Tindakan suap dalam birokrasi sudah menjadi hal umum dan tentu saja merupakan perilaku yang tidak adil dan melanggar hukum. Contohnya aja kayak korupsi. Lalu, gimana dengan tindakan suap dalam pengasuhan anak? Ini juga sama. Sama-sama membahayakan.
Hahaha, meskipun belum nikah dan punya anak, tapi saya suka baca-baca tentang psikologi anak dan remaja (pasalnya karena konsentrasi yang saya minati sejak awal kuliah adalah klinis anak dan remaja).
Oh ya, lanjut...
Tindakan suap yang dilakukan oleh orangtua dalam mengasuh anaknya biasanya dengan cara mengiming-imingi hadiah jika anak tersebut melakukan tugas yang diperintahkan oleh orangtua tersebut. Seringnya nih, tugas yang diperintahkan tersebut suka ditolak oleh sang anak.
Sebagian besar orangtua pasti pernah "menyuap" anaknya, kan? :D hehe iya apa iya hayo???
Tapi, perbedaannya adalah ada orangtua yang menjadikan tindakan suap ini hanya sebagai teknik pemanis saja dan ada pula orangtua yang memakai metode suap ini di sepanjang hidup si anak (Dari kecil hingga dewasa).
Nah, tipe yang kedua ini yang paling berbahaya. Kalau anak terus-terusan disuap, mereka tidak akan dapat belajar untuk disiplin, tugas yang dilaksanakannya hanya dianggap sebagai angin lalu sehingga apabila si anak melakukan kesalahan, maka ia tak dapat belajar sepenuhnya dari kesalahan tersebut. Parahnya lagi, kalau ini terus berlanjut, maka akan menumbuhkan mental yang rapuh dalam diri si anak ketika remaja hingga dewasa nanti. Si anak nggak akan bisa belajar berdiri sendiri untuk maju dan berkembang.
Selain itu, tindakan suap ini juga lama-kelamaan akan melenyapkan internal self-control pada diri si anak. Padahal, self-control itu adalah fondasi terbentuknya kedisiplinan agar anak dapat belajar me-menej kehidupan pribadinya. Jika self-control-nya udah "bolong", maka si anak akan menjadi orang yang teramat permisif. Mereka akan menjadi pribadi yang doyan mengabaikan berbagai tanggung jawab dan kewajibannya, baik yang penting maupun yang sepele atau dengan kata lain, sensitivitasnya terhadap kewajiban berkurang bahkan hilang. Si anak juga akan kehilangan kecerdasan sosialnya, contohnya saat ada orang lain meminta tolong pada dirinya maka ia tidak akan mau menolong orang tersebut, kecuali jika diberi imbalan.
Lalu, gimana dengan sistem reward?
Nah, reward ini berbeda dengan suap. Kalo suap itu diberikan sebelum atau setelah anak melakukan sesuatu, sedangkan reward diberikan setelah anak melakukan sesuatu.
Reward itu sendiri adalah memberikan hadiah atas prestasi atau pencapaian yang dilakukan oleh si anak dengan tujuan menghargai perjuangan sang anak.
Dalam reward, ada proses belajar yang tentunya lebih positif daripada tindakan suap. Nah, tapi sistem reward ini tentu tidak selamanya menjadi solusi sempurna ya. Karena untuk mengaplikasikan reward, orangtua juga harus menegakkan aturan mainnya. Apa saja itu? Orangtua memberi reward harus disesuaikan dengan usia, perkembangan emosional anak dan perhatikan pula apakah reward tersebut akan berdaya guna untuk si anak atau tidak. Selain itu, jangan sering-sering ngasih rewardnya karena akan memicu kebosanan pada si anak apalagi kalo bentuk rewardnya itu-itu aja. Jadikan reward sebagai sebuah kejutan bagi si anak ketika telah berhasil mencapai prestasi tertentu. Nah, lainnya, kalau misalkan si anak udah mencapai satu titik prestasi tertentu, maka dorong/motivasi si anak agar mau terus berkembang biar dia bisa naik ke level selanjutnya.
Reward itu nggak harus selalu dalam bentuk materi loh. Dapat juga dengan cara memberikan pujian. Pujian yang wajar, tapi. Yang jelas, harus tahu dulu fungsinya ngasih reward itu apa sih? Saat anak sedang mengalami krisis kekurangan rasa percaya diri, maka sistem reward ini juga diperlukan. Tapi, melihat kenyataan sekarang, banyak juga ortu yang ngeledekin anaknya sendiri saat anak tersebut tengah tertekan akibat krisis PD-nya. Kasian, kan?
Eum, selain sistem reward, jangan lupa untuk selalu menerapkan perilaku bersyukur pada si anak (maksudnya, kasih contoh teladan untuk mensyukuri setiap apa yang diperolehnya). Cara ini diharapkan membuat anak menumbuhkan sifat qana'ah. Jadi, sehabis dapat reward gitu, si anak nggak maruk (mau minta nambah), melainkan bisa mensyukuri apapun hasil yang diperoleh plus ditunjang oleh semangat pantang menyerah agar mau terus berusaha maju dan berkembang lebih baik dari sebelumnya.
Sekian dulu deh info dari saya.
Wassalam... :)
makasih yaa mak Yanuarty atas ulasannya, aku suka deh baca2 ttg psikologi kaya gini ^^
ReplyDeleteiya Bunda sama-sama ^__^
ReplyDeletememang benar,,,
ReplyDeleteKita juga harus hati-hati,,,
kasihan anak kita,,,kalau terkena imbas dari perbuatan kita,,,
haha meski belum jadi ortu tapi kudu belajar dari skrg, complicated soalnya kalo udah masuk ranah anak dan remaja, adaaaa aja masalahnya
ReplyDelete