Siang tadi adalah jadwal mata kuliah Pengantar Psikologi. Ada yang beda dari kami. Hari ini, kami memulai kelas dengan metode circle. Metode circle itu adalah posisi duduk. Karena jumlah teman-teman mahasiswa memang cuman 11 orang jadi agar kedekatan emosional bisa semakin tercipta, maka kami semua duduk dengan jejeran kursi membentuk lingkaran kecil. Cukup dekat dan alhamdulillah, tadi rasa kantuk yang menyerang bisa terminimalisir dengan metode tersebut. Bagi keenam mahasiswa yang bertugas presentasi pun tetap duduk dalam lingkaran tersebut tanpa perlu pemisahan dengan mahasiswa audience dan pengajar (aku) ^_^ yang cantik ini, hehehe.
Kami pun berdiskusi terkait materi Psikologi Kognitif. Diskusi berjalan seru, hikmat, santai, dan sesekali diselipi oleh humor dari beberapa mahasiswi yang memang kocak.
Dan, yang menarik hari ini adalah ketika kami menyisakan sedikit waktu (sepuluh menit) untuk sesi sharing. Ya, ini memang kadang kami lakukan di kelas apabila telah selesai diskusi materi.
Hal pertama yang menarik hari ini adalah dalam sesi sharing tadi, kami melihat ada seorang mahasiswa (laki-laki) yang tampak sangat jelas dari raut wajahnya bahwa dia sedang ada masalah. Saat kami meminta mahasiswa tersebut untuk tersenyum, sangat jelas senyum yang ditampakkan bukanlah senyum bahagia, melainkan hanya sebagai respon dari aba-aba kami saja. Kami sempat tertawa serempak, begitu pun dia. Namun, tatapan matanya masih saja melayang entah ke mana. Kami semua kompak merasa bahwa jiwanya sedang tidak konsentrasi mengikuti materi kuliah hari ini. Kami bisa menerima keadaannya, sembari memberikan sedikit joke padanya.
Hal kedua yang menarik dalam sharing kami adalah terkait perbedaan cara belajar-mengajar di kelas semester dua (kelas kami) dengan kelas semester senior. Bukan bermaksud untuk memojokkan atau menjelek-jelekkan. Namun, terus terang aku pribadi merasa sangat bangga dengan progres kelas yang kupegang.
Memang aku bukanlah dosen wali mereka atau dosen yang full of time. Namun, akhir tahun lalu kebetulan aku pernah menggantikan dosen asli untuk mengajar semester lima hanya satu hari. Meski itu adalah pengalaman pertama mengajar semester atas, entah mengapa iklim yang tercipta sungguh di luar dugaan kami. Kebetulan antara mahasiswa jurusan KPI dan BKI digabung jadi satu karena kesamaan mata kuliah. Ketika kami mencoba menyimak diskusi materi yang berjalan, antara mereka terjadi saling "tindih", penuh dengan iklim perdebatan. Malah, materi yang tadinya harus fokus pada satu titik bahasan, malah semakin meluas, melenceng ke mana-mana.
Jadi, ketika sharing tadi, aku sempat mengungkapkan analisa dan observasi pribadiku terkait kelas semester senior. Iklim perdebatan tersebut rupanya bukan saja di dalam kelas, melainkan sudah merambah hingga di lingkup organisasi bahkan di luar kelas. Mahasiswa semester dua juga pernah gabung dalam mata kuliah di kelas senior dan mereka merasa ciut ketika diskusi berlangsung. Mereka menuturkan betapa ciutnya nyali mereka, semacam tidak diberikan ruang yang sama dan setara saat diskusi. Sehingga diskusi tersebut hanya didominasi oleh mereka yang "banyak ngomong", suka "membantah argumen" dan kalau berdasarkan pengamatan kami, mereka tergolong pribadi yang cenderung menggunakan emosi sebagai alat untuk memancing perdebatan. Jadi, agar yang lain tidak ada yang berani membantah argumen yang mereka anggap benar, maka dengan sekuat daya mereka akan menampakkan peningkatan emosi yang cukup signifikan dan kurang terarah. Hasilnya, mahasiswa semester dua ini pun akhirnya merasa tertekan dan peran mereka seolah sudah tercuri oleh pada debaters tersebut..
