Habis tangis terbitlah bahagia. Inilah kalimat yang mewakili perjalananku ketika bertemu dengan seorang sahabat masa SMA. Namanya Sitti Nawira, tapi akrab disapa Wira. Wira, seorang gadis muslimah yang lebih muda setahun dariku. Dia berasal dari keluarga dengan pondasi agama yang cukup kuat dan kental. Kisah persahabatan kami berawal ketika duduk di bangku kelas X SMA.
SMA kelas X, aku belum berhijab apalagi punya niat berhijab. Memasuki kelas setelah diadakan rolling dari pihak sekolah membuatku merasa asing dan agak gentar. Gentar sebab wajah-wajah yang kutemui sungguh sangat cerdas. Ada beberapa siswa yang juga pernah kebetulan kukenal melalui berbagai perlombaan SAINS, olimpiade bahasa Inggris, lomba pidato dan ada pula satu teman SMP yang dulunya menjadi rivalku demi merebut kursi juara umum sekolah tiap semester.
Pagi itu, kami berebut tempat duduk. Sayangnya, aku tidak berhasil menemukan bangku di baris depan, hingga aku memilih untuk duduk di bangku barisan keempat, di belakang. Sepi, sendiri, sekalipun ada teman-teman yang kukenal namun mereka sudah menentukan teman duduk mereka masing-masing. Mereka cenderung memilih teman duduk yang dilansir memiliki kemampuan intelegensi yang juga sama tingginya. Ya, kelas X.6 memang menjadi surga siswa-siswi terbaik saat itu.
Saat ingin menaruh tas di bangku yang kupilih, sontak sebuah suara menyeru ke arahku. "Hei, kamu! Sini duduk sama aku saja!" Suara itu berasal dari seorang gadis berjilbab, berkulit putih, mata sipit dan gaya bicaranya yang terkesan cepat. Aku hanya merespon dengan anggukan dan mataku masih saja memandanginya dengan penuh kejanggalan. "Kok bisa ada anak asing yang sok akrab padahal teman yang kukenal saja tidak mau menawarkan diri untuk duduk denganku karena takut tersaingi," kecamuk batinku.
Akhirnya, aku pun menerima tawaran gadis tersebut kemudian duduk bersebelahan dengannya. Sejenak aku bersyukur karena telah diberi tempat duduk di bangku paling depan. Itu berarti aku bisa semakin bersemangat dalam belajar dan tak perlu lagi gentar terhadap beberapa teman yang mengganggapku rival mereka.
Gadis itulah yang kusebut di awal tadi, Wira. Awal kenalan sungguh lucu. Dia menanyakan nick name lalu nama panjangku. Dia bahkan mengira bahwa aku ini non-muslim, karena mendengar nama "Paresma" dan entah dia bilang wajahku seperti wajah non-muslim (mungkin karena tidak pakai jilbab). Aku tertawa. Dia pun ikut tertawa. Yang tadinya, aku sangat kalem di depannya, mulai berubah cair dan rileks selama berbincang hangat bersamanya.
Foto Bersama Nawira (yang jilbab putih) saat ke Pantai Senggol pasca pengayaan kelas XII |
Dari situlah, kami mulai akrab. Aku sering berkunjung ke rumahnya. Melihat keluarganya yang begitu sederhana namun sangat berbeda dengan keluargaku. Orangtuanya adalah pengurus RT namun tidak sesibuk orangtuaku. Dia anak pertama dan memiliki adik yang cukup banyak.
Di samping itu, ada begitu banyak perbedaan di antara kami. Aku yang cenderung introvert dan pendiam, Wira justru cerewet dan suka berbicara cepat. Aku suka belajar dan membaca, dia tidak. Meski demikian, mengenalnya merupakan sebuah mukjizat untukku.
Kenapa kukatakan mukjizat? Sebab, dia ternyata sahabat yang Allah kirimkan untuk menjadi pelengkap jiwaku yang cenderung jauh dari kata bahagia. Ya. Semasa sekolah, aku sering merasa tertekan. Sejak SD hingga SMP, aku selalu menggenjot diri untuk menjadi siswa terbaik. Lingkungan pun senantiasa mendorongku agar meraih peringkat pertama di sekolah ataupun pada prestasi non-akademik di luar sekolah seperti mengikuti berbagai perlombaan dan lainnya. Semua itu pun tercapai, tapi aku belum juga merasa tenteram dan tenang dengan semua pencapaian prestisius itu.
Dari hari ke hari, persahabatan kami semakin kuat. Bahkan kami memiliki insting perasa yang juga kuat (biasa disebut kontak batin). Ketika dia sakit, aku pun ikut sakit. Apa yang terkadang kupikirkan, dia pun memikirkannya dan kami selalu sehati. Lebih dari itu, selama tiga tahun, kami terus sekelas, duduk sebangku dan bersahabat, tidak pernah sekalipun kami bertengkar. Padahal, aku mempunyai sisi tempramen yang sangat labil waktu itu dibanding dirinya. Aku jauh lebih emosional daripada Wira.
Meski banyak sahabat yang kumiliki, namun Wira cukup mendapat tempat yang paling dalam di benakku. Sebagaimana yang kusebut sebagai mukjizat tadi, Wira adalah satu-satunya sahabat yang membawaku untuk lebih dekat dan mengenal siapa diriku dan siapa Tuhanku. Dialah sahabat yang mengajariku kebahagiaan dan ketenteraman dalam menjalani hidup. Dia pula yang mengajarkanku untuk tegar dalam menghadapi segala persoalan.
