Kalau orang memilih pantai, gunung atau kawasan luar negeri sebagai tempat yang paling berkesan untuk dikenang, maka berbeda dengan saya. Blok H no. 29, itulah satu-satunya tempat yang paling saya rindukan. Semua kenangan terukir di sana. Semuanya pun harus rela untuk ditinggalkan.
Blok H No. 29 BTN Soreang Permai, kota Parepare, Sulawesi Selatan adalah rumah pertama kami. Sejak Bapak dan Mama merantau lalu menikah di sana, rumah itulah yang menjadi prasasti hidup kami berlima. Saat masih kecil, rumah itu masih sangat kusam. Sekitar tahun 1990an, betapa menyedihkan tempat yang kami tinggali itu. Rumahnya memang sederhana. Sangat sederhana. Awalnya, tak ada lantai keramik, melainkan ubin biasa. Atapnya banyak yang bocor sana-sini. Kamar saya pun bocor. Saya bahkan pernah kehujanan di tengah tertidur. Saya pikir sedang ngompol, ternyata air hujan merembes dari plafon dan membasahi setengah dari badan saya. Jadi, setiap hujan tiba, saya pasti akan mengungsi ke kamar Mama.
Bukan karena Bapak tak punya uang untuk membenahi berbagai kerusakan, melainkan kami terbiasa hidup berhemat. Saat itu, Bapak dan Mama memang sedang merencanakan renovasi besar-besaran (total). Jadi, mereka gigih menabung untuk itu. Saya pun tak pernah protes. Selama saya masih bisa lari sana-sini dan main di dalam rumah bersama teman, itu tak masalah.
Dari segi lokasi, rumah tersebut cukup strategis. Beberapa kilometer di belakang kompleks rumah, ada bentangan pantai yang panjang. Daerah belakang rumah disebut tanggul oleh kebanyakan orang tapi sebenarnya itu adalah pesisir pantai dari laut utama kota Parepare. Enak kan bisa lihat laut gratis? Tiap weekend, saya sering olahraga bersepeda keliling kompleks hingga ke jalan raya sekitar pantai di belakang. Jalan tersebut menghubungkan kawasan perumahan dengan bagian belakang pasar Lakessi (pasar sentral kota Parepare). Jadi, kalau dulu Mama masih berdagang pakaian di sana, tidak perlu susah-susah lagi lewat bagian depan pasar. Cukup hanya 7 menit saja (dengan motor), sudah bisa sampai ke pasar. Dulu, saya juga sering jalan-jalan bareng dengan beberapa mahasiswi saya ke pantai itu sekadar foto-foto atau jalan-jalan sore. Kebetulan, di kafe pinggir pantai sana ada beberapa mahasiswaku yang kerja part-time, jadi sekalianlah kami bertemu di tengah-tengah jalan.
Andai kawasan tersebut adanya di Jakarta, mungkin sudah termasuk kawasan yang mahal. Lihat saja di kota-kota besar, asal dekat pantai/laut saja, rumahnya dibanderol dengan nilai yang cukup fantastis. Alhamdulillah, saya sangat beruntung bisa tinggal di pesisir pantai.
Kemudian selanjutnya adalah faktor cuaca. Iklim tropis di daerah pantai memang sangat berbeda dengan cuaca panas di daerah yang banyak gunungnya seperti Jawa. Dulu waktu saya kuliah, kulit saya mudah kusam, jarang keringat meski sudah berolahraga dan jalan kaki dan kayaknya perawatan apapun tidak begitu maksimal hasilnya. Ketika sempat pulang ke Parepare, saya semacam mengalami pergantian kulit. Kulit wajah dan tubuh mulai kembali normal (cerah dan berenergi), mudah keringat (keringat kan siklus ekskresi untuk membuang racun dari dalam tubuh) dan segar bugar.
