Konseling atau bimbingan konseling adalah sebuah pengalaman baru bagi seseorang, terutama konselor. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang konselor pemula:
HopeCare-Lay |
1. Psychological health (kesehatan psikologis). Seorang konselor harus sehat jasmani maupun rohaninya, fisik maupun mentalnya. Seorang konselor tidak akan mampu mengarahkan sesi konseling/bimbingan konseling dengan baik dan benar bila dirinya mengalami gangguan. Oleh karena itu, penting adanya kesadaran terhadap diri sendiri, terhadap kebutuhan diri, sadar akan apa yang dilakukan itu adalah baik atau buruk dan paham mengapa melakukan hal itu.
2. Harming people (merugikan/menyakiti orang lain). Hal ini penting untuk diperhatikan konselor pemula bahwa sebuah bimbingan konseling bukan hanya untuk sekadar saling memahami atau mengutarakan pikiran, perasaan dan pengalaman. Tetapi, seorang konselor juga perlu menerima dan menghargai pikiran, perasaan dan pengalaman orang lain/kliennya secara positif. Pada saat konseling berlangsung, seorang konselor hendaknya mengantisipasi agar jangan sampai mengeluarkan perkataan, isyarat non-verbal ataupun tindakan yang dapat menyinggung atau menyakiti klien.
3. Counselor responsibility (tanggung jawab konselor). Seorang konselor adalah manusia yang terdiri atas satu paket kelebihan beserta keterbatasannya. Meskipun seorang konselor dituntut untuk profesional, akan tetapi tidak dimungkiri terkadang konselor akan menghadapi klien dengan kasus yang sebenarnya sudah di luar kesanggupan konselor. Misalnya, seorang klien sering mengeluhkan rasa sakit di kepala bila dia dihadapkan oleh suatu permasalahan dan ternyata pada penelusuran riwayatnya, klien tersebut memiliki gangguan pada fungsi sarafnya yang hanya mampu ditangani oleh ahli medis. Dengan demikian, konselor perlu bertindak autentik, menyadari keterbatasan areanya dan mengadakan referral ke ahli medis untuk menangani kasus ini lebih lanjut. Setelah keperluan diagnosa medis telah ditegakkan oleh ahlinya maka tanggung jawab konselor adalah kembali membantu klien tersebut untuk mengatasi masalahnya (di luar hal medis) bila kliennya meminta. Dengan menyadari keterbatasan konselor, maka permasalahan klien pun tidak akan terlunta dalam beberapa sesi konseling tanpa adanya keputusan atau penyelesaian.
4. Caring and accepting (kepedulian dan penerimaan). Kedua hal ini sangat penting demi membangun raport yang baik antara klien-konselor. Raport yang baik akan membawa kenyamanan pada pihak klien dan konselor sehingga mereka dapat menerima kehadiran dan diri satu sama lain. Bila ingin menunjukkan kepedulian terhadap klien, hendaknya menghindari isyarat non-verbal yang terlalu sering seperti menyentuh bagian tubuh (misal: pundak, bahu atau paha) klien. Kepedulian cukup ditunjukkan dengan menjadi pendengar yang aktif dan tidak membuang tatapan mata saat klien sedang berbicara. Konselor juga sebaiknya menunjukkan penerimaan positif tanpa pamrih (unconditional positive regard) kepada kliennya. Menunjukkan sikap mau menerima klien apa adanya tanpa meminta balasan dari jasa yang diberikan kepada kliennya.
5. Lack of experience (kurang pengalaman). Hal ini juga sama pentingnya dengan poin lain. Seorang konselor perlu meningkatkan pengetahuan/wawasannya terhadap segala aspek dalam kehidupan. Pengalaman-pengalaman itu dapat diperoleh dengan membaca buku, majalah/koran/jurnal, mendengarkan cerita positif dari orang lain, berdiskusi dengan orang lain, dan sebagainya. Semakin kaya pengalaman konselor, maka akan semakin mahir pula konselor tersebut dalam mengatasi berbagai permasalahan kliennya dan semakin bijak pula dalam memberikan/membagikan informasi kepada kliennya.
6. Failure (kegagalan). Dalam sesi konseling/bimbingan konseling bisa saja terjadi berbagai kegagalan untuk menuju suatu keputusan/penyelesaian bila antara klien maupun konselor tidak ada rasa saling percaya, kurang raport, atau salah satu dari mereka menunjukkan sikap withdrawl (menjauh). Kegagalan lain pula yang sering terjadi adalah seorang konselor kurang mampu mengeksplor akan permasalahan klien dengan baik, kurangnya keterbukaan klien pada konselor, ketidakpuasan klien akan konselor dan lain sebagainya. Kegagalan seperti ini seringkali terjadi di antara konselor pemula. Oleh karena itu, seorang konselor penting untuk memahami teknik-teknik yang baik dalam melakukan konseling.
