Tak ada masalah yang tak ada solusinya. Tak ada liku kehidupan yang tak bisa dilalui. Meski tak selalu ada pelangi pasca hujan, langit tak kan pernah marah.
Memilih menjadi dosen muda adalah pilihan yang sudah saya jatuhkan. Awalnya memang hanya untuk menghindari ketidakinginan akan bekerja di Bank seperti keinginan Bapak yang notabene juga bekerja di Bank. Namun, setelah menjalaninya, yang tadinya kurang begitu mencintainya lambat laun berubah cinta.
Semua profesi tentu ada tanggung jawab yang harus diemban. Semua profesi pun punya sisi positif dan negatifnya, pun akan dihadapkan pada masalah saat tengah terjun ke dalamnya. Demikian pula saya. Menjadi dosen muda tidaklah mudah, tapi juga tak sesulit yang dipikirkan.
Semester ganjil ini, rintangan itu mulai berdatangan. Salah satunya adalah ujian kesabaran. Hari ini di kelas Kesehatan Mental semester lima, begitu banyak ujian yang saya hadapi. Hari ini yang seharusnya kelompok I presentasi materi, malah mengabaikan tugasnya dengan alasan "LUPA". Alih-alih ada yang tak datang minggu lalu dan harus presentasi kemudian dijadikan sebagai alasan untuk tidak mengerjakan tugasnya, tidak ada inisiatif untuk bertanya pada teman lain yang hadir minggu lalu. Ada juga yang memberi alasan bahwa dia terlalu banyak pikiran sampai dia sendiri tidak sadar bahwa hari ini dia telat dan tidak tahu kalau akan presentasi.
Bukan hanya itu, hari ini saya juga sangat kesal dengan kelakuan mahasiswa yang tak punya etika. Bayangkan saja, ketika saya memulai materi, dia dengan seenak dengkulnya masuk lalu meminjam kursi karena di kelas sebelah kekurangan kursi. Yang jadi perhatian saya adalah attitudenya. Ketika saya tegur, dia bahkan menertawai saya, senyum-senyum sendiri. Dia tak tahu bahwa di kelas itu ada dosen dan materi telah dimulai. Dia tidak tahu bahwa dosennya itu adalah saya. Saya tidak butuh pengakuan sebagai dosen, tapi sekalipun dia menganggap di kelas itu tak ada dosennya, setidaknya dia bisa bersikap santun dengan permisi terlebih dahulu sebelum masuk. Tapi, dia malah seenak jidat keluar masuk mendorong kursi-kursi itu. Bukan hanya saya yang kesal dengan perbuatannya, salah satu mahasiswa saya juga berceletuk sama dengan saya, menilainya minim etika. Apakah ini potret seorang mahasiswa? Seperti anak TK yang masih perlu pengajaran sopan santun!
Masalah selanjutnya, seorang mahasiswa datang, terlambat lalu mengenakan celana jeans. Di STAIN memang sudah menajdi tata tertib bagi mahasiswa laki-laki: tidak mengenakan celana berbahan levis atau jeans dan harus menggunakan pantalon atau celana bahan sebagai cermin profesionalisme. Sedang mahasiswinya wajib mengenakan rok (tak boleh mengenakan celana merk, bahan dan warna apapun, harus rok panjang disertai jilbab). Aturan ini tentu dikenakan pula pada dosen. Dan, hari ini, ketika salah seorang mahasiswa ber-jeans biru itu baru masuk kelas, maka saya tak tanggung-tanggung menegur dan menyuruhnya untuk pulang mengganti celananya. Dia pun pulang dan kembali dengan pakaian yang semestinya. Ini bukan karena saya sedang emosi, melainkan saya hanya ingin menegakkan apa yang telah menjadi peraturan. Saya tidak ingin punya mahasiswa yang sa'enak e dewe.
Hari ini, saya berhasil memuntahkan sejumput ketegasan yang mungkin mereka nilai sebagai "kemarahan". Baru kali ini dan baru di semester ini saya bersikap sangat tegas di hadapan mereka. Jujur saja, saya tidak suka dan tidak mau tahu apapun alasan mahasiswa yang tidak mengerjakan tugasnya. Saya tidak suka dengan orang yang punya seribu alasan untuk tidak mengerjakan tugasnya. Saya tidak suka mendengar mereka menjadikan alasan di luar kampus sebagai alasan untuk tidak mengerjakan tugas di dalam kelas.
Oleh karena itu, tadi saya meminta mereka untuk membuktikan, tidak lagi melakukan kesalahan semacam ini, tidak lagi menjadikan LUPA sebagai alasan dan tidak lagi membuat saya marah atau paling tidak terlalu tegas pada mereka.
Sabar dan senyum. Dua kata itu yang coba saya tanamkan setelah sesi evaluasi di tengah materi tadi pagi. Di luar kelas, saya dan teman mahasiswa boleh bersahabat, tapi jika sudah dalam kelas, profesionalisme tetap yang utama. Saya juga selalu bilang pada mereka agar tidak mencampuradukkan masalah di dalam dan luar kelas. Jadi, selepas kelas pagi ini berakhir, di luar kami tetap bercanda bersama dan melupakan masalah di dalam kelas tadi.
:)
cerita yang inspiratif mbak..
ReplyDeletememang beda ya, mengajar siswa sekolah dengan mahasiswa..
:)
beda pake banget bedanya :) sampe bingung sendiri hehe
Deletebeda pake banget bedanya :) sampe bingung sendiri hehe
Delete