Intermezzo dulu. Hari ini saya baru saja pulang dari kampus. Niatnya pengen ngejar dosen untuk minta surat rekom (masih kurang 1 lagi). Tapi, ternyata saya pulang dengan tangan hampa.
Awalnya saya mendapat masukan dari pembimbing I sekaligus dosen yang udah ngasih saya 1 rekom untuk nyari dosen lagi yang lebih mengenal demi 1 surat rekom lainnya. Saya pun bergegas menemui Bu Heni (nama disamarkan) untuk minta surat rekom pada beliau. Eh, nggak tahunya saya ditolak. Memang sih aturannya minta ke dosen wali atau pembimbing. Sama pembimbing I udah tapi pembimbing II saya kan lagi studi S3 di Inggris jadi gak mungkin dong saya ngejar sejauh itu sampe Inggris. Lalu dosen wali saya Bapak Tulus (nama sebenarnya) udah jarang ketemu semenjak beliau studi lagi di kampus lain. Jadinya Bu Heni minta saya untuk menghadap ke Pak Erik (nama disamarkan).
Saya pun melangkah ke kubikel Pak Erik yang hanya berjarak dua meter dari kubikel Bu Heni. Saya tahu dan paham bahwa Pak Erik tidak begitu mengenal saya meski dulu pernah mengajar di kelas saya. Beliau hanya mengenal orang-orang tertentu yang menurut saya mudah dihapalnya. Tidak dengan saya. Saya memang tidak enak hati harus minta surat rekom pada orang yang tidak begitu mengenal saya. Beginilah konversasi saya dengan Pak Erik tadi:
Pak Erik: "Loh, saya kan nggak mengenal Mbak."
Me: "Enng iy.. iya sih, Pak tapi kan Bapak pernah jadi dosen saya, hehehe..."
Pak Erik: "Ya, kan semuanya dosen Mbak juga toh bukan cuman saya hehehe..."
Me: "Saya bingung, Pak mau minta ke siapa lagi. Pak Sal kan lagi studi di Inggris trus Pak Tulus udah jarang lihat dan gak pernah kontak lagi semenjak saya lulus."
Pak Erik: "Kalau saya kan memang nggak begitu kenal dengan Mbak. Dan menurut saya, Mbak ini masuk dalam kategori kelompok eksklusif."
Me: "Ha? M-maksud Bapak eksklusif apa ya?"
Pak Erik: "Kalau saya kan tahu si Indah, Anggun dan teman-teman Mbak lainnya. Sedangkan Mbak sendiri, menurut saya hanya orang-orang tertentu yang bisa memahami dan mengenal. Begitu maksud saya."
Me: (Dalam hati saya bertanya-tanya, sekali lagi, apa sih maksud eksklusif itu? Apakah itu konotasi atau denotasi? Apakah karena saya ini adalah mahasiswi yang gak begitu ingin menonjolkan diri dalam kelas dan cenderung introvert makanya Pak Erik berkata bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memahami saya? Heeu.. entahlah!)
Pak Erik: "Begini, kalo dilihat dari segi nilai, mungkin saya bisa ngerekomendasikan Mbak, tapi kan di persyaratan suratnya ada faktor lain selain itu yang tidak saya ketahui. Jadi, mungkin Mbak nya lebih baik minta ke yang lain, yang lebih berhak. Coba Mbak hubungi Pak Tulus lagi, barangkali beliau bisa ketemu. Bisa kok itu."
Me: "Oh gitu ya, Pak. Iya juga sih, Pak. Nanti saya coba hubungi beliau. Makasih banyak ya, Pak. Eum, oh ya Pak.. apakah surat rekom itu harus minta ke yang jabatannya PD 1, PD 2 gitu kah?"
Pak Erik: "Gak juga kok, Mbak. Tapi, lebih baiknya sih dosen wali."
Me: "Oh, baik, Pak."
Nah setelah ngebahas soal surat rekom, sempat mata saya hampir berkaca-kaca tapi untungnya Pak Erik tuh baik dan seru orangnya. Beliau pun mengalihkan obrolan ke hal lain. Bukan hal lain tapi tentang teman kelas saya semasa S1 yang belum juga menyelesaikan skripsinya hingga detik ini. Dia perempuan, aktivis dakwah juga. Pak Erik sangat kecewa karena menurutnya Si Rani (nama samaran) pernah bilang jenuh tapi bukan itu lagi alasan yang dapat dipercaya oleh Pak Erik.
