Beberapa waktu lalu tersiar berita seorang lulusan magister UI bernama R meminta Mahkamah Konstitusi untuk melegalkan bunuh diri dengan cara euthanasia.
Euthanasia itu apa sih? Gampangnya biasa disebut dengan suntik mati. Kalau dalam dunia medis, euthanasia ini bertujuan untuk memperingan penderitaan atau rasa sakit pasien yang sudah tak punya harapan hidup atau mempercepat kematian seorang pasien.
Adapun negara yang melegalkan euthanasia adalah Belanda, Swiss, Belgia dan beberapa negara bagian di Amerika seperti Oregon. Indonesia sendiri termasuk dalam beberapa negara yang melarang adanya euthanasia karena tidak sejalan dengan konsep ideologi negara, Pancasila.
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar." (QS. Al-Isra' : 33).
Dalam Islam, membunuh jiwa yang tak berdosa saja sama halnya dengan membunuh seluruh umat. Tindakan pembunuhan atau bunuh diri sudah jelas tidak sesuai dengan etika Islam.
Kebanyakan orang atau pasien memilih euthanasia bukan karena semata tidak adanya harapan untuk bisa sembuh dari penyakit, melainkan disebabkan oleh keputusasaan. Hak hidup dan mati seseorang tidak berada di tangan dokter atau siapapun, melainkan hak Sang Pencipta.
Saya pribadi sangat menyayangkan langkah yang hendak ditempuh oleh si R itu. Katanya, dia putus asa sebab tidak kunjung memperoleh pekerjaan. Secara gamblang, faktor ekonomi lah yang membuatnya berpikir untuk bunuh diri.
Please deh, lulusan Magister berbicara dan bertindak seperti itu???!! Bukannya saya mau nge-judge, tapi kenapa sih hanya karena masalah belum dapat pekerjaan sudah mau minta bunuh diri. Dulunya sih, dia pernah bekerja sebagai dosen tapi sekarang sudah tidak.
Hmmm... soal lapangan pekerjaan di Indonesia memang tidak merata jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada. Sebenarnya kita juga nggak bisa menyalahkan sistem atau pemerintah sih tapi harus lihat dari berbagai sudut.
Dulu, saya juga pernah merasakan apa yang dirasakan oleh R. Lulus dari bangku kuliah S1 ternyata nggak langsung membuat saya mudah mencari pekerjaan sesuai passion. Di-underline ya, sesuai passion. Kalau mencari pekerjaan untuk memperoleh uang yang banyak, mungkin sudah dari dulu saya menerima tawaran kerabat keluarga untuk kerja di Bank atau di kantor lain. Mungkin sudah dari dulu saya getol ngurus buat daftar PNS sesuai informasi yang sering banget saya dapat dari sanak saudara serta tetangga. Tapi, cara berpikir saya tidak mengarah ke situ. Kenapa? Karena tujuan utama saya adalah mencari pekerjaan yang mana saya bisa nyaman bekerja di bidang itu dan jika perlu sesuai dengan passion serta latar belakang pendidikan. Saya sudah berkali-kali apply pekerjaan menjadi HRD, tapi tak ada perusahaan yang melirik. Itu mungkin karena saya kurang lihai membuat mereka tertarik. Tapi, dalam masa pengangguran itu, saya sadar ada sesuatu yang paling tidak bisa saya lakukan untuk mengisi kekosongan.
Akhirnya di titik terendah itulah saya kembali kepada-Nya. Alhamdulillah, saya dipertemukan kembali dengan dunia kepenulisan. Meski tidak langsung menembus jalur besar, tapi saya tetap bersyukur, inilah yang saya rindukan. Melalui wadah-wadah sharing kepenulisan indie, saya terus belajar mengasah keterampilan menulis. Saya pun mulai memberanikan diri untuk menulis draft buku walau pada kenyataannya sering menemui penolakan. Justru saya sangat bersyukur pernah ditolak sampai sepuluh kali mungkin ya. Berkat penolakan itu, akhirnya saya jadi tahu bagaimana sih menulis buku yang baik hingga bisa diterima di penerbit besar. Alhamdulillah, di sela waktu tak punya pekerjaan tetap itu, Allah juga memberikan saya tawaran untuk bekerja sebagai dosen muda di kampus dekat rumah (Parepare). Senangnya bukan main.
Jadi, untuk apa sih cepet-cepet putus asa? Kalo emang kita merasa susah nyari kerja di instansi umum, kenapa nggak mencoba menciptakan sendiri lapangan pekerjaan di bidang kreatif atau di bidang yang kita senangi? Kenapa harus melulu berharap pada orang lain?