Di Parepare juga banyak ragam seafood. Saya adalah salah satu kaum yang tidak makan daging merah seperti kambing, sapi dan sebangsanya (kalau ayam pun tidak begitu doyan, sesekali saja). Saya lebih suka seafood tapi yang benar-benar dari laut (kalau ikan air tawar saya kurang begitu suka). Semenjak pindah ke Malang, harus makan tahu tempe ayam dan ikan air tawar tiap hari. Benar-benar shock therapy lagi buat saya.
Heum, pokoknya banyak hal yang tak bisa digantikan oleh kota Malang terhadap kota kecil Parepare.
Dan, memori yang tertambat di rumah lama kami itu semakin kaya saja ketika telah selesai renovasi total. Rumahnya lebih berwarna dibanding sebelumnya. Yang lebih penting, saya punya kamar sendiri. Kamar depan di lantai dua yang mengarah ke balkon/teras atas. Ventilasinya sangat memadai sampai-sampai matahari siang dan senja tak pernah absen mampir ke kamar saya. Dan, itulah yang tidak saya dapatkan di rumah baru sekarang (karena memang pembangunannya belum selesai).
Berikut ini foto-foto rumah kami (foto-foto ini saya ambil sejak tiga tahun lalu) jadi ada sedikit perubahan dan tidak sempat saya foto lagi sejak pindah ke Malang.
Ini penampakan dapur plus ruang tengah Ini saya take sekitar 3 tahun lalu saat libur kuliah dan pulang ke sana |
Ini penampakan teras. Sebenarnya masih luas dan banyak tanaman cuma tidak saya foto semuanya |
Sekarang akuarium itu tidak ada lagi. Ini adalah ruang depan yang tepat berada di samping kamar saya dan mengarah ke balkon. Ruang ini biasanya dipakai untuk shalat (jama'ah atau shalat sendiri2). |
Nah ini juga foto ruang tamu yang baru saya unggah beberapa bulan lalu waktu masih ada di Parepare. Lukisan di sebelah kiri itu adalah lukisan ka'bah besar yang Mama beli waktu naik haji. |
Ini penampakan kamar saya. Foto ini saya unggah sudah lama. Di kamar saya tidak banyak perabotan. Cuma ada bufet, spring bed, lemari box dan lemari belajar. Simple, ya kayak orangnya hehe |
Ini diunggah oleh mahasiswi saya pake hapenya waktu kami lagi JJS ke belakang kompleks saya. Mereka sering mampir panggil saya jalan-jalan bareng ke pantai kalo ada waktu senggang. |
Ini saya dan mahasiswi waktu lagi JJS tahun lalu. |
Inilah sekelumit kenangan yang saya punya di Parepare. Kenangan akan surga yang saat ini harus kami tinggalkan untuk mengecap kehidupan yang lebih besar lagi di kota Malang, tempat lahir Bapak.
Keputusan pindah ke Malang memang bukanlah hal yang tergesa-gesa. Sudah Bapak kami pikirkan sejak belasan tahun lalu dan baru kesampaian 2012 akhir lalu. Bapak pindah duluan sembari mencari rumah baru di Malang, disusul adek saya yang cewek kuliah di UMM juga. Sedangkan saya, Mama dan adik bungsu masih di Parepare karena kemarin saya masih ada kontrak kerja dan adik saya yang cowok masih SMA.
Hari ini, kami berlima berkumpul di rumah baru (di Malang). Belum ada perabot, masih berantakan jadi lebih baik tidak saya foto hehe.
Saya memang tidak tega meninggalkan Parepare. Selain karena itu adalah kota kelahiran saya dan adek-adek, banyak sekali peristiwa yang tak bisa saya sebutkan satu per satu, terjadi dan membekas di sana. Teman, sahabat, makam Mbah dan mahasiswa harus saya tinggalkan.