Kala sekolah, aku memang sering mengalami masalah keluarga yang tidak jarang membuatku menangis. Bahkan, aku sering membawa tangisan itu ke sekolah. Aku juga pernah di-bully oleh salah seorang teman sekolah dan sempat membuat prestasiku menurun dan takut bila berangkat ke sekolah. Di balik itu semua, Wira tidak tinggal diam. Mula-mula dia menanyakan bagaimana ibadahku. Aku jawab dengan jujur bahwa kala itu memang aku sering menunda shalat, jarang mengaji, dan kadang shalat pun bolong dengan sengaja atau tanpa sengaja. Mendengar penuturan terkait kondisiku, kekalutanku, permasalahan di keluargaku dan semuanya, Wira dengan santai dan tenang membantuku untuk bangkit.
Caranya bagaimana? Jadi, setiap minggu, kami pasti akan mengadakan surat-menyurat atau saling bertukar surat di kelas dengan sahabat-sahabat kami. Begitu pula aku dengan Wira. Bila membaca seluruh kumpulan suratnya, dia sudah bisa menarik kesimpulan betapa malangnya diriku. Tapi, aku sempat marah karena tidak ingin dikasihani seperti itu. Dan, yang menjadi titik balik perubahanku adalah ketika aku melihatnya menangis untuk pertama kali pasca sharing terkait isi surat masing-masing.
Wira yang selama ini kukenal sebagai pribadi yang ceria, tidak pernah mengeluh, akhirnya menangis tersedu sambil memelukku. Dia menimpali semua pembelaan diriku yang kukatakan bahwa diriku tidak layak untuk optimis. Saking emosinya, waktu itu, dia sempat berkata betapa bodohnya aku yang hampir punya niat untuk suicide. Tidak kusangka, dia pernah mengalami permasalahan yang jauh lebih pelik dariku. Permasalahan yang sama sekali tidak pernah kuduga bahwa itu terjadi padanya. Permasalahan yang kuyakini sebagai aib terburuk dan mungkin saja juga pernah dialami orang lain. Namun, dia berhasil menutupi aibnya selama bertahun-tahun tanpa ada satupun dari keluarga yang tahu. Masyaallah, betapa tegarnya dia. Itulah yang membuatku mengusap air mata berkali-kali. Mendengar penuturannya, membuatku bangkit dan bertekad untuk selalu optimis.
Tidak hanya itu. Wira jugalah yang menginspirasi diriku untuk berniat mengenakan jilbab. Tidak mudah memohon pada orangtuaku untuk mengenakan jilbab saat itu sampai harus bertengkar beberapa hari, baru akhirnya orangtua luluh dan menerima i'tikad baikku untuk berjilbab.
Dari persahabatanku dengan Wira, aku mulai rajin shalat lima waktu dan berniat untuk shalat tepat waktu, rajin beramal shalih, kembali mengaji dan mempelajari Al-Qur'an. Yang paling terpenting adalah akhirnya aku menemukan kebahagiaan yang selama ini kucari.
Kebahagiaan itu tidak lain adalah bersumber dari dekatnya jiwa dan ragaku kepada Sang Maha Pencipta, Allah. Aku sadar, sebanyak apapun prestasi yang kuukir kala itu, toh aku tidak bahagia karena memang dulu aku jauh dari Rabb-ku. Kebahagiaan itu bukan terletak pada besarnya materi, kekayaan dan prestasi yang diraih. Tetapi, kebahagiaan itu bersumber dari hati. Bila hati merasa hampa, tentu akan selalu terbesit kegelisahan dan ketidakpuasan terhadap hidup. Melihat Wira dengan keluarga yang sederhana namun harmonis akhirnya membukakan mata dan hatiku. Betapa bersyukurnya dikaruniai sahabat seperti Nawira.
Ungkapan terima kasih saja rasanya tidak cukup untuk Wira. Segala upaya dan nasehatnya, cara pandangnnya dan semua yang pernah diberikan padaku sungguh tidak ternilai. Niat suicide yang tadinya sempat terlintas kini terganti dengan pertaubatan, semakin mendatangkan kebahagiaan yang hakiki di benakku.
Dari seluruh uraian ini, aku ingin menuturkan bahwa sahabat itu bukanlah seseorang yang harus selalu ada saat kita butuh. Tapi, sahabat itu adalah seseorang yang rela mengorbankan dirinya untuk membahagiakan kita tanpa kita pinta. Seperti itulah sosok Wira, sahabat yang selalu kusayangi sampai kapanpun.
Kami selalu bilang bahwa sahabat itu ibarat soulmate atau jodoh. Mengapa? Karena sebagai sahabat, kami senantiasa saling melengkapi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Wira juga pernah bilang, kalau saja salah satu di antara kita adalah laki-laki, mungkin kami sudah benar-benar berjodoh sebagai pasangan dari dulu, hehe. Alhamdulillah, sekalipun sempat terpisah karena aku pernah kuliah di Malang dan sebentar lagi akan pindah dan menetap di sana, namun komunikasi kita tetap terjaga kualitasnya.
Itulah sejumput kisah dengan sahabatku. Lalu, siapa sahabatmu? Bagaimana dengan kisahmu dengannya? Apa yang kau dapatkan dari persahabatanmu?
“Tulisan ini diikut sertakan dalam GA “Siapa Sahabatmu?” pada blog senyumsyukurbahagia.blogspot.com, hidup bahagia dengan Senyum dan Syukur”
Hallo ini kunjungan pertamaku.. :D
ReplyDeleteSeringkali kita menganggap diri kita paling malang, paling menderita. Padahal belum tentu juga ya...
Keep smile
^_^
iya mbak ^_^ salam kenal juga yaa terima kasih udh berkunjung
Delete