Thursday, February 8, 2018

(UN)EMPLOYED: SUDAH KERJA DI MANA?

"Success is no accident. It is hard work, perseverance, learning, studying, sacrifice and most of all, love of what you are doing or learning to do"
-Pele-

Welcome 2018 
Sudah lama sekali nggak update blog lagi.
Apa kabarnya di awal tahun ini?
Alhamdulillah di awal tahun ini tepatnya Januari lalu, saya sudah genap 28 tahun. Meski sudah memasuki tahun genap lagi, namun mungkin saya masih harus berperang melawan keadaan.

Beberapa hari kemarin, saya sempat berbincang dengan sahabat karib ter-soulmate saya yaitu Nawira. Ya, memang sih, kami berdua agak senasib untuk soal pekerjaan cuma bedanya dia sudah menikah sedangkan saya belum. Saya tahu semua orang punya keputusan masing-masing, termasuk sahabat saya. Hehehe.. skip...

Minggu lalu di saat saya dan Nawira memutuskan untuk istirahat sejenak dari dunia per-lowongan-pekerjaan alias nggak kirim-kirim lamaran dulu untuk beberapa waktu, di saat benar-benar hampir menyerah itu, tiba-tiba dosen yang dulu juga bisa dibilang wali kelas saya sekaligus ex-dosen pembimbing PKPP saya menelepon. Saya kira beliau mau order artikel lagi, ternyata dia menelepon dengan maksud berbeda.

Dosen saya itu menawarkan saya untuk jadi tutor di Fapsi UMM. Beliau meminta saya untuk menghubungi salah satu dosen yang saat ini diangkat menjadi kepala Laboratorium Psikologi yang ternyata tidak lain adalah ex-dosen pembimbing tesis kemarin.  Setelah meminta brosurnya, saya lihat ternyata lowongan tutor sudah tutup beberapa jam lalu setelah dosen ex pembimbing PKPP saya itu telepon. Tapi kemudian saya bilang ke dosen ex pembimbing tesis bahwa saya direkomendasikan untuk daftar. Puji syukurnya, beliau memperbolehkan saya menaruh berkas di keesokan harinya dan langsung diterima. Begitu pula dengan wawancaranya, semacam ngobrol biasa karena sama dosen sendiri. 

Entah harus senang atau sedih. Ketika bersinggungan dengan yang namanya gaji. Saya sempat ditanya oleh dosen pas wawancara, apa yang saya harapkan dengan menjadi tutor sebab gajinya nggak banyak? Jawaban saya keluar begitu saja dari mulut dan itulah yang saya katakan. Tapi akhirnya juga diterima. Hanya saja, banyak orang termasuk orangtua dan si abang yang awalnya kurang setuju saya bekerja di kampus. Belum lagi sistemnya kontrak selama 6 bulan. Tapi, di sisi lain, sahabat saya, Nawira mendukung sepenuhnya karena menurut dia, lebih bagus lagi, setidaknya bisa dijadikan portofolio tambahan relevansi pengalaman, sekaligus menambah link, sekaligus siapa tahu someday di kampus ada pembukaan rekrutmen dosen lagi sehingga saya bisa direkomendasikan lagi (mungkin aja.. mungkin..) dan lebih bagus lagi karena sistemnya kontrak diperbarui setelah 6 bulan, jadi kalaupun mau out dan bekerja di tempat lain setelah 6 bulan berlalu, masih cukup leluasa.



Sejenak saya merenung dan memang cenderung sensitif jika ada orang yang menanyakan soal pekerjaan pada saya. Kalau biasanya saya suka iseng update di sosmed sehabis ikut tes ini itu di sini di situ, kali ini nggak sama sekali dan orang non-keluarga yang tahu pun cuma 3 orang, si abang, Nawira, dan satu lagi sahabat saya yaitu Ayu.

Kenapa nggak daftar dosen sih waktu UMM pas buka itu? Saya telat memasukkan berkas pemirsaah... karena ternyata di luar ekspektasi pas awal buka langsung banyak pendaftar yang menyerbu sehingga saya nggak mendapat tempat bahkan untuk wawancarapun udah nggak dipanggil meskipun di brosurnya lowongan itu masih lama baru berakhir. Lagi, lagi mungkin belum rejeki.

