Aku masih termenung di
depan layar komputer jinjing, di meja persegi tepat di seberang tempat
tidurku. Jemariku sibuk meremas-remas
gamis warna salem yang kukenakan pagi ini. Mataku dibanjiri ketegangan dan rasa
penasaran. Kuselidiki baik-baik paragraf yang tertera di kotak email. Tak ada
gombalan yang bersumber dari nafsu. Tapi, entah mengapa begitu manis bagiku.
"Aina, apa kamu udah
baca?" Seorang perempuan bergamis hijau pupus datang sambil membawa dua
gelas cokelat panas. Satu gelas untukku dan satu lagi untuknya.
'Terima kasih,"
ucapku sambil meletakkan gelas itu ke mejaku lalu buru-buru kututup laptopku.
"Eum, baca apa, Mia?" tanyaku tak paham.
"Kamu ini masih 24 tahun masa udah pikun
sih?" seloroh Mia lalu mengipas segelas cokelat panasnya dengan sebuah
buku.
Aku mengernyit, sungguh
tak paham dengan maksud sahabat satu kostku itu. "Beneran, Mia.... Aku
nggak mengerti ucapan kamu?"
Bibir tebal Mia
melintangkan senyum tipis, "Email dari Ustazah Fia itu?"
Mataku membelalak. Kututup
mulutku dengan tangan kanan. Sedari tadi, aku membatin. Bagaimana Mia bisa tahu
kalau pagi ini, lima menit yang lalu, aku baru saja membaca sebuah email? Hanya
saja email yang kubaca tadi bukan dari Ustazah Fia.
"Aina...''
"Amm, tadi aku sempat
buka tapi sepertinya banyak email yang masuk, jadi aku belum baca dari Ustazah
Fia."
Mia mengangguk usai
menyeruput cokelat panasnya, "Ooh... eh, tapi, kenapa beliau ngirimin kamu
email sih? Apa ada info penting tentang halaqoh kita sore ini?"
Aku hanya mengedikkan
bahu.
"Ya udah... Aku balik
ke kamarku ya. Nanti sore, kita berangkat halaqoh bareng ya, Na!" seru Mia
sambil menghalau tangannya, keluar dari kamarku.
Aku menghela napas
dalam-dalam. Kubuka lagi laptopku yang masih standby. Telunjukku cepat-cepat menggerakkan kursor ke bawah
halaman. Kucari email dari Ustazah Fia. Aha, ketemu!
Ku-klik email itu.
Sekilas, isinya cukup panjang. Kira-kira ada sekitar empat paragraf pendek.
Kuarahkan mata dari atas ke bawah, membacanya dengan seksama. Astaga! Kalimat
itu... Kenapa kalimat itu sama dengan yang termaktub dalam email pertama yang
kubaca tadi? Ustazah Fia... mengenalnya. Jadi, email pertama itu ada
hubungannya dengan email Ustazah Fia.
Kuteguk segelas cokelat
yang telah mendingin itu sampai habis. Lalu, kumatikan laptop dan mengambil tas
kecil di atas lemari yang hanya bejarak satu meter dari meja belajar.
Cepat-cepat kupakai kaus kaki dan flat shoes ku. Kukunci kamar dan pergi.
***
“Ustazah?”
“Anti udah baca emailnya?” tanya seorang
perempuan bergamis hitam dengan bergo putih besar.
Tidak biasanya
aku tampak canggung seperti ini. Di salah satu balkon bagian dalam masjid AR.
Fachruddin, kami duduk berhadapan. Aku bersandar di tembok sementara Ustazah
Fia bersandar di dekat pintu cokelat berbahan kaca transparan yang memisahkan
antara balkon dan ruang salat. Kulihat sepasang mata bulat murabbiku berbinar-binar, kilatannya menembus lapisan lensa bening
yang sedang dikenakannya. Selang beberapa detik setelah saling pandang, dia
kembali tertunduk sambil memeriksa buku catatan halaqoh milikku. Kebetulan, hanya ada aku yang datang pada halaqoh hari ini. Sementara teman-teman
yang lain didesak oleh hambatan keperluan lain. Mia juga mendadak diminta
pulang kampung oleh ibunya. Jadilah kami hanya berdua: aku dan Ustazah Fia.