7. Pitfalls (kesulitan tersembunyi). Beberapa kesulitan yang terkadang tidak disadari konselor ketika konseling, antara lain:
a. Berusaha terlalu banyak dan terlalu dini. Seorang konselor tidak perlu memaksakan diri untuk menyelesaikan satu sesi konseling hingga tuntas mulai dari raport, eksplorasi masalah, feedback, evaluasi, decision-making hingga closing. Hal ini disebabkan klien yang datang tidak selalu sama tipe dan jenisnya. Terkadang ada klien yang dalam satu sesi konseling masih sulit untuk memberikan informasi pada konselor sehingga membutuhkan satu sesi pendekatan secara penuh terlebih dahulu sebelum masuk pada inti permasalahan.
b. Lebih banyak mengajari daripada membina hubungan. Konseling/bimbingan konseling bukanlah sarana untuk saling menggurui satu sama lain. Konselor hendaknya menghindari kata, isyarat atau tindakan yang bermaksud seolah menasehati klien secara berlebihan. Arahkan klien agar dia mampu mengambil keputusan sendiri selama itu mampu untuk dia lakukan. Dan, seorang konselor perlu memahami bahwa klien dalam konseling/bimbingan konseling adalah partner, bukan bawahan atau orang yang lebih di atas kita. Sehingga, konselor perlu membina hubungan serta pendekatan yang baik dengan kliennya.
c. Penerimaan yang berlebihan. Sikap, isyarat non verbal atau tindakan penerimaan terhadap klien yang terlalu berlebihan akan mengakibatkan klien dependent terhadap konselor. Hal ini sebaiknya diantisipasi konselor. Tidak menutup kemungkinan, konselor mendapatkan klien yang memiliki kecenderungan untuk bergantung pada orang lain, merasa sangat terpuruk sehingga memerlukan kasih sayang dan penerimaan yang lebih. Konselor perlu bersikap tegas dan profesional untuk meghindari hallo effect pada klien. Konselor dan klien perlu memahami bahwa hubungan mereka adalah sebagai partner namun bukan untuk berlanjut ke arah yang sangat pribadi. Penerimaan yang berlebihan seringkali memicu kasus seperti antara konselor dan klien memiliki hubungan khusus di luar batas konseling. Itu akan merusak kode etik dari konseling.
d. Menampilkan masalah konseling secara berlebihan. Setiap masalah membutuhkan keterampilan penanganan/penyelesaian yang berbeda dan kadar berat ringannya juga berbeda. Sebaiknya, konselor menghindari penjabaran permasalahan yang terlalu dihiperbolakan ataupun terlalu disepelekan. Konselor harus jeli dalam menggali informasi klien sedalam mungkin dan mengeksplor berbagai pertanyaan yang memiliki kaitan dengan masalah tersebut. Namun, harus disesuaikan dengan kadar berat ringannya masalah itu sendiri. Untuk masalah yang tidak terlalu sulit, jangan malah dilebih-lebihkan seolah tidak ada solusinya, sebaliknya begitu pula dengan masalah yang rumit jangan dianggap remeh.
e. Cenderung menampilkan kepribadian konseling. Seorang konselor perlu bersikap dinamis dan fleksibel. Dalam konseling memang terdapat sejumlah peraturan atau kode etik yang harus ditaati. Namun, bukan berarti konselor menunjukkan kesan kaku dan terlalu tegas pada klien. Cobalah untuk bersikap dinamis, rileks namun perhatian dan fleksibel tanpa harus pakem terhadap teknis konseling seperti duduk sangat tegak dan tidak bergerak sedikit pun.
f. Merenung setelah mengalami sesi yang sulit. Ini seringkali dihadapi oleh konselor dan kebanyakan tidak disadari. Saat proses konseling mulai memasuki tahap eksplorasi masalah, terkadang konselor mengalami blank, mendadak tidak tahu apa yang akan ditanyakan lagi atau dikatakan lagi kepada klien. Sehingga, konselor dan klien mencipta jeda/diam yang cukup lama. Hal ini perlu dihindari oleh konselor. Untuk mengantisipasinya, tidak ada salahnya konselor membawa catatan kecil untuk memetakan masalah klien, apa yang telah diungkapkan klien agar hal tersebut tidak perlu ditanyakan berulang kali. Bila eksplorasi masalah berbelit, berulang dan sampai merenung maka hal ini bisa saja membuat konselor dan klien merasa jenuh dan konselor tidak akan memperoleh informasi yang maksimal terkait klien dan masalah klien.
Permasalahan yang sering dihadapi konselor
Selain hal di atas, ada dua masalah yang paling sering dihadapi oleh konselor yaitu:
a. Boredom (kebosanan). Hal ini ditandai dengan ciri-ciri menciptakan jarak antara konselor-klien, kehilangan rasa aman dan penerimaan, konselor terlalu banyak berbicara atau terlalu banyak diam. Hal seperti ini akan mempengaruhi keseluruhan sesi konseling dan lebih dari itu, konselor akan kehilangan informasi penting. Untuk mengatasinya, konselor harus benar-benar memetakan apa akar permasalahan yang telah ditangkap dari ungkapan tersirat/tersurat dari kien, memberikan feedback kepada klien terkait akar permasalahan yang konselor ungkapkan apakah itu sudah benar atau tidak dan bila perlu, gantilah jadwal pertemuan di hari lain.
b.Hostility (permusuhan). Sumber permusuhan yang seringkali terjadi yaitu adanya ketakutan yang mendalam (takut ketergantungan atau ditantang melakukan sesuatu) baik pada klien maupun konselor, frustrasi, konselor menjadi simbol konflik, banyak tertekan dan konselor selalu fokus pada hal negatif. Lalu bagaimana cara mengatasinya? Caranya ialah konselor harus menanamkan kepada diri sendiri juga klien bahwa mereka adalah partner yang bersama-sama memiliki tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi saat ini. Selain itu, konselor juga harus mampu menyeimbangkan perilaku/sikapnya, menjadi orang yang nice (ramah) dan mampu bersikap tegas/melakukan konfrontasi terhadap klien bilamana terdapat kesimpangsiuran atau terjadi rambatan permasalahan yang terlalu melebar/tidak fokus.
No comments:
Post a Comment
Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.