR, melainkan masih berada di bawah standar honor pada umumnya. Yang namanya honorer, jelas bekerja sesuai masa kontrak. Tidak akan punya tunjangan hari tua dan sangat jarang bisa mempunyai tabungan yang memadai. Standar honor bagi pegawai honorer saat ini masih jauh dari UMR dan berbeda-beda sesuai dengan wilayah atau universitas tempatnya bekerja. Saya pernah membaca di sebuah buku tentang pegawai honorer. Hal ini tentu saja tidak lagi membuat saya ternganga karena sudah mengetahuinya. Biasanya, ada lembaga yang akan membayarkan honor per bulan bahkan ada pula yang akan membayarnya usai semester alias per enam bulan dan ada pula yang membayarkan honor per jumlah mata kuliah plus per enam bulan. Kalau di tempat saya mengajar sih, bayarannya per mata kuliah tapi akan diterima di akhir semester. Rata-rata kisaran honor pegawai honorer masih berada pada angka 100-150 ribu per bulan. Bahkan, ada yang jauh lebih minim dari angka tersebut. Kalau diberikan per bulan, jelas uang sejumlah tersebut akan ludes seketika. Masih beruntung bila pegawainya lajang, belum punya tanggungan seperti saya. Tapi, bila yang bekerja adalah orang perantau sekaligus telah berkeluarga, tentu penghasilan tersebut tidak akan cukup. Untuk makan saja pasti masih “mengikat perut” apalagi jika ingin membeli kebutuhan lainnya. Ya, standar honor inilah yang masih menjadi perdebatan antara pemerintah dan para pegawai honorer, terutama di Indonesia. Bila dibandingkan dengan gaji baby sitter atau PRT di kota metropolitan, honor dosen bayangan jelas kalah sama mereka. Apalagi, jika bekerja di daerah atau di pelosok, akan jauh lebih di bawah standar lagi.
Dari keempat uraian di atas, semua hal tersebut bukanlah masalah besar apalagi bencana. Bukan ingin membela diri. Namun, di balik hal-hal yang mungkin bagi sebagian besar orang menganggap bahwa dosen honorer itu adalah suatu hal yang “remeh-temeh” atau hanya bayangan, masih ada hikmah dan keuntungan yang diperoleh.

Meski tidak sebeken dosen pegawai/senior, dosen honorer atau yang junior lebih mudah beradaptasi dengan mahasiswanya. Apalagi bila usianya masih sangat muda dan tidak jauh beda dari mahasiswanya, dosen junior akan lebih mudah berbaur dengan mahasiswanya. Semangat dan jiwa muda yang melekat dalam diri dosen junior akan sangat menguntungkan untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswanya. Kita bisa lebih mudah untuk mengetahui dan memahami metode apa sih yang diinginkan oleh mereka yang berjiwa muda. Kita juga bisa melakukan pendekatan yang bahkan lebih intens seperti menjadi sarana/tempat curhat bagi mahasiswa karena mereka menganggap bahwa kita ini sama seperti teman yang sejalan dan seumuran dengan mereka.

Meski tidak punya ruang pribadi, dosen honorer sebenarnya bisa jauh lebih fleksibel dibanding dosen senior/pegawai. Mereka bisa bebas ke sana-kemari. Bagi mereka yang bosan duduk menetap di ruang tertentu atau yang memang tidak suka terikat oleh “kubikel”, hal ini tentunya bukanlah masalah yang urgent. Tidak perlu terkotak-kotak bahwa dosen itu harus punya ruangan masing-masing. Itu sih tergantung dari dana universitas juga. Selain itu, karena mengingat honorer hanya bekerja sesuai kontrak, jadi akan menjadi pemborosan bila seluruh honorer dibuatkan ruang khusus dan akan ditinggalkan begitu saja bila kontraknya telah selesai.

Meski tidak punya seragam, justru kita bisa lebih bebas untuk mengekspresikan diri (asal tetap memperhatikan kode etik dalam berpenampilan pastinya). Saya juga tidak begitu suka melihat seragam dosen pegawai seperti yang biasa kita lihat. Seragam hanya akan membuat diri kita menjadi “sama” dengan mereka yang lain. Seragam hanya akan mengkotak-kotakkan diri kita pada area yang “itu-itu saja”. Bagi saya seragam, apalagi yang formal seperti itu terlalu monoton, mengekang kreativitas. Beruntunglah bagi para dosen honorer yang tidak diberikan seragam. Kita bisa jauh lebih bebas dalam berekspresi. Penampilan adalah salah satu indikator yang menunjukkan kepribadian seseorang. Jadi, tanpa seragam, kita bisa lebih fleksibel dalam memperkenalkan “ini loh, saya ini seperti ini, pribadi saya seperti ini.” Sebagai catatan, meski fleksibel, tapi juga harus menjaga dan mematuhi aturan yang ada loh ya. Bebas bukan ajang pamer loh. Bebas juga bukan ajang untuk membangun citra diri secara berlebihan. Bebaslah berkreasi dan tunjukkan diri kita apa adanya tanpa seragam-seragam itu.