Kenapa nggak coba daftar di perusahaan? Setelah pengalaman ikut-ikutan melamar dan tes di salah satu perusahaan kemarin dan setelah sekian banyaknya saya apply di perusahaan lain juga, saya berpikir mungkin memang saya belum pantas untuk bekerja di perusahaan. Sebab, saya sama sekali belum punya pengalaman bekerja di perusahaan sebelumnya, ditambah basicly saya lulusan klinis dengan beberapa tempat magang dan praktek dulu pun berbau klinis semua. Kalaupun kelak saya mau mencoba kembali melamar ke perusahaan, minimal saya harus belajar tentang PIO entah itu saya ikut magang dulu atau belajar otodidak. Dan, kalaupun saya sudah menambah pengalaman itu, kenyataannya perusahaan terutama BUMN nggak banyak juga yang mau menerima lulusan maksimal usianya 28 tahun kayak saya. Kalaupun ada, itu harus benar-benar lowongan pekerjaan yang mencantumkan kualifikasi S2 dengan usia maksimal 30 atau 35 tahun atau sama seperti CPNS.

Lets see. Pengalaman kerja saya masih terbilang kurang. Saya merasanya begitu. Selain psikologi, skill lain yang saya punya pun dan tidak cukup nge-trend untuk saya gembar-gemborkan saat wawancara hanya writing (menulis). Mungkin kalau di perusahaan, pikir mereka, kalau skill menulis, semua orang juga bisa. Mereka bukan mencari itu, tapi mencari yang setidaknya paham PIO atau minimal pernah berkecimpung di dunia industri organisasi sebelumnya. Kalaupun nyatanya ada juga teman yang dulunya sama-sama klinis tapi berhasil nyasar di perusahaan, mungkin ada faktor lain yang belum saya ketahui kenapa dia bisa diterima bekerja di situ meski dia juga tidak punya pengalaman yang terbilang banyak dan relevan.

Ya Tuhan, maaf, bukan saya tak bersyukur. Kalau dibilang senang, nggak begitu senang banget sih. Tapi saya akan coba untuk menjalani hari-hari sebagai tutor sekaligus asisten dosen dulu untuk saat ini. Entah setelah 6 bulan nanti apakah saya memilih untuk coba melamar di tempat lain atau memilih tetap bekerja di situ, saya juga belum tahu. Saya memang senang mengajar dan sebelumnya pun sudah punya pengalaman sebagai dosen LB. Cuma untuk bisa menabung lebih banyak, saya harus memutar otak, mencari cara. Kira-kira setelah ini apa yang bisa saya lakukan.

Beberapa malam kemarin, saya berkeinginan jualan kue gitu. Waktu saya bikin kue tempo hari, Bapak bilang kue bikinin saya kali itu enak rasanya. Dan, itu kali pertama kue bikinin saya benar-benar berhasil dan dinilai enak sampai ludes. Jadi sempat terpikir, apakah saya coba jualan kue juga ya? Jadi kuenya dititipin ke penjual sayur gitu di dekat rumah kan banyak tuh penjual sayur. Mengingat untuk area Sawojajar 2 ini pun belum ada yang jual kue kayak yang saya pengen jual itu. Jadi, bisa saya modif dengan resep yang simpel tapi tetap enak dan kemasannya dibikin bagus. Lagi-lagi saya harus menganalisis lebih lanjut.

Saya memang bukan laki-laki sih tapi entah kenapa kalau ada quote yang bilang bahwa harga diri laki-laki itu adalah bekerja, maka saya pun juga merasa seperti itu. To be honest, setelah sekian lama hidup seperti ini, sekarang saya bukanlah the old emma. Terus terang aja, saya kadang banyak nggak cocoknya sama teman perempuan yang saya kenali di sekitar. Itulah kenapa makin ke sini, sahabat perempuan saya makin sedikit dan yang benar-benar cocok pun hanya dua orang seperti yang sudah saya sebutkan namanya. Hanya mereka sahabat yang bisa menerima perubahan dan cara berpikir saya sekarang meski kenyataannya mereka masih sama seperti perempuan kebanyakan.



Dari dulu, saya kerap mendengar mindset lingkungan yang mengatakan bahkan mungkin bisa dibilang menjudge bahwa perempuan gak usah sekolah tinggi-tinggi, ga perlu kerja sampai dapat posisi yang bagus, cukup jadi perempuan ngalem untuk dipersiapkan ngurusin rumah tangga, ngurusin suami, ngurusin anak. Itupun sama persis dengan yang saya dengar dari orang sekeliling saya bahkan sebagian besar dari keluarga Bapak, sepupu-sepupu saya kayaknya semuanya pada nikah muda. But, it's not me literally. I'm not the same with them. Saya nggak bisa memaksakan diri sama seperti mereka. Bahkan sebagian teman S2 pun beberapa waktu ada yang nyeletuk nyuruh saya cepat nikah ini itu, gak usah ngoyo cari kerja karena toh itu tugas suami kita nantinya dan mereka notabene ada yang udah lama nikah maupun yang baru aja nikah (bisa ngomen begitu ke saya).

