Sunday, June 3, 2018

COMPARE YOURSELF TO OTHERS IF...

"I will not reason and compare; my business is to create"
-William Blake-



It's natural to compare ourselves to others but sometimes it makes us unhappy even if we have enough with what we have or done. Banding-membandingkan ini saya yakin sih itu jadi salah satu pencetus kemunculan pepatah bahwa rumput tetangga lebih hijau. CMIIW. kidding.

Merasa karir masih di situ-situ aja sementara teman-teman lain sudah sampai pada level tertinggi. Merasa bahwa pasangan orang lain jauh lebih perhatian daripada pasangan sendiri. Merasa bahwa teman sudah sidang skripsi/tesis sedangkan diri sendiri masih mandeg di proposal. Merasa bahwa anak sendiri belum bisa say mama or papa sementara bayi anak orang lain udah bisa ngoceh banyak kata. Merasa bahwa hidup diri sendiri jauh lebih sulit sedangkan orang lain berlimpah bahagia. Sampai kapanpun proses membandingkan yang berlangsung itu gak akan membuat kita get well or enough. Semakin banyak kelemahan yang dicari-cari maka akan semakin banyak pula pembanding yang jauh lebih baik di luar sana.

Sebagian pakar, peneliti, penulis dan coach yang pernah saya dengar mengatakan bahwa yang namanya iri dan cemburu itu adalah hal yang dapat merusak diri sendiri dan merupakan suatu tanda insecure terhadap apa yang diirikan atau dicemburui. Tapi kalian pasti tahu kan bahwa iri itu juga punya bentuk positif. Nah, kalo cemburu? Ternyata cemburu juga ada dua jenis; reactive and suspicious jealousy

Bedanya iri sama cemburu itu apa? Iri itu adalah wanting what someone else has. Sedangkan cemburu adalah when we worry someone will take what we have. Oke jadi jelas ya bedanya apa?

Lalu yang mau dibahas di sini apa? Kita bahas iri dulu ya.

Iri itu adalah emosi dimana seseorang menjadi "terluka" karena melihat keberuntungan justru berpihak pada orang lain, bukan pada dirinya. Iri ini muncul karena ada komparasi sosial.  Komparasi ini terjadi ketika orang lain yang diperbandingkan itu dipersepsi memiliki persamaan yang  nggak jauh beda dengan diri sendiri seperti misalnya kita iri dengan teman yang berhasil juara kelas padahal sekolah di tempat yang sama dan sama-sama mendapatkan fasilitas serta pelajaran yang setara. Dengan kata lain, iri itu muncul karena self-view yang kita buat berdasarkan kacamata why someone else being better off.

Waktu sekolah dulu dan penelitian belum berkembang pesat kayak sekarang ditambah akses teknologi especially bisa browsing ke mbah gugel pun masih jauh dari realita (konon, saya sebagai anak generasi Dilan dan Milea taunya ya masih ada wartel, hape juga masih jadul yang orang Parepare bilangnya hape pelempar mangga saking bodi hapenya yang berat, ke mbah gugel aja masih harus nyari PC di warnet, jaman dulu warnet isinya ya masih dipake buat game online, dan pas punya laptop pertama waktu SMA dulu tahunya cuma MS Word doang bahaha). Jadi akses ke ilmu pengetahuan yang lebih mendalam juga masih minim. Kalau dulu mah, iri itu di mana-mana konotasinya negatif, jelek, nggak boleh, dosa, de es be. Eh, ternyata makin bertambah usia, makin melek pengetahuan dan makin lancar akses informasi, baru tahu deh saya kalau iri itu udah pernah diteliti dan nggak cuma ada sisi negatif tapi juga ada positifnya.

Jadi gaes, dari penelitian yang dilakukan oleh Van de ven, Zeelenberg dan Pieters pada tahun 2011 dan studi oleh Gersman pada 2014 menemukan bahwa iri itu ada dua macem, iri yang sifatnya destruktif dan ada pula yang sifatnya improving. Dari penelitian itu, iri yang bersifat destruktif itu disebut Malicious envy kalau bahasa jermannya Misgonnen. Sedangkan iri yang sifatnya membangun itu disebut Benign envy atau dalam bahasa jerman Beniden.

