Friday, February 7, 2014

FIKSI: MAAFKAN AKU, MAS

Saat pertama mengenalnya, ada banyak perbedaan juga kesamaan antara aku dan dia. Dia adalah seorang praktisi kesehatan sedangkan aku adalah seorang penulis. Saat melamarku, dia sudah tahu bahwa aku tidak akan mungkin dapat melepaskan rutinitas menulis yang sudah 17 tahun kugeluti. 

Setelah menikah, aku mendapatkan banyak tawaran menulis. Dia—suamiku—sering menasihatiku agar aku tidak menerima tawaran menulis buku yang dapat memicu kegalauan. Padahal, aku sangat suka menulis cerita romance. Baginya, kisah romantis itu lebih banyak mendatangkan penyakit hati. Dia tak suka itu. Memang, dia adalah pembaca setiaku. Dari dua puluh genre buku yang kutulis, ada sekitar lima buku yang tidak ingin dibacanya dan itu adalah novel romantis. Sisanya, hanya membaca buku-buku motivasi Islami karanganku saja. 

Aku sempat tidak suka dengan sikapnya yang enggan membaca novelku sekalipun seluruh buku yang kukarang mendapat predikat best seller. Tapi, setelah kutanya alasannya, dia hanya menjawab, “Sayang, aku bukannya tidak menghargai karyamu. Aku akui kamu sangat hebat. Semua bukumu laris dan ada beberapa yang akan di-film-kan. Aku tidak mau membaca novel itu karena aku tidak ingin kisah itu hadir di tengah-tengah kehidupan kita. Aku tidak ingin menjadi seperti karakter tokoh lelaki yang selalu kamu tulis dalam novelmu.”

Jleb! Astaga, maafkan aku, Mas. Walau kamu tidak membaca semuanya, ternyata kamu sangat peka terhadap tulisanku. Kamu bisa menebak seperti apa karakter tokoh yang akan kutulis. Pantas saja, ketika kusodorkan novel pertamaku dan kamu hanya membaca sedikit saja, kamu tiba-tiba menutup dan meninggalkan novel itu di atas meja kerjamu. Apakah kamu cemburu? Ah, tapi kenapa kamu harus cemburu pada tokoh fiktif dalam novelku?

Hingga kemarin, salah satu penerbit menawarkan job menulis novel romantis lagi dan suamiku memintaku untuk menolaknya. Dia sedikit kesal. Mungkin terbakar api cemburu. Tapi, bukankah itu tidak wajar jika harus mencemburui tokoh fiktif yang sama sekali hanya buah dari imajinasi. 

Saat aku terdiam di pojok mejaku, dia menghampiri, mengelus pundak dan kepalaku lalu mengecup anak rambutku. Dia pun berkata, “Sayang, maafkan aku ya. Mungkin bagimu, aku ini tidak wajar, cemburu pada tokoh fiktif yang kamu ciptakan. Tapi, acapkali menulis novel itu, aku sering melihatmu tersenyum sendiri. Dan, kamu sadar, tidak? Kamu pernah memperlakukan aku layaknya tokoh dalam novelmu. Mungkin, kamu lupa tapi aku masih ingat.”

Mataku mengerjap. Ya Rabb, apa benar yang dikatakan suamiku itu? Aku sama sekali tidak ingat jika pernah memperlakukannya seperti tokoh lelaki dari salah satu novelku.

Aku berpikir keras dan mempertimbangkan pekerjaanku sebagai penulis. Mungkin dia benar. Aku sudah keterlaluan dalam menghayati tokoh-tokoh dalam novelku. Setelah menyadari kesalahanku, aku berlari memeluk dan meminta maaf padanya. Aku juga berjanji tidak akan menulis novel romantis lagi. Saat kuutarakan maksudku itu, dia menyela, “Sayang, aku tidak melarangmu menulis buku dengan genre apapun. Aku tidak ingin membatasi ruang imajinasimu. Tapi, aku tidak ingin kamu melampiaskan imajinasimu yang buruk-buruk ke dalam kehidupan kita. Jika kamu merasa ada yang kurang dari diriku, beritahulah aku dan akan kuperbaiki untuk menyenangkanmu. Jika kamu menganggapku seperti tokoh dalam novel itu, aku jelas tidak akan pernah bisa menjadi seperti mereka. Tapi, aku bisa mengupayakan diri untuk selalu menjadi pelindung terbaikmu. Kamu paham, kan?”

Ah, so sweet! Hatiku langsung lumer ketika mendengar kata-kata itu. Menurutku, dia memang lebih romantis daripada semua tokoh lelaki yang kulukis dalam buku-buku itu.

Mas, bagiku kamu adalah segalanya. Maaf bila aku pernah memperlakukanmu seperti tokoh dalam kisah novel itu. Aku sungguh menyesal. Aku sangat mencintaimu, Mas. Aku tidak ingin kamu menjadi seperti orang lain, cukuplah menjadi dirimu saja. Karena, yang aku cintai adalah dirimu, bukan tokoh dalam novel itu. Terima kasih atas perhatianmu selama ini, Mas, batinku saat melihatnya telah tertidur pulas di sampingku. 

4 comments:

  1. Ya deh kumaafin , , ,hehhehehe
    salam kenal,, mampir diblog q yaa

    ReplyDelete
  2. Semoga jadi kenyataan ya say,,,
    roooooomantis bgettt,,,

    *tutup muka
    hehehe

    ReplyDelete
  3. wiiiw, jangan kenyataan ceritanya hehe aku gak mau kasian suamiku ntar mbak aku anggap jadi karakter tokoh bukuku hihihi

    kok tutup muka segala mbak? hehehe

    ReplyDelete
  4. ciyeee,,. wkwkwkw... kayaknyaa dokter selaalu, ha ha ha

    ReplyDelete

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.