ureport.news.viva.co.id |
Judul ini saya peroleh saat membaca salah satu tweet teman. Kepribadian seseorang sangat sulit untuk diubah, bahkan setelah menikah.
Berbicara mengenai kepribadian. Kepribadian itu terdiri dari komponen: Sifat, Sikap, dan Karakter. Jika ditanya, manakah komponen yang sulit untuk diubah? Jawabannya tentu saja sifat. Kenapa? Sifat itu adalah permanen atau menetap dalam kepribadian seseorang dan menjadi ciri khas yang jarang dimiliki oleh orang lain. Sifat inilah yang biasanya menjadi tolak ukur dalam skala atau alat-alat tes psikologi.
Sementara itu, karakter ialah hal-hal baik yang diharapkan oleh masyarakat. Seseorang memunculkan karakter tertentu sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai di lingkungannya.
Kalau saya sendiri, saya punya ciri khas sebagai orang yang introvert. Namun, ada beberapa indikator yang masih saya miliki, ada pula yang sudah tidak lagi dimiliki karena proses belajar semenjak remaja hingga sekarang. Orang introvert itu adalah mereka yang suka menyendiri (saya pun terkadang masih suka menyendiri, apalagi saat sedang belajar atau sibuk mengerjakan sesuatu atau sedang menulis, saya tentu tak ingin diganggu), tidak suka basa-basi (inipun saya banget, kalau sedang serius berhadapan dengan situasi yang serius, saya tak suka basa-basi, saya lebih suka langsung to the point), merasa sendiri di keramaian (ini indikator yang sudah tak begitu melekat lagi karena adanya proses belajar, saat saya tengah berlomba pidato, saat saya berbicara sebagai dosen di depan mahasiswa saya, saat saya sedang menjadi pemateri di pelatihan, tentu saya perlu berbaur dan menganggap mereka "ada" bersama saya. Dengan proses belajar tersebut, saya tak lagi merasa sepi saat di tempat ramai karena ikut menikmati keramaian itu bersama teman/sahabat/keluarga juga), memperhatikan detil yang orang lain tidak lakukan (ini saya banget, apa yang tak terlihat oleh orang lain, terkadang malah saya lakukan dan mendadak membuat orang lain sering berkata "oh iya ya", "hmm...baru tahu".), sering berbicara dalam hati (setiap ingin melakukan sesuatu atau mengatakan sesuatu atau tengah sendiri di tempat-tempat tertentu, pasti saya sering berbicara sendiri dalam hati atau berbicara dengan diri saya sendiri seolah ada teman yang mendengarkan, padahal tidak ada. Kenapa begitu? berbicara dengan diri sendiri saya butuhkan untuk dapat mengevaluasi diri dan bertafakkur), lebih mudah mengungkap segalanya melalui tulisan daripada berbicara langsung (it's me, bukan karena sebagai penulis, tapi memang begitulah saya, terkadang ada saat di mana saya benar-benar jauh lebih rileks menumpahkan segalanya lewat tulisan daripada diminta mengatakannya secara langsung, bukan karena gugup tapi yaa memang seperti kenyataannya), lebih baik membaca buku di rumah daripada diajak ke pesta (Ini adalah indikator yang juga tidak begitu melekat, tapi lebih dikontrol saja. ada saat di mana saya harus keluar dan berhadapan dengan banyak orang dan ada kalanya lebih baik memilih diam di rumah daripada keluar tanpa alasan yang jelas. itu semua saya sesuaikan dengan skala prioritas. kalau urusan keluarga, tentu tak mungkin saya abaikan, tapi kalau untuk pergi ke pesta yang tidak ada manfaatnya, yaa lebih baik saya tidak pergi, lebih baik membaca buku atau diam di rumah daripada ke pesta itu tapi nanti akhirnya malah bete lantaran kurang penting).
