Judulnya sadis sadis gimana gitu ya :D tapi jangan salah paham dulu. Saya nggak lagi berantem sama keluarga. Ini tentang sebuah rezeki dari silaturahmi ke kosan teman pagi tadi.
Sebut saja dia sebagai Zee. Kami berteman sudah sejak duduk di bangku kuliah S1. Sekarang ini, dia tengah sibuk dengan tesisnya. Pagi tadi saya nyempatin diri untuk sekadar mampir. Seperti biasa sih :D.
Saya dan Zee mulai dekat kira-kira saat semester 5 S1. Di semester tersebut mulai ada program kelas pilihan. Saya meminati kelas klinis dan Zee lebih minat antara klinis juga perkembangan. Tapi, untuk beberapa mata kuliah pilihan, kami sering satu kelas. Saya pun terpisah dengan teman-teman TELETUBBIES (begitu anak-anak F class Psycho nyebut saya, Ratri, Puput dan Dhini semacam sebuah clique) sebab kami berempat berbeda matkul pilihan. Bukan hanya dengan Zee, saya juga mulai akrab dengan Miaw dan lainnya (tentunya yang sekelas pada matkul pilihan).
Zee adalah anak tunggal. Bisa dibilang dia orang kaya. Tapi, walau begitu tetap low profile. Memang dia lebih suka membeli barang-barang ber-merk. Tapi, bukan berarti dia adalah kaum borjuis yang suka hambur-hambur harta. Kenapa barang bermerk jadi incaran? Itu karena faktor utama kenyamanan dan keamanan selama memakainya. Lagipula, dia juga tidak selalu membeli yang mahal-mahal. Saya pun ada kalanya demikian, khususnya soal barang seperti sepatu dan tas. Saya lebih percaya untuk membeli dan memakai barang bermerk agar awet. Harganya pun tentunya sesuai dengan kemampuan, begitu pula dengan Zee.
Saya tak habis pikir, tadi pagi adalah momen di mana baru pertama kali saya melihat Zee menangis dengan taburan luka. Ya, luka. Kami semacam tengah curhat plus konseling. Saya tak banyak bicara atau bertanya, seperti biasanya. Cukup mendengarkan segala penuturan disertai dorongan minimal (kata ya, heum dan sebagainya- orang Psikologi pasti paham maksud saya). Cerita pilu bin menyakitkan itu mengalir begitu saja dari bibir Zee. Ada detik di mana mata saya sembab. Ya, saya pun ikut menangis.
Di sini, saya tidak akan menceritakan permasalahan Zee (akar masalah/api pemicu yang sesungguhnya). Jadi, apa yang akan saya tulis ini bukanlah akar masalahnya). Hal tersebut tentunya confidentiality (sangat rahasia) dan bisa dibilang aib. Jadi, saya hanya ingin menuturkan beberapa poin impact dan hikmah di balik luka Zee.
Belakangan ini, keluarganya diguncang masalah. Zee termasuk salah satu orang yang menurut saya berada di posisi victim. Korban. Begitulah. Mendengar ceritanya, saya jadi teringat dengan permasalahan yang pernah bergulir dalam keluarga kerabat jauh saya.
Yang membuat saya tak habis pikir, mengapa keluarga bisa segitu jahatnya. Memaki saudaranya sendiri dengan kata-kata yang sangat tak pantas. Sekarang saya mau tanya. Bagaimana perasaan kalian jika diolok-olok dengan kata ini, "Hidupmu benar-benar hedonis! Kepribadianmu sungguh jelek, tak ada satupun yang baik di mataku!"
Sakit bukan?
Hhh... saya kenal Zee cukup baik. Dia, meski di mata orang suka pakai yang bermerk bla bla bla. Tapi, kalau dia memang hedonis, tidak mungkin dia mau makan di warung pinggir jalan, kan? Tentu, jika andai itu benar, Zee tak akan pernah mau berteman dengan saya dan lainnya. Mungkin, dia akan lebih memilih teman lain yang lebih kaya di dalam kelas kami (ya, memang saya akui F class itu sangat berbeda dari kelas A, B sampai E. F class ada beberapa di antara kami yang memang berasal dari keluarga sangat terpandang di telatah mereka).
