HAMBATAN
Dalam menangani anak
berkelainan diperlukan keahlian tersendiri karena tidak semua aktivitas di
sekolah dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus (ABK), misalnya ABK dalam
penglihatan tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau olah raga begitu pula
ABK dalam pendengaran sulit mengikuti pelajaran seni suara dan ABK yang lain
perlu penanganan khusus karena keterbatasannya. Maka sangat diperlukan guru
pembimbing khusus yang mampu memahami sekaligus menangani keberadaan ABK
termasuk di dalamnya memahami karakter dari masing-masing jenis kekurangannya.
Di negara kita guru
khusus bagi ABK masih sangat langka. Meskipun jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP
IKIP Jakarta telah menyelenggarakan pendidikan guru khusus bagi anak
berkesulitan belajar sejak tahun 1970-an, penempatan lulusannya kedalam sistem
persekolahan masih mengalami banyak kesulitan.Para lulusan bidang kekhususan
pendidikan bagi ABK pada jurusan
tersebut umumnya bekerja di sekolah sekolah swasta yang sudah memiliki
perhatian untuk itu.
Di samping membutuhkan
guru khusus, juga perlu membekali pengetahuan tentang karakter ABK terhadap
guru umum, siswa yang normal maupun masyarakat sekitar dengan harapan ABK tersebut
dapat diperlakukan secara wajar.
Guru umum (reguler)
sering tidak memperoleh latihan dalam bidang PLB dan tidak dipersiapkan untuk
mengajar ABK. Mereka sering takut terhadap tanggung jawab dan enggan menerima
tugas tambahan untuk membantu anak ABK. Padahal tujuan pembelajaran yang
dirancang untuk anak hanya dapat dicapai jika semua orang yang terlibat dalam
memberikan bantuan kepada anak tersebut berfungsi secara terintegrasi. Oleh
karena itu, diperlukan adanya konsultasi kolaboratif yang dapat meningkatkan
kerjasama antarorang-orang yang terlibat dalam upaya memberikan bantuan kepada
ABK
Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusi memang tidak sesederhana menyelenggarakan sekolah umum. Kenyataan
di lapangan memerlukan sarana yang cukup, misalnya gedung sekolah dengan
menyesuaikan kondisi anak. Peralatan pendidikan yang memadai, contoh bagi ABK
dalam penglihatan perlu alat tulis Braille, ABK pendengaran perlu alat Bantu
dengar, tuna daksa perlu kursi roda dan masih banyak lagi fasilitas yang harus
disediakan dengan harapan ABK dapat berkembang kemampuannya secara optimal.
Mengingat mahalnya
fasilitas yang harus disediakan maka sampai tahun 2005, di seluruh Indonesia
baru ada 504 Sekolah Inklusi yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.
Sebenarnya cukup banyak sekolah reguler yang mengajukan menjadi Sekolah
Inklusi, yakni 1200 sekolah, sedang yang dilaksanakan baru 504 sekolah dan yang
lain perlu dipelajari kesiapan karena konsekuensinya Pemerintah memberikan
subsidi Rp. 5.000.000 di setiap sekolah dan fasilitas lain sebagai penunjang
kegiatan bagi ABK tersebut.
Beberapa kendala penting
yang dapat menjadi titik permasalahan:
ü
Kurangnya
tenaga pengajar yang memiliki kriteria khusus sebagai pengajar bagi ABK.
ü
Paradigma
pemikiran tenaga pengajar yang masih konfensional
Titik permasalahan yang pertama adalah kurang seimbangnya tenaga
pengajar yang memiliki kriteria khusus yang diharapkan mampu membina ABK dengan
jumlah ABK itu sendiri. Pada Hari Autis Sedunia yang jatuh pada 8 April lalu
diketahui bahwa prevalensi anak berkebutuhan khusus saat ini mencapai 10 anak
dari 100 anak. Berdasarkan data ini menunjukkan 10 persen populasi anak-anak
adalah anak berkebutuhan khusus dan mereka harus mendapatkan pelayanan khusus.
(Okezone.com, 27 April 2009).
Idealnya satu guru menangani lima ABK atau maksimal delapan ABK per kelas. Karena satu ABK itu sama dengan delapan anak normal. Jadi kalau menangani satu siswa ABK berarti menangani delapan anak normal. Ketika guru menangani lima ABK per kelas, sama juga guru tersebut menangani 40 anak normal dalam satu kelas (Joglo Semar, 2 Januari 2009)
Titik permasalahan kedua adalah paradigma sebagian besar tenaga pengajar di Indonesia yang masih berpola pada kecintaan beliau-beliau untuk mengajar anak-anak normal karena memang lebih mudah sehingga tidak membutuhkan banyak teknik pendekatan dan penyampaian materi. Paradigma seperti ini banyak terjadi pada tenaga pengajar dengan masa pengabdian di atas 20 tahun yang notabene sudah merasa enak dengan dengan keadaan yang “normal-normal” saja. Mengenai paradigma ini, beberapa teman yang bekerja di sekolah inklusi, pernah bercerita betapa susahnya mengubah pemikiran guru-guru sepuh untuk diajak bersama-sama membimbing ABK agar bisa mengembangkan diri di sekolah regular, minimal bergaul dengan anak-anak normal.
Titik permasalahan ketiga adalah kurangnya kesadaran masyarakat, terutama orang
tua, yang terbagi lagi dalam dua hal yaitu kurangnya pengertian orang tua
terhadap makna ABK dan kurangnya kesadaran orang tua untuk mengembangkan
kemampuan ABK. Perihal yang pertama, banyak terjadi pada orang tua yang kurang
memiliki informasi pada pengertian ABK itu sendiri dimana ABK selalu dibebankan
pada anak yang memiliki cacat mental dan fisik saja. Padahal anak-anak yang
memiliki IQ di atas rata-rata dan memiliki bakat istimewa juga merupakan salah
satu ABK. Perihal yang kedua adalah kurangnya kesadaran orang tua untuk
mengembangkan kemampuan ABK. Kendala ini disebabkan karena kesadaran masyarakat
yang masih terbingkai oleh beberapa hal yang masih sulit diubah seperti
kepercayaan masyarakat yang masih bersifat negatif dan rasa malu memiliki anak
yang berkebutuhan khusus. Kurangnya kesadaran masyarakat ini menjadi
permasalahan paling penting agar program sekolah inklusi dapat berjalan dengan
baik, karena dalam hal pengembangan kepribadian ABK, orang tua berperan penting
dalam hal pemberian izin.
Wah..ulasannya komplittt mbk ^^
ReplyDeletehehe iya bund, dulu sempat bikn tugas ttf inklusi wktu matkul psi pendidikan
ReplyDelete