"Hans, sebutkan padaku, tempat apakah di dunia ini yang tidak pernah ada satupun orang yang menjamahnya," pinta Fianca.
Lelaki bermata sipit itu tertegun dengan senyum agak sinis. Sepasang alis antagonis miliknya yang seharusnya tampak sangar, mendadak layu.
Gadis berponi dengan wajah bulat itu berbalik menatap pria yang duduk di samping kirinya. "Apa kamu tahu tempat itu?" tagihnya, membuat pria itu mendesah seraya mengejek pertanyaannya.
"Ada," jawabnya sambil merapikan jaket cokelat tuanya. "Tempat itu... belum pernah satupun orang mengunjunginya. Tak ada siapapun yang menjadikannya tempat tinggal. Padahal, tempat itu tidak begitu jauh, tapi orang-orang selalu menganggapnya asing."
"Apakah yang kau maksud itu adalah hutan ?" tebak Fianca sangat ingin tahu.
Pria itu menggeleng lalu memutar badannya sehingga matanya dapat memandang Fianca secara sejajar.
"Lalu, di mana itu?"
"Kenapa kau menanyakan itu? Apa kau ingin kabur? Untuk apa?"
Ingatan Fianca terbawa pada arus insiden dua hari yang lalu. Ia tak pernah paham dengan perasaannya yang terus bergerak mundur. Fray, kedatangannya kembali membuat Fianca merasa bersalah. Pernah tertambat di hati pria itu, bukan harapan yang ingin ia peroleh dalam hidupnya. Ia terpaksa melakukannya karena terjebak oleh situasi yang mengharuskannya berada di sisi Fray.
Perjodohan itu, sebaiknya tak pernah ada. Tapi, Fianca tak punya daya untuk menolak. Jika ia memperburuk situasi, maka Fray akan celaka. Bukan hanya Fray, tapi juga ayah Fianca. Rumitnya hubungan itu tak pernah ada dalam hamparan bayangan Fianca. Pun, ketika pernikahan itu berjalan mulus, hatinya masih lebam. Hari-harinya ibarat menjalani adegan berpura-pura sebagai seorang istri. Hatinya tak pernah ia suguhkan untuk Fray. Tapi, pria itu tak dapat dipungkiri ketulusannya. Selalu menengahi keputusasaan Fianca.
Kini, Fianca berhasil lari dari jeratan rumah yang tidak seharusnya ia hidup di sana. Meski tak ada apapun dan siapapun yang mengekang dan memborgol, hatinya tetap tak bisa terus berjalan di sisi Fray. Mengiyakan semua perkataan, janji, rayuan, cumbuan, kecupan, tawa dan tangis Fray bukanlah hal yang didambakannya. Bukan karena Fianca jselingkuh atau Fray selingkuh. Bukan! Ini masalah hati. Lebih dalam. Lebih kelam. Sampai detik ini, hatinya tak pernah terulur untuk sosok Fray.
"Ya. Aku ingin pergi sejauh mungkin dari Fray. Meskipun gugatan cerai yang kuajukan mungkin tak akan pernah digubrisnya, tapi aku harus tetap lari. Aku tak bisa membiarkan diriku terjebak dalam kebohongan. Aku tidak mencintainya. Tak pernah," tutur Fianca seraya membenarkan dugaan Hans.
"Aku tidak yakin kau akan pergi ke tempat yang kumaksud," cetus Hans dengan nada datar.
"Kenapa?" Kedua alis Fianca bertaut di tengah. "Sejauh dan seburuk apapun tempat itu, kurasa itu lebih baik daripada aku hidup di sebuah ruang sandiwara. Entah kau paham atau tidak, tapi aku benar-benar tak bisa lagi menjadi istri Fray. Aku tak bisa berpura-pura menyenangkannya atau membuatnya menangis."
"Aku memang belum menikah, tapi aku pernah mendengar dari orang-orang. Pernikahan bukan hanya tentang suka atau tidak, cinta atau tidak. Ketika kau hidup bersama seseorang, maka sepanjang hidupmu akan terisi oleh pelajaran memahami. Banyak hal yang kau tidak ketahui akan muncul dan kau harus menerimanya sebagai bagian dari dirimu. Kau dan dia harus saling melengkapi dan menambahi, bukan mengurangi."
"Aku sudah menduga kau akan menceramahiku. Tapi, kau belum menjawab pertanyaanku. Tempat apa yang akan kau rekomendasikan itu?" sela Fianca.