Benign envy ini berdampak positif karena saat seseorang melihat rekan lain bisa mencapai target yang lebih baik, lebih berprestasi dan lebih lebih lainnya, maka hal tersebut dipandang sebagai pemicu diri untuk lebih semangat. Ya, semangat untuk meningkatkan performa, meningkatkan kualitas dirinya, aktif melakukan perbaikan dan pengembangan diri sehingga bisa menyamai atau bahkan melebihi diri orang lain yang jadi pembandingnya tadi.

Malicious envy justru sebaliknya, karena dalam malicious ini mengandung perasaan dengki sehingga saat melihat orang lain lebih sukses dari dirinya, ia merasa tertekan, frustrasi, enggan berusaha lebih, menghindari trial error, takut terhadap kegagalan dan keseringan mundur daripada mencoba. Hal ini disebabkan ia merasa nggak mampu menyaingi orang lain yang jadi pembandingnya. Hahaha... mungkin nggak sih, orang yang sampai berkata bahwa Tuhan itu nggak adil, kenapa orang lain ditakdirkan lebih sedangkan dirinya segitu aja juga bisa disebut iri yang malicious? Maybe ya.

Beberapa minggu yang lalu, di kampus kedatangan alumni angkatan 2010. Eh kebetulan aja si Bapak dosen mempersilakan si alumni ini buat ngisi di kelas. Dia itu sekarang lagi menjalani program magang agar bisa dapat "tiket" untuk beasiswa kuliah S3 di luar negeri, jadi magangnya itu di luar negeri juga (lupa di negara mana hahaha, ketahuan deh kalau nggak begitu perhatiin). Ngisinya pake ngomong Bahasa Inggris pula cas cis cus lancar jaya kayak Bus Sumber Kencono yang melaju secepaat terbangan Superman (mulai ngaco deh). Iya wajar sih soalnya ngisinya di kelas F (kelas bilingual kalau di Psikologi). Saya bahkan nyaris lupa kalau saya juga alumni kelas F,

Materi apa yang dibawakan oleh si alumni itu? Materinya seputar motivasi gitu dah gimana caranya supaya adek-adek kelas F ini bisa nentuin passion, purpose alias mau ke mana mereka dan apa yang ingin mereka ciptakan di masa mendatang. Meski pada akhirnya teori kadang nggak selalu berbanding lurus bin mulus dengan praktik di lapangan faktualnya, namun seenggaknya hal itu bisa melecutkan semangat belajar, biar nggak hobi alpha doang gitu di kelas ya kali aja. Buktinya juga ada satu di antara mereka yang dibebastugaskan penelitian skripsi karena berhasil mengikuti dan meraih penghargaan The Best Young Sociopreneurship Leadership Exchange gitu dengan catatan produk atau hasil karyanya kemaren itu tinggal digubah formatnya dalam bentuk skripsi aja.

Lalu, di akhir kata Bapak dosen ngasih semacam quote gitu yang bunyinya kurang lebih gini, "Kita hidup di tanah yang sama namun yang membedakan antara kita dengan lainnya adalah sejauhmana batas horizon kita berada."

Nah, apa hubungannya dengan bahasa iri tadi. Jadi korelasinya adalah, sebenarnya iri itu nggak masalah kok, nggak masalah jika membandingkan diri sendiri dengan orang lain asal dengan catatan menjadikan pencapaian dan keberhasilan orang lain sebagai pecutan untuk giat berkarya, berusaha, berdoa mewujudkan apa yang menjadi tujuan dan cita-cita. Bukan hanya menjadi pengecut yang belum apa-apa udah bilang nggak bisa. Tapi coba sesekali menantang diri bahwa kita mampu menyamai atau bahkan melebihi orang yang pernah menjadi penyebab kita iri.

Kadang saya jadi mikir, apakah para motivator itu tercipta dan makin banyak menjamur karena dulunya mereka juga sama, berada di posisi yang persis kayak kita sekarang? Tapi dengan benign envy yang dimiliki orang-orang itu dan tentunya pengamatan dan pengalamannya bertemu dan berelasi dengan orang banyak akhirnya mereka bisa jauh lebih sukses daripada yang dulu. Bisa jadi sih.