Bagi saya, tanpa mengesampingkan kodrat laki-laki dan perempuan, dan tanpa embel-embel feminisme ya, perempuan itu juga bisa berkontribusi untuk sekitarnya atau nggak usah kejauhan deh, minimal buat ngembangin dirinya sendiri. Laki-laki memang sudah kodratnya memimpin, mengayomi dan melindungi. Tapi, itu bukan berarti perempuan nggak boleh sekolah tinggi juga kan? Minimal, dengan sekolah tinggi, perempuan bisa memperoleh ilmu yang baik, nah kelak kan juga pasti kepake ilmunya buat anak-anak. Perempuan juga bukanlah boneka yang dicetak persis seperti pada zaman jahiliyah hanya sebagai pemuas nafsu atau malah dibunuh saja deh karena dianggap nggak bisa ikut andil dalam peperangan. Buktinya toh banyak banget kan para pejuang kemerdekaan yang berjenis kelamin perempuan. Banyak perempuan-perempuan yang bisa menginspirasi sesama perempuan lain.

Oke fix. Dan, saya akhirnya sedikit menjauh. Menjauh karena saya nggak bisa memaksakan diri untuk mengabulkan alias memberikan jawaban sama seperti yang mereka lakoni, ya sama seperti teman-teman perempuan saya kebanyakan. Menjauh dalam artian, sudah nggak se-terbuka itu kalo curhat bahkan mungkin nggak pernah lagi curhat. Jika mereka bertanya, saya jawab seperlunya sembari menahan emosi agar saya bisa tetap berdiri tanpa tercabik karena mindset mereka itu. Saya tetap menghargai cara pandang dan keputusan mereka tapi bukan berarti saya harus tenggelam menerima mentah-mentah apa yang mereka sampaikan. Mereka boleh mengkritik tapi tentunya nggak boleh memaksa dong ya, hehehe.

Saya bukannya nggak tahu sunnah. Saya paham jelas. Hanya saja terkadang ada beberapa hal yang memang saya nggak sejalan pemikiran sama mereka aja. Syukurnya, di keluarga mama yang mana saya cucu tertua sementara adek-adek sepupu masih banyak yang kecil-kecil, justru mereka sangat menghormati keputusan saya. Mereka justru mendukung apa yang saya lakoni, saya mau apa, ini dan itu. Padahal, latar belakang pendidikan dan pekerjaan mereka pun mayoritas ibu rumah tangga, dan kalau paman saya yang laki-laki pun juga nggak se-wah itu. Mereka sangat mendukung saya bisa bekerja dan mandiri. I see, mereka mampu memahami tanpa banyak tapi.

Di saat tak bisa apa-apa, saya merasa harga diri saya turun telak. Belum lagi kalau ada teman-teman yang memancing obrolan dengan nada memaksakan kehendak sampai mengiba tapi dengan nada sinis seperti beberapa waktu lalu. Saya sempat tidak senang mendengar teman SMA berkata demikian kepada saya tapi saya masih bisa maklumi karena saya sudah sangat lama tidak pernah kontak dengannya lagi pasca lulus.

Bukan berarti saya lantas memutuskan seluruh kontak komunikasi dengan orang lain. Bukan. Hanya saja, saya butuh waktu untuk membuktikan pada diri saya sendiri bahwa saya mampu lebih baik daripada yang mereka sangka. Saya nggak mau membuktikan ke mereka karena toh kalau tujuannya berpusat pada orang lain, nggak bakal ada habisnya, saya jelas nggak akan selalu bisa memenuhi ekspektasi orang lain terhadap saya. Tapi, untuk diri saya, saya wajib berproses lebih baik, dengan bekerja saya bisa meningkatkan atau mendapatkan banyak skill, menantang diri sendiri untuk melihat seberapa mampukah saya untuk menghadapi konsekuensi yang jauh berbeda dari sebelumnya dan memegang kendali atas diri saya bahkan di saat-saat penuh tekanan.

Kenapa saya keukeuh mau begitu? Karena umur saya sudah terlewat jauh. Saya merasa lambat memulai. Di saat orang lain di usia segini sudah pada matang, saya pribadi merasa tertinggal jauh. Tapi, saya jadi ingat kembali dengan salah satu buku yang pernah saya baca bahwa setiap orang punya timing-nya masing-masing layaknya bunga yang punya musim kapan dia akan bermekaran dan kapan dia harus berguguran sejenak. Mungkin, sekarang ini belum timing yang tepat bagi saya. Kalau dulu saat saya sudah berhasil melampaui satu harapan yaitu menulis buku solo, ternyata memang benar sekali bahwa sukses itu dimulai dari konsistensi. Karena dulu saya stuck dengan kuliah profesi, nggak bisa mikir nulis buku lagi, saya pun nggak konsisten lagi dan saat itulah saya merasa roda hidup saya mungkin akan bergeser ke bawah karena memutuskan untuk tidak menulis buku untuk waktu yang panjang, dua setengah tahun lamanya. Ibarat bintang, saya hanya bersinar sekejap di malam hari, dan perlahan sinarnya meredup dan lenyap ketika memasuki pagi atau kala mendung dan hujan.