Dari hasil sharing mereka tadi, secara tidak langsung terjawab sudah penyebab mengapa di awal perkuliahan BK dan Pengantar Psikologi mereka tampak canggung dan takut bila kami menerapkan metode diskusi untuk segelintir mata kuliah yang dibahas.
Akibat dominasi kaum senior yang menyukai ikim debat, saling tindih dan menganggap diri mereka lebih hebat dan lebih cerdas di antara yang lain, inilah yang menjadi faktor utama ketakutan mereka menghadapi diskusi dan presentasi.
Kemudian, hal ketiga yang kami sharing-kan tadi adalah, alasan mengapa aku pribadi bersikeras tidak ingin dipanggil dengan sebutan "Bu" atau "Ibu" layaknya mereka menyebut dosen-dosen lain. Hal ini bukan karena faktor usia antara aku dan teman-teman mahasiswa yang tidak jauh beda. Akan tetapi, aku menilai bahwa seseorang yang berhak kalian panggil dengan sebutan "Bu dosen" adalah mereka yang sudah jauh lebih banyak memakan asam garam di dunia pendidikan. Sehingga, sebutan tersebut kurasa tidak pantas untuk disandingkan dalam diriku karena aku sendiri memang masih junior. Selain itu, alasan kedua adalah, karena keterlibatanku sebagai pengajar di sekeliling mereka justru kuanggap tidak seperti seorang pengajar. Maksudnya, aku memang ditugaskan mengajar mereka. Namun, aku justru menganggap bahwa aku dan mereka sedang belajar dan kuliah bersama. Kenapa kukatakan demikian, bukan semata sebagai modus, tetapi lebih kepada untuk bisa lebih dekat, lebih menerima dan menghargai mereka yang sudah menerimaku sebagai tenaga pengajar mereka.
Ya, itulah, tiga hal pokok yang kami diskusikan dan sharing tadi. Di akhir sesi, aku meminta kepada mereka untuk menjadi teladan yang baik bagi mahasiswa lain atau bahkan di hadapan mahasiswa senior. Mereka tidak seharusnya takut kalah saing dengan mereka. Sebab, pendidikan itu bukanlah untuk melahirkan generasi "debaters" yang hobinya membunuh argumen dan mental para pesaingnya. Pendidikan itu adalah wadah pemersatu jiwa dan hati, baik antara pengajar-mahasiswa maupun sesama mahasiswa. Dan, yang harus selalu diingat bahwa tidak selamanya mahasiswa yang sudah menduduki semester teratas adalah mereka yang patut dibanggakan, dianggap sebagai pihak yang paling cerdas dan diteladani atau dinomorsatukan. Mereka yang patut diteladani justru adalah yang mampu memenej diri dengan baik dalam situasi apapun, pandai memahami diri sendiri maupun orang lain dan tidak merasa lebih pintar dibanding orang lain.
Selaku pengajar, aku melihat teman-teman mahasiswa yang duduk bersamaku adalah mereka yang justru patut untuk diteladani dibanding rekan-rekan senior. Ya, mungkin ini subjektif namun, bila melihat hasil pengamatan kami sejak bersama-sama mengikuti Guidance Club tahun lalu baik itu semester junior maupun semester senior, hal ini tentu menjadi faktor pertimbangan objektif kami.
Sebentar lagi masa kontrakku akan selesai. Insyaallah sebentar lagi aku akan pindah dan menetap di Malang. Dan, itu berarti sebentar lagi kami akan berpisah dengan seluruh rekan mahasiswa BKI STAIN Parepare. Sedih bila saja hari H itu telah sampai. Namun, bagaimanapun, di akhir pasti selalu ada perpisahan. Dan, aku berharap, perpisahan tersebut bukanlah akhir segalanya. Semoga teman-teman yang mengikuti mata kuliahku bisa semakin menonjolkan progres yang memuaskan dan dapat menjadi generasi penerus yang beriman, bertakwa, berakal dan teladan untuk bangsa, negara, agama, orangtua dan masyarakat. Aamiin.
Friday, May 3, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
dont saya goodbye to us... just say... see you again... :) that's what we wanna heard from u... :D
ReplyDeletehehe ya ya ya... see you again, guys ^^
Delete