Thursday, November 7, 2013

REZEKI BAGI PENDENGAR YANG BAIK

naladwipa.blogspot.com
Kemarin, saya membaca status FB seorang sahabat masa kuliah. Namanya Mia tapi saya panggilnya Miaw dan dia memanggil saya Emaw (itu panggilan sayang dan akrab kami berdua :D). Miaw saat ini masih bekerja di Autis Centre yang berlokasi di Tangerang. Kemarin, di FB, dia cerita. Hanya dengan mendengarkan curhat si Bapak sopir angkot saja, Miaw ketiban rezeki (rezekinya di-gratis-kan ongkos angkotnya). hehehe....

Ada begitu banyak kontroversi yang terjadi di kolom komentarnya. Ada yang bilang, "Ilmu Psikologinya kepake, tapi ya seharusnya bisa nolak kalau Bapak sopirnya mau gratisin. Kasihan kan cuma sopir angkot." Itu salah satu komentar yang saya baca. 

Memang sih, menjadi mahasiswa/alumni psikologi/psikolog, tentu tidak akan lepas dari "Serbuan Curhatan". Ada yang secara profesional dan bertarif seperti saat curhat atau terapi dengan psikolog. Kalau untuk ukuran mahasiswa atau alumni S1 psikologi seperti kami ya tentu belum boleh memasang tarif, apalagi sok-sok an menagih tarif walau hanya bercanda. Bisa-bisa kena hukuman kurungan penjara atau denda nanti. Namun, tak dimungkiri, fenomena itu ternyata banyak dilakukan oleh para oknum non psikologi maupun psikologi yang tak bertanggung jawab atas disiplin ilmu psikologi-nya.

Nah, lalu bagaimana kalau kami diserbu dengan banyak orang yang mau curhat lantaran tahu kalau kita ini alumni psikologi yang belum resmi menjadi psikolog? Ya, harus tetap profesional melayani dengan sepenuh hati. Dan, semua berawal dengan menjadi "Pendengar Yang Baik". Seperti itulah salah satu slogan dalam dunia Psikologi Konseling. 

Semenjak menulis di blog ini, memang belum banyak yang tahu kalau saya ini alumni psikologi. Tapi, setelah rutin meng-update dengan konten psikologi, barulah banyak orang yang tahu. Tidak jarang pula ada "orang asing" yang mengontak email dan curhat pada saya. Untuk tahun ini saja, semenjak bekerja sebagai dosen di Prodi Bimbingan Konseling, mulai dari mahasiswa, teman alumni kuliah yang seangkatan dulu, beberapa teman socmed hingga orang asing yang benar-benar tak saya kenal, semakin banyak mempercayakan saya untuk menjadi "pendengar yang baik" bagi mereka. Malah, isi email saya itu sekarang nggak hanya seputar balasan dari editor tempat saya melamarkan naskah-naskah atau balasan komentar di blog, tapi juga email-email tentang curhat mereka. Mulai dari masalah yang ringan dan umum seperti cinta-cintaan, putus dengan pacar, masalah kegalauan, sampai masalah rumit seperti rencana pernikahan bagi yang single tapi tak mendapat restu, masalah jilbab, gangguan orientasi seksual dan masalah kurangnya komitmen dalam akidah-nya. Dan, anehnya, entah ini kebetulan atau gimana ya, tapi lebih banyak yang curhat pada saya itu adalah kaum Adam. Ada yang bilang sih, kalau cowok lebih nyaman ke konselor cewek, begitu juga sebaliknya. Yaaah... itu tak masalah, asalkan jangan pernah membuat mereka dependence pada kita apalagi mereka itu lawan jenis dan sangat rentan terjadi hallo effect (ini semacam kecenderungan ketergantungan perasaan antara klien-konselor).

Sesuai judulnya, saya pernah berbicara di depan mahasiswa-mahasiswa saya (saat menjadi pemateri dalam acara HMJ "Praktek dan Teori Konseling" minggu lalu. Saya mengingatkan kepada mahasiswa BK saya bahwa jangan pernah memberikan konseling jika niat atau tujuan kita hanya untuk mendapat upah, tidak peduli sudah punya Surat Izin Praktek Psikologi (SSIP) bagi yang Psikologi dan Sertifikat bagi Konselor (BK). Tapi, tujuan utama konseling adalah klien itu sendiri. Goal-nya adalah membimbing klien demi mencapai kebahagiaan yang dicarinya. 