Meski tidak punya ID card, toh kita masih punya KTP kan? Yang penting kita masih bisa dikenal sebagai warga negara kita, bisa punya identitas alamat yang masih berlaku dan masih dapat dijangkau, dan masih punya identitas apakah kita ini lajang atau sudah berstatus “kawin”, hehehe. ID card sama saja dengan seragam, terlalu “kotak-kotak”. Pasti desainnya itu-itu saja, terlalu kaku, sangat monoton.
Yang terakhir, gaji/penghasilan sebagai pegawai honorer sangat tidak bisa dibanggakan, belum bisa diharapkan mampu menjadi sarana kemandirian finansial, tidak akan cukup untuk ditabung buat masa depan. Akan tetapi, ingatlah bahwa rezeki tidak pernah tertukar. Kita punya potensi lain yang bisa kita asah untuk memperoleh kemandirian finansial. Lagipula, memang benar sih kata Bung Ippho Santosa dalam buku 7 Keajaiban Rezeki-nya. “Bekerjalah sepnuh hati, bukan sepenuh gaji.” Jadikan pekerjaan sebagai sarana ibadah untuk tabungan ke akhirat. Tabungan dunia masih bisa dicari dengan cara lain. Ya, memang sih, ini adalah hal yang sangat berat. Sampai saat ini, saya masih terus berusaha untuk memaksimalkan dan meningkatkan potensi agar bisa mandiri secara finansial, tapi masih saja dibuntuti bertubi kegagalan. Kendati demikian, saya masih bisa bersyukur. Gaji pertama saya saat masih membuka kajian Guidance Club tahun lalu masih awet saya simpan sebagai bekal untuk membuka tabungan baru. Saya paksa diri saya untuk berhemat, tidak jajan di luar, alhamdulillah kebutuhan makan masih tercukupi, masih bisa tinggal di rumah sendiri dan saya happy. Ada sih sedihnya karena belum bisa mandiri secara total, belum ada titik terang di usaha lain yang saya geluti. Tapi, saya yakin, semua ini adalah wadah untuk mendewasakan diri saya. Saya sangat bersyukur bisa direkomendasikan untuk mengajar di kampus itu, saya sangat bersyukur akan punya penghasilan meski harus menunggu enam bulan lamanya. Sedikit atau banyak, itu tetap harus disyukuri. Yaah, alhamdulillah, rezeki memang selalu datang tidak terduga. Selalu saja ada jalan yang Allah tunjukkan untuk memenuhi kebutuhan kita.

Overall, jangan terlalu sering berdemo. Saya tahu bagaimana rasanya dan nasibnya seorang pegawai honorer di luar sana. Begitu banyak suara-suara keluhan yang mereka ajukan terhadap pemerintah. Tapi, berdemo seperti itu tidak ada gunanya. Itu hanya akan mengerdilkan mental kita. Seharusnya, sebagai pegawai honorer, kita harus jauh lebih maksimal dalam berkarya. Tidak perlu memikirkan harus setara dengan pegawai senior. Semua orang tentu punya jalan masing-masing, punya takdir masing-masing. Yang penting, harus terus bersemangat dan intinya, sabar dan konsisten. Sesuatu pekerjaan sekecil apapun, bila dilakukan secara konsisten dan tulus, berkahnya insyaallah akan jauh lebih besar daripada pekerjaan besar dengan hasil yang besar pula.

Insyaallah, ke depannya, semoga pegawai honorer, di manapun berada, mereka bisa diberikan kemudahan, kemurahan dan kelapangan rezeki, kedamaian, kesejahteraan, kesuksesan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat, Aamiin. ^__^

9 comments:

  1. inspiratif banget.. ^^, senang Aya baca beginian.. Untuk naik ke puncak tentu harus memulai dari kaki gunung,tidak ada yang langsung loncat terbang ke puncak, heee.. So bersemangatlah, berprasangka baiklah.. In Syaa Allah banyaaaaak pembelajaran di balik semua yang Allah karuniakan kepada kitaaa. Ya kan cintaaaa? ♥

    ReplyDelete
  2. bersabarlah..kita butuh dosen yang profesional, penuh spirit, low profile dan jelas mau terus berbenah, sebenarnya yang sudah senior juga tidah hebat spiritnya...hidup itu juga seperti kita membangun rumah stahap demi setahap kita melangkah..plus tingkatkan jaringan teman dan jelasnya terus belajar...

    ReplyDelete
    Replies
    1. yap, right Sir :D

      terima kasih untuk opini dan kunjungannya ^^

      Delete
  3. Sangat inspiratif, hampir sama dengan pengalaman sy ketika mnjadi honorer. Serasa nostalgia, intinya dengan segala kurang dan lebihnya sebuah pekerjaan akan lebih bermakna dan bermanfaat apabila kita nyaman dan ikhlas didalamnya. Nice post mba.

    ReplyDelete

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.