Saya pernah sih merasa sangat malu. Saya belum pernah nyeritain ini tapi semoga bisa ngasih hikmah. Dulu saya sempat sangat malu mengetahui di belakang, orang tua sampai meminta tolong banget pada salah satu kerabat/saudara kami yang kebetulan bekerja di perusahaan asing agar menerima saya untuk bekerja di bagian HRD. OMG Hello, mau ditaruh di mana muka saya??!! Saya juga sering mendapat cibiran dari partner bisnis dan rekan kerja Bapak karena mereka tahu saya belum kerja waktu itu. Ujung-ujungnya, bantuan ortu pada saudara yang kaya raya itu tidak digubris. Saya merasakan dua sisi mata uang. Satu sisi merasa bersyukur karena kerabat tersebut tidak mendengar permohonan ortu dan di sisi lain saya merasa kok ya sama saudara sendiri gitu ya. Paling nggak ya paling nggak sih bilang apaaa gitu kalau memang nggak bisa. Yaa saya paham sih, orang yang kaya raya seperti dia tuh banyak yang kayak gitu. Tapi mbok ya jangan kebangetan sombongnya. Kalaupun saya waktu itu diminta kerja di perusahaan asingnya, saya juga sangat mungkin menolak tawaran itu. Kenapa? Karena saya merasa masih mampu berdiri di kaki sendiri.
Bukan berarti saya memilih masuk S2 karena nggak bisa nyari kerjaan lain setelah pindah ke Malang. Justru kepindahan saya ke sini sangat disayangkan oleh pihak kampus tempat saya dulu kerja. Mungkin bisa dibilang, sedikit lagi langkah saya baru bisa dapat tawaran dosen tetap. Namun, hati ini lebih memilih passion yang dulu hilang. Saya pengen jadi penulis di Malang. Di mana aja bisa sih. Tapi di Parepare kan akses toko buku nggak memadai. Trus, kalau mau update buku bacaan untuk nyari inspirasi tuh susah banget. Jadi, mungkin saja di Malang, impian saya akan tercapai. Eh, masya Allah, setelah di Malang, saya kemudian dapat banyak tawaran nulis dan jadi pemateri/pembicara. Walau "gaji" nya nggak konsisten, tapi saya merasa puas ketika bekerja di bidang yang saya sangat impikan dari kecil. Suatu bentuk kepuasan ketika bisa berbagi pengetahuan itu adalah hal yang luar biasa buat saya.
Emang sih, jadi penulis itu, gajinya sama kayak honorer, tiap enam bulan sekali. Setidaknya, saya tetap mensyukuri berapa rupiah pun yang saya peroleh. Saya juga bersyukur, setidaknya royalti yang ada bisa saya gunakan untuk sedikit membantu biaya kuliah meski sebagian besar jumlahnya lagi lagi dari ortu. Tapi, paling tidak, uang hari-hari, saya usahakan tidak meminta.
Emang sih, jadi penulis itu, gajinya sama kayak honorer, tiap enam bulan sekali. Setidaknya, saya tetap mensyukuri berapa rupiah pun yang saya peroleh. Saya juga bersyukur, setidaknya royalti yang ada bisa saya gunakan untuk sedikit membantu biaya kuliah meski sebagian besar jumlahnya lagi lagi dari ortu. Tapi, paling tidak, uang hari-hari, saya usahakan tidak meminta.
Kalau saja dulu saya nggak mencoba melihat ke dalam diri, mungkin sudah bunuh diri dari dulu. Naudzubillah deh. Jadi, sekali lagi, masalah apapun yang mendera, coba hadapi dengan bijak. Jangan berputus asa deh dari rahmat Allah. Saya sangat yakin, ketika kita mau berserah meminta pada-Nya, Allah pasti akan membantu kok. Pertolongan Allah itu sangat dekat, kawan.
Buat yang udah lulus magister, jangan sampai bertindak kayak si R itu. Kamu bisa kok mendapatkan pekerjaan yang layak asalkan kamu tetap yakin sama Tuhan. Allah itu Maha Mendengar dan Melihat. Jadi, sekecil apapun usaha yang kita lakukan, in sya Allah akan mendapat balasan yang lebih baik dari-Nya.
Semoga ngasih manfaat ya ^^
Subhanallah keren....
ReplyDeleteSemacam curhat ya kak...
Ingin ikut jejak kakak, menjadi penulis dan berbagi kpd semua orang...
hehe Agha juga kereen ^^
Deletesip sip semoga impianmu tercapai ya, kutunggu looh karyamu
ijin share ya mba..:)
ReplyDeleteiya monggo :)
Deleteaahhhh begitu menyentuh, thanks mba. postingannya keren sekali. di bagian2 akhir begitu menamparku, bahwa bukan hanya aku yang pernah seperti itu. dan jadi lebih tau harus melakukan apa disaat 'penantian panggilan kerja' ku. hehe sekali lagi makasih mba ema, begitu memotivasi :)
ReplyDelete