Dulu, saya juga belum pandai mengendalikan amarah dengan kata lain, saat marah, masih suka menjauh atau menarik diri sejenak dari lingkungan atau membanting-banting bantal dalam kamar. Semenjak kuliah di psikologi, alhamdulillah, saya menyadari perubahan yang signifikan. Saya mulai berbaur dan menjalin hubungan dengan lingkungan sekitar. Saat sedang dimarahi, saya memilih untuk mendengarkan kemarahan orang itu hingga selesai lalu memilih untuk diam dan berpikir apa yang salah dari diri saya. Begitu juga kalau sedang marah, misal lagi marah sama adek yang malas dibangunin shalat atau karena adek yang susah diomongin, tentu tidak sampai membanting barang atau ngacak-acak kamar kayak zaman remaja dulu, hehe... (saya paling nggak suka liat apapun berantakan). Tapi, saat marah, saya cukup menegur dan kembali diam lalu mendoakan. Karena memang manusia sulit untuk diubah, tidak mungkin saya mengubah adek saya secara instan, dan karena sudah sulit diberitahu, yang saya lakukan hanyalah berdoa dan tetap konsisten menunjukkan teladan yang baik. Misal, karena adek saya susah shalat tepat waktu apalagi shalat subuh, saat dia tidak mempan ditegur, saya tetap berkomitmen menunjukkan konsistensi untuk shalat tepat waktu. Walaupun adek belum mencontoh, tapi setidaknya, alhamdulillah Mama saya yang mulai ngikut shalat tepat waktu. Kalau saya marah dengan membuang energi dengan bantingin barang, waaaahhh.... sayang barangnya dan capek juga saya nanti, hehe. Biasanya sih kalau lagi dongkol, ngalihinnya dengan diam sambil nulis blog, main games atau ngaji. Sejauh ini sih, lebih banyak mengalihkannya dengan menulis atau mengaji atau membaca buku.
Yaa, itu sih bukan hanya karena saya pernah kuliah di psikologi, lantas bisa mengelola diri sedemikian rupa. Tapi, semua itu kembali lagi pada diri masing-masing. Dan, tentunya, jangan pernah lepas atau bahkan lari dari Tuhan. Sebab, sejauh mana kita mengenal dan dekat dengan Tuhan, maka sejauh itu pula kita mengenal diri kita sendiri dan mampu mengasah intuisi untuk senantiasa mengevaluasi diri dengan baik.
Jadi, jangan pernah takut untuk belajar memperbaiki diri dari hal-hal yang dapat merusak kepribadian kita. Jangan lupa pula untuk senantiasa memohon pada Allah, berdoa dan terus berharap agar bisa berubah.
Kepribadian itu memang tidak mudah untuk diubah namun bukan berarti orang yang buruk akan terus-menerus berperilaku buruk. Sebab di dunia ini sifatnya timbal balik dan bergantian bak siklus. Kalau ada malam, pasti juga akan ada pagi. Kalau ada hitam, pasti ada putih. Dan, saya percaya bahwa sekalipun orang yang dulunya buruk atau jahat, jika Tuhan menghendaki kebaikan baginya maka bukan tidak mungkin dia akan berubah menjadi sosok terbaik di masa depanya dan dikirimkan kepadanya orang-orang yang juga senantiasa mengingatkan ia tentang kebaikan.
Kepribadian itu memang tidak mudah untuk diubah namun bukan berarti orang yang buruk akan terus-menerus berperilaku buruk. Sebab di dunia ini sifatnya timbal balik dan bergantian bak siklus. Kalau ada malam, pasti juga akan ada pagi. Kalau ada hitam, pasti ada putih. Dan, saya percaya bahwa sekalipun orang yang dulunya buruk atau jahat, jika Tuhan menghendaki kebaikan baginya maka bukan tidak mungkin dia akan berubah menjadi sosok terbaik di masa depanya dan dikirimkan kepadanya orang-orang yang juga senantiasa mengingatkan ia tentang kebaikan.
Semangaaat!!! ^___^
nice sense..
ReplyDeletesemoga mba mendapat jodoh terbaik, pria shaleh yang berhati dan berakhlak baik, aamiin ^^
ReplyDeletemakasih Bunda ^^ aamiin aamiin ya Rabb
ReplyDeleteOhh ya mb boleh tanya nggak............
ReplyDeleteKalau kepribadiannya pendiam terus diubah jadi banyak bicara bisa nggak...... tolong dong balasannya
bagusss tulisannyaa! :") lagi iseng cari di google ternyata muncul blog ini. heeeheheternyata dlunya psikologi juga yaa!
ReplyDeletesetuju, karena karakter itu bawaan lahir, kebiasaan yang dibawa dari kecil sangat sulit untuk diubah
ReplyDelete