Pak Erik memprediksikan, Rani tampaknya seolah melarikan diri dari skripsi dan mengalihkan kesibukannya pada aktivitas rohisnya. Setahu saya sih ya, kalau udah semester atas itu seharusnya udah pergantian kader dan kader lama seharusnya udah nggak masuk anggota inti lagi melainkan dipensiunkan... ya kira-kira seperti saya. Sejak 2012 lalu, setelah masuk skripsi, saya sudah jarang ikut di lingkaran rohis untuk kegiatan inti karena sudah ada pergantian kader, kecuali hanya untuk silaturahmi tentu saya akan datang. Namun, berbeda dengan Rani. Saya juga kurang tahu pasti sekarang apa yang benar-benar membuatnya menghilang dari peredaran.
Saya kasihan dengan Rani sebab Pak Erik berniat akan memanggil orangtua Rani untuk membahas kelanjutan nasib Rani di kampus. Saya sempat bilang ke Pak Erik, "Rani itu padahal pintar sih, Pak cuman ya gitu memang banyak sekali kegiatan yang dimasuki." Lalu, saya memperoleh satu pandangan dari Pak Erik. Pak Erik berkata, "Kalau soal pintar... menurut pengamatan saya tidaklah cukup sebagai bekal. Kalau dalam skripsi, tentu semua dosen akan melihat sisi penelitiannya sejauh mana kemampuannya. Tapi, untuk soal perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kalau laki-laki, memang kepintaran itu harus diperhitungkan. Tapi, untuk mahasiswi (perempuan), tidaklah cukup berbekal kepintaran saja. Ada yang namanya faktor terpenting yaitu task commitment, sejauh mana si mahasiswi ini mampu mengerjakan tanggung jawabnya, komitmen, tekun, ulet terhadapnya. Dan, itulah yang tidak saya temukan pada diri Rani. Saya juga nggak tahu apakah ada sebab lain yang mungkin mengenai pribadinya lalu menyebabkan dia seperti itu atau lainnya. Makanya, sekarang saya berniat memanggil orangtuanya setelah saya berhasil menghubunginya."
Waaah!! Saya juga sependapat dengan Pak Erik. Tak dimungkiri, Rani memang tipikal orang yang berani memikul amanah sebanyak mungkin tapi cenderung mengesampingkan atau mengorbankah hal lain. Saya juga nggak menyalahkan Rani karena memang seorang aktivis dakwah yaa begitu kerjaannya. Tapi, keliru juga jika Rani sampai mengorbankan akademik untuk persoalan dakwah. Kan, urusan dunia dan akhirat harus seimbang, bukan? Tentu, Rani sudah sangat paham itu. Tapi, memang dia adalah orang yang harus selalu dikasih tahu serta diingatkan. Dia itu pelupa tapi saya juga jadi kasihan padanya. Kasihan pada Pak Erik yang kecewa akibat sikap Rani yang menghilang dan nggak pernah bimbingan skripsi lagi.
Akhirnya, Pak Erik meminta bantuan saya untuk mencari tahu tentang Rani. Semoga Rani bisa ditemukan dan persoalannya bisa segera selesai. Kasihan kan kalau ortu Rani harus dilibatkan. Apa jadinya nanti? Saya tak berani membayangkan ekspresi masing-masing pihak.
----
Di sisi lain, saya pernah diceritakan oleh salah satu teman. Teman saya, sebut saja Uni (samaran) punya teman sepermainan namanya Diah (nama samaran). Diah ini sekarang semester 8 S1 dan Uni S2 sementara penelitian. Uni cerita bahwa Diah sempat dibantai habis-habisan oleh dosen pembimbingnya. Parahnya, saya ilfil banget ketika mendengar bahwa dosen Diah pernah mengejek Diah dengan perkataan tak senonoh dan jorok. Awalnya Diah menuruti kemauan dosennya untuk ganti judul. Tapi ketika sudah ganti judul, dosennya ini malah nggak sreg dan menyuruhnya untuk ganti lagi dan lagi. Siapa yang nggak sebal kan?
Malah, pernah dosennya ini nyuruh dia penelitian di hotel. Disuruh nyari hotel yang bagus (ceritanya si Diah ini anak manajemen). Eh, pas Diah menghadap bimbingan ngelaporin penelitian di hotel tersebut, dosen ini malah bercetus, "Kamu kok penelitian di hotel ini sih? Memangnya kamu mau jual diri apa?" Astaghfirullah.... Nggak nyangka kok adaaaa gitu dosen kayak Bapak itu. Entah terbuat dari apa hati dan otaknya sehingga perkataan kotor seperti "sili*" (bahasa Jawa dari--maaf--Bokong) dijulurkan ke arah Diah. Pantaskah dosen sebegitu killer terhadap mahasiswanya apalagi Diah cewek loh.