Singkirkan dulu soal biayanya. Menjadi seorang konselor maupun psikolog, ternyata tidak melulu berlimpah upah berupa "uang", tapi juga bisa ketiban rezeki dalam bentuk lain. Salah satu contohnya seperti cerita teman saya di atas tadi. Hanya dengan "menjadi pendengar", dia dapat gratis ongkos angkot.

Kalau pengalaman saya sendiri juga ada. Dulu, ketika pertama kali ikut tes masuk UMM, saya berangkat dengan menggunakan taksi (soalnya rumah Om saya jauuuuh banget dari kampus dan saya belum ngerti naik angkot apa yang lebih cepat). Di dalam taksi itu, sopirnya mengajak saya berbincang-bincang. Di tengah-tengah, dia pun curhat tentang beberapa hal dan saya hanya memberi respon dengan menjadi pendengar dari awal hingga akhir, tanpa memberi solusi dan hanya memberi dorongan minimal (salah satu bentuk dorongan minimal itu seperti mengucap kata "Hmm", "Iya"). Eh, tidak tahunya, saat hendak sampai, dia memberikan saya imbalan yang sangat istimewa. Saking istimewanya, itu mungkin tak akan pernah digantikan dengan uang. Imbalan itu berupa doa yang teramat tulus dari si Bapak sopir. Saat itu dia mendoakan saya bisa lulus tes di UMM dengan jurusan terbaik dan bisa mendapatkan jodoh terbaik di kota itu (Malang). Heheh... kalau yang terakhir sih belum tahu ya, gimana takdir Allah. Masih ada lagi doa lainnya cuma saya lupa. Saya mengaminkannya dalam hati dan tersenyum pada Bapak sopir itu. Ketika turun dari taksi, si Bapak itu memberi senyum terbaik dan tertulusnya pada saya sembari menyuntikkan semangat untuk bersiap-siap masuk ke Dome untuk tes seleksi. Alhamdulillah... tidak banyak orang baik seperti Bapak itu yang mau memberi doa secara tulus kepada orang yang sama sekali tak dikenal dan baru saja ditemuinya.

Kemudian, ada lagi, klien saya di email (seorang cowok) yang curhat mengenai masalahnya yang menurut saya sangat rumit sebab berkaitan dengan akidahnya. Tak disangka, dia membalas saya dengan memberi link grup khusus untuk muslimah lalu mendoakan yang terbaik untuk saya (mendoakan agar saya menjadi muslimah yang lebih baik lagi). Masya Allah... Subhanallah... Bukan hanya dia saja, tapi masih banyak lagi dari klien-klien lain yang juga memberikan doa terbaiknya bahkan dukungannya pada saya, padahal mereka sama sekali belum pernah mengenal saya.

Nah itulah sekilas cerita pengalaman saya selama memberikan konseling pada beberapa klien tak dikenal. 

Jadi, pesan saya untuk kalian para psikolog/calon psikolog/calon konselor/konselor, jangan pernah mengharapkan imbalan dari klien selalu melulu uang walaupun memang ada kode etik dari pemerintahan bahwa psikolog/konselor resmi itu "bertarif". Bekerjalah dengan seikhlasnya, jadilah pendengar yang baik buat mereka, dengarkan segala keluhan mereka dari awal hingga akhir. Jika tidak mendapat upah. Barangkali ada sesuatu yang lebih berharga yang akan kalian peroleh dari klien. Bisa saja, klien itu mendoakan kita lalu doa itu terijabah, mentraktir kita makan atau membelikan buah tangan (mungkin, tapi kalau yang ini jangan terlalu sering menerima, takut klien akan ketergantungan dan salah sikap pada kita)
Dan yang paling berharga adalah kita bisa memetik banyak pelajaran penting dari segala keluhan yang mereka hadapkan pada kita dan di situlah kita patut untuk bersyukur bahwa kita mungkin masih "lebih baik" dari mereka. Dari berbagai permasalahan klien itulah, kita bisa mempelajarinya untuk menumbuhkan rasa syukur, sabar serta kedewasaan berpikir/bertindak.

Terima kasih
Best regards,


2 comments:

  1. iya mbaaakkk
    siaaap :)
    *vey minat ambil S2 nih mbak di psycologi. tapi S1 aja daku belom lulus. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. cie cieeh cieeeh... cemunguuud yaaah Vey :D selesaikan dulu noh S1-nya, ntar baru ambil S2 Psikologi... aaaaa aku juga pengeen banget S2 *sedang ngumpulin duit hehe

      Delete

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.