"Jika aku menyebutkan tempat itu, apa kau akan benar-benar pergi ke sana?"
Fianca menghela napas panjang. Berat.
"Bagaimana?" lanjut Hans.
"Ya, tentu. Aku lebih baik pergi ke sana. Untuk selamanya. Dengan begitu Fray akan mencari orang lain dan aku akan bahagia menjalani hidup tanpa kebohongan."
"Kau yakin dengan ucapanmu?"
"Ya. Kenapa? Kenapa justru kau yang tidak yakin?"
"Aku ini sahabatmu. Sejak kecil, aku sudah hapal bagaimana dirimu. Sering aku mendapati lisanmu tak sejalan dengan hatimu. Bukankah ini terlalu tergesa-gesa bagimu? Apa kau sedang merencanakan untuk kebohongan selanjutnya?"
"Apa yang kau maksud dengan kebohongan selanjutnya?"
"Jadi, kau benar-benar ingin pergi dari sisi Fray. Kukira kau sedang berbohong lagi."
Fianca terdiam dengan pandangan kosong. Matanya lurus ke depan. Ia tahu, tak ada apapun yang tengah dilihatnya.
"Tempat itu..."
"Apa? Di mana? Katakanlah!" buru Fianca, tidak sabar.
"Hatiku," desah Hans dengan mata bak belati. Retinanya sedang berusaha menikam kecemasan Fianca.
Fianca menganga. Tak berkutik. Ia sedang memikirkan kalimat apa yang pantas untuk menyela. Dipikirnya, Hans sedang bergurau.
"Sudah kubilang, kau tak akan pernah sudi ke tempat itu. Betapapun aku mengajakmu, kau pasti tak akan mau," imbuh Hans, mencoba menghibur luka yang mulai menitik di relungnya.
Fianca tak juga mematahkan kata.
"Sudah lama sekali. Aku menutupi semua perasaanku padamu. Selalu kupastikan tak ada satupun pintu yang perlu kubuka lagi untuk memasukkan namamu ke dalamnya. Tapi, aku begitu bodoh. Aku tak pernah sadar, juga mengikuti jejakmu, mengupayakan sebuah kebohongan. Sakit rasanya."
"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Fianca akhirnya.
"Bukan karena aku ingin memungutmu. Bukan karena aku kasihan dengan gugatan cerai yang kau ajukan untuk Fray. Bukan karena aku bahagia karena kau telah tak ingin bersama Fray. Tapi..."
"Apa?" potong Fianca tergesa-gesa.
"Aku ingin kau tarik semua ucapanmu tadi. Kembalilah dan minta maaf pada Fray. Dia sudah terlalu baik untuk bersabar terhadapmu. Kau perlu belajar menerima dan memahaminya. Aku juga yakin, kau tak akan mungkin pernah sekadar singgah ke tempat yang kukatakan tadi."
"Kalau aku bilang iya, lalu bagaimana menurutmu?"
Hans tertawa sinis. "Meski tempat itu indah, kau tak seharusnya pergi ke sana. Tempat itu bukan untuk pelampiasan. Begitulah hatiku mendefinisikannya. Aku sudah belajar untuk kehilanganmu. Aku sudah belajar untuk memahami bagaimana Tuhan menakdiran pertemuan antara kita."
"Tadi kau menawarkannya. Lalu, sekarang kau membatalkan rekomendasi itu?"
"Aku hanya mengatakannya sesuai permintaanmu, bukan karena penawaran dariku. Hatiku sebenarnya sudah lama menjadi milikmu. Namamu tertulis di pintunya. Napasmu berembus di sela-sela jendelanya. Tapi, aku baru sadar, kau tak pernah ada di sana. Kau tak pernah tinggal atau sekadar bermalam di sana."
"Tapi..."
"Tempat itu akan selalu terbuka untukmu, Fianca. Tapi, bukan dengan cara meninggalkan tempat yang selama ini kau tinggali. Bukan untuk bermalam. Bukan untuk pelampiasan. Karena aku tak ingin hatiku menjadi tempat persinggahan yang emosional. Aku ingin kau belajar terlebih dahulu. Belajar menguasai hatimu. Ketika kau memang membutuhkan tempat itu dan Tuhan membukakan jalan untukmu, datanglah. Aku akan menunggu. Tapi, jika kau hanya ingin bermalam, lebih amannya, pulanglah ke rumahmu, rumah suamimu."
-----
No comments:
Post a Comment
Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.