Dan, Diah bahkan sempat frustrasi, hampir depresi lalu meninggalkan skripsinya selama 1 bulan. Dia pulang kampung untuk menenangkan diri. Diah pun menjadi trauma acap kali melihat hari jadwal bimbingannya. Tapi, lambat laun, meski masih dengan tabiat sang dosen yang begitu, Diah akhirnya berhasil melangkah ke bab selanjutnya. Ckckck... sungguh tega dan kurang ajar nian dosen seperti itu.
Saya sangat menyayangkan bila ada dosen yang berpurpura menghindari atau segitu killer-nya terhadap mahasiswa, mempersulit mahasiswa dan menjatuhkan harga diri mahasiswa. Saya sempat bergumam, alhamdulillah, setegas-tegasnya saya dulu pada mahasiswa, tapi saya alhamdulillah masih dijaga untuk tidak menyakiti hati. Malah, beberapa mahasiswa saya yang meninggalkan saya dan enggan menerima tawaran terakhir dari saya waktu itu hingga membuat saya kecewa. Saya pikir, saya perlu memberikan kesempatan kedua bagi mahasiswa yang gagal ikut ujian akhir lantaran sebab-sebab yang belum diketahui. Saya pun berusaha menghubungi dan memberitahukan secara baik-baik hingga menawarkan kesempatan kedua. Tapi, sayang seribu sayang, mereka yang justru tega meninggalkan dan menolak tawaran saya. Dan, saya tentunya tidak akan menarik kembali ucapan saya setelah ada keputusan dari mahasiswa untuk menolak seperti itu. Ya, saya juga pikir, perlu untuk bersikap tegas pada mahasiswa agar mereka belajar untuk disiplin dan komitmen. Jika mereka tidak mau, saya hanya perlu membujuk dan menawarkan untuk yang terakhir kalinya. Bila tak juga dimanfaatkan dengan baik, maka saya lah yang harus menutup pintu untuk mereka, agar mereka mau berkaca pada kesalahan lalu, agar mereka jera. Ternyata, itu juga salah. Zaman sekarang, banyak sekali polemik mahasiswa yang sulit untuk ditafsirkan "maunya apa sih".
Heuuum... demikianlah cerita inspiratif hari ini. Poin penting yang harus kau pegang sebagai mahasiswa apalagi jika kau masih S1, jangan pernah kau bertindak sok pada dosenmu, meninggalkan pembimbingmu tanpa sepatah kata atau mematahkan hati dosen-dosenmu. Jujur saja, tak ada dosen yang ingin melihat mahasiswanya terpuruk. Dan, jika kau sudah S2, maka amanahmu akan bertambah berat. Bukan hanya harus komitmen/amanah, rajin dan pandai. Kau juga harus paham dengan pelajaran di luar universitasmu, aplikasi dan implikasinya seperti apa dan bagaimana. Ya, semakin tinggi strata yang kau tempuh, maka ujiannya pun akan semakin berat dan rumit. Dari situlah kau harus melaluinya, belajar darinya. Sesungguhnya, tak ada celah bagimu untuk benar-benar melarikan diri. Karena jika kau melarikan diri dari tanggung jawab, itu sama saja melarikan diri dari dirimu. Itu bullshit karena tak ada seorang pun di dunia ini bisa melarikan diri dari dirinya sendiri, termasuk melarikan diri dari bayangannya. Sekalipun kau bunuh diri, rohmu tentu masih akan mempertanggungjawabkan jasad yang kau selalu lari darinya dan enggan terhadapnya.
So, cerdas saja tak cukup. Kau harus pertahankan attitude-mu. Demikian pula dengan dosen, attitude juga penting!!
kak!!
ReplyDeleteaku boleh minta tolong ngga! konselingin aku dong kak...
aku lagi ada masalah.. tapi, aku juga kadang gengsi gitu mau nanya.. malu dengan jurusan yang telah aku ambil..
masa ngga bisa menyelesaikan masalahku sendiri.. pada akhirnya, aku ingin share.. blog nggak kak?
kak!!
ReplyDeleteaku boleh minta tolong ngga! konselingin aku dong kak...
aku lagi ada masalah.. tapi, aku juga kadang gengsi gitu mau nanya.. malu dengan jurusan yang telah aku ambil..
masa ngga bisa menyelesaikan masalahku sendiri.. pada akhirnya, aku ingin share.. blog nggak kak?
iya.. dosen itu bertipe-tipe..
ReplyDeleteselain itu, bagaimana sikap kita itulah yang penting...
tulisan informatif nih.
hehhe iyyya Agha boleh, sok ajah tapi lewat email ya curhatnya biar safe :D
ReplyDelete