“Apa jawaban Anti?” Ustazah Fia mengganti posisi
duduknya dengan bersila. Digeser gagang kacamata yang hampir melorot dari
hidung mungilnya kemudian memicing ke arahku sambil menyungging senyum hangat.
Kegugupan sontak
menggedor-gedor dadaku. Entah kalimat apa yang harus kulantunkan padanya.
Sedari tadi aku masih duduk bersila dengan punggung bersandar ke tembok. Kedua
tanganku kuletakkan di antara apitan sila kaki. Jari-jariku sibuk
mengetuk-ngetuk ujung pulpen hitam. Bibir kukulum rapat-rapat. Sementara mataku
berlarian ke sana kemari, menangkap bayangan nyamuk yang mungkin akan terekam
dari lantai-lantai putih di sekitarku.
“Kalau Anti masih bingung, ya nggak apa-apa,
nggak perlu dijawab sekarang. Tapi, Ana
cuma mau ngasih tahu kalau orang yang Ana
maksud dalam email itu insya Allah punya akhlak yang hanif. Dia juga berasal dari keluarga cukup terpandang sama seperti
Anti dan pengetahuan agamanya juga
nggak perlu diragukan lagi,” papar Ustazah Fia sembari menyentuh salah satu
lututku.
“Tapi,
Ustazah... Apa aku boleh meminta fotonya?”
“Boleh... Nanti Ana mintakan sama dia ya. Ada lagi?”
“Eum... Kalau
dilihat dari biodatanya, sepertinya... dia itu cukup familiar buat saya,”
pikirku sambil mengerutkan dahi.
“Oh ya? Apa
kalian sudah saling mengenal sebelumnya?”
Aku menggeleng
ragu, “Aku juga nggak tahu, Ustazah. Tapi, beberapa tahun yang lalu, aku juga
pernah mengenal seseorang dengan nama serupa. Tapi, aku nggak tahu nama lengkap
orang yang dulu kukenal itu.”
“Oh... begitu.
Ya sudah... Kalau gitu, kita sudahi halaqoh
hari ini ya. Hapalan surat-suratnya jangan lupa ditambah lagi minggu depan.
Oke?”
“Iya, insya
Allah.”
***
Hujan. Tapi, aku
kurang menikmati hari ini. Sore ini, di masjid yang sama, aku dan Ustazah Fia
sedang menanti seseorang. Seseorang yang selama seminggu ini telah mengganggu
konsentrasiku. Ustazah Fia memintaku untuk datang lebih awal dari jadwal
pertemuan yang ditentukan. Sejak lima menit yang lalu, aku terus mondar-mandir
di depan selasar masjid AR. Fachruddin. Pikiranku lelah menebak. Mata dan
telunjuk kananku lebih memilih mengerjakan hal yang amat tidak penting:
menghitung jumlah sepatu dan sandal yang ada di sekitar tempatku berdiri.
Sementara itu,
Ustazah Fia terlihat nyaman dan datar-datar saja. Dia duduk dengan kalem di
depanku sambil memijat-mijat layar ponsel pintarnya. Dia tahu aku sedang gusar,
tapi diam saja dan sesekali menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul.
“Assalamu’alaikum...”
Kira-kira, satu
meter di belakangku, terdengar seruan salam. Nadanya lembut dan renyah. Ustazah
Fia langsung berdiri dan berjalan dua langkah, membalas salam dan menyambut
pemberi salam itu.
“Ukh, ini orangnya sudah datang,” sahut
Ustazah Fia sambil menepuk bahuku.