Eh eh, saya jadi teringat dengan postingan Instagram simbak pembawa berita yang termashur itu. Postingannya panjang lebar namun intinya menyarankan pada generasi muda Indonesia untuk menemukan passionnya dan nggak hanya sekadar mau kerja sebagai PNS atau kerja di perusahaan ternama. Tapi, bisa menghasilkan sebuah karya abadi yang mempunyai daya pakai, daya jual, dan daya daya lainnya (apaan sih Ma) di masa depan. Lalu, postingan itu diserang bertubi-tubi oleh netizen. Netijen mikirnya seakan-akan simbak tadi banding-bandingin profesi ini dan itu dan akhirnya nggak terima kok dibanding-bandingin padahal tanpa adanya karyawan di perusahaan itu dan tanpa adanya PNS, ya proses perekonomian dan terlebih kehidupan mana bisa jalan. Kita memang perlu bercita-cita setinggi mungkin, kita boleh aja bermimpi menjadi seorang bos, tapi kita juga nggak bisa bekerja jika tanpa adanya bawahan dan di mana-mana tangga karir yang normal itu selalu dimulai dari level paling bawah dulu supaya bisa sampai ke puncak. Ah, simbak pasti paham namun mungkin sih, mungkin caranya mengemas caption terlalu berbelit-belit padahal maksudnya itu bukan untuk menjatuhkan profesi tertentu dan meninggikan derajat entrepeneur. Jadi, netijen pada salah paham kan yak bacanya.

Kadang juga saya mikir, mungkin ada benarnya kali ya teorinya si Adler itu bahwa seseorang sejak lahir mempunyai bawaan yang disebut dengan inferiority. Perasaan kecil, minder, nggak percaya diri ditambah dengan makin banyaknya komparasi yang dilakukan maka lama-kelamaan memunculkan effort untuk meraih superiority dengan cara masing-masing. Tapi kalau dibahas dari sudut pandang Fitrah Based Education, jelas jauh timpang. Kalau di FBE, dijelasin bahwa sejak lahir, manusia itu sudah mempunyai fitrah yang terdiri dari 8 macam, salah satunya adalah fitrah bakat dan kepemimpinan. Supaya seseorang bisa menjadi what they want to be and being as superior as its purpose, tinggal diasah dan diarahkan aja fitrahnya itu dan pastinya memerlukan "kepekaan" juga kerja sama dari berbagai ekosistem, nggak hanya dari orangtua tapi juga lingkungan sekolah, peer group, lingkungan sosial yang lebih luas dan sebagainya.



Pada akhirnya kita nanti nggak akan dikenal dan dikenang melalui apa yang kita makan dan apa yang kita pakai atau hanya sebatas makna artifisial, melainkan kita perlu mencari makna sebagai apakah kita ingin dikenal dan dikenang kelak.

Namun melihat realita jaman now, belom juga iri, komen baik-baik atau ngucapin selamat ke orang yang berhasil aja udah di-negative thinking-in, masuk ke lambe turah, netijen jadi julid. Pas udah iri, terjadilah perang dunia ke lima, main bunuh-bunuhan, perang-perangan sosmed, balas-balasan tik toh, eh..., saling blokir memblokir. Ah, itulah... sekarang tampaknya kok ya disepelekan banget, urusan komunikasi dan relasi jadi semudah menekan tombol ON dan OFF. Suka nggak suka dikit, iri nggak iri, tinggal Block.

Makairilah dan bandingkan dirimu dengan orang lain jika rasa iri itu dapat membangkitkan gairahmu untuk menjadi lebih baik daripada sebelumnya, not to impress others but to show it to yourself that you can and done it well.

(Next post mungkin bisa kita bahas untuk versi jealous-nya)

Sampai jumpa lagi

1 comment:

  1. waaah saya baru tahu nih mba kalau iri ada 2 jenis, jadi ngga selamanya negatif ya. Justru beign envy bisa kita jadikan weapon untuk melawan malicious envy itu sendiri. Btw saya tertarik banget nih buat baca penelitian Van de ven, Zeelenberg dan Pieters (2011) dan si Gersman (2014). Kalau boleh saya mau tau judul penelitiannya dong mba? ^_^ hehe

    ReplyDelete

Makasih banget ya udah mau baca-baca di blog ini. Jangan sungkan untuk tinggalin komentar. Senang bila mau diskusi bareng di sini. Bila ingin share tulisan ini, tolong sertakan link ya. Yuk sama-sama belajar untuk gak plagiasi.