Di sela ceritanya, Zee memuntahkan sebuah kata. Kedengarannya seperti sebuah penguatan. Begini kalimatnya, "Terkadang lebih baik kita menutup kedua telinga sendiri daripada harus menutup mulut orang banyak satu per satu."
Ya, ketika ada seseorang yang mencaci keluarga kita habis-habisan. Menjatuhkan mental seluruh anggota keluarga kita dengan sedemikian rupa hanya karena sesuatu yang mungkin seharusnya tidak bisa disebut masalah, ada kalanya kita perlu menyumbat kedua telinga dari mereka. Sebab, yang lebih tahu dan paham mengenai diri kita sendiri hanyalah kita dan Allah, Sang Pencipta.
Saya tahu bagaimana rasanya Zee dicaci. Sebab, saya juga pernah bahkan selalu dicaci di masa lalu saya, when I was childhood. Tapi, saya tahu, luka yang Zee tanggung jauh... jauh lebih parah dari saya sebab seluruh keluarga intinya pun terkena imbasnya.
Saya lebih heran lagi ketika orang yang memaki Zee malah dengan gampangnya minta maaf sambil berkata, "Maaf deh tapi saya berusaha untuk mengingatkan kamu bahwa hidup ini keras!" (dengan posisi menunjuk-nujuk pake jari telunjuk ke hadapan wajah Zee). Astaghfriullah.. sungguh kejamnya bila ada anggota keluarga bersikap seperti itu!
Saya tahu, Zee kuat. Ya. Meski dia sempat berkata bahwa luka-luka ini sebanding sakitnya dengan waktu dia dan keluarganya kehilangan sang ayah (ayah Zee meninggal saat masih kuliah karena ginjal).
Di akhir, kami mencoba untuk tersenyum. Saya juga paham bagaimana membedakan senyum frustrasi dan senyum lepas. Zee meletakkan senyum itu antara keduanya.
Huuuffft!! Keluarga. Terkadang bisa jadi teman. Namun, saya pernah mendengar (entah dari film atau buku atau omongan orang) bahwa musuh paling dekat dan berbahaya pun datang dari lingkup keluarga.
Saya sampai nggak tahu nih mau nulis apa lagi. Tapi, saya yakin, kalian tentu bisa menebak kesimpulan dari kisah Zee (nama samaran) ini. Apapun itu, intinya, jaga lisan. Iya, itulah pedang sesungguhnya yang kita miliki masing-masing. Ketika ucapan itu telah menusuk hati seseorang, maka itu seperti sebuah paku yang menancap pada sebilah bambu. Walau dicabut, akan meninggalkan bekas. Lubang! Dan, apabila orang yang terkena paku itu tidak rida dengan yang menyakitinya, maka waspadalah. Hidup kita akan terancam penuh penyesalan seumur hidup. Sebab, kita pasti tahu, kan? Doa orang teraniaya itu makbul. Bagaiman jadinya jika ia sampai bersumpah bahkan tidak rida lagi pada kita?
Ya, dan... saya sempat menuliskan ini di FB,
"ALLAH ITU MAHA PEMAAF TAPI MANUSIA ITU PUNYA SIFAT MENUNTUT. JADI JIKA PUNYA SALAH SAMA MANUSIA, MAKA MINTALAH MAAF DARINYA DULU SEBELUM MEMOHON AMPUN PADA ALLAH".
---
jadi inget diri saya sendiri dulu juga pernah ditunjuk-tunjuk pake jari telunjuk tapi kena kepala istilahnya dijenggung gitu dan itu dilakukan di depan umum.. betapa malunya saya
ReplyDelete:(
Delete