Saya pernah bergumam dalam hati, seandainya saya punya uang ratusan juta, tentu saya akan membeli rumah kami yang dulu. Saya tidak akan ingin menjualnya kepada siapapun, meski kami telah pindah. Saya ingin menjaganya sebagaimana menjaga seluruh kenangan yang terprasastikan di sana. Tak ada satupun orang asing yang akan saya biarkan untuk menyentuh rumah itu. Tak ada.
Tapi, mungkin... ini hanya angan. Walau berat, saya dan kami sekeluarga mencoba untuk ikhlas.
Sampai kapanpun, H 29 akan selalu di hati, tak akan pernah terganti.
Selamat tinggal H 29.
Semoga kau menemukan jodoh penghuni baru yang dapat menjagamu seperti kami menjagamu, yang dapat merawatmu sebaik-baiknya sebagaimana kami merawatmu, yang bisa melindungimu dan bisa menegakkan nama baikmu selayaknya kami dulu melakukan hal itu padamu. Juga untuk pohon Belimbing yang buahnya berbuah terus, semoga bisa memberi kehangatan untuk penghuni baru. Serta untuk pohon Salam yang daunnya tak henti bertumbuh, yang sudah membantu menyembuhkan banyak orang, yang berkahnya tak henti dirasakan seluruh tetangga dan masyarakat luar Soreang, semoga bisa tetap hidup hingga akhir hayatnya tiba.
Aku rindu
Sangat rindu
Kelak jika ada kesempatan dan kehenda-Nya
Akan kurebut engkau kembali
Berapapun hargamu, akan kubayar
Karena harga berapapun itu tentu tak dapat menandingi nilai yang sebenarnya
Tapi, jika kenyataan tak sesuai harapan,
Aku akan terus mengenangmu
Sesekali akan kukunjungi dirimu ke sana
Ke telatah Parepare sambil menyaksikan keindahan sunshine dan sunset dari pantai belakang rumah, lagi.
Tulisan ini diikutsertakan dalam event “A Place to Remember Giveaway”
heummm,,tempat yang indah untuk di kenang mbk apalagi jauh disana :)
ReplyDeleteiya Mbak huhu I miss them so bad
Deletewah,,,bener2 tempat yg nyaman :)
ReplyDeletehehe iya Mbak Dwi :D
Deletekak!! itu rumah kakak yang dulu ya?
ReplyDeletebagusnya.... serasa keluarga orang kaya?
pasti banyak bersyukur, rejekinya lancar..
hem...
iya, memang susah sekali meninggalkan tempat yang memiliki kenangan tersendiri..
apalagi dekat pantai.. aduh.. keren!!
hehe iya Agha, rumah kami yg dulu.. ah bukan yg dulu.. tp rumah itu meskipun sudah dijual tp bagiku akan tetep jadi rumah kami *maksa heheh :D
Deletehehe aamiin aamiin
iyuup bener Gha, susah banget, Mamaku aja gak tega ninggalin. he'em deket pantai/laut jd tiap hari ya liatnya laut terus :D
sip..sip...
Deleteaku suka pantai ... hehe tapi sayangnya, rumahku jauh dari pantai..
rumah yg memiliki kenangan, memang pastinya membuat rindu ya...
ReplyDeleteiya BUnd miss them so bad and so so much
DeleteSubhanalloh, indah banget. i always love beach. Keren banget rumah dekat pantai begitu mbak *I wish I have one* ;)
ReplyDeleteiya Bund, indah banget, walau pernah terucap rasa bosan karena tiap hari dalam hidup cuma liat pantai terus, tp ucapan itu kutarik kembali. gak ada yg nandingin dah kerinduan terhadap tanah kelahiran sendiri
DeleteRumahnya bagus ya mba, terutama dapurnya yg imut :)
ReplyDeleteTerima kasih telah berpartisipasi dlm GA ini, good luck :)
hehe imut-imut ya Bund? hihi :D tapi itu emang didesain sendiri dengan cukup minimalis biar ruang yang lain bisa lebih gede hehe..
Deletemakasih Bunda. aamiin :)