Aku makin gugup.
Ada getaran kecil di sekitar telapak hingga mata kakiku. Haruskah aku berbalik
badan sekarang? Tapi, rasanya aku belum benar-benar siap menebak siapa orang
yang dimaksud Ustazah Fia. Sebelum berbalik, kupanggil memoriku lebih cepat
hingga ke dalam-dalam. Kucari lagi ingatan tentang nama seseorang yang dulu
kukenal. Nama panggilannya mirip dengan kepunyaan orang di belakangku. Tapi,
tampaknya memoriku sedang tersandung. Aku gagal mengingatnya.
“Ukh Aina...” Ustazah Fia mengetuk bahuku
sekali lagi. Ini ketukan terakhir sebelum aku berbalik.
Kuhitung mundur,
tiga... dua... satu...
“Masya Allah!”
gumamku dalam hati. Jantungku terjun bebas dari singgasananya. Kutahan denyutan
nadi yang terlampau cepat ini dengan tanganku, kueratkan ke dada. Kutarik
napasku sambil menunduk. Ya, aku sudah melihat wajah orang itu.
“Lama nggak
ketemu? Apa kabar, Bu?” tanya seorang pria berbaju koko putih dengan pantalon
hitam.
“Bu? Maksud Antum apa, kok manggil Ukh Aina dengan sebutan Ibu?” Ustazah
Fia bingung seketika.
Ingatan itupun
akhirnya kuingat kembali. Dua tahun berlalu, sudah cukup banyak perubahan yang
terjadi. Dia adalah orang yang ada dalam ingatanku itu. Pria berwajah bulat
dengan kulit dominan kuning langsat itu tersenyum semakin renyah. Rambut pendek
hitamnya tersisir cukup rapi, terbelah di samping kanan. Barisan gigi putih
rata yang dipagari kawat warna transparan miliknya semakin manis. Lesung di
pipi kanannya juga ikut mengintip. Ada yang beda darinya, janggut tipisnya
mulai tumbuh tapi tidak terlihat rambut-rambut halus menyemak di pelipis. Aku
hanya menangkap wajahnya sekilas. Pemandangan ini tak sanggup kuteruskan.
“Apa Akh Aditya udah kenal sama Ukh Aina?” tanya Ustazah Fia lagi.
Aku mengangguk
lemah sambil menahan senyum malu.
“Iya, Ustazah.
Dua tahun yang lalu, kami ketemu di kelas Psikopatologi Anak dan Remaja. Dia
berdiri di depan kami sambil menerangkan materi,” tutur pria itu sambil
mengingat bagian yang paling diingatnya.
“Loh, maksudnya?
Kalian pernah sekelas gitu?”
“Bukan...”
“Lalu?”
“Dia dosenku.”
Pernyataan pria
yang usianya terpaut tiga tahun di atasku itu sontak membuat Ustazah Fia
geleng-geleng kepala, seolah tak percaya. Memang benar. Dua tahun yang lalu,
aku dan Aditya bertemu dalam status yang berbeda. Dia mahasiswa sedang aku
dosen. Dia adalah mahasiswa paling tua di kelas, itu karena dia terlambat
daftar kuliah. Tak pernah kusangka bila ternyata Aditya mengenal Ustazah Fia.
Lebih dari itu, aku tak pernah menduga Aditya akan bertindak sejauh ini. Dulu,
tak pernah ada tanda-tanda apapun yang menyiratkan hal ini.
Mendengar cerita
kami, Ustazah Fia tertawa sendiri. Dan, senja di AR. Fachruddin ini menjadi
saksi di mana sang mahasiswa mengutarakan kesungguhan untuk melamar dosennya
sendiri.
--cerita ini
fiktif belaka, terinspirasi dari FTV yang ada di SCTV dulu, ada seorang
mahasiswa yang suka sama dosennya-- ^_^
No comments:
Post a Comment
Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.