Saya juga jadi ingat waktu reuni dengan teman S1 tahun lalu. Di antara semuanya, kenapa saya yang tampak ngenes sendiri: pengangguran, datang basah-basah karena kehujanan di jalan (malah dikira gembel karena itu restoran sedikit mahal), belum lagi pas tukar kado, yang lain dapat barang yang bisa disimpan lama, saya dapat sabun mandi batangan. Bukannya nggak bersyukur dan bukannya mau ngomel karena sebelumnya juga ketentuannya cuma disuruh bawa kado-kadoan dengan range harga maksimal sekian. Bukan kadonya yang saya maksud tapi nilainya, valuenya. Dan itu, ketika yang lain pada share kado di grup, lagi-lagi saya mungkin ditertawai karena dapat sabun mandi.



Saya jadi teringat pasca lulus S1 dulu. Entah kenapa agak mirip kayak sekarang. Dulu lamar di mana-mana pun nggak ada yang nyantol dan baru setelah itu pekerjaan yang mendatangi saya. Salah seorang kakaknya teman menawari untuk bekerja sebagai tutor plus motivator di Guidance Club STAIN dan saya terima. Tapi mungkin lebih ngenes dari sekarang sebab dulu saya digaji 50 ribu per pertemuan dan saat mahasiswa lagi mager nggak datang, saya pun nggak bisa dapat fee. Hingga akhirnya saya diminta untuk micro teaching dan karena memang lagi butuh dosen pengajar matkul psikologi, saya pun mendapat SK mengajar. Syukurnya, karena kampusnya terletak di seberang kompleks rumah sehingga saya cukup berjalan kaki dan nggak keluar uang sepeser pun. Tapi ya itu, gajiannya tiap 6 bulan sekali. Setidaknya saya syukuri karena setelah resign, uangnya bisa saya pakai untuk jajan kuliah.

Satu sisi, sahabat saya bilang, mungkin memang terkadang rejeki yang mengejar kita, bukan kita yang mengejar rejeki. Saat saya coba mengejar rejeki ke sana kemari dengan harapan bisa langsung dapat tempat bagus, gaji bagus, namun kenyataannya yang saya kejar, justru menjauh. Tapi, di saat saya mencoba berhenti mengejar sejenak, justru rejeki yang menghampiri meski jumlahnya (kalau di mata orang lain) sedikit bahkan mungkin mereka nilai kurang pantas.

Saya juga nggak ngeh kenapa begini, tapi mungkin jalan rejeki saya salah satunya juga berasal dari perantara "tangan" orang lain. Dulu saya daftar SNMPTN nggak lolos, tapi sekalinya diperkenalin sama ex-mahasiswa UMM yang mana itu juga adalah ex-pacarnya tante saya dan saya lolosnya di UMM. Kemudian, saya juga baru ngeh, ketika saya coba menulis artikel psikologi dengan lebih fokus, saya juga dapat tawaran untuk nulis artikel di salah satu website yang cukup terkenal (nggak usah saya sebut tapi mungkin orang juga udah pada tahu kali ya hihi) meski nggak ada kaitannya sama psikologi samsek tapi saya sering kaitkan juga dengan psikologi. Belum lagi beberapa waktu ini, dosen ex pembimbing PKPP saya sering order tulisan ke saya dan sering pas banget, saat saya sedang kekurangan, lagi-lagi datang orderan. Ya, itu sih, sisi positif yang saya syukuri.

Entah apa yang terjadi 6 bulan berikutnya, tapi untuk sekarang, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk bekerja sebagai tutor mengabdi di kampus dulu. Saya berharap semoga ke depannya, saya bisa dapat pekerjaan tetap, bisa menabung lebih banyak, bisa punya asuransi kesehatan sendiri (karena saya sudah tidak bisa ikut lagi dengan asuransi tanggungan ortu) dan saya juga berharap kelak bisa punya usaha sendiri yang mana dari usaha itu, saya juga bisa pergunakan hasilnya untuk lebih rajin sedekah. Pikir dan harap saya, sebelum menjadi istri, minimal saya harus bisa belajar mengelola uang, sedikit ataupun banyak, saya perlu belajar cari uang sendiri, menghidupi diri sendiri untuk mempersiapkan hal-hal di luar dugaan. Saya ingin membahagiakan diri sendiri dulu, bahagiain orangtua dulu sebelum membahagiakan keluarga kecil saya sendiri nantinya. Minimal saya punya value agar kelak suami saya bangga memiliki saya sebagai pendampingnya (*colek si abang superman).



No comments:

Post a Comment

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.